Sunday, 21 February 2010

A tale by Chris Nugroho

Antara langit dan bumi, menyatu di dalam nama horizon
Batas antara hawa manusia dan binatang, terenggut oleh garis ras baru
Saat tiga dewa bersekutu untuk mengakhiri nasib Sang Bersalah
Theon akan menyerbu dengan pedang-pedang berdarah
Midianor akan menyambut Sang Terkalah
Lameth akan menyucikan kemenangan
Kemanakah angin berhembus membawa kisah ini?
Kapankah angin akan berhenti berhembus?
Darah Lord Bordock akan terselip di balik dada Sang Terpilih
Sinar birunya akan menyalakan panji-panji kembali
Pedang akan diangkat dan sorakan terdengar menggaung
Wahai alam, tunduklah pada Sang Terpilih!
Sebab dialah pelingkup nafas baruku
Saat api tidak lagi panas bersamanya
Saat air tidak lagi menghanyutkan di sisinya
Saat angin tak lagi menghempaskan di bahunya
Saat pohon terus menghasilkan kehidupan baru
Dan Ar-Zhuhud akan bersemi kembali
Selayaknya kami patut dapatkan dari ribuan tahun perjuangan
Biarlah kata-kataku, terdengar sampai ke seluruh pelosok dunia


Dahulu tetua di desa-desa senang sekali menyenandungkan syair ini, hingga cucunya tertidur dalam pangkuan mereka. Itu sudah lama sekali…

Comdred Fortress, Ratusan Tahun Sebelum Millennium

Dan kini, syair itu teronggok bagai sampah.

Ratusan ribu deru tapak kaki-kaki besi itu mengelilingi Comdred Fortress. Gelombang makhluk-makhluk biadab Mirage yang datang tak habis-habisnya, membuat Mordock Incargot, Sang Raja, gusar tak terbayangkan. Dari jendela menara teratas di kastil abu-abu itu, dia melihat bagaimana orang-orang pilihannya dibantai oleh kegiatan sadis para Mirage. Biar bagaimanapun dia tahu, bala bantuan tak akan menyelamatkan kedudukannya.

Empat puluh kota-kota terakhir runtuh hanya dalam tiga malam penyerbuan Mirage. Ratusan kota lainnya telah dilahap ketamakan Mirage lama sebelum itu. Mereka yang dilindungi oleh monster-monster besar bernama Guardian itu, tak akan mungkin dikalahkan oleh manusia, meskipun kaum Elf dan sedikit pengusung generasi Abodh sudah turut menyumbangkan tentaranya. Tapi tentara mereka habis, akhirnya, batas dari perjuangan mereka datang juga.

Darah menghujani pelataran utara, selatan, timur dan barat benteng itu. Tembok-tembok telah rusak diajar godam-godam yang dibawa para Abodh dari sisi Mirage. Para makhluk kecil, Burandal, sudah menelisik dan menghisap semangat para serdadu, sebagaimana mereka menghisap darah dari lehernya. Pedang-pedang Theon menancap dan bergeletakkan di seluruh penjuru istana. Tameng-tameng lingkaran tak lagi berbentuk sama seperti saat pertama ditempa. Dentingan pedang masih terus menusuk-nusuk telinga dan terngiang perih di pikiran sang raja.

“Benteng Sladur di Timur, telah jatuh, Yang Mulia. Kami menunggu perintah anda selanjutnya,” seorang berwajah kalut mendatangi ruangan kecil itu.

Raja Mordock tak berkutik. Kekuatan terakhir yang mendukungnya telah jatuh, bersamaan dengan keriangan pasukan setan yang terdengar dalam setiap tabuhan genderang besar milik mereka.

“Bunyikan sangkakala, tarik seluruh pasukan,” kata Sang Raja lemah tak bertenaga. Terakhir, dia menghembuskan nafas panjang. “Bukan saatnya bagi kita untuk terus berkeras kepala.”

Sang pemberi pesan berlari menuruni anak tangga menara. Secepat kilat informasi itu sudah sampai pada komandan utama. Tubuhnya telah bersimbah darah musuh. Penglihatannya mulai kabur, seakan dia mulai tak bisa membedakan kawan dan lawan. Masih ada ribuan pasukan Mirage yang datang bagai gelombang lautan di sisi luar benteng. Dia memberikan tanda pada menara utama, dimana sang penjaga melihat jelas tangan komandan disilangkan.

Sangkakala nyaring berbunyi. Seluruh telinga mendengarnya ditiup berulang kali. Panjang dan menggema.

Pandangan Sang Raja mendadak berubah saat mendengar sangkakala panjang dibunyikan. Comdred Fortress menyerah, Comdred Fortress telah jatuh, sebagaimana Nemoralexia dahulu dijatuhkan. Sang Raja menahan rasa takutnya, jantungnya berdebar kencang menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ketapel-ketapel raksasa masih terus melontarkan batu-batu besar, mengobrak-abrik susunan penjagaan di atas menara-menara, menguncang keberadaan para pemanah, menghancurkan dinding-dinding kokoh kastil. Sangkakala itu membuyarkan perlawanan mereka, para ksatria berseru getir mendengar tiupan kebebasan itu.

“Pergilah ke pintu selatan! Saatnya menyelamatkan diri kalian!” teriak komandan mereka kencang-kencang.

Manusia-manusia itu berhamburan bagai ombak di lautan yang dipenuhi rona merah darah. Pintu gerbang selatan menjadi begitu penuh sesak untuk dilalui seluruh pasukan. Tersisa sedikit pejuang di sana, mereka yang masih melindungi rekan-rekannya, walaupun yang dilindunginya sibuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Para Guardian berjaya, menghalau sisa-sisa pasukan di pintu timur. Beterbangan bulu-bulu mereka, pekikan-pekikan mereka mengudara dengan penuh kejayaan. Terlalu banyak pasukan Mirage tersisa, berbanding terbalik dengan pihak Mithrillia. Para Griffon berpesta.

“Raja, saatnya pergi,” pikiran sang raja diusik oleh pengawal di kanan-kirinya.

“Pergi, kemana? Kita dikepung, seluruh dunia tunduk pada mereka,” ujar sang raja, sama sekali tak berpengharapan.

“Seluruh serdadu telah mengungsi dari pintu selatan, pasukan Mirage lengang di sana. Mari Rajaku, keberadaanmu masih sangat diperlukan.”

Mata sang raja menyakinkan sang panglima. Ditatapnya dalam-dalam mata sang panglimanya, Aku tak mau pergi, inilah peristirahatan terakhir bagiku.

“Tapi Raja, bagaimana dengan puluhan yang selamat? Mereka menanti anda di Dermaga Oricon. Kapal tak akan pergi ke timur jika anda tak bersama kami,” bantah panglima Danum khawatir.

Sang Raja merasa sudah cukup menjelaskannya pada kedua panglima yang penuh rasa khawatir itu. Dia menarik nafas panjang dan membuang jauh-jauh rasa pilunya. Wajahnya tak menunjukkan kekecewaan, dia berusaha untuk itu.

“Lampros Kertest, putera Danum, dan Doper, putera Baldmur, inilah tempatku sebagai Raja, Raja yang gagal menjadi penggenap janji biru itu. Aku telah mengotori darah keturunan Lord Bordock dengan kejatuhanku...”

“Tapi, Yang Mulia...” panglima Kertest kalut.

“Dengarkan Rajamu, Kertest! Pergilah, lindungi puteraku! Dia yang terakhir.”

Bibir Kertest bergetar memandangi kesungguhan rajanya itu. Tangannya dikepalkan kencang-kencang. Untuk terakhir kalinya mereka berdua tunduk menghormati rajanya itu, saat dimana para Abodh dan Burandal telah mendobrak masuk ke kastil utama. Kertest pergi meninggalkan pria setengah baya yang tak memiliki arti lagi dalam pandangannya. Sang Raja gentar mendengar suara tapak sepatu besi kedua panglimanya itu menuruni tangga menara. Jua terdengar seretan rantai khas Abodh yang semakin mendekat. Raja Mordock mengepalkan tangannya, memejamkan matanya erat-erat, menunggu kejatuhan benteng terakhir yang tersisa, menunggu ajalnya …

0 comments:

Post a Comment