Sunday, 21 February 2010
July, 20th 2004
Baru kali ini aku tak sabar kembali ke sekolah. Terburu-buru aku menapaki tangga menuju kelas biologi Miss Claire. Hanya duduk, buka notebook, ketik sana-sini, dari pukul delapan hingga pukul setengah sepuluh pagi, entah apa yang dia ajarkan padaku, aku terlalu terfokus pada buku itu. Beberapa kali aku berusaha mengakses informasi mengenai Mithrillia dari dalam search engine, tapi tak pernah ada satupun informasi tentangnya. Begitu juga ketika aku menuliskan nama Brian Lucas Junior, justru aku mendapati foto-foto George Lucas pembuat film Star Wars. Lama setelah itu, aku menyerah. Internet pun tak lebih pintar dari buku itu.
Bel berbunyi nyaring. Saatnya pergi ke perpustakaan.
Hambatan datang, dari Gerrard. Kami berbincang-bincang sejenak, tentang dirinya yang diskors beberapa minggu, dan tentang nilai-nilai kami yang berlawanan.
Gerrard Elliott sudah mengenalku sejak kami masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Kedua orangtua kami bersahabat karib, ayahku dan ayahnya adalah rekan bisnis. Dia senang membiarkan rambut coklat kehitamannya tampak berantakan. Wajahnya memang rupawan, seluruh sekolah mengakui hal itu. Tingginya pas, tubuhnya proporsional, suaranya stabil dan lumayan berkarakter, semua hampir sempurna. Tapi seperti hukum berkata, keindahan paras hampir selalu berbanding terbalik dengan kemampuan otak. Aku tak pernah tahu apakah orangtuanya memperhatikan dirinya atau tidak. Sepertinya nasib yang dia alami mirip denganku.
Tiga minggu sebelum libur, tepatnya sehari setelah pengumuman kenaikan tingkat, Gerrard tertangkap basah tengah berkelahi dengan senior mesum yang terus-terusan menguntitku. Sementara orang tua Gerrard harus membayar biaya rumah sakit pria malang itu, Gerrard sendiri dijatuhi skors. Walau katanya hukuman telah diperingan, tapi peraturan tetap peraturan.
“Aku mau ke perpustakaan. Kau ada kelas, Gerrard?”
“Ehmm…mungkin sebentar lagi. Tunggu,” ujarnya menggantung. Gerrad terlihat berpikir keras. “Aku lupa sesuatu! Tunggu di sini sebentar, aku melupakan tas notebook-ku,” serunya panik.
Dia berlari pontang-panting. Itu kecerobohan yang identik denganku.
Tanpa bermaksud menghindari Gerrard, aku memilih meninggalkan tempat itu. Aku buru-buru pergi ke perpustakaan, segera setelah Gerrard menghilang dari pandanganku.
………
Dengan buku yang masih berada di tanganku, aku menghampiri meja Mister Mario Gustavo. Dia tampak begitu damai membaca sebuah buku tebal.
“Permisi, Mister Gustavo,” sapaku pelan.
Perlahan dia mengangkat kepalanya dengan gaya yang kalem. Kacamata itu menyapaku melebihi kata-katanya. “Ada keperluan apa, Alexa?” tanya Mister Gustavo dengan anggun. Tanpa melihatku pula, dia menyelipkan pembatas dan menutup buku yang tengah dia baca.
Aku membuka tasku dan menyerahkan buku itu padanya, tepat kuletakkan di atas mejanya.
“Aaagghh!!!” teriaknya kencang sesaat. Mendadak ekspresi tenangnya hilang, berganti dengan wajah takut, jijik. “Singkirkan buku itu dariku!” lanjutnya. Seluruh orang di dalam perpustakaan itu memperhatikan kami. Aku membalik badanku dan tersenyum meminta maaf, meminta mereka maklum, kemudian keadaan kembali sunyi.
“Tapi…” ujarku belum selesai.
“Cepat!!” hardiknya sambil berusaha menahan suara.
“Okay, okay…tapi kau harus jelaskan sesuatu dulu padaku, baru aku akan menyingkirkan buku ini dari hadapanmu.” Kedua tanganku kusandarkan pada mejanya, kutatap ekspresi takutnya dalam-dalam.
“Apa saja, Alexa. Apa saja…” katanya mengiba.
“Bagus kalau begitu. Ingat, kau sudah berjanji padaku, Mister Gustavo.”
Aku memasukkan kembali buku itu ke dalam tas jinjing hitamku. Mister Mario tampak agak lega setelahnya. Dia kembali mendudukkan tubuh tambunnya ke atas kursi.
“Sekarang, katakan padaku apa yang ingin kau tanyakan.”
“Pertama dan yang paling penting, mengapa buku semacam ini bisa sampai ada di dalam perpustakaan sekolah?”
Dia menggeleng ringan, sambil berkata. “Aku tak pernah tahu soal itu.”
Lalu kutatap wajah Mister Gustavo serius, dengan alis yang kutinggikan sebelah. Seenaknya saja dia menjawab sesingkat itu. Mister Gustavo terlihat tak nyaman dengan tatapan itu. Lalu dia membuka mulutnya lagi.
“Entah kau mau percaya atau tidak, yang jelas buku itu sudah ada di sini sejak aku belum menjaga perpustakaan. Sekalipun aku belum pernah membacanya, bukan karena banyak mitos yang berkembang seputar buku ini, tapi aku memang tak tertarik dengan isinya. Melihat sampulnya saja aku segan, kusam sekali.”
“Lalu, mengapa kau tidak membuangnya? Bukankah jarang ada yang mau membaca buku seperti ini?” kataku dengan rahang setengah mengatup.
Mister Gustavo terlihat mencari-cari alasan. Tapi dia kemudian menyerah, tampaknya dia akan menceritakan rahasia itu padaku.
“Ehmm…tolong jangan katakan pada siapapun soal cerita ini,” bisiknya.
Aku menjawabnya dengan anggukan kepala dan pandangan serius.
“Aku pernah membuangnya sepuluh tahun lalu, langsung ke truk pengangkut sampah. Tapi esoknya, buku itu sudah bertengger lagi di rak itu. Sudah tiga kali kucoba membuangnya, tetap saja nihil. Aku jadi merinding melihatnya. Sejak saat itu, aku menyembunyikan buku itu di balik buku-buku filsafat yang tak akan mungkin dibaca oleh kalian-kalian ini. Mungkin apes untukmu, kau yang pertama menemukannya setelah lima tahun lalu seorang anak laki-laki membawanya pulang ke rumah,” bisiknya menakut-nakuti.
“Lalu apa yang terjadi pada anak itu? Katakan sejujurnya padaku, Mister,” aku ikut terbawa dengan penjelasan mistisnya.
“Anak itu…anak itu…”
“Cepat katakan, Mister!”
“Anak itu tak apa-apa. Dia mengembalikan buku itu esok hari, katanya semua isi buku sudah selesai dibaca. Hanya ada komentar aneh yang keluar dari mulutnya,” kata Mister Gustavo masih menahan pandangan serius, lama kelamaan dia tak kuasa menahan tawa geli.
“Mister, aku serius! Sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk memberi lelucon,” gerutuku kesal.
“Kau ini terlalu cemas dengan hal-hal semacam itu. Semua ceritaku tadi sebenarnya hanya bualan belaka. Kau mau dengar yang asli?” perlahan tawanya mulai reda.
“Jangan-jangan kau mau menipuku lagi,” tuduhku kesal. “Tidak usahlah. Simpan saja ceritamu,” balasku. Aku hampir saja meninggalkan perpustakaan saat dia tiba-tiba menghentikanku.
“Tunggu, tunggu, ini serius. Buku itu sebenarnya dititipkan di sini,” selanya buru-buru. “Ini yang sebenarnya terjadi.” Dan akupun berbalik.
“Oleh?”
“Bukankah di sana tertulis nama pengarangnya? Kalau tidak salah namanya Brian Lucas Junior,” ucapnya. “Tepat dua puluh tahun lalu, dia datang langsung ke sini. Dia bilang, jika suatu saat ada seseorang yang menanyakan sesuatu tentang buku ini, berikan saja alamat rumahnya.”
Mister Gustavo bergerak cepat. Dia merobek secarik kertas kecil, dan menuliskan beberapa baris kata dari alamat yang disebutkan laki-laki misterius itu. Mister menyerahkannya padaku, namun wajahnya nampak tidak begitu yakin. Sepertinya isi kertas itu mengganjal pikirannya.
“Kau tak sedang menipuku, Mister Gustavo? Kurasa ini bukanlah alamat.”.
Di kiri, kau hanya akan menemukan kebimbangan. Di kiri, aku tak akan kau temukan. Di kanan, kau tak akan menemukan apapun, tapi aku ada di sana.
“Jangan salahkan aku untuk hal ini, Alexa. Dia sendiri yang menyebutkan kata-kata itu. Sebelum sempat aku bertanya, dia hilang begitu saja, padahal baru beberapa detik aku memalingkan wajah pada buku yang dia berikan,” Mister Mario juga tampak bingung. Yang pasti dia tak terlihat sedang membohongiku.
Aku tak begitu puas mendapatkan informasi ini. Sampai di rumahku, akupun hanya berbaring sambil memandangi kertas yang ditulisi Mister Gustavo. Aku membuka buku itu sekali lagi untuk mencari jawabannya, yang kucari adalah kalimat yang mirip dengan isi kertas ini, tapi sejauh yang kubaca, memang tidak ada.
Waktu makan malam, setelah kuterbangun dari tidurku—aku masih saja merenung memikirkannya. Bahkan hingga waktu belajarku, aku tak bisa fokus pada soal-soal trigonometri di depanku. Semuanya seakan terdistorsi menjadi kumpulan kata-kata di kertas tadi. Aku tak bisa menahannya lagi. Kusingkirkan buku, kertas, atau apapun yang berhubungan dengan matematika dari hadapanku, kuganti dengan selembar kertas itu.
“Di kiri, kebimbangan…tapi aku tidak ada, lalu di kanan tak ada apa-apa, tapi aku ada. Sebenarnya apa maksudnya?” gumamku. Kuputar-putar, kubolak-balik, kurangkai kata-katanya, kucari pola penuliasannya, seakan-akan dengan begitu jawabannya akan terungkap.
Aku menghembuskan nafas panjang dan membanting penaku ke meja. Aku membuang tubuh lelahku ke sandaran kursi, kemudian kuangkat lagi kertas itu di tanganku.
Tunggu dulu…kanan tak ada apa-apa, berarti kosong…Mungkinkah ini?
Cepat-cepat aku merogoh tasku dan mengeluarkan buku kusam itu. Aku membuka halaman terakhir yang kubaca, halaman yang kosong dan belum terisi apapun. Letaknya tepat setelah garis tengah buku. Dari tengah bila dibuka ke kiri, akan ada penjelasan yang membuat tak percaya. Dengan kata lain, di kiri kebimbangan. Bila dibuka ke kanan, memang kosong. Itu berarti di kanan tak ada apa-apa. Jadi bila ini maksudnya, bagaimana caraku menemukan dia dengan kertas-kertas kosong ini?
Aku membuka lembaran-lambaran kosong itu dengan begitu cepat, berharap adanya sebuah halaman berisi petunjuk yang terlewatkan. Tiba-tiba aku menjadi mengerti caranya. Kumpulan kertas kosong yang terbuka cepat itu mulai mengeluarkan sinar. Aku makin heran ketika halaman-halaman ini tak habis-habis disingkap. Seperti membaca buku tak berujung. Cahaya itu makin terang, cahaya itu membutakan pandanganku. Terangnya cahaya membuatku tak mampu lagi melihat langsung ke sana. Kupalingkan wajahku dari buku itu.
Ini bukan buku biasa, benar-benar keajaiban. Orang ini bukanlah manusia biasa pula, dia bisa menciptakan keajaiban semacam ini, seperti sebuah mimpi yang tak mungkin dipercaya. Angin besar mendadak menghembuskan dirinya melewati tubuhku. Buku itu bergetar di genggaman tanganku. Sesaat setelah itu, angin besar yang berputar-putar tadi menghilang.
………
Perlahan kucoba untuk membuka mata. Terkejutlah aku melihat seorang pria tua tengah duduk di depanku, di depan sebuah meja kecil bundar dari kayu, aku duduk di sisi lainnya. Secangkir teh dan gula batu sudah tersedia di depanku.
Keriput sudah mengisi penjuru wajahnya, warna putih sudah mewarnai janggut dan rambutnya yang sudah menipis. Wajahnya begitu tenang dan arif. Dia mengenakan jas cokelat pasir dan kemeja putih yang dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka.
Aku berada di antara pepohonan dan rumput hijau yang terlihat segar. Langit terlihat biru sekali. Burung-burung dengan bebas bernafas dan bernyanyi merdu di antara sangkarnya pada pohon-pohon tinggi. Tak jauh dari sini, ada sebuah rumah tingkat dua berdinding putih yang terbuat dari kayu. Di dekatnya, sebuah sepeda ontel kuno keemasan disandarkan pada dinding.
“Selamat datang, Nak. Sudah begitu lama aku menantikanmu. Cukup lama sampai aku mulai melupakan keberadaan buku itu,” sapa pria tua itu ramah. Dia meneguk secangkir teh dengan anggun, kemudian memasukkan sebuah gula batu ke dalam cangkirnya.
“Aku…aku…”
“Maaf,” ujarnya sedikit mendadak. Dia meletakkan sendok kecil ke samping alas cangkir putih. “Aku lupa memperkenalkan diri. Aku Brian Lucas Junior, seseorang yang sudah menuntunmu ke sini. Dan kau sendiri, siapakah namamu, Nona muda?”
“Namaku Alexa,” jawabku sambil melihat ke sana-kemari, sedikit panik, dan begitu bingung. Sihir apa ini?
“Oh, jadi itukah namamu. Silahkan nikmati tehmu dulu. Secangkir teh baik untuk menenangkan pikiranmu.”
Tak ada lagi hal sebaik itu yang bisa kulakukan sekarang. Aku menyeruput secangkir teh yang dia tawarkan. Diriku segera menyadari adanya sebuah pertanyaan yang belum terjawab. “Sebenarnya di mana ini, Tuan Lucas?”
Tuan Lucas tersenyum kecil. Dia kemudian berdiri dengan bantuan tongkat kayu mengkilapnya. Dia menikmati pemandangan alam saat berbicara denganku.
“Ini rumahku. Hanya itu yang bisa kuberitahu. Oh iya, ngomong-ngomong soal itu, menurutmu apakah cerita dalam buku itu merupakan suatu kenyataan atau tipuan belaka?”
“Buku itu, buku karangan anda itu?”
“Benar. Sedikit sekali kemampuanku untuk membuat buku yang baik. Aku tak begitu mahir berkata-kata dalam buku,” candanya, raut wajahnya memandangku penuh tawa ringan. “Bagaimana pendapatmu, Alexa?”
Aku agak bingung menjawabnya. “Jika sudah sampai sejauh ini, aku menganggapnya kenyataan. Tapi aku tetap harus mengetahui bukti-buktinya.”
Sekali lagi Tuan Flavio menunjukkan kemisteriusannya padaku. Sebenarnya aku bingung sekali dengan seluruh gerak-geriknya yang mempunyai banyak makna. “Tepat seperti dugaanku, Nona muda. Kau ingin membuktikannya?”
“Maaf, apa maksud anda?”
“Aku bertanya padamu, pada hatimu. Apakah dalam hatimu ada keinginan untuk membuktikannya?”
Tuan Lucas akhirnya membalik badannya. Dia menatap mataku sepenuhnya. Matanya yang jernih menyiratkan seluruh pengalaman yang tak mampu terbaca olehku. Entah benar atau tidak, begitu banyak lapisan kesendirian yang disembunyikan di balik wajah bersahabatnya itu.
“Ingin? Apakah bisa?” balasku kebingungan.
Dia mendekat padaku, tongkatnya membantu dia berjalan. Dia mengusap-usap rambutku dengan tangan kirinya.
“Tentu saja. Dunia mendukungmu sepenuhnya,” katanya sambil tersenyum. “Satu hal yang menjadi perlu untuk kau ingat, Sang Terpilih bukan ditandai dengan batu biru itu, namun Sang Terpilih ditandai dengan kesiapan hatinya untuk berkorban demi kedua dimensi.”
Kata-kata terakhirnya menggema berulang-ulang. Usapan tangan itu membawaku pada sesuatu yang tak nyata. Semua pemandangan indah dan hawa sejuk ini mendadak lenyap tak berbekas. Mereka seperti terhisap oleh lubang-lubang hitam. Aku tak yakin akan kenyataan peristiwa ini, sampai saat ini aku masih berpikir kalau aku seorang pemimpi. Aku memang masih hidup, bernafas, dan bisa melihat dengan jelas. Namun aku tak yakin yang kulihat adalah kenyataan. Sebab, kini aku melihat…hamparan pasir mengitariku! Kebingungan baru melanda diriku—aku berada di tengah-tengah gurun pasir, padang pasir dengan teriknya matahari, dan angin pasir yang berhembus.
Dimana aku?
0 comments:
Post a Comment