Friday, 26 February 2010

A tale by Chris Nugroho

Tiga orang penunggang kuda telah sampai di dalam Benteng Sladur. Mereka menapaki tangga-tangga batu yang terputus-putus oleh lantai demi lantai. Mereka sampai di sebuah alun-alun dengan patung Dewi Aquamernia di pusatnya. Dewi Aquamernia adalah dewi para orang Sladur dan beberapa orang Timur kebanyakan. Orang Timur percaya Aquamernia bisa memberikan ketenangan di laut, hingga hasil tangkapan ikan mereka melimpah. Aquamernia juga merupakan dewi segala penyakit. Ada yang menjadi pertentangan di dunia Mithrillia, tentang nasib para dewi di surga. Beberapa berkata surga tak memiliki dewi, hanya ada dua dewa tersisa di sana. Karena itu mereka yakin, dewi hanyalah bumbu dalam cerita mitos. Ada juga yang percaya para dewi tinggal di surga sebagai pembantu-pembantu Dewa Lameth. Termasuk di antaranya Dewi Aquamernia dan Dewi Minith, dewi para Abodh.

Di tepian alun-alun berjejer bangunan-bangunan, mulai dari penginapan hingga penjual sayuran dan peralatan logam. Bukan kebetulan kalau tampaknya ketajaman indera Cazar menggiring mereka ke Benteng Sladur, dan kini Mérdanté yang membawa mereka ke sebuah penginapan, White Horse Inn. Di sanalah mereka mendapat keyakinan akan keberadaan Bader.

Sebuah bar kecil menyambut mereka di lantai bawah. Di sana tampak sangat berantakan dan kacau. Masih banyak meja dan kursi yang terbalik, walau beberapa buah telah dikembalikan oleh pemiliknya. Di kiri bibir pintu membekas noda darah yang sulit hilang. Di depan meja pelayan juga terdapat cipratan darah yang tengah dibersihkan dengan lap basah. Tak ada pengunjung di sini, mereka pergi entah kemana, sepagi ini.

“Hei, kalian. Lihatlah tanda itu. Kami sedang tutup,” gerutu pria tua yang menyeka setiap jengkal cairan merah di lantainya.

“Maaf, Pak Tua. Sebenarnya kekacauan apa ini?” tanya Cazar.

“Jangan heran bila Serigala Pasir mengacau, pasti akan menjadi seperti yang kau lihat.” Pak tua itu tampak acuh, dia mengabaikan keberadaan mereka bertiga.

Mérdanté, pria berambut ikal pendek itu, memperhatikan luka tebasan pada kayu pintu. Mata abu-abunya memperhatikan setiap detail goresan yang ditimbulkan. Kemudian jari telunjuk dan tengahnya dirapatkan, saat dia menunduk dan meraba sisa tebasan itu dengan seksama.

“Stiletto, tak salah lagi ini Bader...”

“Berarti mereka tak jauh dari sini, atau berarti kita tak menyia-nyiakan waktu kita untuk datang ke sini,” celetuk Ivander. “Pak Tua, maaf, apakah kejadian semalam berhubungan dengan seorang pria bermata abu-abu?”

Pria tua itu tak merespon banyak, dia hanya menggeleng sambil menyeret kata, “Tidak tahu. Tidak lihat.”

Pria muda bernama Ivander tampak sedikit kecewa dengan responsnya. Dia menghela nafasnya sejenak sebelum bergerak maju. Ivander kemudian menghampiri sang pemilik penginapan, lalu dia mulai berkata-kata untuk memberikan gambaran mengenai sosok Bader. Walaupun segan, sedikit-demi sedikit pak tua itu mulai mengangguk membenarkan beberapa ciri.

“Kau mencari dia? Yang bersama seorang gadis cantik di sebelahnya?”

“Ya, dimana mereka sekarang? Kau tahu, Pak Tua?”

“Seingatku...semalam seorang pria berpedang membuat pria yang kau sebutkan itu meladeninya. Kemudian dia dan kekasihnya itu...”

“Bukan kekasihnya, Pak Tua. Namanya Alexa,” potong Ivander.

“Ya, maksudmu gadis berambut coklat kehitaman itu kan? Aku pikir Serigala Pasir tertarik pada pesonanya, dan pria itu berusaha melindunginya.” Dia berpikir sejenak, menyandarkan gagang pelnya ke meja. “Akupun tertarik padanya, hanya saja aku sudah tua...” Pak tua itu malah berceloteh tentang masa lalunya dan istrinya. Itu membuat darah Ivander sedikit meluap hingga ke ubun-ubun.

Ivander menghentikan celotehan tak berguna itu dengan tangannya. “Pak Tua, jadi dimana mereka?” ulang Ivander sekali lagi.

Di saat itu, Cazar berjalan pelan-pelan menjelajahi penjuru bar dengan pandangannya, sementara Mérdanté masih menunggu pembicaraan Ivander dan pak tua yang tak kunjung berakhir. Dia duduk di atas sebuah kursi kayu, sambil memandangi liontin kalung Bader. Tampak Mérdanté sudah lelah, tapi dirinya masih berharap ada keterangan lebih dari pak tua di hadapannya sekarang.

“Mereka lari keluar, termasuk para pengacau yang menyerang mereka. Yang perlu kalian ketahui, teman kalian sekarang pasti sudah berada dalam tahanan. Mereka bodoh, berpikiran pendek, ceroboh, menantang hukum Sladur...”

Tapi pak tua itu malah asyik bermain kata untuk menyatakan maksud yang sama dari kalimat awal. Dia terdengar begitu puas menyela, sebab sudah lama dia dan penginapannya berdiri di Sladur. Dia tahu persis apa itu Sladur, dan bagaimana keadaan sebenarnya dari Sladur.

“Sudah, Pak Tua. Terima kasih atas informasinya,” potong Ivander cepat. “Kami akan mencari teman kami itu, mungkin sampai ke tahanan,” canda Ivander mengalihkan pembicaraan tak menentu si tua penjaga bar itu.

Ivander berjalan pelan ke pintu.

“Terima kasih, Pak Tua!” timpal Mérdanté.

Pak tua itu hanya tersenyum kecil, hampir terlihat seperti sebuah kedutan. Dia kembali membersihkan lantai sambil menggerutu tanpa henti, sementara mereka bertiga telah meninggalkan penginapan itu.

Tiga orang itu berjalan keluar dari sana, dengan Cazar di urutan terbelakang. Mereka kembali dihadapkan pada sebuah lapangan besar. Pelataran utara Sladur tampak lengang. Sedikit orang yang masih berlalu-lalang di sini. Sebagian besar dari mereka justru berbondong-bondong datang ke pelataran timur. Mérdanté seperti menemukan hal bagus untuk ditanyakan pada seorang bocah ingusan yang berlari dengan batu.

Bocah itupun berhenti dan menghadap Mérdanté, tapi langkahnya tak ingin lama-lama diam.

“Ada apa di sana?”

“Wah, katanya putera orang jahat sudah diputuskan kepalanya. Aku mau ke sana untuk melihatnya,” ujar anak itu buru-buru. Dia pun meninggalkan wajah Mérdanté yang terhenyak.

Pikiran itu datang lagi, kali ini lebih kuat dan tapi Mérdanté buru-buru menepisnya.

Témpust bukan orang jahat itu.

“Apa yang dia bilang tadi, Mérdanté?” sela Cazar.

“Sesuatu yang perlu kita cari tahu di pelataran timur,” jawab Mérdanté lemah. Dia tak bisa menyembunyikan gusarnya dari pandangan Cazar.

“Ini pasti sesuatu yang besar, Cazar,” ujar Ivander.

“Besar dan penting,” imbuh Mérdanté.

Orang-orang terus mengalir ke arah timur. Saat itu, pikiran mereka menjurus pada hal yang sama, tanpa mereka sadari sepenuhnya.

“Semoga pikiranmu tak sama denganku,” tanggap Cazar.

Pelataran timur, di tengah sebuah alun-alun besar dengan kastil utama di dekatnya—penuh sesak dengan kata-kata makian. Nafas-nafas peluapan kebencian itu berhembus hingga ke telinga Mérdanté. Mereka menghalangi pandangan Mérdanté ke objek utama—yang diharap bukanlah kemenakannya. Mérdanté begitu ngotot ingin mengambil tempat terdepan. Dengan cekatan dia menerobos keriuhan manusia-manusia Sladur itu.

“Permisi, Tuan. Kami ingin melihatnya.” Mérdanté berusaha keras menerobos keramaian. Kedua lainnya mengikuti di belakang.

Penerobosan itu melelahkan. Orang-orang itu ngotot ingin bertahan pada posisinya. Bunyi batu-batu yang terlempar bersahutan terdengar.

Akhirnya sampai juga mereka pada sebuah pemandangan mengenaskan. Tepat di depan mata, berhadap-hadapan dengan sebuah kenyataan pahit. Jawaban yang salah tentang semua penepisan pikiran mereka.

Dan kemenakan Mérdanté telah tereksekusi.

Tusukan-tusukan pasak itu serasa menusuk kepalanya juga. Hati Mérdanté bergetar syok. Dia menyalahkan dirinya sendiri untuk keterlambatan ini. Tulisan berdarah di sebuah papan makin meyakinkannya. Mérdanté lekas berbalik dan pergi dari keramaian itu. Dia menutup wajahnya dengan sepotong tangan yang digunakan untuk menghalangi air matanya.

Cazar mengiba dalam-dalam pada sahabatnya itu. Dia mengikut Mérdanté keluar dari sana. Setidaknya sedikit air mata juga membuat matanya berkaca-kaca. Wajah terhenyak Ivander menunjukkan agaknya dia turut mengerti kebencian penduduk terhadap Témpust dari jumlah batu yang dilemparkan pada potongan tubuh tak berdaya itu. Bahkan anak kecil pun menghakimi Bader tanpa tahu apa-apa tentang kebenaran.

Ivander menyelinap keluar dari sana. Dia meninggalkan Bader yang sepi sendiri. Dan puluhan cacian itupun perlahan menghilang dari telinganya seraya Ivander menjauhi kerumunan itu. Dia bisa melihat Mérdanté terisak di pinggir alun-alun. Mendung kelabu itu masih menggantung di wajah Mérdanté. Dia sendiri tanpa Cazar, dia memang tak ingin ditemani. Hatinya ingin sepuasnya mencaci pemerintah tanpa gangguan berupa penghiburan semu.

Cazar paham sifat temannya itu.

Dia berjalan lambat-lambat ke segala arah. Dia mencari berbagai sudut pandang yang memungkinkannya melihat ke dalam tiap bangunan. Dia sedang mencari jalan masuk teraman ke dalam tempat terkhusus itu. Kastil batu yang berdekatan dengan sebuah penjara ketat.

Ivander tahu Mérdanté sedang tak ingin didekati oleh siapapun. Dia memilih untuk menghampiri Cazar tak jauh dari Mérdanté. “Lalu, setelah ini apa...” tanya Ivander.

“Alexa belum selamat, bukan?” Cazar melirik Ivander, kemudian Mérdanté. “Kita tahu para penduduk berkumpul di sini, hanya di sini. Itu berarti sesuatu belum terjadi pada Alexa. Sekarang aku kebingungan, bagaimana cara menembus kastil itu.”

Pernyataan Cazar itu menggantung karena Ivander pun tak tahu apa jawabannya. Mereka sibuk memperhatikan sekeliling sambil mencari celah kegelapan di saat malam tiba—kira-kira mereka bisa membayangkan keadaan di tempat ini saat malam tiba. Sepinya bangunan-bangunan ini belum menjamin mudahnya penerobosan di malam hari.

“Tahanan, Cazar. Jangan kastil. Kau hanya membuang-buang waktumu untuk menyusup ke dalam kastil,” ujar Mérdanté yang perlahan sudah bisa menguasai dirinya kembali.

“Kau tak ingin membalaskannya? Kemenakan laki-lakimu itu? Anak dari pimpinan kita?” tanya Cazar, sepotong demi sepotong.

“Untuk apa? Aku yakin ada sesuatu yang ada dalam diri Alexa. Dan jika ternyata dia adalah Sang Terpilih yang dijanjikan itu, maka bersyukurlah kita.” Mérdanté bangkit berdiri. “Kita akan jatuhkan Mayor Arbal, saat peperangan besar nanti.”

Perkataan Mérdanté mengejutkan Cazar. Dalam hatinya dia bertepuk tangan pada kearifan Mérdanté. Beberapa sisi manusiawi Cazar sesungguhnya sudah tak kuat lagi berjalan lebih jauh tanpa tujuan jelas. Mereka juga belum yakin pasti apakah Alexa aman, atau dia tengah bersama Mayor Arbal dan siksaannya. Cazar menepuk pundak teman besarnya itu. Mereka akan pergi, nyali mereka akan diuji, malam ini juga Alexa harus kembali.

0 comments:

Post a Comment