Sunday, 21 February 2010

A tale by Chris Nugroho

July, 18th 2004

Ting Tung!!

“Orang gila yang membunyikan bel pasti tak mengerti bagaimana rasanya bekerja seharian penuh.” Suara itu masih saja terdengar meski bantal telah menutupi kedua telingaku.

Cepatlah pergi wahai manusia pengganggu, datanglah nanti saja, saat matahari sudah bersinar. Akui sajalah aku tidak ada di sini, pergilah dari apartemenku ini segera…

Sebenarnya bukan apartemen, hanya tempat tinggal yang mirip rumah susun, namun lebih besar dari rumah susun biasanya—sedikit lebih besar, aku menyebutnya lebih besar hanya untuk membuatku terhibur. Mulai kuduga-duga bahwa orang di luar sana adalah induk semang yang akan menagih sewa mingguan. Lama berselang, orang itu berhenti menekan-nekan suara bising itu, mungkin dia sudah pergi. Keadaan yang mendadak sunyi membuatku lega. Aku mencoba memejamkan kedua mataku rapat-rapat.

Kalau dihitung-hitung, hanya kebodohankulah yang membuat uang sewa menunggak. Uang dari organisasi lebih dari cukup untuk membuatku menyewa apartemen kelas lima, atau rumah dengan jacuzzi dan kolam renang, hanya saja semua uang itu menguap entah kemana.

Tiga bulan lalu, aku terjerat pikat seorang wanita pirang yang amat cantik dan menggoda. Kami minum di bar, hingga aku kehilangan akal sehatku. Sepertinya saat itu hanya aku yang cukup mabuk untuk membawanya ke kamarku di apartemen. Aku masih ingat dia begitu segar bugar, malah aku baru menyadari sekarang, mungkin saat itu dia tak meminum minuman yang sama denganku. Alih-alih tidur denganku, dia justru membawa kabur semua barang-barang—tentunya bersama lembaran-lembaran kertas yang disebut uang.

Keadaan menjadi bertambah parah ketika aku menyadari saat aku mabuk, aku menyebutkan banyak sandi untuk membuka simpanan uangku di bank. Hasilnya bisa ditebak, aku didepak dari apartemen itu hingga terdampar di sini. Uang yang kukumpulkan selama delapan tahun bekerja, hanya tersisa 50.000 dollar, dari sumber itulah aku menghidupi diriku, hingga mendapat panggilan bertugas lagi. Waktu pemanggilan kembali juga tak tentu, bisa saja minggu depan, tahun depan, mungkin besok, atau bisa saja….sekarang?

Oh, Tuhan! Mungkin saja yang tadi itu adalah orang dari organisasi, betapa bodohnya aku!

Tubuhku tersentak bangun oleh guncangan hebat yang bergema di pikiranku. Tanganku menggerayangi tembok, mencari-cari tuas lampu untuk menyalakan penerangan di pukul tiga pagi ini. Lampu neon putih segera merambat cepat ke seluruh penjuru kamar. Aku mengenakan sandalku, kemudian berlari keluar hanya dengan celana jeans yang menempel di kakiku.
Dari lorong kanan dan kiri, tak ada tanda-tanda keberadaan sang manusia pengganggu itu. Pandanganku menghinggapi lantai, hingga aku menemukan sepucuk surat di dekat kakiku, di depan pintu masuk kamarku. Surat itu terbungkus amplop putih bersih, dengan perekat dari stiker berbentuk sayap merpati.

Perlahan, aku kembali masuk dan menutup pintuku rapat-rapat, kemudian menguncinya. Kulepas perekat itu, kuraih secarik kertas yang terlipat rapih di dalamnya.

“DATANGLAH HARI INI”

Kata-kata itu tertulis pada secarik kertas besar yang terlipat—betapa ini sangat pantas untuk disebut pemborosan. Flavio Rosetti, seorang Italia yang tak suka bila kepalanya mulai ditumbuhi rambut, dia adalah pimpinan utama kami, dialah yang mengundangku datang kembali.

“Hei, lihatlah, sesuatu dari Tuan-Botak-Yang-Baik,” senyumku terkembang. “Untung kau mengerti situasiku sekarang,” bisikku lega. “Tuhan memang adil.”

Tanganku menggenggam kertas itu keras-keras hingga kumal. Perasaan lega yang bercampur dengan hati yang berdebar-debar, beradu dengan rasa lelah yang amat sangat. Aku menabrakkan tubuhku ke atas ranjang empuk ini. Kertas itu terlepas begitu saja dari genggamanku.

Saat itu mungkin aku sudah tertidur lelap, amat lelap.

………

Pagi hari ini, aku telah menyambangi stasiun kereta api terdekat. Kukenakan selembar baju Polo putih berkerah, dan jeans biru yang agak kusam. Rambut panjang berwarna hitam kecokelatanku kuikat ke belakang. Panas sekali rasanya. Musim panas ini memang membuat beberapa hariku hanya dipenuhi keringat. Tapi lihatlah sisi baiknya, matahari tampak sangat bulat dan cerah. Aku tak akan bisa menemukan lingkaran itu bersinar seindah sekarang di musim-musim lain.

Aku tinggal di Birmingham. Kota yang datar tanpa gejolak, karena itu tak banyak yang kusukai dari kota ini, hanya beberapa hal kecil membuatku betah di dalamnya. Sekali lagi dalam perjalananku, aku bertemu dengan seorang gadis berambut hitam, sama sekali bukan orang Inggris—kurasa begitu. Dia berjalan menjinjing tas hitam, seperti sebuah laptop. Dia seperti anak sekolah, tapi karena tahun ajaran baru dimulai besok, dia tak mengenakan seragamnya. Untuk sesaat, aku merasa nyaman sekali melihat wajahnya. Seandainya saja aku bisa mengenal gadis itu, bahkan namanya saja tak kuketahui. Itu juga kualami lima hari lalu, saat aku bertemu dengannya di kafe sudut jalan utara. Sialnya, aku terganjal oleh kedatangan teman-temannya di saat aku mantap untuk mengajaknya berkenalan. Dengan adanya gadis itu, Birmingham terasa sangat sempit.

Kini aku berkata pada diriku sendiri, “Ivander, cobalah untuk lebih fokus pada masalah.”
Ruang tunggu yang dingin ini masih belum terlalu penuh. Aku melihat kanan dan kiri, berharap ada orang dari organisasi yang mengikutiku—ternyata memang tak ada. Tadinya aku ingin bertanya ada masalah apa ini, tapi sudahlah…semua akan dijelaskan pria Italia plontos itu di markas. Di tengah-tengah pikiran itu, tenggorokanku meradang kering. Mungkin sekaleng soda akan cukup menyegarkan bagiku. Ada satu mesin penjual minuman, di ujung sana, jauh di sebelah kananku. Kudekati, lalu kupandangi kaleng-kaleng dibalik kacanya. Entah berapa lama lagi aku akan menetapkan pilihan.

“Permisi, jika boleh saya duluan?” tanya seorang wanita di belakangku.

Betapa tercengangnya aku melihat gadis itu berdiri di belakangku. Dia masih menjinjing tas hitam yang sama. Kulihat tangan kanannya memegang beberapa keping uang logam.

“Permisi…aku tak bisa memilih jika kau terus di depan mesin ini…” katanya dengan senyum halus.

Aku dibuatnya tersadar dari keterkejutanku. Dengan jantungku yang berdetak cepat, aku menyingkir sedikit ke kanan. Kuperhatikan wajah manisnya saat menekan tombol pada mesin itu. Aku segera tersadar, kalau dia tengah memperhatikan bola mata biruku dengan heran, ada pertanyaan yang hendak dia lontarkan.

“Maaf, Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Ehmm…aku rasa belum pernah,” jawabku bingung.

“Kalau begitu, kenapa…”

“Jika sudah, bolehkah aku membeli minuman? Aku juga tak bisa memilih jika kau terus di sini.,” kataku memotong pertanyaannya.

“Oh, maaf. Silahkan…” katanya. Dia berjalan meninggalkanku bersama mesin penjual soda. Dia datang dan berlalu, seakan dunia tak peduli padanya.

Matanya yang berwarna cokelat itu, membuatku berpikir bahwa dia keturunan asia, mungkin dengan orang Inggris asli. Gadis ini mengenakan kaus yang bermodel sama denganku, begitu pula warnanya. Benar-benar kebetulan yang menyenangkan.

Tuhan, kapan aku bisa mendapatkan gadis sesempurna itu? Tak henti-hentinya kupandangi gadis itu, hingga dia menghilang menuju koridor lain dari stasiun ini. pikiranku langsung dipenuhi kata-kata sesal, mengapa tadi aku tak menanyakan namanya saja?

Dalam waktu yang lama sekali, aku menunggu keretaku. Mungkin akan terlambat. Kuputuskan untuk meninggalkan stasiun, menuju bandara, kemudian memesan tiket untuk penerbangan terawal ke Rumania. Sepertinya aku memang ditakdirkan untuk menaiki pesawat, sebab pesawat memang akan berangkat empat puluh menit lagi. Sepanjang perjalanan aku merenung, untuk alasan apa dia memanggilku?

………

Awan-awan memantulkan cahaya cerah dari matahari, hingga akhirnya pesawat menapaki jalur penerbangan Bucharest, Bandara Internasional Henri Coanda. Tak ada yang menyambut kedatanganku. Ya, kudengar ada salah satu harian Rumania yang mulai mengendus organisasiku. Kami tak bisa berbuat apa-apa untuk menutup mulut mereka. Muncul untuk mendiamkan mereka sama saja membukakan pintu bagi mereka.

Itu terjadi padaku sekarang, mereka mengikutiku bak wisatawan, seorang laki-laki dan lainnya perempuan. Gelagatnya sungguh mencurigakan.

Aku mencoba membaur di antara kerumunan orang, itupun belum cukup untuk mengecoh mereka. Kebetulan, ada event pembukaan perdana sebuah toko cokelat, banyak orang berjubel di sana. Toko bergaya Belanda itu dipenuhi antrian manusia-manusia penggila cokelat. Kesempatan bagus bagiku untuk menyelinap di antara mereka, mencari celah untuk meninggalkan dua wartawan sinting itu.

Tepat dugaanku, mereka kutinggalkan kebingungan. Nyaris saja…

Kudengar Deven menceritakan dirinya saat dibuntuti, tapi dia dengan sigap kabur ke atap-atap gedung, hilanglah jejaknya. Paman Hayden juga pernah memergoki seorang wartawan coba mengobrak-abrik isi tasnya di dalam kamar hotel. Wartawan itu nekad menyamar menjadi roomboy demi melakukan hal itu, alhasil wartawan nahas itu digiring ke kantor polisi setelahnya. Lalu apa lagi? Aku jadi ingin tahu dari media mana mereka.

………

Perusahaan jasa asuransi, samaran yang baik untuk menipu mata siapapun juga. Berkas-berkas kertas, telepon-telepon berdering, sekelompok orang berdasi, dan konsumen yang datang, meja-meja kayu dengan kopi di atasnya—sepintas ini memang sebuah kantor nyata. Namun lihatlah pada ruang kebersihan, ada panel rahasia di balik tumpukan sapu, kain pel, dan ember. Aku menarik tuas tersebut, hingga sebuah ruangan kecil terbuka. Inilah elevator menuju bawah tanah. Satu di antara sepuluh elevator rahasia lainnya.

“Kata kunci anda?” tanya suara mesin yang menjaga keamanan pintu nomor tujuh yang akan kugunakan. Sekeluarnya dari lift, aku menemukan adanya lorong yang berujung pintu besi kokoh. Tanpa gagang, tanpa tombol, hanya pintu besi datar.

“Oh, baiklah…” gerutuku agak malas. Aku berpikir beberapa menit sebelum mengucapkannya, “Kau tahu Enrico tidak tidur dengan memakai celana dalam?”

“Kata kunci diterima. Selamat datang Ivander Graham…”

Terdengar derit-derit perputaran puluhan kunci baja tebal ini. Banyak dan rumit. Kata kunci sesama anggota pun berbeda, dan sungguh pribadi. Dengan perbedaan itu, komputer induk bisa mendata siapa saja yang masuk ke dalam markas. Itulah letak kecanggihan komputer induk, LAZARUS.

Pintu itu membawaku pada koridor futuristik dengan lantai bak kaca bening dengan percabangan di ujungnya. Lampu-lampu neon putih menerangi seluruh koridor. Langit-langit tampak begitu dekat, walau sesungguhnya masih cukup tinggi untuk digapai. Ada perasaan sugestif yang membuat aku merasa tertekan setiap kali berjalan di koridor ini. Mungkin itu dikarenakan koridor ini berada di dalam tanah.

Puluhan orang hilir-mudik dengan berkas kerja di tangannya. Rupanya seperti pegawai-pegawai kantoran umumnya. Bedanya, mereka mengenakan pin di kerah bajunya. Pin itu berwarna kuning dan hitam dengan salib merah di tengahnya. Itu adalah lambang Alpha Operation sejak pertama kali berganti nama Kebetulan sebuah tren sedang terjadi saat ini. Para staff cenderung bekerja giat pada jam-jam pertama hari kerja mereka. Itu membuat mereka berjalan menunduk atau mengabaikan hal-hal penting seperti menyapa sesama. Sebab lihatlah mereka, para staff ini, mereka sama sekali tak menyapaku sejak tadi. Walaupun aku sadari, memangnya siapa yang tak kenal Ivander di sini? tapi tetap saja terabaikan itu menyebalkan.

“Lama tak bertemu, Ivander Graham? Bagaimana kabar anda?” sapa mesin super-pintar itu.
Kebetulan sekali, itu menjadi sapaan pertamaku pagi ini. Tentunya setelah induk semangku, gadis di stasiun, penjual tiket kereta api, petugas tiket pesawat, dan pramugari. Mungkin pilotnya terlupakan.

“Baik sekali, LAZARUS. Senang bisa mendengar suaramu lagi. Apakah Flavio ada di ruangannya?”

“Saya ingat Tuan Flavio sedang dalam perjalanan pulang dari pekerjaannya di Polandia. Beliau berpesan supaya anda menunggu di ruang kerjanya. Mungkin satu jam lagi.”

“Terima kasih. Aku menuju ke sana.”

Ruangan Flavio terlebih aman dan nyaman dari keseluruhan markas. Antara markas utama dan ruangan Flavio dipisahkan dengan satu-satunya lorong kaca. Otomatis siapapun hanya bisa melalui satu jalan untuk menuju ke sana. Aku suka sekali memperhatikan lelehan magma kejinggaan yang terpancar dari luar kaca, walaupun aku tahu itu hanya imitasi, ilusi hologram. Daripada menunggu di dalam, aku lebih suka menyandarkan kedua tanganku di atas pegangan besi dan memperhatikan lava itu turun ke bawah perlahan-lahan.

Banyak sekali mata LAZARUS yang mengawasi pergerakanku, apalagi di tempat ini. Matanya berbentuk mirip dengan kamera ponsel, menempel di langit-langit lorong dan ruangan. Aku juga tahu kalau LAZARUS bisa mengikuti detak jantung, panas tubuh, gelombang sinyal, dan banyak hal lainnya yang membuatnya makin mirip dengan dewa di dalam markas.

Kejeniusan seorang Enrico telah melahirkan mahakarya sempurna itu. Hanya saja, Enrico tak pernah mengatakan apa makna nama LAZARUS.. Aku hanya tahu, Lazarus adalah seseorang yang pernah dibangkitkan kembali dari kematian. Bila diingat-ingat pun, aku tak pernah melihat deretan kata yang bila huruf depannya dieja akan menjadi L.A.Z.A.R.U.S. meskipun masih di dalam lingkungan markas.

Lama-lama lava ini mulai membosankan.

Aku memilih untuk masuk ke dalam ruangan klasik milik Flavio. Berjejer rapi di dalam empat rak tingggi bertingkat empat, buku-buku tebal berbobot berat dalam judul dari berbagai bahasa. Betapa tidak, Flavio fasih menguasai enam bahasa—Inggris, Jerman, Mandarin, Italia yang merupakan kampung halamannnya, Portugis, dan terakhir Perancis. Terkadang Enrico meledeknya sebagai ‘Kamus Berjalan’. Aku tak tahu apakah Flavio Rosetti bisa tersinggung atau tidak, tampaknya dia tak pernah marah bila disebut seperti itu.

Meja kayu antik milik Flavio terlihat begitu mulus, walau sudah lama berdiri di situ. Karpet cokelat muda mengalasi lantai. Juga bagaimana lampu kristal nuansa klasik yang menggantung di langit-langit ruangan segienam ini. Antik dan mewah.

Aku sendiri duduk di atas sofa tamu. Dengan suasana yang sangat hening ini, aku heran mengapa Flavio jarang tertidur di sini. Waktu baru berjalan beberapa menit di dalam, mataku sudah berat, mungkin waktu tidurku kurang, mungkin juga karena ruangan ini benar-benar nyaman. Sofa ini menjadi alas yang empuk untukku tidur, sempurna…

………

“Bangun, bangun, kau sudah sampai di surga…”

Suara berbayang itu mengikuti mimpiku, hingga aku benar-benar sadar kalau yang kualami tadi adalah mimpi. Kukira aku sudah mati, ternyata Flavio Rosetti sudah berdiri di dekatku.

“Pimpinan, maaf aku tertidur di ruangan anda,” kataku terbata-bata, menutupi kesan buruk di hari baru.

“Tak apa, Ivan. Menungguku pasti merupakan pekerjaan yang membosankan bagimu. Tak heran kau tertidur,” balas Flavio tersenyum. Senyum memaklumi diriku.

Flavio Rosetti adalah orang Italia yang berkharisma. Cara dia berjalan tak pernah salah, begitupun dengan hal-hal kecil yang dia perbuat. Melihatnya bergerak seperti menonton prosedur untuk menjadi seorang bangsawan di dalam sebuah video. Mungkin butuh jutaan tahun bagiku untuk meniru kebiasaan dan gaya seorang Flavio.

Tangan kanannya mengisyaratkan agar aku duduk di depan mejanya. Sebuah kursi kayu beralas bantalan merah marun bersandarkan kayu melengkung.

“Semua kehidupanmu pasti banyak berubah setelah masa istirahat itu, Ivan?”

Melesatlah ingatan buruk mengenai kejadian bodoh yang kualami di bar itu. Aku tak berniat sama sekali untuk membeberkannya pada Flavio, apalagi hal ini berkaitan erat dengan reputasiku di hadapannya. Gelisah itu menghambatku untuk menunjukkan wajah sealami mungkin. Lalu dia tertawa agak keras, seakan menemukan hal baru yang begitu menggelitik. Nah, kurasa dia tahu apa yang kusembunyikan.

“Aku tahu Ivan. Itu biasa untuk anak muda sepertimu,” tawanya ringan.

“Jangan menebak-nebak,” senyumku menutupi.

“Sesuatu yang membuat uangmu amblas, tapi aku tak tahu apa itu.. Kau tak perlu menceritakannya padaku, sebab bukan untuk alasan itu kau di sini.”

Aku terbatuk kecil, aku mulai panik kalau-kalau dia tahu apa yang kusembunyikan. “Lalu, ada masalah apa?”

“Sebentar,” ujarnya. Flavio menunduk sedikit untuk merogoh-rogoh sebuah panel berisi tombol-tombol di bawah lacinya. Dia menekan berbagai kombinasi angka sebelum laci itu dapat terbuka. Dari situ, dia mengambil sebuah kunci besar bermata panjang. “Mari, ikut aku.”

Dia membimbing langkahku ke tempat yang belum pernah kudatangi sebelumnya. Kami menuruni sebuah tangga yang ada di balik rak buku nomor empat searah jarum jam.
Tak jauh di ujung koridor sudah menanti pintu besi yang tampak begitu tebal dan keras. Flavio menunjukkan bola matanya pada sensor infra merah di pinggir pintu. Kemudian dia tunjukkan sidik jarinya pada layar hitam di bawahnya. Dia masih harus memasukkan kunci besarnya untuk membuka pintu.

Kami sampai di depan sebuah pintu, kurasa penyimpanan batu Oriel. Hanya pintu kayu, melengkung di atasnya, dengan pelat baja hitam persegi di gagang. Ruangan ini adalah ruangan tertua dari markas kami. Sejak pertama kali Enrico masuk ke dalam organisasi, ruangan ini dijadikan tempat menyimpan batu Oriel yang dia bawa.

“Kau mau bilang bahwa batu itu hilang dicuri?”

“Sesuatu yang bahkan membuatmu lebih terkejut.”

Pintu terbuka, menggiring rasa penasaranku untuk mengetahui ada apa di baliknya. Perlahan, aku mulai menyadari apa maksud dari Flavio. Seberkas cahaya kebiruan merambat keluar dari pintu yang dia buka, cahaya biru amat terang yang mulai menggerayangi sepatuku. Aku bisa melihat cahaya itu memenuhi seluruh ruangan, cahaya biru yang memutar bagai lampu sorot.

“Akhirnya kau mengerti, Ivan. Sesuatu yang akan membuatmu terkejut. Batu ini mulai bergerak,” celetuk Flavio di tengah lamunanku. “Ya, walaupun batu ini hanya sesekali bersinar, tapi kebetulan kedatanganmu sedang tepat. Setelah ini, bisa saja dia redup, atau justru bertambah terang.”

“Kau sudah memberitahu Enrico soal ini? Dia harus tahu, ini penting,” timpalku terburu-buru.

“Kami sudah mengontak Deven untuk memanggil Enrico kembali. Aku berharap dia mau menemani kita seperti dulu…” jelas Flavio penuh harapan.

“Maksudmu dia akan kembali dari masa pensiunnya?” tanyaku bersemangat.

“Sementara menunggu kepastian itu, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku. Hari ini juga, Ivan.”

“Katakan, aku akan melakukannya.”

Kami menyingkir dari blok ini, menuju ruang Flavio kembali. Sedari tadi aku memperhatikan wajahnya yang berekspresi. Flavio mencari-cari sesuatu dari dalam pikirannya, sepertinya dia kebingungan merangkai kata. Pikiranku mulai dirasuki rasa curiga, sepertinya misi baru yang berat. Flavio masih memegang batu itu di tangannya, walau kini batu itu tak lagi bersinar seperti tadi. Dia menyodorkan batu Oriel padaku.

“Berikan ini pada Témpust, pimpinan pejuang kebebasan di Mithrillia. Dia tahu apa yang harus dilakukan.”

“Apa?! Mithrillia? Apa kau sudah kehilangan kewarasanmu? Bahkan sejak sepuluh tahun lalu, Enrico mengatakan kalau kondisi di sana tidak lagi kondusif untuk perpindahan dengan portal! Ingatlah apa yang sudah terjadi pada Rocky Guererro!”

Putra dari paman Hayden itu, sedang menjalankan misi dari Flavio. Waktu itu misi berlangsung tanpa Enrico. Kematian Rocky dianggap merupakan buah dari kecerobohan Flavio. Padahal Enrico sudah memperingatkan akan adanya gejala aneh, dua dimensi sedang tidak stabil.

“Tenanglah, jiwa mudamu membuat dirimu cepat kehilangan kendali. Akan ada Supernative skala kecil di Detroit, Amerika Serikat. Pergilah ke sana dengan pesawat, usahakan tiba di lokasi sebelum waktu penghitungan mundur habis.”

“Tanpa Enrico, kurasa aku tak akan bisa.”

“Aku tahu kekhawatiranmu, Ivan. Kita belum pernah sekalipun memasuki Mithrillia sejak Enrico mundur. Tapi kita tak akan mengalami kemajuan kalau tetap seperti ini. Dalam waktu istirahatmu itu, sebenarnya kami terus melacak kemungkinan adanya Supernative, dan sekaranglah waktunya, entah kapan Supernative itu akan muncul lagi, yang jelas jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan ini.”

“Témpust, aku bahkan belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Dimana aku harus menemukan satu orang di tengah-tengah dunia yang amat asing bagiku?”

“Kau akan pergi ke sebuah kota, Goat Hill. Tak akan ada manusia Mithrillia yang mau mengantarkanmu ke sana. Kota itu dikutuk oleh penduduk..”

“Sepertinya kau menumpukan beban ke orang yang salah. Bagaimana aku bisa, sedangkan ke sana sekalipun aku belum pernah.”

“Jika ada keraguan dalam dirimu, maka kau akan benar-benar tersesat di sana. Yakinlah, maka kau akan mendapati dirimu berdiri di hadapan Témpust yang tersohor itu.”

Kata-kata itu membuatku agak terbantu. Setidaknya beban yang kutanggung, tidak lagi terasa seberat tadi. Aku memandangi batu biru menawan ini, sambil memikirkan jalan-jalan yang akan kulalui nantinya.

“Akan kulakukan jika kayakinanmu begitu tinggi padaku. Lalu, kapan ini dimulai?” tanyaku dengan yakin. Rasa pesimis itu perlahan tergeser oleh optimisme yang muncul.

“Sekarang juga kemasi perlengkapanmu. Bawa serta batu Oriel, jagalah baik-baik. Badai itu akan terjadi pukul setengah sebelas malam.” Flavio melirik jam tangannya. “Kau punya waktu kurang dari sepuluh jam, dimulai dari sekarang.”

………

Kulihat di langit awan begitu indah menggumpal.

Jauh di luar Detroit, landasan udara Alpha Operation terbentang begitu luas. Kurasakan dari dalam pesawat mulai berputar di angkasa, lalu menukik turun. Di jendela, pemandangan bergerak sangat cepat. Akhirnya bisa kuhirup nafas koboi di sini.

Waktu terus berputar, menyisakan delapan jam lagi untukku. Roda-roda hitam besar dari sebuah mobil SUV melesat membelah gersangnya jalanan. Matahari muda memantul di jendela, sekitar pukul delapan bagi penduduk sekitar. Sedikit jetlag membuat kepalaku agak berat.

Pabrik Garment? Tidak adakah tempat yang lebih aneh daripada di sini?

Aku bawa alat pemindai gerakan dimensi dengan bunyi ‘beep’ yang tak berubah dari semula. Bahkan dengan keadaan itu, aku pikir badai itu tak akan mungkin terjadi. Aku terus berjalan, kulihat papan jalan hijau bertuliskan Cloverdale Street, kulalui jalan itu sampai kutiba di Elmhurst Avenue. Sebuah taman kecil, aku duduk di sana, lalu kubiarkan tubuhku diterpa hawa ketidakpastian di sini.

Oh, tidak…

Yeah, aku sungguh kecewa, sebab paman Hayden menghubungiku lagi. Katanya badai itu tak akan datang pukul empat nanti. Bermenit-menit lamanya aku termenung di sini. Kemudian pergi menjelajahi seisi kota, memasuki beberapa toko, tanpa membeli apapun dari sana. Hayden menjadikanku pria bodoh yang berputar-putar dengan membawa bungkusan besar. Hingga kebetulan, penjaga kios koran menawariku bacaan menarik.

“Sudah siang hari, meskipun sudah agak basi, maukah anda membeli koran?”

Aku melongok, mataku menjelajah headlines setiap harian berbeda.

“Kurasa…satu berita dari kota kita ini. Kemarin, mayat seorang ibu beserta satu anak kisaran tujuh tahun, ditemukan sudah agak membusuk di rumahnya. Kau tahu mereka kenapa?” tanya penjaja koran menakut-nakutiku. “Mereka diserang, diserang oleh hantu!”

“Hantu?!”

“Hahahaha! Bukan, jangan terlalu mudah tertipu cerita. Walaupun ibu itu senang sekali membual tentang makhluk-makhluk aneh di sekelilingnya, toh tetap tak ada yang percaya. Akhirnya mungkin dia mati karena terlalu sering berbohong.”

“Bunuh diri? Ibu dengan anaknya itu?”

“Bukan. Si anak dibunuh ibunya, lalu si ibu bunuh diri. Itulah realita yang harus diterima. Makin banyak orang gila, makin banyak harimau yang tega memakan anaknya.”

“Rantai pembunuhan yang rumit. Kejadian itu terjadi kemarin?”

“Bayar dulu seharga koran ini. Bacalah sesukamu, kau tak lihat lidahku kering karena mengoceh,” jawab si penjaja koran sambil menelan ludah.

Lima puluh sen, harga untuk sebuah harian yang membahas ibu aneh. Aku membacanya satu demi satu kata. Disebutkan bahwa jenazah sudah dibawa ke rumah sakit terdekat untuk diotopsi, berikut juga disebutkan alamat rumah mereka. Aku merasa perlu untuk menyelidiki ini semua, paling tidak tujuh puluh persen kemungkinan ibu itu adalah satu kasus dari banyak pengidap Judas Eyes Sickness.

………

Aku berlalu dari tempat itu. Hingga aku sampai di rumah kosong ini. Mobil Cadillac tua teronggok di halamannya. Garis kuning polisi malang melintang di sekeliling pagar, tapi apa kekuatan benda itu padaku?

Pintu rumah tak dikunci. Hanya ada sedikit cahaya merambat dari balik singkapan tirai yang tak tertutup seluruhnya. Suram. Di antara debu-debu yang beterbangan, tercium samar-samar bau darah. Kehadiran mereka bisa kurasakan. Walaupun aku tak dijangkiti Judas Eyes Sickness, tapi aku tetap bisa melihat ‘mereka’ bahkan lebih jelas dari para penderita. Enrico katakan itu adalah bakat.

Atas dasar itulah aku dapat melihat sisa-sisa penderitaan di sini. Keadaan tenang di sekitarnya tidak menjamin apa yang ada di dalam rumah ini. Tanda-tanda di sini menunjukkan bahwa satu Guardian pernah masuk ke dalamnya. Hingga aku sampai di kamar tempat kejadian pembunuhan, tanda itu masih bersisa. Ini adalah permainan licik Guardian, bukan seperti bagaimana harian itu ungkapkan.

“Mencari sesuatu? Bagaimana kalau kami tahan anda karena telah melewati garis polisi?” tanya seseorang di belakangku, dia bersama seorang lagi rekannya.

“Ah, benarkah? Sayangnya, aku punya kabar buruk untuk anda,” kataku. Kuperlihatkan id-card pada mereka.

“Oh, maaf kami telah menganggu pekerjaan anda, Tuan Ivander. Ada yang bisa kami bantu untuk mendukung anda?”

“Kurasa ada. Ehmm…tolong katakan pada pihak kepolisian, suruh mereka mencari informasi tentang suami dari wanita yang meninggal di sini. Setelah itu, buat agar suaminya mau mengontak nomor ini,” kataku, aku menyerahkan kertas putih berisi nomor dan nama perusahaan asuransi, samaran markas kami.

Polisi yang lebih gempal agak bingung. “Jadi, anda ini sebenarnya bekerja di asuransi ini, atau agen rahasia tadi?”

“Itu yang harus kau katakan pada suaminya. Katakan padanya kami harap dia mau membantu memberikan penjelasan. Tentunya kalian usahakan kami mendapatkan nomornya dahulu, agar mungkin kami bisa mengontaknya secara sepihak. Dan soal asuransi itu, jangan tanyakan apa-apa padaku, itu di luar wewenangku untuk menjelaskannya padamu.”

“Lalu, adakah temuanmu di sini, Tuan Ivander?”

“Sebenarnya ada, tapi aku dilarang membeberkannya pada kalian. Untuk sementara, anggap saja bila dia benar-benar bunuh diri…”

Dari lubang pintu yang menganga, merambati masuk di atas rerumputan halaman depan, dan menjajaki langkahku ke ruangan ini, ada suatu hal yang berbahaya. Aku mendadak diam, ada sesuatu terdengar. Hembusan angin memberitahuku kalau bahaya mendekat. Kedua polisi ini bingung, agaknya mereka juga sedikit heran.

“Kalian berdua, lebih baik pergi dari sini. Kejadian setelah ini adalah tanggung-jawabku,” lanjutku agak panik.

“Maksudmu? Kau serius?”

“Aku serius! Sekarang pergilah, jauh dari sini dan jangan pernah melihat ke rumah ini hingga esok hari!” bentakku. “Ingat, jangan sekalipun melihatnya!”

Kedua polisi itu berlalu. Suara kepakan sayap yang terdengar amat lebar dan bertenaga, juga suara bengis yang terlontar dari nafasnya, aku tahu dia bukanlah manusia. Kusingkap kain putih yang membungkus pedangku. Obelisk, pedang sepanjang 70 senti, dengan kedua sisi tajam, dan permukaan berlapis perak. Di permukaannya tertulis huruf-huruf kuno Mithrillia.

Kekuatanmu adalah Kekuatanku, Ketegasanmu adalah Ketegasanku, dan Kebijaksanaanmu adalah Kebijaksanaanku juga.

Terjawab sudah seperti apa Guardian itu. Dia adalah naga, dengan tatapan tajam dari bola mata keemasannya. Tubuhnya hitam dan tampak keras, sayapnya begitu lebar. Nafasnya terasa panas saat menyembur ke wajahku.

“Manusia Maya, kau juga bisa melihatku? Siapakah namamu wahai manusia?” tanya naga itu dengan suaranya yang serak dan dalam.

“Kau cukup memanggilku dengan nama Ivander. Ngomong-ngomong, lihat wanita yang tergantung di sana kemarin?” kataku sambil menunjuk kamar itu dengan tangan kiri, tangan kananku memegang gagang pedang yang tertumpu di bahuku.

“Terkadang manusia menyebalkan, Ivan. Aku tak ingin ada manusia yang melihat keberadaanku di Maya. Maka matilah mereka, sama seperti kau yang akan menyusul!”

Dari mulutnya menggumpal bara api menyala-nyala, kurasakan bahaya mulai mendekat. Benar saja, tepat saat aku coba menghindar, saat itu pula kobaran api dahsyat melontar dari mulut bertaring tajamnya.

Hebatnya api itu sama sekali tak merusak satu senti pun bagian rumah ini. Dia hanya berniat membakarku, dan kehadirannya tak akan berpengaruh pada rumah ini. Sekali kuhadang laju kobaran itu dengan pedangku, gagangku langsung terambati hawa meletup yang amat sangat.
Setelah tak berhasil melukaiku, dia terbang menembus langit-langit rumah. Dari langit, dia melontarkan belasan bola-bola api ke bawah. Serangan yang hanya berakhir dengan kesia-siaan.
Mendadak dia melontarkan tubuhnya ke bawah, kemudian dia menyergap bajuku dengan giginya. Aku dibawanya terbang rendah, untuk kemudian dilemparkan menembus rumah tadi.

“Manusia tangguh…kau lebih dari sekedar sampah seperti yang kuperkirakan,” katanya memuji.

“Terima kasih, tapi aku tak butuh kata-katamu itu. Kupikir saatnya untuk mengakhiri ini sudah datang.”

………

Jam lima lebih dua puluh menit, pedangku sudah menancap ke dalam kepala sang naga, menembus tengkoraknya yang amat keras. Darahnya mengucur melalui dahi dan rahangnya. Naga itu tergolek tak bernyawa di sampingku, di antara sinar matahari senja yang hampir terbenam.

Pedang kucabut, kubungkus kembali dalam balutan kain putih, terkunci rapat dengan tali seperti ikat pinggang yang kubopong di pundakku. Aku berjalan meninggalkan naga yang makin tergerus oleh angin, hingga tubuhnya hilang menjadi serbuk-serbuk debu. Waktunya menghubungi paman Hayden.

Kukira ada perkembangan yang baik, nyatanya tidak sama sekali. Aku sudah menebaknya sejak tadi, tak ada perubahan apapun dari gelombang itu, dan lagi-lagi dia belum memberiku ijin untung pulang.

“Lagipula aku ingin memberi tahu sesuatu,” ujarku.

“Apa itu? Adakah yang berbahaya di sana?”

“Sepertinya bukan hanya di sini, Paman. Seluruh dunia juga mengalaminya. Aku menemukan satu penderita penyakit itu di sini, oh tidak, mungkin dua.”

“Kau serius? Bisakah kau bawa mereka pada organisasi?”

“Entahlah. Keduanya sudah mati. Lagipula kau pasti akan terkejut mendengar apa yang kutemukan,” kataku membuat paman Hayden penasaran. “Dua orang yang meninggal terbunuh Guardian itu, adalah sepasang ibu dan anak. Kau tahu apa artinya ini?”

“Penyakit itu menurun pada anaknya? Kau mau bilang itu?”

“Itu masih merupakan satu dari dua kemungkinan. Masih ada kemungkinan kalau si anak sedang bersama si ibu saat radiasi terjadi. Karena itu, aku meminta polisi setempat untuk mencari tahu dimana posisi suaminya, pasti dia tahu sesuatu tentang penyakit istrinya. Aku sudah memberikan nomor telepon perusahaan asuransi kita pada polisi. Jika nanti suaminya menelepon, tanyakan padanya apakah istrinya sudah seperti itu sejak si anak belum lahir, atau sesudahnya.”

“Karena Guardian tak akan melukai orang yang tak melihat dirinya, benar begitu bukan?” gumam paman Hayden.

“Setidaknya itulah fakta hingga hari ini,”

“Aku paham maksudmu, Ivander. Jika sejak si anak belum lahir, dia sudah mengidap penyakit itu, berarti Judas Eyes Sickness adalah penyakit keturunan. Aku akan menghubungi pihak yang berwenang di Amerika Serikat untuk membantu kita. Siapa nama wanita itu?”

“Namanya Barbara Taylor. Bila itu kemungkinan adalah nama samaran media cetak, katakan saja kalau dia adalah wanita yang menjadi headlines di Detroit Daily News hari ini.”

“Informasimu sangat membantu, akan kuusahakan secepat mungkin.”

Aku memutuskan untuk menunggu di sebuah rumah makan Cina, Rikshaw House. Wewangian hio yang dibakar membuatku merasa rileks sejenak. Aku tak tahu ada apa denganku, tiba-tiba saja aku kembali teringat akan gadis tadi pagi. Dari wajahnya mungkin dia memiliki keturunan Cina, apakah suatu kebetulan jika aku mampir di rumah makan Cina, dan memikirkan dia pula? Rasanya belakangan aku jadi terlalu sensitif dan rajin memikirkan hal yang tak berguna.
Mungkin aku terduduk di sana cukup lama, sekarang sudah pukul sembilan. Sudah dua kendi arak Cina yang kuhabiskan. Semua orang dalam rumah makan ini juga sudah mulai membereskan ruangan.

Aku keluar dari sana, dengan tujuan yang absurd. Pandanganku kabur, rasanya perutku mulai mual. Aku tersentak kaget oleh bunyi beep! Panggilan pulang atau mulai bertugas, rasanya aku lebih ingin pulang.

“Ivander! Cepatlah! Portal itu akan terbuka lima menit lagi!” seru paman Hayden. Sontak suara itu membuat keterkejutan luar biasa.

“Baik, baik, Paman!” jawabku tergagap-gagap. Aku sendiri bisa mencium aroma arak yang berhamburan keluar dari mulutku. Keadaan yang benar-benar payah.

Aku segera berlari dalam kondisi tak mengenakan ini. Sial, pabrik itu cukup jauh dari sini. Aku tak tahu apakah mungkin bagiku untuk mencapai tempat itu dalam waktu lima menit saja. Baru sekarang aku menyesal telah membuang kesadaranku dengan minuman itu.

Sialan.

Beberapa saat aku berlari, aku baru sadar ada seseorang yang membuntutiku. Suara langkah kakinya hampir seirama denganku, manusiakah dia, atau salah satu Guardian? Sesaat aku berhenti dan membalik badanku, sekelebat bayangan menyembunyikan dirinya di balik gedung, ternyata manusia. Pikiran terburu-buru membuatku mengabaikannya. Aku harus mencapai target waktu lima menit, atau entah berapa bulan lagi aku harus menunggu badai itu terjadi lagi. Aku kembali berlari sekencang mungkin, suara langkah orang itu kembali membuntuti.

Irama nafasku kacau sekali ketika aku mencapai tempat itu. Benar-benar gelap, hanya sedikit penerangan dengan lampu pijar. Cahayanya memoles permukaan pagar besi yang sudah agak berkarat, kayu-kayu menyusun sebagian besar pabrik ini. Aku melompati pagar tinggi, tubuhku agak terhuyung-huyung ketika mendarat. Begitu kurasakan kehadiran pihak lain di belakangku. Dua orang rang tadi, masih saja mengikutiku. Tapi bukan saatnya untuk mengurusi mereka.

Beberapa saat aku terlarut dalam kebingunganku, alat komunikasi kehilangan sinyal, ditambah lagi terdengar bunyi ‘beep’ dari alat pemindai yang makin cepat. Pabrik ini sangat luas, aku tak tahu dimana portal itu sekarang.

Mendadak suara keras menggelegar terdengar menggaung dari balik dinding, tepat di depanku. Kayu-kayu beterbangan sebelum kemudian tertarik kembali ke dalam portal. Kilat-kilat keunguan menyambar-nyambar keluar dari sana. Keadaan di sini langsung berubah, angin berhembus kencang, lampu berkedap-kedip. Angin itu mengibaskan helaian rambutku hingga seluruh mataku tak mampu melihatnya begitu jelas. Aku rasa itulah portalnya. Aku bisa merasakan kakiku bergetar hebat saat ini.

Hidupku, kupertaruhkan. Antara hidup dan mati, kuharap portal ini bisa membawaku sampai ke sana, bukan ke alam lain dimana aku tak memiliki tubuh lagi.

Semoga…semoga…semoga saja…

0 comments:

Post a Comment