Thursday, 25 February 2010

A tale by Chris Nugroho

Kisah yang terlewatkan…

Bader dan Alexa berangkat ke Goat Hill, menunggangi seekor kuda putih bernama Silver Wind. Tapak sepatu kuda itu melaju melewati gurun pasir yang terhampar sepanjang pelataran kota Gabion, letaknya cukup jauh dari kemah para bandit. Pandangan Alexa bergelimang decak kagum, pemandangan sealami ini sejak di desa Cordanté sangat memukaunya. Jauh dari deru asap mobil, klakson bis kota, dan langkah-langkah angkuh para pencari uang di Birmingham. Segalanya seperti yang dia impikan selama ini.

Alexa tak pernah membayangkan kalau dia akan menaiki seekor kuda segagah ini, bersama laki-laki yang gaya pakaiannya mirip seperti pengelana abad pertengahan. Kemudian melihat naga pertama baginya, begitu menakjubkan. Sudah sepatutnya langit biru ini memberinya kesenangan. Padang rumput kering yang luas dan diselingi oleh gurun yang tak kalah luas, memberinya nafas panjang, dan pemandangan indah menyegarkan matanya. Walaupun sesaat demi sesaat, Alexa mulai memikirkan orang tuanya, tapi pikiran itu buru-buru ditepis

Orang tuaku sibuk, toh mereka tak akan tahu.

Alexa memandangi punggung Bader yang perkasa, dengan harapan pria ini membawanya ke tempat yang tepat. Sesekali dia menoleh ke belakang, dilihatnya naga hitam itu sebagai titik kecil di udara, apinya sebagai tali jingga. Kecemasannya di kemah itu telah pudar, dia hanya ingin menikmati keunikan tempat ini.

Dia ingat dirinya pernah membaca surat-surat yang isinya mengkhawatirkan seorang pendeta muda di Belanda. Namun Brian Lucas enggan membongkar privasi penyelidikannya. Dia pikir, Enrico van Luigi-lah orangnya. Seorang pendeta yang sempat melakukan perjalanan lintas dimensi, tak mungkin ada lagi pendeta semacam itu. Ini seperti sebuah kebetulan yang unik. Sayangnya, belum sempat Alexa menanyakan kebenarannya, dia sudah terpisahkan dengan Enrico, meski dia percaya hanya sementara waktu.

Selang beberapa waktu, Bader berhenti di depan hutan belantara yang kelam, Hutan Whisdur. Di pikirannya, berputar-putar pertanyaan tanpa jawaban. Tak tahu kenapa, dia merasa tidak diizinkan untuk memasuki hutan ini. Jari-jari yang terbungkus sarung tangan itu meremas kencang-kencang kekang kudanya, berharap hatinya tenang. Namun suara-suara pohon justru membuatnya gusar.

Namun niatnya tertahan oleh langkah Silver Wind yang tak kunjung beranjak. Kuda itu memberontak, tak biasanya seperti itu. Makhluk perasa itu seakan menerima gelombang ombak besar dari depan, hingga dia tak bisa mendorong maju ke depan.

“Hei, ada apa denganmu, Jagoan?” Bader agak jengkel.

Kuda putih itu memilih diam, walaupun akhirnya beberapa kali Bader memaksa, Silver Wind berjalan juga, meskipun tanpa restu dari tanah yang dia pijak. Hingga akhirnya Bader dibisiki oleh angin kebusukan dari dalam hutan ini, jauh di balik puluhan batang pepohonan dan ranting-ranting kering. Berhembus dari daun ke daun, ranting ke ranting. Dan seakan mereka berkata, Bader, sudah kami peringatkan kau, pergilah!

“Ada yang salah, bukan, tidak ada yang salah, itu hanya perasaanku saja,” gumamnya berkeringat. Alexa mendengar sedikit dari kata-kata itu, Bader berusaha menutupinya dengan senyum paksa.

“Kau sedang tidak merencanakan sesuatu yang buruk, bukan?”

“Bukan apa-apa, hanya saja hidungku sedikit gatal. Aku hanya berpikir kalau-kalau…”

Mendadak mata Bader membelalak tepat di depan Alexa. Dia merasakan suatu kejutan dari luar, sebuah hadiah untuk kecerobohannya. Sebuah hadiah kecil berupa jarum panjang yang menancap telak pada lehernya. Beberapa saat kemudian, matanya yang mendadak terbelalak menutup lemah, disusul dengan kejatuhannya dari atas Silver Wind, meninggalkan Alexa yang terperanjat kaget. Tak lama setelah itu, Alexa-lah yang menjadi sasaran selanjutnya.

Para pencuri kesempatan itu memberondong keluar, segera setelah Alexa terperosok dari atas kuda putih. Silver Wind meronta-ronta, menendang setiap bandit bercadar itu—ciri khas dari kelompok Tammil. Kuda putih itu terjerat tali temali mereka, dan dibiarkan mengikuti arus keluar para bandit dari hutan. Kata-kata hutan tadi tak diindahkan oleh Bader, padahal itu adalah sebuah peringatan penting.

………

Dua tahanan itu terikat terpisah. Bader diikatkan pada Silver Wind yang tak punya pilihan lain selain berjalan terus. Alexa diikat di dalam sebuah kereta yang ditarik dua orang berkuda. Mata mereka tak pernah berhenti menempel dengan alisnya yang tebal, keturunan khas benua Selatan—rupa mereka bisa disamakan dengan para khafillah Timur Tengah di Maya. Ketahanan tubuh mereka terhadap panas amat tinggi. Mereka sering disebut Serigala Pasir, sedikit orang yang berani menentang mereka. Ciri khas kelompok ini adalah cadar hitam, pisau pipih, dan pedang melengkung yang disebut Scumberg. Pedang mereka punya lubang-lubang kecil di dekat sisi tumpulnya. Lubang itu akan mengeluarkan bunyi saat ditebaskan. Cukup untuk membingungkan lawan-lawannya.

Para penculik ini mencari keberadaan tuan mereka, Tammil Ibrahim. Mereka baru saja meninggalkan kota Gabion. Mereka melalui Bukit Vallenor, tepat saat malam akan menjelang pagi. Kereta kuda itu justru menghambat pergerakan mereka.

Pimpinan Serigala Pasir mengangkat satu tangannya ke udara, isyarat untuk berhenti begi kelompoknya. Dia membalik tubuhnya, meskipun tak sepenuhnya. Mereka telah sampai di sebuah tempat yang salah.

Lam Karkouri, Erta law sion, zan dazarab zim,” (Gurun Karkouri. Kalian semua, melangkahlah perlahan, jangan usik dia) ujar suara serak itu.

Bader agaknya sudah mendapati matanya kembali terbuka. Pandangannya kabur, dia hanya bisa melihat para bandit berjalan pelan-pelan di atas gurun. Tubuhnya digerayangi nyeri-nyeri sendi dan aliran darah yang tak lancar, membuatnya merasa begitu tak berdaya.

Tangan Bader yang tadinya terikat erat hingga memeluk leher Silver Wind kini sudah terlepas, walaupun pergelangan tangannya masih dicengkram oleh gulungan tambang. Hingga saat tahap pembebasan pertama dilakukan, para bandit masih belum berjalan terlalu jauh dari tempat mereka berdiri semula. Itu menambah keheranan Bader, dimana sekarang ini? Sebuah kondisi terjepit itu membuat Bader memilih melanjutkan aksi pura-pura tak sadarnya, matanya menelisik permukaan pasir yang tidak rata, hingga dia menemui beberapa kesalahan di atas gurun ini. Tulang belulang menjadi pemandangan jamak, sering sekali melalui pandangannya.

“Ini, bau kematian begitu tajam. Mengapa gurun ini tak stabil? Mengapa sering ada sedikit guncangan di sini?” pikir Bader. Sekaligus saat itu dia berpikir dimana posisi Alexa.

Bader digiring pada posisi terbelakang, kepalanya dia gerakkan amat perlahan untuk mengamati bahwa di kiri dan kanannya tidak ada orang lain. Diingatnya bahwa tangannya masih terikat keras dengan sebuah tambang putih, rasa perih itu terasa. Dia merasakan aliran darah ke telapak tangannya berkurang.

Bader menegakkan kepalanya ke depan. Dia melihat Silver Wind juga diikat dengan sebuah tali tambang putih pada lehernya, langsung menuju seekor kuda lainnya. Selain itu, Bader melihat tak ada Alexa di atas setiap kuda lain. Itu membuatnya berpikir Alexa pasti berada di dalam kereta kuda. Akhirnya dia sadari, gerakannya tak begitu terkekang—bandit-bandit ini bodoh. Mereka begitu ceroboh hingga mengabaikan ahli meloloskan diri sepertiku, begitulah pikir Bader.

Nyatanya dia tak tahu, Serigala Pasir tengah terikat pada rasa takut mereka.

Cukup lama Bader coba mengamat-amati keadaan sekitar, memastikan tak ada pihak lain yang tengah membidikkan anak panah pada rombongan ini. Dia juga pastikan tak ada jebakan terlihat di atas pasir. Walaupun agak ngeri juga melihat taburan tulang di sepanjang gurun. Tanpa ragu lagi, Bader mengambil sebuah pisau dari kantung sadel Silver Wind dengan kedua tangan masih terikat. Dia berusaha keras memotong tali di tangannya dengan menyelipkan pisau itu di antara kedua bibirnya. Kemudian Bader duduk tegak pada sadelnya, dipotongnya tali di leher Silver Wind.

Tanpa disadari para bandit Selatan, suara gesekan logam tajam dan sarung hitam menderit pelan. Sampai detik pedang itu berhasil dikeluarkan, Bader masih coba meyakinkan dirinya bahwa tak ada hal buruk yang akan terjadi bila dia menyerang sekarang—walaupun belasan bandit akan melawannya. Mereka tetaplah pengembara-pengembara yang telah letih.

Seorang bandit terbelakang tersayat tajamnya pedang Bader. Menyuarakan kepedihan dan kejatuhannya dari atas tunggangannya. Kudanya pun meringkik.

“Ini akan menjadi malam yang terlalu singkat bagi kalian semua!” teriakan Bader menggema di langit gelap penuh bintang.

Hening, tak ada tanggapan kemarahan.

Wajah-wajah bingung dan takut dari para bandit justru menjadi senjata paling ampuh untuk membunuh semangat Bader. Mereka begitu gentar menunggu, beberapa malah berbisik dengan suara bergetar pada temannya.

“Apakah seorang pejuang terlalu berbahaya bagi kalian? Itu menjelaskan padaku mengapa kalian menyergapku di hutan. Sekarang, hadapi aku dengan jantan!” Bader mempertegas ucapannya, tapi ekspresi yang dia inginkan dari para bandit belum keluar juga.

Bader bermaksud menunjukkan kemarahannya dengan gertakan tapak Silver Wind ke atas pasir. Yang terjadi justru sebaliknya, para bandit tak lagi memperhatikan Bader. Mereka sibuk menengok ke kanan, ke kiri, ke belakang, ke segala arah, ke atas permukaan pasir. Bader menghentikan suara gaduh yang dibuatnya. Telinganya bergerak-gerak saat mendengar gemuruh perlahan dari dalam pasir. Kali ini bukan hanya para bandit, Bader pun ikut menunggu ada apa setelah ini. Kebingungan bodoh terjadi di sana.

Mereka bisa mendengar dengan jelas suara dentuman-dentuman jauh di dalam setiap tumpukan pasir. Suara gemuruh yang awalnya kecil dan jauh terdengar sekarang pun makin nyata. Seperti gempa bumi. Tapi tak sedikitpun permukaan pasir bergetar. Keringat pucat mulai menetes di dahi mereka satu-persatu. Hingga pada puncaknya, tercipta sebuah ledakan di sebelah kiri Bader, agak jauh darinya. Ledakan itu menghempaskan pasir-pasir ke udara, diiringi teriakan-teriakan mengumpat dari para bandit. Sesuatu telah keluar dari peristirahatannya. Kedatangannya bagaikan selimut kain hitam usang yang terbang di bawah bayang-bayang bulan. Sekelebat pandangan matanya menurunkan keberanian hingga ke titik terendah, seakan dia berkata, kau pasti mati saat ini. Asap hitam itulah yang ditakuti sebagai iblis Karkouri, iblis tanpa wujud, tanpa rupa, tanpa bisa disentuh, karena itulah genderang jantung pengantar kematian selalu terdengar tiap kehadirannya. Suaranya menggemakan penderitaan, serak kering, tipis terjepit, dan begitu bernafsu akan jutaan tetes darah. Dia datang dari dalam tanah, dimana kegelapan membutakan mata dan lembapnya udara menusuk rongga dada.

Akhirnya Bader tahu, ini adalah Gurun Karkouri. Alasan yang cukup bagi orang-orang untuk membuat jalur Lembah Gardner. Jalur itu adalah jalan lain untuk menghindari rute melewati Gurun Karkouri.

Malam ini setan itu terdengar begitu bengis. Mungkin karena sudah sangat jarang mendapat tamu, Karkouri menjadi amat lapar.

Secepat mata berkedip, Sang Iblis bergerak cepat menghampiri mayat segar korban dari pedang Bader. Dia menubruk kudanya yang masih berdiri tegak hingga jatuh tergelapar. Tubuhnya membesar seukuran kuda dan manusia tanpa nyawa itu. Asap itu menebal, menekan korbannya ke atas permukaan pasir. Darah-darah mereka bermuncratan dari tepi-tepi asap. Asap itu meresap ke dalam pasir, dengan menyisakan daging yang hancur berantakan dengan kepala manusia dan kuda yang masih utuh. Keadaan sunyi seketika.

Bader terperanjat sesaat, matanya tak bisa mempercayai apa yang baru saja dia lihat. Kengerian itu terjadi tepat di hadapannya. Dia merasakan degup jantungnya melaju kencang.

“Bajingan! Pemberontak Bodoh! Kau...” geram salah satu dari mereka. “Lihat perbuatanmu! Sekarang kita semua akan mati di sini!”

Terlambat bagi Bader untuk berpikir mundur.

Segera para bandit itu melupakan pesan dari pimpinan mereka. Mereka terlalu takut hingga tak peduli lagi pada Alexa di dalam kereta kudanya. Satu-satu berhamburan dari lokasi pembantaian, seperti kerumunan semut yang baru diusir dari makanan yang dikerumuni. Tapi hal itu sama saja mengulangi kesalahan Bader. Karkouri kembali keluar dari dalam. Satu persatu dari mereka terjatuh oleh hadangan asap maut, mereka terguling-guling di pasir bebas sambil berteriak-teriak histeris, memohon ampun setiap kali Karkouri mendekat, bahkan mengiba pada Bader. Begitu seterusnya, dia mampu menghabisi tujuh pria bandit hanya dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit. Segera rona merah darah melekat pada setiap butiran pasir.

Jeritan demi jeritan, darah demi darah tercurah cepat, Bader tahu gilirannya semakin dekat, mungkin giliran Alexa pula.

Kewajiban Bader pada Kusko segera terlintas, memecah dinding ketakutannya yang begitu rapat membelenggu. Dia tersadar akan sebuah kesempatan kecil yang berarti besar. Kereta kuda berisi gadis bernama Alexa itu teronggok tanpa penjagaan. Dia menjalankan kudanya menuju kereta kuda kayu itu. Jantungnya berdegup begitu kencang. Dia sendiri begitu kewalahan untuk menenangkan diri.

Dia sampai di hadapan kereta kuda itu. Suara-suara mengiba di sekelilingnya tak dihiraukannya lagi. Nafasnya hampir saja berhembus lega, sebelum dia sadari, gilirannya telah tiba lebih cepat dari perkiraannya. Sang Iblis menyergapnya begitu cepat. Petaka itu menggulingkannya dari Silver Wind, hingga pria jatuh ke tanah. Bader terhempas jauh. Sebuah kalung hadiah dari Hellen, ibunya, terlempar dari leher pria itu. Dia berusaha untuk segera bangkit, segera dia sadari bahwa dialah satu-satunya pria yang masih hidup di situ.

Dia kembali terduduk kaku. Dalam dirinya mencoba untuk berlari, tapi dia tak bisa melakukannya. Gelapnya malam telah membutakan keberaniannya. Dia sadari semua kekacauan ini adalah ulahnya. Dia merasa memang pantas mati untuk ini, tapi tidak bagi Alexa. Bader membulatkan tekadnya untuk melindungi Alexa. Dia kembali berdiri dengan susah payah. Kemudian Bader menghunuskan pisaunya ke segala arah, sebab asap itu tak lagi tampak di matanya. Apalah daya dari sebuah pisau kecil pada makhluk tanpa selah untuk diserang itu.

Segera setelahnya, suara bisikan kuat mendesis, dibawa angin yang berputar-putar di sekelilingnya. Bader makin serius menjaga, dia memperhatikan seluruh wilayah yang bisa dilihat matanya. Dia tak sadari, iblis itu tengah memperhatikannya, dari depan, tepat di hadapannya. Bader terkejut setengah mati. Tak ayal dia tersungkur mundur karenanya. Detak jantungnya nyaris saja berhenti saat itu juga. Tapi asap itu tak melakukan apapun padanya. Iblis bernama Karkouri itu, berubah. Perlahan-lahan dia bergumpal membentuk bayangan sesosok tubuh manusia, wanita. Kemolekan wajahnya terpancar. Rambutnya berwarna kuning keperakan, seperti warna rambut jagung. Bola matanya berwarna merah kejinggaan. Setiap hembusan angin membawa rambut halusnya bergerak melambai. Bibirnya kecil, penuh senyum anggun. Dia miliki sebuah tanda di bagian kiri wajah, seperti corak dedaunan dengan tinta hitam, hingga ke dagu tegasnya. Tak sedikitpun kain menempel di tubuhnya, hanya cahaya terang melingkupinya, menjadi sebuah jubah cahaya indah.

“Kaukah itu, Keturunan Panglima Besar Benteng Comdred, Lampros Kertest?” tanya asap hitam berbentuk manusia itu dengan suara lembut. Nada bicaranya berubah drastis, menjadi seseorang yang amat hangat dan tenang. Tersirat matanya yang menyimpan puluhan kisah kelam dalam sejarah keberadaannya di dunia.

Bader mengenali Kertest dari cerita ayahnya mengenai masa lalu. Seorang panglima di Benteng Comdred, yang memimpin kehidupan baru di benua Timur, kemudian membangun desa Cordanté yang di suatu masa akan menjadi tempat kelahiran ayahnya. Kertest yang bernama sama dengannya, Lampros, telah lama dilupakan namanya oleh penduduk Mithrillia. Nama Kertest tenggelam, seiring dengan tergantinya hormat penduduk pada keturunan Avalen, meskipun hormat mereka diiringi ketakutan dalam setiap sujudnya.

Dia berusaha keras hanya untuk mengangguk.

“Pisaumu itu mengingatkanku pada garis keturunan Lampros. Takdir menggariskan pertemuanmu denganku. Sebutkanlah namamu, wahai manusia berbudi baik. Aku tak akan menyakiti dirimu walau setitik.”

“Aku…aku Lampros Bader, siapakah engkau, Karkouri?” suara Bader bergetar hebat, sesekali dia melihat ke arah kereta kuda, kemudian kembali lagi.

“Kau sendiri sudah tahu namaku, Kertest muda.”

“Kau mau membiarkan aku dan gadis di dalam kereta kuda itu pergi? Aku berani bersumpah bahwa akulah yang menganggu ketenanganmu malam ini. Untuk itu, kumohon terimalah maafku yang penuh rasa hormat. Bila aku harus mati untuk membebaskan gadis itu dari murkamu, akan kulakukan.”

Wajah itu tersenyum hangat padanya. Karkouri menunduk anggun, menjawab segala kekuatiran Bader yang menumpuk. Dia bahkan mengulurkan tangannya untuk membantu Bader berdiri. Bader menyambutnya walau sungkan, dia bisa merasakan dingin dan kelamnya genggaman tangan itu.

“Pergilah, Kertest Muda. Temui Tammil di kota Sladur. Jangan biarkan dia temukan Cresthalla. Hentikan Tammil sebelum semuanya terlambat, sebelum sangkakala itu mengendalikanku berbalik melawan darah Kertest di dalam tubuhmu. Aku tahu saat ini kekalahan dan kemenangan dibatasi setipis kertas.”

“Kau ini…di pihak siapa?”

“Tak satupun dari mereka, bahkan kalian. Setiap manusia membenciku, aku pun membenci setiap orang, aku membenci semua manusia. Tapi ironisnya, aku berharap pada manusia pula untuk menghentikan orang yang berusaha mengendalikanku. Sebab gerakanku terbatas pada gurun ini, aku tak mampu berbuat banyak. Jagalah kehidupan keduamu, malam ini. Terpenting di atas segalanya, jaga gadis di dalam kereta kuda itu baik-baik.”

Karkouri perlahan mendekat. Dia menyentuh pipi Bader dengan lembut dengan sebelah tangan. Kemudian Karkouri menyentuh tangan kokoh Bader yang teguh pada pisaunya. Karkouri membuat Bader memasukannya kembali ke dalam sarung kecil di pinggangnya.

Setelah itu, Karkouri melayang-layang di udara, membuyarkan bentuk tubuhnya, menguraikan sosoknya menjadi asap kembali, baru kemudian kembali menembus ke dalam pasir-pasir. Keadaan hening seketika, lalu semilir angin membuat bau darah tercium di mana-mana.

Kehidupan kedua…benar…

Dia memotong tambang tebal yang mengunci dua pintu kereta di belakang. Dia membuka kedua pintu itu segera. Dia bisa melihat Alexa terkapar pingsan di dalamnya. Sekeliling Alexa dipenuhi harta rampasan para bandit. Harganya tak terbayangkan, berapa banyak Krall yang bisa didapatkan dengan menjual ini semua. Digapainya Alexa dan dia baringkan gadis itu di atas tumpukan pasir. Kemudian Bader menepuk-nepuk kedua pipinya, semakin keras tiap tepukannya. Hingga kedua mata pucat itu membuka.

Alexa terlihat begitu sayu. Dia telah lama tak sadarkan diri oleh segaris jarum penuh daya. Wajahnya begitu lega melihat wajah Bader yang menghalangi cahaya kelam dari bulan di langit. Dalam dua hari, tak ada yang menduga Alexa akan begitu diidam-idamkan oleh kelompok Tammil. Dua kali dia mengalami perlakuan tak menyenangkan dari para pria benua Selatan itu, meski akhirnya Alexa mengetahui kematian mereka. Alexa bergetar membayangkan kejadian apa yang baru saja dia lewatkan. Sebuah peristiwa sadis yang membuat darah tertumpah sebanyak ini.

Hawa dingin menusuk-nusuk mereka, bahkan selimut dan mantel tak cukup menahannya. Jauh dari sana terlihat sebuah gerbang megah. Gerbang itu begitu tinggi, besar dan terlihat amat kokoh. Terbuat dari kayu tebal berwarna gelap, dengan palang-palang besi menahannya tetap rapat. Di sisi kanan dan kiri gerbang terdapat ukiran kepala singa dari batu, tak kalah besarnya. Di atas kepala singa itu adalah menara pemantau dengan belasan pemanah bersiaga. Benteng megah itu adalah Sladur. Batuan abu-abu begitu rapih menyusunnya. Sebuah jembatan batu panjang menghubungkan daratan terluar dengan gerbang yang diputuskan sebuah jurang berair. Di atas jembatan, belasan serdadu berbaju besi, bersenjatakan tombak dan perisai bulat telah bersiaga. Dari kejauhan, terlihat kerlip lampu-lampu dari balik dinding benteng, juga obor besar di sepanjang jembatan. Sepanjang jalan tersisa ke benteng Sladur adalah rerumputan kering dan dataran tanpa banyak pohon.

“Apakah itu yang dinamakan Goat Hill?”

“Jika itu adalah Goat Hill, pasti gerbang sudah dibukakan untukku, Alexa,” jawab Bader singkat. “Di depan matamu sekarang adalah Benteng Sladur, salah satu dari lima kekuatan terbesar Mithrillia, terbesar kelima di seluruh dataran ini.”

“Jadi, kita masih akan pergi ke Goat Hill atau…”

“Sepertinya untuk sementara kita cari pedagang yang berulang kali menculikmu dulu, setelah itu kita akan kembali ke Goat Hill. Firasatku tidak enak.”

0 comments:

Post a Comment