Thursday, 25 February 2010
Kuda-kuda menderap, melaju di antara embun pagi hari.
Mereka membawa kekalutan dan letih yang belum terbuang. Terlebih kelelahan Ivander, walaupun sampai sekarang dia belum berniat untuk membiarkan kelelahan itu menguasai jalan pikirannya. Tapi sejujurnya, Ivander tak merasakan adanya keyakinan akan menemukan kembali mereka yang terhilang. Cazar dan Mérdanté juga mulai putus asa. Dalam hati, mereka tidak yakin bahwa arah ini tepat.
Mereka-mereka ini, Cazar dan Mérdanté, adalah penganut ajaran yang mempercayai adanya kasta di dalam surga. Para dewa hidup berdasarkan tingkatannya, sementara manusia pada kodratnya adalah setara satu sama lain. Mereka juga percaya pada mitos kejatuhan para dewa dari langit. Sebab itu pula mereka sesungguhnya gentar pada nama besar keturunan Avalen. Siapakah penganut kepercayaan ini yang tak tahu bahwa Avalen adalah keturunan Dewa Midianor? Kepercayaan itu juga menuntut mereka untuk percaya pada bimbingan alam. Sebab Lameth, dewa pencipta segalanya, dewa segala kehidupan, menyatakan dirinya melalui gerakan alam. Karena itu, berputus asa terhadap alam yang membawa mereka sejauh ini, itu merupakan sebuah dosa.
Hal yang serupa terjadi pada ras Elf dan keturunannya. Mereka percaya adanya peristiwa kejatuhan para dewa, karena itulah mitos tentang asal-usul keberadaan mereka. Namun, para Elf lebih condong mendominasikan Dewa Frey sebagai dewa utama, sejajar dengan Dewa Lameth. Mereka yakin ada dewa lain di samping Theon dan Lameth yang masih duduk di tahta surga, itulah Dewa Frey. Karena kaum Elf cenderung dikucilkan dan mengucilkan diri, mereka tak bisa memenuhi kebutuhan kaumnya hanya dengan mengandalkan hasil pekerjaan manusia. Karena itu, kehidupan para Elf lekat dengan bercocok tanam. Dari sanalah, jelas mengapa mereka lebih mengutamakan Dewa Frey yang dalam peranannya adalah dewa penguasa cuaca.
Berbeda tipis dengan ras Abodh yang lebih mengutamakan Dewi Minith. Para Abodh mengetahui adanya Dewa Lameth, tapi mereka hanya menyembahnya sebagai dewa sampingan, seperti cara para pejuang menyembah Dewa Theon sebagai dewa sampingan pula. Menurut keyakinan kuno yang diturunkan oleh ketua-ketua suku Abodh di masa lalu, Dewi Minith-lah yang memelihara seluruh kesinambungan alam, sedangkan Dewa Lameth hanyalah pencipta, tanpa memikirkan kelangsungan ciptaannya. Para Abodh tidaklah percaya pada apa yang menjadi petaka di masa lampau, yakni kejatuhan para dewa dari surga. Kerabat mereka, para Burandal, lebih ekstrim lagi. Para Burandal sama sekali tak memiliki dewa ataupun dewi untuk disembah.
Sekelebat raut wajah pesimis terlihat jelas di wajah Mérdanté. Di wajahnya yang telah mengering, walaupun rambutnya masih sedikit basah oleh siraman hujan. “Kemana lagi kita harus mencari, Cazar. Hujan semalam membuat jejak mereka pudar,” ucap Mérdanté mengkerutkan semangatnya.
“Terus cari, Mérdanté ! Bader penting bagi kita, Alexa penting bagi Enrico, kita jangan membiarkan seorang gadis terlalu lama berada di lingkungan para penyamun.”
Sudah beberapa langkah panjang yang menuntun mereka menyusuri Bukit Vallenor. Seluruh pakaian mereka telah tersiram hantaman air-air kecil dari langit. Bagi Ivander hal itu merupakan sesuatu yang berat, apalagi dinginnya malam ditambah langit berair. Tapi harapan kembali menyembul, samar-samar jejak para bandit tercium oleh Cazar, tepat dari depan.
Wajah Cazar mulai menunjukkan gairahnya kembali.
Langit mulai bersinar lagi ketika mereka berlalu dari Bukit Vallenor yang penuh dengan asap kawah-kawah belerang. Bebauan menyengat itu hampir saja membunuh mereka. Pada awalnya bukit itu mengharuskan mereka menanjak panjang di jalan berbatu terjal. Hingga setelahnya, mereka diharuskan untuk menapaki kepala bukit yang tak rata. Pepohonan berdaun tipis dan berakar kuat, berdiri jarang-jarang, jarak mereka berjauhan. Asap-asap putih selalu mengepul keluar dari balik kawah-kawah. Belum lagi ditambah oleh kabut tipis yang membungkus Bukit Vallenor.
Mereka menyadari kalau alam masih mendukung di belakang keyakinan mereka. Bukannya jejak itu yang kehilangan baunya, tapi bau belerang tadi yang telah melumat habis keberadaan jejak-jejak itu. Saat inilah mulai jelas, jalur tapak-tapak kuda para bandit, menuju Sladur. Di balik kabut pagi yang menguap, terlihat sebuah benteng nan megah, kota terdekat dari bukit Vallenor, Sladur. Terlihat sangat jauh dari atas, hanya berupa titik dengan menara-menara serupa garis.
Di hadapan mereka terbentang permadani pasir yang cukup dan landai. Dengan gersangnya gurun di musim panas, dipastikan baju-baju mereka akan mengering sebelum mereka masuk ke dalam Sladur. Beruntung masih sepagi ini, gurun tidaklah sepanas di saat siang hari. Pasir-pasirnya masih terasa dingin di kaki kuda, seakan mencoba menampilkan sisa-sisa hawa kejam semalam.
Gurun Karkouri, begitulah nama gurun di hadapan mereka ini. Tiba-tiba satu dari tiga orang itu menerjang langsung ke hamparan pasir luas itu. Namanya Ivander Graham, dan dia tak tahu-menahu mengapa Cazar dan Mérdanté masih diam saja.
“Ivander! Perlambat kudamu, gurun ini tak ingin diganggu oleh hentakkan besar,” Cazar memperingatkan Ivander yang tergesa-gesa.
Tali kekangnya dia tahan kencang saat selentingan kata-kata itu terdengar olehnya. Ivander melihat Cazar dan Mérdanté yang masih begitu jauh darinya. Dua orang itu berjalan seakan menghormati ketenangan gurun ini. Menganggap itu adalah bagian dari mitos yang dipercayai mereka berdua, awalnya Ivander meremehkannya. Tapi itu tak berlangsung lama, setelah Ivander agak tak yakin ada apa di balik kehati-hatian mereka berdua. Akhirnya dia menuruti kata-kata Cazar.
Akhirnya mereka berjalan hampir beriringan dengan langkah lambat-lambat, walaupun gurun ini terlalu luas untuk ditempuh dengan kecepatan seperti ini. Masih cukup lama sebelum matahari mengganas bagi siapa saja yang melewati gurun ini. Gurun Karkouri, gurun yang memisahkan antara Bukit Vallenor dengan Benteng Sladur, memang menjadi momok bagi siapa saja yang melaluinya. Sisa-sisa manusia busuk berserakkan di atas butiran pasir. Serpihan-serpihan tubuhnya berceceran kemana-mana. Kudanya juga ikut terbawa kesialan tuannya yang mati d sini.
“Kita tidak salah, Cazar, Mérdanté,” Ivander berkata dengan kejijikan melihat mayat-mayat segar itu.
“Maksudmu, tidak salah bagi kami memperingatkan betapa berbahayanya Karkouri? Mereka ini telah menjadi santapan iblis Karkouri,” Cazar membalas dengan wajah merenda pemandangan mengenaskan.
“Kau tak sebutkan itu dari awal, Mérdanté?” serunya tertahan.
“Bodoh, mulutku tak sekencang kudamu.”
“Kau beruntung, iblis itu tampaknya sedang tak bernafsu. Sepertinya semalam sempat terjadi pesta pembantaian besar-besaran di sini,” lanjut Mérdanté. “Mereka orang-orang yang malang.”
“Tunggu. Bisakah kalian lihat korban-korban ini, seluruhnya.” Ivander menunjuk sisa-sisa kehidupan yang berserakan di atas pasir. Alisnya mengkerut ke atas. “…Lihatlah pakaian dan senjatanya, mereka itu bandit-bandit Tammil. Kita tak salah jalan, tapi bisa jadi kita terlambat. Mungkin Alexa dan Bader telah dilalap juga. Jika itu terjadi, percuma kita melangkah sejauh ini.”
Oh, Tuhan, apa yang telah kukatakan?
Sudah terlambat untuk menarik kembali kata-katanya. Kedua rekannya merasa Ivander benar. Bagaimanapun mereka juga tetap harus menerima segala sesuatunya dengan realistis..
“Bolehkah kita turun, Cazar?” tanya Mérdanté ragu.
Cazar menggerakkan kepalanya kecil. Lebih dahulu dia turun. Mérdanté menyusul, kemudian Ivander. Mereka mencari-cari mayat dengan simbol di lehernya, simbol keberadaan keluarga Lampros yang mengalir di tubuh Bader—walaupun sebenarnya mereka berharap takkan menemukannya. Perlahan potongan-potongan tubuh itu digulingkan.
Mereka menemukan kesamaan di antara seluruh korban Karkouri. Kepala-kepala para pria bercadar itu semuanya terpisah dengan badannya—memperkuat kabar kalau Karkouri haus akan darah, namun benci melihat wajah penderitaan. Karena itu dia hanya mengambil tubuh, tidak dengan kepalanya.
Kabar angin lain yang bergulir banyak yang mengaburkan bentuk dari Karkouri. Mereka mengatakan Karkouri adalah makhluk liar dan buas seperti anjing hutan. Ada pihak lain yang mengaku melihat Karkouri, dan makhluk itu seperti gurita dengan belasan tangan yang menangkap korban-korbannya. Tapi semua terdengar bagaikan bualan, siapapun bisa membuatnya, termasuk anak kecil yang tak pernah keluar dari rumah Isu lain yang bisa dipercaya bersumber dari seorang pengembara. Dia tak bisa melihat Karkouri dari jauh. Tapi jelas-jelas dia menyaksikan tubuh-tubuh hewan liar tercabik-cabik. Itu membuatnya yakin, yang melihat iblis Karkouri pasti akan mati. Gerakan Karkouri cepat bagai kilat, kelam seperti malam tanpa bulan, dan berbau busuk bagai padang mayat. Manusia manapun akan habis dilalapnya dalam sekejap.
Cukup lama pandangan mereka bertiga terus terpaku ke bawah.
Mereka mulai lelah saat matahari perlahan meninggi. Mereka hampir saja menyerah, sampai saat penglihatan Ivander terhalau pantulan benda bersinar dari balik tumpukan pasir. Rasa penasaran menggerakkannya untuk mendekat, lalu diangkatnya liontin rumit, seakan menggambarkan kebanggaan seorang satria.
“Cazar, Mérdanté, lihatlah! Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantu.” Ivander mendekat dengan tangan terbuka, memajang liontin itu.
Bersamaan, mereka berdua berlari mendekati Ivander.
“Ini kalung milik Bader, jadi benar…” Pikiran Cazar telah terlampau jauh dari keyakinannya semula, namun dia berusaha menghalaunya jauh-jauh. “Apakah artinya ini, Mérdanté? Mungkinkah ini jejak dari Bader, dia ingin kita pergi ke sana, ke kota Sladur?”
Sladur, kota yang menempel di bukit dengan lindungan dinding batu kokoh nan megah. Kekuatan terbesar kelima di Mithrillia—setelah Comdred di tengah, Logan di barat, Garbadur di selatan, Grimore di tengah, dan Raven yang juga di timur—barulah setelah itu Sladur. Hukum di Sladur tegas bagi manusia, juga tegas bagi Mirage. Undang-undang di Sladur menyebutkan, pelanggar hukum terberat akan dibuang di tengah-tengah Gurun Karkouri. Tubuhnya akan dilontarkan dari sebuah ketapel besar hingga terhempas ke atas, melambung hingga ke Gurun Karkouri. Kepanikan si terpidana akan memancing Sang Iblis keluar. Seketika, deritanya akan terdengar hingga ke seluruh gurun.
“Ke sana, memang tak akan jauh dari sana. Mereka tak mungkin berbalik melintasi Bukit Vallenor sekali lagi. Tujuan mereka hanya satu, pasti Raven Fortress, tempat kediaman Raja Gardner, sekaligus tempat teraman bagi Tammil Ibrahim untuk bersembunyi.”
Kata-kata Cazar terdengar begitu yakin, meskipun sesungguhnya hatinya tertahan untuk menyerah. Kalung itu seolah menjadi beban. Melihat wajah Mérdanté, dia juga mengetahui keyakinan itu menular padanya. Jika Bader telah tiada, pastilah Alexa pun begitu. Hanya karena mereka tak menemukan kehadiran Bader di sinilah, mereka masih mau mencari jauh-jauh ke Sladur.
“Kau yakin kita ke sana, Cazar? Kau tahu konsekuensinya bukan? Sladur adalah kota hukum, dan kita adalah pelanggar hukum Mirage,” bantah Mérdanté halus, hingga tak terdengar seperti itu.
Mérdanté sudah tidak lagi berniat membantu, rasa pesimis membuatnya terlalu terpaku untuk pulang secepat mungkin. Bila Témpust menjadi kecewa, biarlah dia kecewa dan menerima kenyataannya.
“Kalau begitu para bandit juga harus dihukum karena menyengsarakan semua pihak,” bantah Cazar halus, juga menjadi tidak terdengar seperti bantahan. “Siang akan datang, jangan buang waktu!”
Kuda-kuda itu kembali menderap lambat menyusuri gumpalan darah dan serakan tubuh di atas pasir. Semakin lama mereka diam, akan semakin panas juga gurun itu. Kini tak ada lagi jalan balik bagi mereka, kecuali menunggu hingga matahari pagi di esok hari muncul. Hanya kegilaan yang membawa orang-orang melintasi gurun Karkouri di siang hari.
………
Gerbang kayu raksasa kota Sladur menantang mereka. Dua serdadu manusia menodongkan tombaknya pada tiga orang asing itu. Serdadu itu membuka besi pelindung kepalanya dan memeriksa sekeliling mereka bertiga.
“Salam, Sladur, kami ingin lewat menuju kotamu,” sapa Cazar mencoba untuk tidak gugup.
“Salam juga, Orang asing. Apa tujuan kalian datang ke benteng ini? Seseorang mengenal kalian di dalam?”
“Izinkan kami beristirahat setelah perjalanan jauh melewati Bukit Vallenor, dan Gurun Karkouri yang sesak oleh kematian. Kami dalam perjalanan ke utara, bisakah kami tinggal sehari di sini?”
Penjaga-penjaga melonggarkan hadangan tombaknya, beberapa kembali ke tempatnya lagi. “Kau bisa jamin tak akan ada pelanggaran di dalam?”
“Kami mengerti, bahkan sangat mengerti kebijakan Mayor Sladur,” kata Cazar tersenyum hormat.
Penjaga itu membalas senyumannya. “Bagus, kenakanlah ini sebagai tanda kalian bukan penyusup. Tunjukkan di atas dada kalian setiap kalian berjalan di dalam benteng.”
Sebuah kalung dari lempengan logam berbentuk lingkaran disematkan pada leher ketiganya. Ada sebuah ukiran berbentuk kepala singa mengaum di tengah lempengan logamnya. Ukirannya tidak indah, kalung ini juga tak indah. Hanya saja kalung ini wajib dikenakan seluruh orang di dalam Benteng Sladur.
Sepatu besi penjaga berbunyi, saat dia mundur beberapa langkah dan mempersilahkan ketiganya melenggang melewati jembatan batu yang kokoh nan panjang. Mereka berjalan beriringan menuju gerbang kayu megah yang sedikit dibukakan bagi mereka.
Dalam hati mereka, inilah tempat dimana pencarian akan berakhir.
Mungkinkah?
Mereka membawa kekalutan dan letih yang belum terbuang. Terlebih kelelahan Ivander, walaupun sampai sekarang dia belum berniat untuk membiarkan kelelahan itu menguasai jalan pikirannya. Tapi sejujurnya, Ivander tak merasakan adanya keyakinan akan menemukan kembali mereka yang terhilang. Cazar dan Mérdanté juga mulai putus asa. Dalam hati, mereka tidak yakin bahwa arah ini tepat.
Mereka-mereka ini, Cazar dan Mérdanté, adalah penganut ajaran yang mempercayai adanya kasta di dalam surga. Para dewa hidup berdasarkan tingkatannya, sementara manusia pada kodratnya adalah setara satu sama lain. Mereka juga percaya pada mitos kejatuhan para dewa dari langit. Sebab itu pula mereka sesungguhnya gentar pada nama besar keturunan Avalen. Siapakah penganut kepercayaan ini yang tak tahu bahwa Avalen adalah keturunan Dewa Midianor? Kepercayaan itu juga menuntut mereka untuk percaya pada bimbingan alam. Sebab Lameth, dewa pencipta segalanya, dewa segala kehidupan, menyatakan dirinya melalui gerakan alam. Karena itu, berputus asa terhadap alam yang membawa mereka sejauh ini, itu merupakan sebuah dosa.
Hal yang serupa terjadi pada ras Elf dan keturunannya. Mereka percaya adanya peristiwa kejatuhan para dewa, karena itulah mitos tentang asal-usul keberadaan mereka. Namun, para Elf lebih condong mendominasikan Dewa Frey sebagai dewa utama, sejajar dengan Dewa Lameth. Mereka yakin ada dewa lain di samping Theon dan Lameth yang masih duduk di tahta surga, itulah Dewa Frey. Karena kaum Elf cenderung dikucilkan dan mengucilkan diri, mereka tak bisa memenuhi kebutuhan kaumnya hanya dengan mengandalkan hasil pekerjaan manusia. Karena itu, kehidupan para Elf lekat dengan bercocok tanam. Dari sanalah, jelas mengapa mereka lebih mengutamakan Dewa Frey yang dalam peranannya adalah dewa penguasa cuaca.
Berbeda tipis dengan ras Abodh yang lebih mengutamakan Dewi Minith. Para Abodh mengetahui adanya Dewa Lameth, tapi mereka hanya menyembahnya sebagai dewa sampingan, seperti cara para pejuang menyembah Dewa Theon sebagai dewa sampingan pula. Menurut keyakinan kuno yang diturunkan oleh ketua-ketua suku Abodh di masa lalu, Dewi Minith-lah yang memelihara seluruh kesinambungan alam, sedangkan Dewa Lameth hanyalah pencipta, tanpa memikirkan kelangsungan ciptaannya. Para Abodh tidaklah percaya pada apa yang menjadi petaka di masa lampau, yakni kejatuhan para dewa dari surga. Kerabat mereka, para Burandal, lebih ekstrim lagi. Para Burandal sama sekali tak memiliki dewa ataupun dewi untuk disembah.
Sekelebat raut wajah pesimis terlihat jelas di wajah Mérdanté. Di wajahnya yang telah mengering, walaupun rambutnya masih sedikit basah oleh siraman hujan. “Kemana lagi kita harus mencari, Cazar. Hujan semalam membuat jejak mereka pudar,” ucap Mérdanté mengkerutkan semangatnya.
“Terus cari, Mérdanté ! Bader penting bagi kita, Alexa penting bagi Enrico, kita jangan membiarkan seorang gadis terlalu lama berada di lingkungan para penyamun.”
Sudah beberapa langkah panjang yang menuntun mereka menyusuri Bukit Vallenor. Seluruh pakaian mereka telah tersiram hantaman air-air kecil dari langit. Bagi Ivander hal itu merupakan sesuatu yang berat, apalagi dinginnya malam ditambah langit berair. Tapi harapan kembali menyembul, samar-samar jejak para bandit tercium oleh Cazar, tepat dari depan.
Wajah Cazar mulai menunjukkan gairahnya kembali.
Langit mulai bersinar lagi ketika mereka berlalu dari Bukit Vallenor yang penuh dengan asap kawah-kawah belerang. Bebauan menyengat itu hampir saja membunuh mereka. Pada awalnya bukit itu mengharuskan mereka menanjak panjang di jalan berbatu terjal. Hingga setelahnya, mereka diharuskan untuk menapaki kepala bukit yang tak rata. Pepohonan berdaun tipis dan berakar kuat, berdiri jarang-jarang, jarak mereka berjauhan. Asap-asap putih selalu mengepul keluar dari balik kawah-kawah. Belum lagi ditambah oleh kabut tipis yang membungkus Bukit Vallenor.
Mereka menyadari kalau alam masih mendukung di belakang keyakinan mereka. Bukannya jejak itu yang kehilangan baunya, tapi bau belerang tadi yang telah melumat habis keberadaan jejak-jejak itu. Saat inilah mulai jelas, jalur tapak-tapak kuda para bandit, menuju Sladur. Di balik kabut pagi yang menguap, terlihat sebuah benteng nan megah, kota terdekat dari bukit Vallenor, Sladur. Terlihat sangat jauh dari atas, hanya berupa titik dengan menara-menara serupa garis.
Di hadapan mereka terbentang permadani pasir yang cukup dan landai. Dengan gersangnya gurun di musim panas, dipastikan baju-baju mereka akan mengering sebelum mereka masuk ke dalam Sladur. Beruntung masih sepagi ini, gurun tidaklah sepanas di saat siang hari. Pasir-pasirnya masih terasa dingin di kaki kuda, seakan mencoba menampilkan sisa-sisa hawa kejam semalam.
Gurun Karkouri, begitulah nama gurun di hadapan mereka ini. Tiba-tiba satu dari tiga orang itu menerjang langsung ke hamparan pasir luas itu. Namanya Ivander Graham, dan dia tak tahu-menahu mengapa Cazar dan Mérdanté masih diam saja.
“Ivander! Perlambat kudamu, gurun ini tak ingin diganggu oleh hentakkan besar,” Cazar memperingatkan Ivander yang tergesa-gesa.
Tali kekangnya dia tahan kencang saat selentingan kata-kata itu terdengar olehnya. Ivander melihat Cazar dan Mérdanté yang masih begitu jauh darinya. Dua orang itu berjalan seakan menghormati ketenangan gurun ini. Menganggap itu adalah bagian dari mitos yang dipercayai mereka berdua, awalnya Ivander meremehkannya. Tapi itu tak berlangsung lama, setelah Ivander agak tak yakin ada apa di balik kehati-hatian mereka berdua. Akhirnya dia menuruti kata-kata Cazar.
Akhirnya mereka berjalan hampir beriringan dengan langkah lambat-lambat, walaupun gurun ini terlalu luas untuk ditempuh dengan kecepatan seperti ini. Masih cukup lama sebelum matahari mengganas bagi siapa saja yang melewati gurun ini. Gurun Karkouri, gurun yang memisahkan antara Bukit Vallenor dengan Benteng Sladur, memang menjadi momok bagi siapa saja yang melaluinya. Sisa-sisa manusia busuk berserakkan di atas butiran pasir. Serpihan-serpihan tubuhnya berceceran kemana-mana. Kudanya juga ikut terbawa kesialan tuannya yang mati d sini.
“Kita tidak salah, Cazar, Mérdanté,” Ivander berkata dengan kejijikan melihat mayat-mayat segar itu.
“Maksudmu, tidak salah bagi kami memperingatkan betapa berbahayanya Karkouri? Mereka ini telah menjadi santapan iblis Karkouri,” Cazar membalas dengan wajah merenda pemandangan mengenaskan.
“Kau tak sebutkan itu dari awal, Mérdanté?” serunya tertahan.
“Bodoh, mulutku tak sekencang kudamu.”
“Kau beruntung, iblis itu tampaknya sedang tak bernafsu. Sepertinya semalam sempat terjadi pesta pembantaian besar-besaran di sini,” lanjut Mérdanté. “Mereka orang-orang yang malang.”
“Tunggu. Bisakah kalian lihat korban-korban ini, seluruhnya.” Ivander menunjuk sisa-sisa kehidupan yang berserakan di atas pasir. Alisnya mengkerut ke atas. “…Lihatlah pakaian dan senjatanya, mereka itu bandit-bandit Tammil. Kita tak salah jalan, tapi bisa jadi kita terlambat. Mungkin Alexa dan Bader telah dilalap juga. Jika itu terjadi, percuma kita melangkah sejauh ini.”
Oh, Tuhan, apa yang telah kukatakan?
Sudah terlambat untuk menarik kembali kata-katanya. Kedua rekannya merasa Ivander benar. Bagaimanapun mereka juga tetap harus menerima segala sesuatunya dengan realistis..
“Bolehkah kita turun, Cazar?” tanya Mérdanté ragu.
Cazar menggerakkan kepalanya kecil. Lebih dahulu dia turun. Mérdanté menyusul, kemudian Ivander. Mereka mencari-cari mayat dengan simbol di lehernya, simbol keberadaan keluarga Lampros yang mengalir di tubuh Bader—walaupun sebenarnya mereka berharap takkan menemukannya. Perlahan potongan-potongan tubuh itu digulingkan.
Mereka menemukan kesamaan di antara seluruh korban Karkouri. Kepala-kepala para pria bercadar itu semuanya terpisah dengan badannya—memperkuat kabar kalau Karkouri haus akan darah, namun benci melihat wajah penderitaan. Karena itu dia hanya mengambil tubuh, tidak dengan kepalanya.
Kabar angin lain yang bergulir banyak yang mengaburkan bentuk dari Karkouri. Mereka mengatakan Karkouri adalah makhluk liar dan buas seperti anjing hutan. Ada pihak lain yang mengaku melihat Karkouri, dan makhluk itu seperti gurita dengan belasan tangan yang menangkap korban-korbannya. Tapi semua terdengar bagaikan bualan, siapapun bisa membuatnya, termasuk anak kecil yang tak pernah keluar dari rumah Isu lain yang bisa dipercaya bersumber dari seorang pengembara. Dia tak bisa melihat Karkouri dari jauh. Tapi jelas-jelas dia menyaksikan tubuh-tubuh hewan liar tercabik-cabik. Itu membuatnya yakin, yang melihat iblis Karkouri pasti akan mati. Gerakan Karkouri cepat bagai kilat, kelam seperti malam tanpa bulan, dan berbau busuk bagai padang mayat. Manusia manapun akan habis dilalapnya dalam sekejap.
Cukup lama pandangan mereka bertiga terus terpaku ke bawah.
Mereka mulai lelah saat matahari perlahan meninggi. Mereka hampir saja menyerah, sampai saat penglihatan Ivander terhalau pantulan benda bersinar dari balik tumpukan pasir. Rasa penasaran menggerakkannya untuk mendekat, lalu diangkatnya liontin rumit, seakan menggambarkan kebanggaan seorang satria.
“Cazar, Mérdanté, lihatlah! Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantu.” Ivander mendekat dengan tangan terbuka, memajang liontin itu.
Bersamaan, mereka berdua berlari mendekati Ivander.
“Ini kalung milik Bader, jadi benar…” Pikiran Cazar telah terlampau jauh dari keyakinannya semula, namun dia berusaha menghalaunya jauh-jauh. “Apakah artinya ini, Mérdanté? Mungkinkah ini jejak dari Bader, dia ingin kita pergi ke sana, ke kota Sladur?”
Sladur, kota yang menempel di bukit dengan lindungan dinding batu kokoh nan megah. Kekuatan terbesar kelima di Mithrillia—setelah Comdred di tengah, Logan di barat, Garbadur di selatan, Grimore di tengah, dan Raven yang juga di timur—barulah setelah itu Sladur. Hukum di Sladur tegas bagi manusia, juga tegas bagi Mirage. Undang-undang di Sladur menyebutkan, pelanggar hukum terberat akan dibuang di tengah-tengah Gurun Karkouri. Tubuhnya akan dilontarkan dari sebuah ketapel besar hingga terhempas ke atas, melambung hingga ke Gurun Karkouri. Kepanikan si terpidana akan memancing Sang Iblis keluar. Seketika, deritanya akan terdengar hingga ke seluruh gurun.
“Ke sana, memang tak akan jauh dari sana. Mereka tak mungkin berbalik melintasi Bukit Vallenor sekali lagi. Tujuan mereka hanya satu, pasti Raven Fortress, tempat kediaman Raja Gardner, sekaligus tempat teraman bagi Tammil Ibrahim untuk bersembunyi.”
Kata-kata Cazar terdengar begitu yakin, meskipun sesungguhnya hatinya tertahan untuk menyerah. Kalung itu seolah menjadi beban. Melihat wajah Mérdanté, dia juga mengetahui keyakinan itu menular padanya. Jika Bader telah tiada, pastilah Alexa pun begitu. Hanya karena mereka tak menemukan kehadiran Bader di sinilah, mereka masih mau mencari jauh-jauh ke Sladur.
“Kau yakin kita ke sana, Cazar? Kau tahu konsekuensinya bukan? Sladur adalah kota hukum, dan kita adalah pelanggar hukum Mirage,” bantah Mérdanté halus, hingga tak terdengar seperti itu.
Mérdanté sudah tidak lagi berniat membantu, rasa pesimis membuatnya terlalu terpaku untuk pulang secepat mungkin. Bila Témpust menjadi kecewa, biarlah dia kecewa dan menerima kenyataannya.
“Kalau begitu para bandit juga harus dihukum karena menyengsarakan semua pihak,” bantah Cazar halus, juga menjadi tidak terdengar seperti bantahan. “Siang akan datang, jangan buang waktu!”
Kuda-kuda itu kembali menderap lambat menyusuri gumpalan darah dan serakan tubuh di atas pasir. Semakin lama mereka diam, akan semakin panas juga gurun itu. Kini tak ada lagi jalan balik bagi mereka, kecuali menunggu hingga matahari pagi di esok hari muncul. Hanya kegilaan yang membawa orang-orang melintasi gurun Karkouri di siang hari.
………
Gerbang kayu raksasa kota Sladur menantang mereka. Dua serdadu manusia menodongkan tombaknya pada tiga orang asing itu. Serdadu itu membuka besi pelindung kepalanya dan memeriksa sekeliling mereka bertiga.
“Salam, Sladur, kami ingin lewat menuju kotamu,” sapa Cazar mencoba untuk tidak gugup.
“Salam juga, Orang asing. Apa tujuan kalian datang ke benteng ini? Seseorang mengenal kalian di dalam?”
“Izinkan kami beristirahat setelah perjalanan jauh melewati Bukit Vallenor, dan Gurun Karkouri yang sesak oleh kematian. Kami dalam perjalanan ke utara, bisakah kami tinggal sehari di sini?”
Penjaga-penjaga melonggarkan hadangan tombaknya, beberapa kembali ke tempatnya lagi. “Kau bisa jamin tak akan ada pelanggaran di dalam?”
“Kami mengerti, bahkan sangat mengerti kebijakan Mayor Sladur,” kata Cazar tersenyum hormat.
Penjaga itu membalas senyumannya. “Bagus, kenakanlah ini sebagai tanda kalian bukan penyusup. Tunjukkan di atas dada kalian setiap kalian berjalan di dalam benteng.”
Sebuah kalung dari lempengan logam berbentuk lingkaran disematkan pada leher ketiganya. Ada sebuah ukiran berbentuk kepala singa mengaum di tengah lempengan logamnya. Ukirannya tidak indah, kalung ini juga tak indah. Hanya saja kalung ini wajib dikenakan seluruh orang di dalam Benteng Sladur.
Sepatu besi penjaga berbunyi, saat dia mundur beberapa langkah dan mempersilahkan ketiganya melenggang melewati jembatan batu yang kokoh nan panjang. Mereka berjalan beriringan menuju gerbang kayu megah yang sedikit dibukakan bagi mereka.
Dalam hati mereka, inilah tempat dimana pencarian akan berakhir.
Mungkinkah?
0 comments:
Post a Comment