Sunday, 21 February 2010
July, 21th 2004
Pagi yang menyesakkan, kutinggalkan Virginia demi terbangun di ruangan yang telah jadi kenanganku selama satu dekade. Sejak awal kubuka mata, aku tahu LAZARUS sudah mengawasiku.
“Selamat Pagi, Tuan Enrico. Secangkir kopi di pagi hari?”
“Selamat pagi, Kawan Lama. Hari ini kopi hitam pekat. Butuh banyak konsentrasi pagi ini. Siapkan juga sarapan, aku perlu mandi.”
Ada sebuah panel lubang persegi yang bisa menghantarkan makanan. Sekembalinya aku dari kamar mandi, kulihat panel itu sudah terisi sesuatu berbau sedap. Makanan itu dikirim dari bagian dapur gedung ini. Selalu ada sarapan berbeda setiap hari. Kali ini, sepiring pasta dengan daging dan saus tomat. Rasanya tidak begitu buruk, ini memang makanan kesukaan Flavio. Flavio dari Italia, dia tahu banyak soal masak-memasak, tak ada yang menghalanginya membuat sarapan,. Entahlah, mungkin Flavio tinggal memberikan resepnya pada juru masak.
“Tuan Flavio menanti anda di ruangannya selesai sarapan, Tuan Enrico.”
“Aku akan datang, LAZARUS. Katakan padanya untuk menunggu sepuluh menit lagi,” jawabku dengan mulut mengunyah.
Aku heran mengapa belum banyak keadaan berubah di dalam organisasi ini. Kurasa inilah wujud nyata dari ketakutan mereka kalau organisasi tak akan mampu berkembang tanpa kehadiranku.
Tapi…
Sesungguhnya Deven dikirim untuk memanggilku bukan agar aku mengkritisi perkembangan organisasi ini. Aku harus mencari tahu ada apa di dalam pikiran Flavio Rosetti. Itu yang membawaku ke sini, di depan sebuah meja kayu, di dalam ruangan segienam nuansa klasik. Kutatap lawan bicaraku yang tak berambut, itu ciri khasnya, Flavio Rosetti.
“Kelihatannya kondisimu baik-baik saja.”
“Kau juga terlihat makin sibuk, Flavio. Tak bisa dipungkiri, kau nampak banyak berubah dalam sepuluh tahun.”
“Untuk hal itu, sepertinya aku mulai iri padamu,” pujinya sambil sedikit tertawa. “Kau sudah tahu bukan mengapa kau kupanggil kembali ke sini?”
“Judas Eyes Sickness. Itukah dasarnya, Flavio? Aku curiga bukan itu.”
Flavio tersenyum kecil, kemudian mulai tertawa kecil pula. Dia mengeluarkan sekotak cerutu dari laci kerjanya. “Kau mau? Ambillah!” tawar Flavio.
“Sudah beberapa tahun ini aku berhenti menghisap tembakau. Tidak, terima kasih. Jadi lanjutkan saja, Flavio,” selaku buru-buru.
“Memang, awalnya aku ingin mengirimkanmu ke Mithrillia. Tapi Ivander saja sepertinya sudah cukup di sana. Lagipula dari perhitungan komputer, sekarang antara mereka dan kita, sudah tak ada lagi beda waktu yang signifikan. Namun justru itulah gejala Lacuna Syndrome, bukan begitu Enrico?”
“Dan jika kau sudah berkata seperti itu, nampaknya tugasnya berat. Kau tak yakin untuk menyerahkannya pada Deven yang masih muda dan bisa berkembang, sementara aku sudah tua dan tinggal menunggu mati. Membahayakan nyawa. Bukankah begitu, Flavio?” tanyaku balik.
“Bukan untuk alasan itu, Enrico. Aku tahu kau sudah hidup tenang di sana. Deven memang bisa mengurus masalah ini, meskipun tak sampai selesai ke akarnya. Aku butuh kau untuk menebak, menerka kemungkinan akan bergerak kemana ‘dia’.”
“Dia? Siapa yang kau maksud?”
“Baru-baru ini, jaringan kita di Inggris mengabarkan adanya rencana penyerangan istana oleh proyek baru Hellfire, pengembangan dari Zerta, Assassin lain. Aku baru mendengar itu sebagai sebuah isu. ‘Mereka pasti berusaha membunuh seseorang di dalam istana. Karena ini bersinggungan dengan banyak pihak, aku takut Deven berbuat kesalahan. Karena itu, kau kupilih, Enrico.” Flavio menghembuskan asap cerutunya, kemudian dia mematikannya ke atas asbak kaca.
“Siapa yang mengirimkan isu itu padamu? Kau tak takut itu sebuah jebakan? Jaringan kita bukanlah orang-orang yang loyalitasnya bisa diuji,” tanyaku sinis.
“Aku tahu itu, Enrico. Karena itu, jangan bertindak mendahului intelejen Kerajaan. Jaringan yang menghubungi kebetulan mengakui adanya surat dari pihak Hellfire sendiri. Surat ancaman, tapi aku bingung. Aku tertawa begitu membacanya.”
“Tertawa, mengapa? Bukankah itu bisa dipalsukan juga?”
“Bukan masalah itu. Isi surat itu meminta kita mengirim Ivander ke Inggris bila kita ingin penyerangan itu dibatalkan. Dengan kata lain, mereka nekad menyerang istana hanya untuk bertemu dengan Ivander, bukan kau yang notabene lebih terkenal,” Flavio tersenyum heran, menggelengkan kepalanya.
Mendadak aku menjadi kesulitan menyembunyikan ekspresiku. Aku memang menyembunyikan sesuatu tentang anak itu, bahkan mungkin Ivander tak tahu lebih banyak dariku, tentang dirinya, tentang masa lalunya yang terbuang. Bibirku bergetar menahan kata-kata, tanganku mengepal keras-keras. Aku tertawa, tertawa seakan-akan ada yang lucu. Flavio ikut denganku, dia telah tertipu dengan ekspresi yang kutunjukkan. Mungkin dia tahu, tapi tak sedetil yang kutahu.
“Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?” timpalku menutup-nutupi kenyataan dalam pikiranku.
Flavio mendadak diam seribu bahasa. Dia mengganti tawanya dengan tatapan dalam. Sepertinya dia mengetahui isi pikiranku.
“Aku tahu, Enrico. Kau lebih banyak paham tentang dia daripada aku. Jangan katakan itu padaku jika kau tak ingin. Setidaknya aku jadi mengerti, mengapa Ivander menjadi sebegitu berarti bagimu.”
“Ivander itu anakku, dia sudah kuanggap anak laki-lakiku. Aku tak ingin ada yang terenggut lagi dari hidupnya. Kau sendiri pernah mendengar sekelebat kisahnya bukan? Aku menjadi tak perlu menceritakan seberapa pahitnya masa lalu anak itu…”
Flavio mengangguk, kemudian suara ketukan pintu menyela.
“Masuklah!” seru Flavio.
Patricio Deven membuka pintu dan melihat keberadaanku di dalam. Dia tampak segan, seperti sebuah kesalahan besar telah dia perbuat.
“Oh, maaf sudah mengganggu pembicaraan penting kalian…” katanya buru-buru. Deven ingin kembali keluar dari ruangan.
“Tak apa, Deven. Hanya perbincangan santai antara aku dan kawan lamaku. Apa yang membawamu ke sini?” balas Flavio menghentikannya.
“Mengenai penyerangan istana, kapan kau memperbolehkanku berangkat?”
“Kau dibebas-tugaskan, Deven. Enrico yang akan berangkat ke sana. Kau berjaga di markas, setelah ini aku akan pergi ke Roma, kau dan paman Hayden bertanggung jawab di sini.”
Wajahnya berubah aneh, Deven takut dia salah mendengar.
“Ya, bebas tugas. Tapi seluruh keamanan markas menjadi tanggung jawabmu. Ingat, akhir-akhir ini LAZARUS sedikit lalai,” jawab Flavio Rosetti.
Deven tampak kecewa, dia merasa ada kepercayaan yang hilang meskipun dia belum melakukannya. “Baiklah, Pimpinan. Aku permisi,” kata Deven mencoba tegas. Dia keluar dari ruangan dan menutup pintu kembali.
Suasana kembali berlanjut. Flavio menghela nafas panjang, beberapa kali dia menggaruk kepala tanpa rambutnya itu.
“Terkadang mengalihkan kepercayaan menjadi begitu sulit, bukan? Namun terkadang itu perlu untuk Deven, dia perlu belajar untuk tidak dinomor-satukan di sini.”
“Kau tidak berpikir kalau kita memerlukan tambahan unit lagi? Mungkin beberapa orang jago tembak? Karena kuperhatikan, ada perbedaan usia yang jauh di antara kita.”
“Entahlah, Enrico. Kepercayaanku pada orang-orang rekrutan sudah mulai meluntur. Mereka senang sekali berjalan di jalur yang menyimpang dari objektif semula. Jika memilih, lebih baik aku meneliti bagaimana cara mengkloning manusia, kemudian kugandakan Deven dan Ivander,” candanya, lalu Flavio tertawa renyah.
“Ada-ada saja kau ini!” tawaku mengiringinya. Sesaat, suasana mereda. “Baik, jika tidak ada lagi yang bisa kukerjakan di sini, aku permisi.”
“Silahkan, Enrico. Pastikan kau sampai di istana sebelum matahari hari ini terbenam,” sahut Flavio terdengar saat aku keluar dari ruangannya.
Lorong demi lorong kulewati. Aku tak sengaja melihat Deven di salah satu lorong. Pria muda itu terduduk dengan sebatang rokok terselip di bibirnya. Pandangannya diarahkan lurus ke depan tanpa maksud. Sesekali dia menghela nafas panjang diserta hembusan asap rokok. Deven tampak begitu kehilangan, mungkin misi itu penting untuknya.
“Hei, Nak. Lama tak bertemu denganmu. Kau jadi begitu pemurung?” tanyaku datang menyergap tempat di sampingnya.
“Aku tak apa-apa, Ketua. Sungguh, keadaan terkendali di sini,” sanggahnya buru-buru.
“Kau tahu, semasa Kross memimpin dahulu, kau akan terkena semprotan kata-kata darinya bila kau duduk tanpa alasan di sini. Mengapa kau tidak beristirahat saja? Mungkin tugasmu menjaga markas akan lebih berat dari tugasku.”
Deven diam tak bergeming. Sampai akhirnya dia mau buka suara, “Seandainya aku mendapat tugas seperti Ivander, atau sepertimu. Tampaknya kepercayaan pimpinan padaku sudah mulai hilang. Dia katakan padamu apa penyebabnya?”
“Sayang sekali aku tak diberitahu. Dan sayangnya lagi, dia tak pernah mengatakan bahwa dia tak percaya padamu.” Aku beranjak dari tempatku duduk, kemudian aku mulai melangkahkan kaki lambat-lambat. “Justru dia bilang kalau dia sangat membutuhkanmu, hingga dia berkelakar akan mengkloningmu.” candaku saat berjalan meninggalkan Deven. Aku bisa lihat semangat itu kembali lagi di kedua matanya.
Deven berjalan dengan langkahnya sendiri setelah itu, begitupun aku. Aku meninggalkan markas pukul sepuluh pagi, beranjak menuju Inggris dengan pesawat terbang. Landasan pacu tampak basah karena guyuran hujan kecil. Pesawat tetap beranjak dari Bucharest meskipun cuaca kurang bersahabat.
Melamun, entah kenapa aku begitu sering melakukannya akhir-akhir ini. Tentang Julia, dan tentang masa laluku. Tentu saja hutang-hutang itu tak bisa kulupakan juga.
………
London, bukanlah pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di sini. Di sini aku pertama kali bertemu dengan Ivander, seorang Meksiko yang ditugaskan mengawal ratu dalam konferensi rahasia. Saat itu penyerangan sejumlah setan-setan terjadi. Aku ingat saat itu Ivander pertama kali menunjukkan kekuatan regenerasinya padaku.
Di London sekarang inilah, dalam beberapa menit perjalananku dari bandara, di depan mataku sudah berdiri seorang yang merupakan komandan operasi lapangan dari organisasi sangat-rahasia milik kerajaan, The Black Crow. Berpakaian rapih, dengan jas hitam dan celana kain hitam, mengenakan kacamata hitam dan alat komunikasi di telinga, menyarungkan senjata api di pinggang, amat jauh dari penampilanku yang serba seadanya.
“Enrico van Luigi, sungguh baik menerima kehadiranmu di sini!” sambutnya dengan berjabat tangan.
“Brandon, aku hampir tak mengenalmu tadi. Maaf membuat kalian khawatir kalau-kalau aku tak datang.”
“Tak apa, Enrico. Lagipula surat itu sepertinya hanya omong kosong belaka. Belum ada tanda-tanda kehadiran mereka di sini. Keadaan aman terkendali.”
“Ramai sekali, sepertinya organisasimu serius ya?”
“Sebagian merupakan intelejen negara lain. Wakil mereka sedang berbicara dengan ratu. Tujuh negara, termasuk Belanda, Enrico van Luigi. Sekali saja kami lengah, maka tamatlah mereka semua. Karena itu, tanggung jawab ini dibagi bersama, apalagi dengan kedatanganmu.”
“Mengandalkan orang tua ini seperti membelah buah dengan pisau berkarat. Pesanku, tolong perintahkan anak buahmu untuk memperketat penjagaan di atas pukul enam sore. Kemungkinan sangat besar di jam-jam itu.”
“Aku mengerti, Enrico. Sebaiknya sekarang kubicarakan. Permisi…”
Pukul satu siang, pembicaraan penting di dalam ruang itu dihentikan. Mereka semua beristirahat untuk sekedar jamuan. Keadaan menjadi begitu runyam di sini, keamanan bisa terancam kapan saja. Satu-satunya alasan mengapa Flavio mengirimku ke sini adalah karena Deven terlalu berharga untuk mati—dan aku tidak. Walaupun terdengar kejam, aku bisa terima itu. Sebelum aku kehilangan denyut jantungku, seorang Enrico van Luigi akan terus hidup, entah sampai kapan. Mungkin bukan hal yang aneh bila aku menjadi orang yang sangat mendambakan kematian.
Urat-urat mulai menegang kembali ketika jamuan selesai. Mereka kembali ke ruangan rapat tertutup. Pukul dua siang, belum ada pergerakkan dari Hellfire Institution. Di luar tampak sepi, namun mendadak kesan itu meninggalkan kesan tak biasa. Bagiku, bila aku menjadi mereka, pertahanan semacam ini bukanlah sesuatu yang berarti banyak. Bagaimanapun mereka adalah organisasi yang bahkan mampu melumpuhkan satu negara sekaligus. Tak heran jika di luar sepi, mungkin saja orang-orang Hellfire Institution sudah masuk dari tadi. Jika itu terjadi, pasti mereka berada di antara anggota intelejen ini, yang mana?
Mataku mulai melirik, mencari-cari orang yang mencurigakan. Aku yang tak mengenal banyak orang di bagian ini, pasti akan kesulitan. Brandon masih berjaga di dalam. Kupikir aku akan meminta bantuannya untuk memperketat penjagaan di lorong-lorong istana. Aku berlari menghampirinya. Dia tengah memunggungiku dengan senapan otomatis di tangan kanannya.
‘Brandon, syukurlah kau di sini. Aku ingin…”
Brandon terkapar saat kutepuk pundaknya pelan. Dan bagaikan efek domino, beberapa anak buah yang menyertainya di depan, jatuh satu persatu. Itulah pertama kali aku melihat penyusupan tanpa cacat, gerakan mereka sangat halus.
“Penyusuuuup!” teriakku memantul di lorong. “Cari sampai dapat!”
Seruanku menimbulkan kepanikan seluruh pasukan. Mereka berhamburan ke dalam. Keadaan di luar menjadi kurang terjaga, karena itulah aku memutuskan untuk berlari keluar. Aku dikejutkan dengan adanya tubuh anggota intelejen yang dilemparkan padaku. Sebuah bukti bahwa mereka telah tiba, sebelum matahari terbenam, begitu kata Flavio—berarti ini baru bagian pembukanya saja.
Tanpa disangka-sangka, si pelempar mayat datang. Sesosok monster kurus, tinggi, melebihi tinggiku yang mencapai dua meter. Seluruh tubuhnya terbalut perbang kusam yang terkoyak. Dia mengenakan rompi yang berwarna sama dengan kain terusan yang menutupi kakinya yang ramping, hitam pekat. Wajahnya tertutup topeng besi tanpa celah, jelaslah dia bukan manusia. Di permukaan topengnya, tertulis, Assassin Project-2, terpampang lambang Hellfire Institution dengan jelas pada bagian depan topeng. Dari katar yang terpasang di punggung tangannya, menetes darah segar hasil pembunuhannya. Hawa pembunuhnya menusuk dalam-dalam, walaupun dia tak memiliki mata tajam atau senyum menyeringai yang menjijikan, namun dari seluruh tubuhnya mengalir deras keinginan untuk membunuh. Aku seakan merasakan maut sendirilah yang mendatangiku.
“Kau…” katanya dengan suara parau dan dalam. “Pendeta Tinggi Alpha Operation, Enrico van Luigi?” tanya sambil terus mendekatiku lambat-lambat.
“Jadi mereka tak memasukkan program sopan santun padamu?” sindirku sambil menyiagakan kedua sabit perakku di kedua tangan. “Perkenalkan dirimu dahulu sebelum bertanya siapa nama orang yang kau tanyai.”
“Namaku Redith, aku lahir dari serpihan-serpihan dendam Zerta di masa lampau. Kupikir pengetahuanmu akan namaku akan sia-sia, sebab kau pasti mati setelah ini…” katanya tenang, suaranya terhalang topeng tanpa celahnya itu. “Tapi biarlah namaku kau bawa ke dalam penderitaanmu di neraka, Enrico. Ingatlah akan satu nama itu, yang membawamu ke sini, yang membuatmu melakukan kesalahan besar dalam hidupmu. Saat kau mati, kau akan diijinkan melihat kecerobohanmu, penglihatan lugumu akan keberadaan serigala dalam organisasi penuh domba yang terus kau sangkal.”
“Dasar monster! Apa maksudmu berkata seperti itu?” teriakku geram. Kedua sabitku bergesekkan kuat, bunyinya membuat degup jantungku menderap kencang.
“Lihat tanda di topengku ini, lihat baik-baik nomornya. Apa yang kau pikir ada di benakku?” pancingnya sambil menunjuk ke angka dua dari tulisan Assassin Project-2.
Lalu dimana Assassin pertama? “Rencana apa lagi ini!” kataku menggeram.
“Dimana Flavio? Sepertinya dia sedang tak berada di kursi kulit cokelatnya,” ujar Redith penuh makna terselubung. Dia membuat pikiranku makin menjurus pada hal yang sudah seharusnya kusadari sedari tadi.
“Kurang ajar! Darimana kau tahu hal itu?”
Atau jangan-jangan, dia menjebakku di sini?
“Katakan kata-katamu itu pada rekanku di markasmu, sementara aku mengurus para petinggi negara di dalam bangunan ini. Sekarang, siapa yang ingin kau selamatkan, Enrico, pendeta Agung?”
Dia ini, bukan hanya penampilannya yang busuk, ternyata otaknya lebih pintar dan busuk dari yang kubayangkan. Dia berbeda dengan Zerta, dia bukan Beta project—dia penyempurnaan, penyempurnaan yang sempurna.
Bagaimana dengan Deven di sana?
Haruskah aku membiarkan mereka di dalam istana, sementara aku menyelamatkan markas? Yang mana yang lebih penting, organisasi atau negara? Hatiku bergerak di tengah gelombang tinggi, semakin kupikirkan, semakin aku bimbang.
“Bagaimanapun kau berpikir, justru kebimbangan akan semakin lekat di hatimu. Waktumu sempit, Enrico. Waktumu akan habis setelah Klaha menghabisi seluruh manusia di markasmu, dan pasukanku menghabisi seluruh intelejen di dalam. Saat itu, aku menang atas kebimbanganmu.”
Kata-kata Redith begitu mempengaruhiku, rangkaian kalimat itu menyergap seluruh alat inderaku. Aku tak kuasa mengambil tindakan.
“Klaha…begitukah namanya? Padahal kupikir LAZARUS telah begitu sempurna membendung penyusup macam kalian. Mengapa ini sampai bisa terjadi?” gumamku di tengah keputusasaan dan intimidasi dari Redith.
“Aku dengar bisikkan depresimu itu, Enrico. Mengapa kau bisa percaya pada mesin yang justru menjadi serangga kami. LAZARUS itu, komputer paling busuk yang pernah kuketahui. Kau tahu kenapa?”
Mataku terdiam tak berkedip, bibirku kaku mendengar kata-kata Redith. Amarah yang ada menjadi bercampur aduk dengan perasaan terkhianati.
“LAZARUS membukakan jalan untuk kami, lebar-lebar! Mungkin sekarang seluruhnya sudah mati, dan tentunya Klaha sudah menyebrang dengan portal itu. Tujuan kami hanya mencari dia, dan demi dia kami rela lakukan apa saja.”
“Apakah legenda itu menjadi begitu penting bagi kalian?”
“Mungkin…sangat mungkin, jawabannya iya. Legenda yang sebenarnya merupakan awal mula kehadiran kami di dunia bobrok ini. Bukankah akan lebih baik bila secepat mungkin kami menggenapi legenda itu? Agar kau dan segala masalahmu, lalu teman-teman bertampang malaikat itu dilebur dalam alam baka. Sekarang, aku rasa sudah terlambat untuk membantu orang-orang di dalam istana. Sebaiknya kau pulang dan melihat keadaan rumahmu itu, van Luigi.”
Redith berjalan melewatiku, dia menepis kehadiranku begitu saja, seakan aku hanyalah patung. Redith menaiki tangga kemenangannya, dia masuk ke dalam istana tanpa sedikitpun mengungkit keberadaanku lagi. Aku jadi berpikir mengapa dia tidak membunuhku, mengapa? Redith mempengaruhi pikiranku, untuk pergi dari sini, mungkin mereka di sana lebih membutuhkanku.
………
Hancur lebur, semua berantakkan bagai tempat penjagalan. Darah menempel, mewarnai dinding-dinding. Tapak-tapak sepatu berdarah mengecap lantai, membuktikan kepanikan luar biasa pernah terjadi di sini. Mayat manusia seakan tak menjadi menakutkan lagi, mereka bertebaran bagai serangga tersengat lampu. Selongsong peluru besar bertaburan bagai menjadi hiasannya, di antaranya aku melihat peluru yang bukan milik kami, pasukan kami tak pernah menggunakannya dan tak akan bisa. Peluru itu pasti dilontarkan senjata mesin yang super berat, kerusakan akibatnya begitu parah. Dinding-dinding menjadi begitu berlubang. Aku menduga bahwa inilah senjata dari Klaha.
Kantor asuransi bertaburan darah, hanya aku yang masih bernafas di dalam.
Aku menjadi begitu panik dan mencari-cari Deven di setiap lorong markas. Pencarianku terhenti, kepedihan menusuk dalam-dalam ke setiap sudut hatiku. Baru saja aku menaruh harapan tinggi di atas bahunya, kini bahunya terlalu rapuh menanggung harapan itu. Deven tergelepar tak berdaya di antara reruntuhan dinding yang berlubang. Puing-puing menutupi tubuhnya, tangannya menyeruak keluar. Kutarik dia keluar dari sana. Wajahnya tertutupi darah. Rantai yang menjadi kebanggaannya tergeletak di ujung lain lorong, itu memberikan sedikit gambaran akan perlawanannya terhadap Klaha.
Aku tak bisa lagi terus menahan kemarahanku. Semua perasaan berubah jadi kekecewaan mendalam, wajah Deven begitu memilukan. Sedetik yang lalu aku meninggalkannya dengan senyum kepercayaan dirinya, namun yang terjadi sekarang justru kebalikannya.
“Kau membuatku bangga, mungkin kau bukan yang terkuat, tapi kau yang terbaik.” Aku membaringkan tubuhnya di lantai koridor, lalu kutinggalkan.
Cepat-cepat aku terpikir tentang Hayden. Lalu aku mencari dia, hampir ke seluruh percabangan lorong dan ruang. Hampir lelah, dia tak terlihat juga.
“Apa yang kau cari?” gema suara LAZARUS mendadak.
Langkahku terhenti di depan mata LAZARUS. Aku menatapnya dengan penuh amarah. Aku tahu dia bisa bedakan raut emosi pada wajah.
“Inikah yang kau sebut pengabdian?”
“Jika kau artikan pengabdian adalah melindungimu, maka aku akan melakukannya…Ayah.”
Panggilan itu menusuk hatiku yang tengah lemah dan tenggelam dalam kebingungan. Bukan karena aku penciptanya lantas dia menyebutku ‘ayah’.
Itu adalah bagian dari cerita yang panjang, tentang aku dan dia. Aku masih ingat bagaimana kulihat wajah kecilnya saat pertama kali membuka mata di dunia. Tangisannya menyeruak, saat aku dan Ana pertama kali menerima dia sebagai Roberto van Luigi. Lalu tangisanku pula yang mengiringi kepergiannya akibat serangan Zerta, bertahun-tahun silam. Aku terlalu kecewa, sampai kuciptakan kembali kehidupan baginya. Dengan semua kemampuanku, dengan bantuan dari orang-orang terpintar dalam Alpha Operation, jadilah dia sekarang. Kami bangkitkan Robert kembali, sebagai sebuah mesin, dengan ratusan program menjalankannya, dengan jutaan kabel menunjang kehidupannya setiap hari. Sebagai LAZARUS, bukan Robert.
“LAZARUS…Robert, kau bukan lagi anakku atas segala yang kau perbuat. Aku akan mengembalikanmu ke tempat kau seharusnya berada.”
“Adakah rasa terima kasih untukku, Ayah? Kau seharusnya bersyukur, aku telah membawamu keluar dari intrik di dalam organisasi ini...”
LAZARUS terus berceloteh sementara aku mencari-cari dimana Hayden. Aku berusaha menjauhkan pikiranku dari semua kata-kata dengan kata tanya “mengapa” yang seperti terdengar menggema dari seluruh ruangan.
“Kau mencari Hayden bukan?” serunya tiba-tiba.
“Katakan dimana dia, Robert.”
“Tempat yang ingin kau kunjungi setelah ini, kau tahu bukan? Aku tahu kau akan mematikanku setelah ini, di sanalah Hayden berada.”
Aku pergi ke sana. Lorong ini belum tersentuh modernisasi pembangunan markas. Dindingnya masih terbuat dari batu, begitupun lantainya. Penerangan di sini mengandalkan api yang keluar dari lubang-lubang bergas yang menyembur ke atas. Di sinilah disimpan batu Oriel, portal menuju Mithrillia dan tentunya jantung LAZARUS, pusat dari segala pemikiran dan kehidupannya.
Pintu besar, terbesar di sini, inilah ruangan tempat jantung LAZARUS digantungkan. Pintu besar ini hampir mustahil terbuka oleh tangan manusia biasa, pintunya amat sangat berat. Saat kuberdiri di depannya, pintu mendadak terbuka dengan sendirinya. Bunyi gesekan baja dan lantai menderit memantul ke seluruh lorong remang. Dan terbukalah sebuah ruangan berbentuk bulat, langit-langitnya juga berbentuk kubah. Di tengahnya terdapat sebuah tabung besar dengan cairan bergelembung yang berhubungan dengan kabel-kabel ke mesin utama—jantung LAZARUS—antara lantai dan tabung itu dipisahkan dengan jurang yang mengitari.
Pintu tertutup rapat-rapat, suaranya keras sekali. Tepat di dekat mesin utama LAZARUS, Hayden, pria tua tambun dengan topi dan jaket baseball putihnya itu, terkapar tak berdaya. Wajah tuanya masih memancarkan sedikit cahaya kehidupan. Deru nafas lemahnya mengalir melewati kumis tipisnya yang penuh uban.
“Dia belum mati, Ayah.”
“Kau keterlaluan! Bagaimana bisa kau berbuat sejauh ini?”
“Bukan aku, Hayden menjadi seperti itu bukan karena kehendakku. Tapi seseorang yang meninggalkan benda ini.”
LAZARUS mengeluarkan tangan-tangannya dari dalam jurang pemisah. Tangan-tangan baja itu seperti tangan gurita yang berjumlah lima pasang, dibelit oleh kabel-kabel hitam sampai ke pergelangannya. Tiga jari bajanya terlihat kokoh. Satu di antara tangan-tangan gurita itu memegang benda asing. Benda itu dilemparkan padaku, jatuhnya berbunyi seperti besi, seperti sebuah helm perang. Aku memungut pelindung kepala kuno itu, sudah tua, usang dan berkarat. Siapapun yang memakainya dulu pasti terlihat menyeramkan, sebab helm ini menutupi hampir seluruh wajah, belum lagi dengan ukiran-ukirannya. Aku tak tahu apa ini.
“Itu sebuah peninggalan dari Raja Abigor, salah satu raja termashyur di Mirage. Itu sebagai tanda kalau tujuan mereka berkaitan dengan itu. Seorang manusia melemparkannya pada Hayden, sebelum Hayden berusaha melawan karena mengetahui kenyataannya.”
“Ini? Benarkah yang kau katakan?”
“Kau bisa mulai percaya padaku sekarang…”
“Tunggu. Belum saatnya aku menyatakan itu. Dimana kau saat itu? Kau mengecilkan kepercayaanku hingga menjadi nol padamu. Kenyataan apapun, kau tetap berkewajiban menjaga Hayden,” kataku geram.
“Hayden mematikan sistemku saat penyerangan usai. Usahanya untuk memblokir penggunaan portal sia-sia. Monster dan manusia itu tetap berhasil pergi ke Mithrillia. Manusia itu masuk ke sini, membanting Hayden, melemparkan helm itu, dan menyalakanku kembali. Hingga akhirnya mereka bedua berhasil lolos ke Mithrillia.”
“Manusia itu jugakah yang membuat Deven mati?”
“Deven mati terhempas manusia itu. Monster lain mengacak-ngacak seluruh isi markas, mereka mencari kunci menuju sektor ini.”
“Dan aku bertanya padamu bukan sebagai ayah, LAZARUS. Ini antara pencipta dan ciptaannya yang memberontak nilai-nilai kemanusiaan dalam programnya. Bagaimana bisa mereka masuk ke dalam?”
LAZARUS terdiam sesaat.
“Justru aku sedang menjalankan apa yang kau sebut program kemanusiaan...”
“Kupikir kau sudah sadar, LAZARUS, ternyata aku salah.”
“Tak bisakah kau melihat? Kau sedang dijebak, penyerangan ke markas ini sudah lama direncanakan. Surat ancaman itu palsu dan apa kau pikir suatu kebetulan bila Flavio tak ada di sini?”
“Sepertinya kau yang sedang dipengaruhi oleh manusia itu. Sisi manusiamu mulai terhasut pikiran-pikiran aneh yang membawamu pada tindakan tak masuk akal. Seharusnya kau bisa mencegah manusia dan monster itu menggunakan portal, kau bisa lakukan itu. Tak tahukah kau kalau Ivander sedang berada dalam misi penting di dalam sana?”
“Flavio menjebakmu agar bergerak di istana. Jaringan The Black Crow telah menerima surat dari Flavio, mereka bertindak seakan-akan ada banyak orang penting di dalam istana. Padahal semua itu hanya menipu, setelah itu kau hanya akan berakhir mengenaskan di penjara intelejen, sampai hukuman mati diturunkan…”
“Apa?” ungkapku seakan tak percaya.
“Sampai aku memutuskan untuk memasukkan Hellfire Institution ke dalam permainan Flavio ini. Aku menjadikan kebohongan surat ancaman Flavio kenyataan. Agar dia tahu, betapa pedihnya dikhianati. Redith terpancing ke dalam istana, aku tahu para intelejen itu sudah kalang kabut dan memilih lari dari sana. Kesalahanku hanya satu, aku membiarkan Hellfire Institution menyadap gelombang transmisi kita, itulah yang membuat posisi markas diketahui. Walaupun pengorbanan untuk ini adalah seluruh markas, aku hanya ingin kau lolos dari jeratan itu. Sudah bukan saatnya kau percaya bahwa Flavio naik tahta dengan penghitungan suara murni, bagaimana mungkin kau dan Hayden bisa kalah dengan komandan militer macam dia?”
Pikiranku seakan bergerak membenarkan perkataan LAZARUS. Aku hanya terdiam mendengar seluruhnya.
“Keberadaanmu hanya mengganggunya,” lanjut LAZARUS. “Sejak awal, dia menginginkan eksploitasi kemampuan luar biasa Ivander, untuk dia kembangkan bersama The Black Crow, hingga akan terbentuk mesin perang sadis. Dan jika kau percaya akan Tragedi Little Marry di tahun 1990 yang menimpa Ivander, kau pasti tahu seberapa besar kerusakan yang mungkin ditimbulkan.”
“Bisakah kau berikan aku alasan? Aku mulai ragu.”
“Alasannya adalah Témpust. Bila kau cukup mengetahui hubungan Témpust dan Flavio, gerakan yang dipimpin Témpust merencanakan penyerangan besar-besaran menuju Benua Tengah. Mereka butuh pasukan lebih, dan Flavio memberikan solusi itu. Kloning Ivander akan memberi dampak besar pada Mithrillia. Buktinya ada pada dataku, coba lihat dan saksikan sendiri.”
LAZARUS menampilkan layar yang menempel di seluruh dinding bulat ini. Seluruh data tentang Ivander, baik dari berat badan, tinggi, dan kode-kode genetikanya tercantum rapih dan membingungkan. Data-data pertarungan Ivander, semua kecepatan serangan dan system pemulihannya sedang diteliti. Aku tertegun, ternyata leluconnya tentang kloning Ivander pagi hari tadi bukanlah candaan. Itu nyata.
“Katakan bahwa tak ada kemungkinan kalau kau yang merekayasa semua ini?” celetukku.
“Kau, Hayden, Deven, entah siapa yang akan mempercayaiku. Aku tak mampu bergerak, aku hanya mesin, tapi aku berusaha melindungimu sekuat tenagaku. Sebab, seandainya rencana tadi berhasil, setelah kau dihukum mati, DNA-mu dan Ivander akan disatukan. Akan terbentuk manusia tanpa luka, regenerator super cepat. Apalagi dengan kejatuhan seekor Guardian di Detroit oleh Ivander, penelitian ini semakin bergairah. Flavio sudah tahu dan mengukur seberapa dalam kekuatan Ivander. Témpust memang tak pernah meminta hal ini, namun jika dipikirkan, apa ruginya dia menerima tawaran Flavio? Témpust bukanlah seorang yang cukup manusiawi, bahkan dia mau melakukan apa saja untuk mengusir bangsa Mirage. Bukankah penduduk Mithrillia juga menjulukinya sebagai Si Mata Griffon, Kaki Centaur, dan Tangan Goriathes? Itu cukup menjelaskan tabiatnya yang cukup merindukan kemerdekaan. ”
“Bukankah kepergian Ivander untuk memberitakan batu Oriel yang bersinar?”
“Jika memang hanya itu, mengapa bukan Deven? Mengapa bukan pria bernama Deven yang lebih mengetahui setidaknya sedikit lebih dari Ivander tentang Mithrillia? Bagaimana kau bisa menjelaskan hal itu? Karena aku tahu kau sangat menyayangi Ivander seperti anakmu sendiri, aku menjadi bertanya-tanya mengapa bukan Ivander yang ditugaskan untuk memanggilmu kembali.”
“Lalu, menurutmu alasan apa bagi Flavio untuk mengirim Ivander?”
“Seperti ketika kau membeli Panhead Joker-mu dulu, ada suatu proses yang dinamakan test drive. Dan itulah yang tengah terjadi pada Ivander, mungkin Flavio menawarkan contoh barang yang akan Témpust peroleh nanti.”
“Kau mungkin benar, tapi aku tak sampai hati menuduh. Aku tak melihat uang bermain di sini.”
“Mungkin uang tetap ada, Enrico. Flavio akan mundur dari jabatan pimpinan setelah berhasil dengan rencananya. Bukannya aku bersikap sok tahu, tapi itulah kenyataan yang terjadi. Tapi aku tetap tak tahu apa yang Flavio inginkan dari Témpust, atau mungkin dari kejatuhan penjajah. Aku tak tahu, Enrico.”
Aku mematikan layar dan menghilangkan pemandangan mengerikan tadi dari hadapanku. Sesaat aku merenung, aku menyandarkan tubuh Hayden agar terduduk, tidak terbaring terbalik.
“Lalu, LAZARUS,” ucapku tiba-tiba. “Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah kau memberitahuku hal ini, yang pasti seseorang harus menyampaikannya pada Ivander. Kirimkan aku ke Mithrillia, siapkan pasokan energi untuk portal, aku berangkat sekarang.”
“Tapi, bukankah kemungkinannya kecil?” sanggah LAZARUS.
“Bukan saatnya mengiba, Robert. Memang kemungkinan semua akan kacau setelah ini, dari awal aku yakin Flavio pun tahu kalau kemungkinan Ivander kembali sangat kecil. Aku pun yakin kau tahu itu, kau bukan manusia lagi, pasti kau memiliki penjelasan matematis akan betapa berbahayanya perpindahan dimensi saat Lacuna Syndrome berjalan.”
“Lalu apa yang akan terjadi pada Alpha Operation di sini?” protes LAZARUS.
“Biarkan Flavio memimpin untuk mengembalikan keadaan markas seperti semula. Biarkan Deven dikuburkan dengan layak, biarkan Hayden mendapat perawatan luka-lukanya walaupun itu dari Flavio. Namun satu pesanku yang harus kau ingat baik-baik,” kataku serius. Aku melepaskan kacamata lensa bundarku dan menyekanya dengan sisi lain dari bajuku. “Satu hal itu adalah, jangan sampai portal terbuka lagi setelah ini.”
“Itu akan membuatmu terperangkap di dalamnya dan hanya bisa mengharapkan Supernative untuk kembali. Kau yakin dengan pilihanmu itu?”
“Jika Flavio Rosetti, pimpinan berwatak Yudas itu, sudah menghasilkan apa yang dia inginkan, pengiriman akan terlaksana. Namun tidak tanpa portal itu. Betapapun sulitnya, inilah yang harus dilakukan untuk mencegah niatan Flavio yang belum kita ketahui maksudnya.”
“Témpust sedang dalam penyusunan kekuatan, kita mendukung Témpust, kita juga inginkan perdamaian antar-dimensi, tapi mengapa kau mengernyitkan alismu pada ide Flavio? Sesungguhnya pun aku tak mengerti walaupun aku tahu banyak hal,” tanya LAZARUS balik.
“Apakah ada jaminan Ivander-Ivander palsu itu terus bersama Témpust saat perang berakhir dengan kemenangan bagi Témpust? Aku memikirkan hal itu, sejak awal kau mengatakan kalau Flavio adalah otaknya, dan saat kau mengatakan bahwa Flavio memanipulasi suara votingnya.”
Keadaan hening sekali. Hanya terdengar deru nafasku yang mencoba untuk tenang. Suara-suara gelembung itu seperti suara gejolak hati Robert, dia tetap mempertahankan sisi kemanusiaannya, meski kehidupan manusianya telah hilang.
Aku memandangi tubuh anakku yang terendam tabung berisi cairan merah, memandangi rambut tebalnya yang melayang-layang di dalam air, memandangi kelopak matanya yang menutup sejak bertahun-tahun lalu. Dia dan Julia tak akan lagi kulihat dalam sejarah kehidupanku selanjutnya—mungkin iya, mungkin tidak.
“Aku mengerti, jadi apa yang harus aku lakukan?” tanya LAZARUS menggema.
………
Saat ini, bulan ketujuh, Sathyrozett tengah berjalan di Mithrillia. Itu adalah tanda musim panas tengah menyelubungi dunia lain ini.
Dan inilah Mithrillia yang sesungguhnya. Deretan bukit hijau yang diselingi padang pasir, sebuah pemandangan aneh bagi seorang manusia Maya. Kutapaki sejejak jalan dengan rerumputan kering yang mengelilinginya. Sebuah desa kecil dengan posisi tanah agak rendah, terpampang di depan mataku. Ke sanalah aku harus mencari infomasi terlebih dahulu.
Portal telah kulalui, seiring dengan pesanku yang dijalankan oleh seorang mantan manusia yang bernama LAZARUS. Hancurkan portalnya, dan aku ingin kau rekayasa kepergianku oleh kematian di tangan Redith. Rekayasa kedua adalah menyamarkan akibat kehancuran portal, hapus semua video saat aku melewatinya. Walaupun dengan suara beratnya, akhirnya LAZARUS mengantarkan kepergianku dengan kata setuju. Mulai detik ini aku tak lagi berada di sana, hanya aku dan dunia terasingku. Di tempat ini, aku akan mencari Ivander.
Dengan jalan setapak berbatu, aku menuju ke sana. Sekelilingnya adalah tanah berpasir dengan sedikit rumput. Hamparan ladang gandum sepertinya akan lebih banyak lagi kutemukan. Ada papan kayu di atas gerbang desa, tergantung dengan dua rantai dikedua sisinya. Di sanalah tertulis nama desa ini.
Desa Cordanté, Tanah Para Pemberani dan Para Pejuang.
Entah kebetulan atau tidak, inilah tempat kelahiran manusia terkenal itu, Lampros Témpust. Aku hampir-hampir tak percaya sebuah kisah perjuangan berawal dari sini.
“Tuan, anda sepertinya asing di sini. Anda orang baru, butuh penginapan, murah-murah…” Mereka tak memberiku kesempatan bernafas. Beruntun, orang-orang datang menawarkan penginapan.
Sebagai tempat kelahiran Témpust, desa ini dinobatkan menjadi desa yang sering dikunjungi oleh orang-orang yang ingin melihat dimana Témpust dibesarkan—benar-benar sebuah desa wisata. Terlalu banyak penginapan berjejer di sini. Beberapa memang sedang kosong, karena itu mereka bersaing untuk mendapatkan minatku.
Témpust besar di sebuah desa yang indah. Dikelilingi bukit batu yang berteman dengan deburan angin pasir. Tempat tinggi dan rendah dihubungkan dengan tangga batu. Arsitektur Eropa di abad pertengahan amat kental di sini. Kota yang beralaskan tanah berumput kering ini memiliki banyak lahan pertanian. Orang-orang berpakaian seperti selayaknya petani dan pedagang. Tubuh mereka ditutupi kulit domba, banyak juga yang memakai cadar.
Sesaat aku tertarik pada segerombolan anak yang bermain perang-perangan. Aku bisa melihat mereka bermain gembira dengan pedang kayu. Satu dari mereka memakai janggut palsu dari ilalang kering. Dan dia selalu berteriak, “Merdeka,” ketika dia dan bagiannya menyerbu pasukan sisi lain. Saat komandan lawannya membalas, “Bunuh Témpust!” aku menjadi paham akan maksud anak-anak ini.
Arah selatan bagi Mithrillia, di sanalah Goat Hill. Berarti aku akan pergi ke selah-selah bukit itu. Pasti sangat jauh dan melelahkan. Mungkinkah aku bisa membeli hewan untuk kunaiki? Aku tahu mata uang di sini berbeda, mereka menggunakan Krall, mata uang dari Kerajaan. Aku tak akan mampu berkutik di sini dengan Euro dan Dollar di sakuku.
Seorang wanita mengganggu pandanganku ketika aku mulai berjalan menuju ujung desa di bagian selatan. Gaya rambutnya mungkin sungguh lazim di dunia Maya, namun di sini, itu akan menjadi barang langka yang mencolok. Aku tak akan mencurigainya bila bukan karena rambutnya. Pakaian yang wanita itu sudah sama dengan wanita setempat yang mengenakan rok panjang dan baju-baju berwarna hijau pastel. Di sampingnya, seseorang berbadan tegap mendampingi. Orang itu mengenakan jubah hitam berkerudung, yang terbuat dari kulit binatang. Seluruhnya serba hitam. Di pinggangnya tersarung sebuah pedang yang gagah.
Pertanyaan muncul, siapa wanita itu sebenarnya?
Mereka berjalan kaki, keluar dari gerbang selatan desa Cordanté. Kuambil langkah seribu membuntuti. Perjalanan di atas jalan setapak yang naik turun ini di kelilingi padang rumput kering. Mereka berdua terlihat kaku dan tak bersahabat. Dari awal, aku mencurigai bahwa wanita itu memang orang dari dunia Maya yang terlempar badai dimensi, dan orang di sampingnya pasti memiliki niat buruk—menjual wanita itu mungkin?
Siapa yang tahu?
Mulutku gatal untuk menghentikan langkah pria tinggi itu. Kami sudah cukup jauh dari pintu gerbang selatan, tak akan ada masalah bila terjadi pertarungan di sini.
“Hei, kau! Hentikan langkahmu!” seruku kencang.
Dia berhenti, wanita itu pun berhenti dan memalingkan pandangannya padaku. Pria itu tetap dingin, seakan aku bukanlah gangguan yang berarti.
“Bicaralah sesukamu.” Pria serba hitam itu melanjutkan langkahnya, dia membuat wanita itu terpaksa mengikutinya lagi.
“Satu langkah lagi berarti kau mencari masalah denganku,” ancamku serius. Bunyi sabitku yang bergesekan membuat pria itu berhenti kembali.
“Sebaiknya kau punya cukup alasan untuk membuat langkah buru-buruku tertahan, Pak Tua.”
Pria misterius itu berbalik, dia membuka kerudung yang membuat bayangan hitam pada wajahnya. Tampaklah seraut ekspresi dingin, wajahnya nampak tak terawat, kumis dan janggut tipisnya dibiarkan tumbuh berantakan. Alisnya yang tebal begitu lekat dengan mata, dia masih tenang dan datar di saat aku mengancamnya. Seingatku, seperti inilah ciri-ciri salah satu profesi paling berbahaya di Mithrilia—Bounty Hunter—orang ini pasti seorang pemburu bayaran.
“Sepertinya gadis itu tidak berasal dari sini. Pemburu bayaran, lalu untuk apa kau membawa-bawa dia?”
Gadis itu seakan ingin bereaksi terhadap pertanyaanku, namun pria ini menghalanginya.
“Apa keuntunganmu atas informasi ini?” jawabnya ketus. Pria ini mengeluarkan pedangnya yang bermata lebar, menebarkan bunyi gesekan logam pada sarungnya. “Kau yang meminta, kau yang menerima.”
“Silahkan, aku ladeni keinginanmu,” jawabku menanggapi.
Dan siang pun mulai menua, digantikan oleh jingga cahaya matahari senja yang begitu tajam mewarnai langit. Udara dingin perlahan mulai menggantikan panas gurun. Serigala-serigala melolong tinggi, tanda bau kematian sudah dekat.
Pagi yang menyesakkan, kutinggalkan Virginia demi terbangun di ruangan yang telah jadi kenanganku selama satu dekade. Sejak awal kubuka mata, aku tahu LAZARUS sudah mengawasiku.
“Selamat Pagi, Tuan Enrico. Secangkir kopi di pagi hari?”
“Selamat pagi, Kawan Lama. Hari ini kopi hitam pekat. Butuh banyak konsentrasi pagi ini. Siapkan juga sarapan, aku perlu mandi.”
Ada sebuah panel lubang persegi yang bisa menghantarkan makanan. Sekembalinya aku dari kamar mandi, kulihat panel itu sudah terisi sesuatu berbau sedap. Makanan itu dikirim dari bagian dapur gedung ini. Selalu ada sarapan berbeda setiap hari. Kali ini, sepiring pasta dengan daging dan saus tomat. Rasanya tidak begitu buruk, ini memang makanan kesukaan Flavio. Flavio dari Italia, dia tahu banyak soal masak-memasak, tak ada yang menghalanginya membuat sarapan,. Entahlah, mungkin Flavio tinggal memberikan resepnya pada juru masak.
“Tuan Flavio menanti anda di ruangannya selesai sarapan, Tuan Enrico.”
“Aku akan datang, LAZARUS. Katakan padanya untuk menunggu sepuluh menit lagi,” jawabku dengan mulut mengunyah.
Aku heran mengapa belum banyak keadaan berubah di dalam organisasi ini. Kurasa inilah wujud nyata dari ketakutan mereka kalau organisasi tak akan mampu berkembang tanpa kehadiranku.
Tapi…
Sesungguhnya Deven dikirim untuk memanggilku bukan agar aku mengkritisi perkembangan organisasi ini. Aku harus mencari tahu ada apa di dalam pikiran Flavio Rosetti. Itu yang membawaku ke sini, di depan sebuah meja kayu, di dalam ruangan segienam nuansa klasik. Kutatap lawan bicaraku yang tak berambut, itu ciri khasnya, Flavio Rosetti.
“Kelihatannya kondisimu baik-baik saja.”
“Kau juga terlihat makin sibuk, Flavio. Tak bisa dipungkiri, kau nampak banyak berubah dalam sepuluh tahun.”
“Untuk hal itu, sepertinya aku mulai iri padamu,” pujinya sambil sedikit tertawa. “Kau sudah tahu bukan mengapa kau kupanggil kembali ke sini?”
“Judas Eyes Sickness. Itukah dasarnya, Flavio? Aku curiga bukan itu.”
Flavio tersenyum kecil, kemudian mulai tertawa kecil pula. Dia mengeluarkan sekotak cerutu dari laci kerjanya. “Kau mau? Ambillah!” tawar Flavio.
“Sudah beberapa tahun ini aku berhenti menghisap tembakau. Tidak, terima kasih. Jadi lanjutkan saja, Flavio,” selaku buru-buru.
“Memang, awalnya aku ingin mengirimkanmu ke Mithrillia. Tapi Ivander saja sepertinya sudah cukup di sana. Lagipula dari perhitungan komputer, sekarang antara mereka dan kita, sudah tak ada lagi beda waktu yang signifikan. Namun justru itulah gejala Lacuna Syndrome, bukan begitu Enrico?”
“Dan jika kau sudah berkata seperti itu, nampaknya tugasnya berat. Kau tak yakin untuk menyerahkannya pada Deven yang masih muda dan bisa berkembang, sementara aku sudah tua dan tinggal menunggu mati. Membahayakan nyawa. Bukankah begitu, Flavio?” tanyaku balik.
“Bukan untuk alasan itu, Enrico. Aku tahu kau sudah hidup tenang di sana. Deven memang bisa mengurus masalah ini, meskipun tak sampai selesai ke akarnya. Aku butuh kau untuk menebak, menerka kemungkinan akan bergerak kemana ‘dia’.”
“Dia? Siapa yang kau maksud?”
“Baru-baru ini, jaringan kita di Inggris mengabarkan adanya rencana penyerangan istana oleh proyek baru Hellfire, pengembangan dari Zerta, Assassin lain. Aku baru mendengar itu sebagai sebuah isu. ‘Mereka pasti berusaha membunuh seseorang di dalam istana. Karena ini bersinggungan dengan banyak pihak, aku takut Deven berbuat kesalahan. Karena itu, kau kupilih, Enrico.” Flavio menghembuskan asap cerutunya, kemudian dia mematikannya ke atas asbak kaca.
“Siapa yang mengirimkan isu itu padamu? Kau tak takut itu sebuah jebakan? Jaringan kita bukanlah orang-orang yang loyalitasnya bisa diuji,” tanyaku sinis.
“Aku tahu itu, Enrico. Karena itu, jangan bertindak mendahului intelejen Kerajaan. Jaringan yang menghubungi kebetulan mengakui adanya surat dari pihak Hellfire sendiri. Surat ancaman, tapi aku bingung. Aku tertawa begitu membacanya.”
“Tertawa, mengapa? Bukankah itu bisa dipalsukan juga?”
“Bukan masalah itu. Isi surat itu meminta kita mengirim Ivander ke Inggris bila kita ingin penyerangan itu dibatalkan. Dengan kata lain, mereka nekad menyerang istana hanya untuk bertemu dengan Ivander, bukan kau yang notabene lebih terkenal,” Flavio tersenyum heran, menggelengkan kepalanya.
Mendadak aku menjadi kesulitan menyembunyikan ekspresiku. Aku memang menyembunyikan sesuatu tentang anak itu, bahkan mungkin Ivander tak tahu lebih banyak dariku, tentang dirinya, tentang masa lalunya yang terbuang. Bibirku bergetar menahan kata-kata, tanganku mengepal keras-keras. Aku tertawa, tertawa seakan-akan ada yang lucu. Flavio ikut denganku, dia telah tertipu dengan ekspresi yang kutunjukkan. Mungkin dia tahu, tapi tak sedetil yang kutahu.
“Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?” timpalku menutup-nutupi kenyataan dalam pikiranku.
Flavio mendadak diam seribu bahasa. Dia mengganti tawanya dengan tatapan dalam. Sepertinya dia mengetahui isi pikiranku.
“Aku tahu, Enrico. Kau lebih banyak paham tentang dia daripada aku. Jangan katakan itu padaku jika kau tak ingin. Setidaknya aku jadi mengerti, mengapa Ivander menjadi sebegitu berarti bagimu.”
“Ivander itu anakku, dia sudah kuanggap anak laki-lakiku. Aku tak ingin ada yang terenggut lagi dari hidupnya. Kau sendiri pernah mendengar sekelebat kisahnya bukan? Aku menjadi tak perlu menceritakan seberapa pahitnya masa lalu anak itu…”
Flavio mengangguk, kemudian suara ketukan pintu menyela.
“Masuklah!” seru Flavio.
Patricio Deven membuka pintu dan melihat keberadaanku di dalam. Dia tampak segan, seperti sebuah kesalahan besar telah dia perbuat.
“Oh, maaf sudah mengganggu pembicaraan penting kalian…” katanya buru-buru. Deven ingin kembali keluar dari ruangan.
“Tak apa, Deven. Hanya perbincangan santai antara aku dan kawan lamaku. Apa yang membawamu ke sini?” balas Flavio menghentikannya.
“Mengenai penyerangan istana, kapan kau memperbolehkanku berangkat?”
“Kau dibebas-tugaskan, Deven. Enrico yang akan berangkat ke sana. Kau berjaga di markas, setelah ini aku akan pergi ke Roma, kau dan paman Hayden bertanggung jawab di sini.”
Wajahnya berubah aneh, Deven takut dia salah mendengar.
“Ya, bebas tugas. Tapi seluruh keamanan markas menjadi tanggung jawabmu. Ingat, akhir-akhir ini LAZARUS sedikit lalai,” jawab Flavio Rosetti.
Deven tampak kecewa, dia merasa ada kepercayaan yang hilang meskipun dia belum melakukannya. “Baiklah, Pimpinan. Aku permisi,” kata Deven mencoba tegas. Dia keluar dari ruangan dan menutup pintu kembali.
Suasana kembali berlanjut. Flavio menghela nafas panjang, beberapa kali dia menggaruk kepala tanpa rambutnya itu.
“Terkadang mengalihkan kepercayaan menjadi begitu sulit, bukan? Namun terkadang itu perlu untuk Deven, dia perlu belajar untuk tidak dinomor-satukan di sini.”
“Kau tidak berpikir kalau kita memerlukan tambahan unit lagi? Mungkin beberapa orang jago tembak? Karena kuperhatikan, ada perbedaan usia yang jauh di antara kita.”
“Entahlah, Enrico. Kepercayaanku pada orang-orang rekrutan sudah mulai meluntur. Mereka senang sekali berjalan di jalur yang menyimpang dari objektif semula. Jika memilih, lebih baik aku meneliti bagaimana cara mengkloning manusia, kemudian kugandakan Deven dan Ivander,” candanya, lalu Flavio tertawa renyah.
“Ada-ada saja kau ini!” tawaku mengiringinya. Sesaat, suasana mereda. “Baik, jika tidak ada lagi yang bisa kukerjakan di sini, aku permisi.”
“Silahkan, Enrico. Pastikan kau sampai di istana sebelum matahari hari ini terbenam,” sahut Flavio terdengar saat aku keluar dari ruangannya.
Lorong demi lorong kulewati. Aku tak sengaja melihat Deven di salah satu lorong. Pria muda itu terduduk dengan sebatang rokok terselip di bibirnya. Pandangannya diarahkan lurus ke depan tanpa maksud. Sesekali dia menghela nafas panjang diserta hembusan asap rokok. Deven tampak begitu kehilangan, mungkin misi itu penting untuknya.
“Hei, Nak. Lama tak bertemu denganmu. Kau jadi begitu pemurung?” tanyaku datang menyergap tempat di sampingnya.
“Aku tak apa-apa, Ketua. Sungguh, keadaan terkendali di sini,” sanggahnya buru-buru.
“Kau tahu, semasa Kross memimpin dahulu, kau akan terkena semprotan kata-kata darinya bila kau duduk tanpa alasan di sini. Mengapa kau tidak beristirahat saja? Mungkin tugasmu menjaga markas akan lebih berat dari tugasku.”
Deven diam tak bergeming. Sampai akhirnya dia mau buka suara, “Seandainya aku mendapat tugas seperti Ivander, atau sepertimu. Tampaknya kepercayaan pimpinan padaku sudah mulai hilang. Dia katakan padamu apa penyebabnya?”
“Sayang sekali aku tak diberitahu. Dan sayangnya lagi, dia tak pernah mengatakan bahwa dia tak percaya padamu.” Aku beranjak dari tempatku duduk, kemudian aku mulai melangkahkan kaki lambat-lambat. “Justru dia bilang kalau dia sangat membutuhkanmu, hingga dia berkelakar akan mengkloningmu.” candaku saat berjalan meninggalkan Deven. Aku bisa lihat semangat itu kembali lagi di kedua matanya.
Deven berjalan dengan langkahnya sendiri setelah itu, begitupun aku. Aku meninggalkan markas pukul sepuluh pagi, beranjak menuju Inggris dengan pesawat terbang. Landasan pacu tampak basah karena guyuran hujan kecil. Pesawat tetap beranjak dari Bucharest meskipun cuaca kurang bersahabat.
Melamun, entah kenapa aku begitu sering melakukannya akhir-akhir ini. Tentang Julia, dan tentang masa laluku. Tentu saja hutang-hutang itu tak bisa kulupakan juga.
………
London, bukanlah pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di sini. Di sini aku pertama kali bertemu dengan Ivander, seorang Meksiko yang ditugaskan mengawal ratu dalam konferensi rahasia. Saat itu penyerangan sejumlah setan-setan terjadi. Aku ingat saat itu Ivander pertama kali menunjukkan kekuatan regenerasinya padaku.
Di London sekarang inilah, dalam beberapa menit perjalananku dari bandara, di depan mataku sudah berdiri seorang yang merupakan komandan operasi lapangan dari organisasi sangat-rahasia milik kerajaan, The Black Crow. Berpakaian rapih, dengan jas hitam dan celana kain hitam, mengenakan kacamata hitam dan alat komunikasi di telinga, menyarungkan senjata api di pinggang, amat jauh dari penampilanku yang serba seadanya.
“Enrico van Luigi, sungguh baik menerima kehadiranmu di sini!” sambutnya dengan berjabat tangan.
“Brandon, aku hampir tak mengenalmu tadi. Maaf membuat kalian khawatir kalau-kalau aku tak datang.”
“Tak apa, Enrico. Lagipula surat itu sepertinya hanya omong kosong belaka. Belum ada tanda-tanda kehadiran mereka di sini. Keadaan aman terkendali.”
“Ramai sekali, sepertinya organisasimu serius ya?”
“Sebagian merupakan intelejen negara lain. Wakil mereka sedang berbicara dengan ratu. Tujuh negara, termasuk Belanda, Enrico van Luigi. Sekali saja kami lengah, maka tamatlah mereka semua. Karena itu, tanggung jawab ini dibagi bersama, apalagi dengan kedatanganmu.”
“Mengandalkan orang tua ini seperti membelah buah dengan pisau berkarat. Pesanku, tolong perintahkan anak buahmu untuk memperketat penjagaan di atas pukul enam sore. Kemungkinan sangat besar di jam-jam itu.”
“Aku mengerti, Enrico. Sebaiknya sekarang kubicarakan. Permisi…”
Pukul satu siang, pembicaraan penting di dalam ruang itu dihentikan. Mereka semua beristirahat untuk sekedar jamuan. Keadaan menjadi begitu runyam di sini, keamanan bisa terancam kapan saja. Satu-satunya alasan mengapa Flavio mengirimku ke sini adalah karena Deven terlalu berharga untuk mati—dan aku tidak. Walaupun terdengar kejam, aku bisa terima itu. Sebelum aku kehilangan denyut jantungku, seorang Enrico van Luigi akan terus hidup, entah sampai kapan. Mungkin bukan hal yang aneh bila aku menjadi orang yang sangat mendambakan kematian.
Urat-urat mulai menegang kembali ketika jamuan selesai. Mereka kembali ke ruangan rapat tertutup. Pukul dua siang, belum ada pergerakkan dari Hellfire Institution. Di luar tampak sepi, namun mendadak kesan itu meninggalkan kesan tak biasa. Bagiku, bila aku menjadi mereka, pertahanan semacam ini bukanlah sesuatu yang berarti banyak. Bagaimanapun mereka adalah organisasi yang bahkan mampu melumpuhkan satu negara sekaligus. Tak heran jika di luar sepi, mungkin saja orang-orang Hellfire Institution sudah masuk dari tadi. Jika itu terjadi, pasti mereka berada di antara anggota intelejen ini, yang mana?
Mataku mulai melirik, mencari-cari orang yang mencurigakan. Aku yang tak mengenal banyak orang di bagian ini, pasti akan kesulitan. Brandon masih berjaga di dalam. Kupikir aku akan meminta bantuannya untuk memperketat penjagaan di lorong-lorong istana. Aku berlari menghampirinya. Dia tengah memunggungiku dengan senapan otomatis di tangan kanannya.
‘Brandon, syukurlah kau di sini. Aku ingin…”
Brandon terkapar saat kutepuk pundaknya pelan. Dan bagaikan efek domino, beberapa anak buah yang menyertainya di depan, jatuh satu persatu. Itulah pertama kali aku melihat penyusupan tanpa cacat, gerakan mereka sangat halus.
“Penyusuuuup!” teriakku memantul di lorong. “Cari sampai dapat!”
Seruanku menimbulkan kepanikan seluruh pasukan. Mereka berhamburan ke dalam. Keadaan di luar menjadi kurang terjaga, karena itulah aku memutuskan untuk berlari keluar. Aku dikejutkan dengan adanya tubuh anggota intelejen yang dilemparkan padaku. Sebuah bukti bahwa mereka telah tiba, sebelum matahari terbenam, begitu kata Flavio—berarti ini baru bagian pembukanya saja.
Tanpa disangka-sangka, si pelempar mayat datang. Sesosok monster kurus, tinggi, melebihi tinggiku yang mencapai dua meter. Seluruh tubuhnya terbalut perbang kusam yang terkoyak. Dia mengenakan rompi yang berwarna sama dengan kain terusan yang menutupi kakinya yang ramping, hitam pekat. Wajahnya tertutup topeng besi tanpa celah, jelaslah dia bukan manusia. Di permukaan topengnya, tertulis, Assassin Project-2, terpampang lambang Hellfire Institution dengan jelas pada bagian depan topeng. Dari katar yang terpasang di punggung tangannya, menetes darah segar hasil pembunuhannya. Hawa pembunuhnya menusuk dalam-dalam, walaupun dia tak memiliki mata tajam atau senyum menyeringai yang menjijikan, namun dari seluruh tubuhnya mengalir deras keinginan untuk membunuh. Aku seakan merasakan maut sendirilah yang mendatangiku.
“Kau…” katanya dengan suara parau dan dalam. “Pendeta Tinggi Alpha Operation, Enrico van Luigi?” tanya sambil terus mendekatiku lambat-lambat.
“Jadi mereka tak memasukkan program sopan santun padamu?” sindirku sambil menyiagakan kedua sabit perakku di kedua tangan. “Perkenalkan dirimu dahulu sebelum bertanya siapa nama orang yang kau tanyai.”
“Namaku Redith, aku lahir dari serpihan-serpihan dendam Zerta di masa lampau. Kupikir pengetahuanmu akan namaku akan sia-sia, sebab kau pasti mati setelah ini…” katanya tenang, suaranya terhalang topeng tanpa celahnya itu. “Tapi biarlah namaku kau bawa ke dalam penderitaanmu di neraka, Enrico. Ingatlah akan satu nama itu, yang membawamu ke sini, yang membuatmu melakukan kesalahan besar dalam hidupmu. Saat kau mati, kau akan diijinkan melihat kecerobohanmu, penglihatan lugumu akan keberadaan serigala dalam organisasi penuh domba yang terus kau sangkal.”
“Dasar monster! Apa maksudmu berkata seperti itu?” teriakku geram. Kedua sabitku bergesekkan kuat, bunyinya membuat degup jantungku menderap kencang.
“Lihat tanda di topengku ini, lihat baik-baik nomornya. Apa yang kau pikir ada di benakku?” pancingnya sambil menunjuk ke angka dua dari tulisan Assassin Project-2.
Lalu dimana Assassin pertama? “Rencana apa lagi ini!” kataku menggeram.
“Dimana Flavio? Sepertinya dia sedang tak berada di kursi kulit cokelatnya,” ujar Redith penuh makna terselubung. Dia membuat pikiranku makin menjurus pada hal yang sudah seharusnya kusadari sedari tadi.
“Kurang ajar! Darimana kau tahu hal itu?”
Atau jangan-jangan, dia menjebakku di sini?
“Katakan kata-katamu itu pada rekanku di markasmu, sementara aku mengurus para petinggi negara di dalam bangunan ini. Sekarang, siapa yang ingin kau selamatkan, Enrico, pendeta Agung?”
Dia ini, bukan hanya penampilannya yang busuk, ternyata otaknya lebih pintar dan busuk dari yang kubayangkan. Dia berbeda dengan Zerta, dia bukan Beta project—dia penyempurnaan, penyempurnaan yang sempurna.
Bagaimana dengan Deven di sana?
Haruskah aku membiarkan mereka di dalam istana, sementara aku menyelamatkan markas? Yang mana yang lebih penting, organisasi atau negara? Hatiku bergerak di tengah gelombang tinggi, semakin kupikirkan, semakin aku bimbang.
“Bagaimanapun kau berpikir, justru kebimbangan akan semakin lekat di hatimu. Waktumu sempit, Enrico. Waktumu akan habis setelah Klaha menghabisi seluruh manusia di markasmu, dan pasukanku menghabisi seluruh intelejen di dalam. Saat itu, aku menang atas kebimbanganmu.”
Kata-kata Redith begitu mempengaruhiku, rangkaian kalimat itu menyergap seluruh alat inderaku. Aku tak kuasa mengambil tindakan.
“Klaha…begitukah namanya? Padahal kupikir LAZARUS telah begitu sempurna membendung penyusup macam kalian. Mengapa ini sampai bisa terjadi?” gumamku di tengah keputusasaan dan intimidasi dari Redith.
“Aku dengar bisikkan depresimu itu, Enrico. Mengapa kau bisa percaya pada mesin yang justru menjadi serangga kami. LAZARUS itu, komputer paling busuk yang pernah kuketahui. Kau tahu kenapa?”
Mataku terdiam tak berkedip, bibirku kaku mendengar kata-kata Redith. Amarah yang ada menjadi bercampur aduk dengan perasaan terkhianati.
“LAZARUS membukakan jalan untuk kami, lebar-lebar! Mungkin sekarang seluruhnya sudah mati, dan tentunya Klaha sudah menyebrang dengan portal itu. Tujuan kami hanya mencari dia, dan demi dia kami rela lakukan apa saja.”
“Apakah legenda itu menjadi begitu penting bagi kalian?”
“Mungkin…sangat mungkin, jawabannya iya. Legenda yang sebenarnya merupakan awal mula kehadiran kami di dunia bobrok ini. Bukankah akan lebih baik bila secepat mungkin kami menggenapi legenda itu? Agar kau dan segala masalahmu, lalu teman-teman bertampang malaikat itu dilebur dalam alam baka. Sekarang, aku rasa sudah terlambat untuk membantu orang-orang di dalam istana. Sebaiknya kau pulang dan melihat keadaan rumahmu itu, van Luigi.”
Redith berjalan melewatiku, dia menepis kehadiranku begitu saja, seakan aku hanyalah patung. Redith menaiki tangga kemenangannya, dia masuk ke dalam istana tanpa sedikitpun mengungkit keberadaanku lagi. Aku jadi berpikir mengapa dia tidak membunuhku, mengapa? Redith mempengaruhi pikiranku, untuk pergi dari sini, mungkin mereka di sana lebih membutuhkanku.
………
Hancur lebur, semua berantakkan bagai tempat penjagalan. Darah menempel, mewarnai dinding-dinding. Tapak-tapak sepatu berdarah mengecap lantai, membuktikan kepanikan luar biasa pernah terjadi di sini. Mayat manusia seakan tak menjadi menakutkan lagi, mereka bertebaran bagai serangga tersengat lampu. Selongsong peluru besar bertaburan bagai menjadi hiasannya, di antaranya aku melihat peluru yang bukan milik kami, pasukan kami tak pernah menggunakannya dan tak akan bisa. Peluru itu pasti dilontarkan senjata mesin yang super berat, kerusakan akibatnya begitu parah. Dinding-dinding menjadi begitu berlubang. Aku menduga bahwa inilah senjata dari Klaha.
Kantor asuransi bertaburan darah, hanya aku yang masih bernafas di dalam.
Aku menjadi begitu panik dan mencari-cari Deven di setiap lorong markas. Pencarianku terhenti, kepedihan menusuk dalam-dalam ke setiap sudut hatiku. Baru saja aku menaruh harapan tinggi di atas bahunya, kini bahunya terlalu rapuh menanggung harapan itu. Deven tergelepar tak berdaya di antara reruntuhan dinding yang berlubang. Puing-puing menutupi tubuhnya, tangannya menyeruak keluar. Kutarik dia keluar dari sana. Wajahnya tertutupi darah. Rantai yang menjadi kebanggaannya tergeletak di ujung lain lorong, itu memberikan sedikit gambaran akan perlawanannya terhadap Klaha.
Aku tak bisa lagi terus menahan kemarahanku. Semua perasaan berubah jadi kekecewaan mendalam, wajah Deven begitu memilukan. Sedetik yang lalu aku meninggalkannya dengan senyum kepercayaan dirinya, namun yang terjadi sekarang justru kebalikannya.
“Kau membuatku bangga, mungkin kau bukan yang terkuat, tapi kau yang terbaik.” Aku membaringkan tubuhnya di lantai koridor, lalu kutinggalkan.
Cepat-cepat aku terpikir tentang Hayden. Lalu aku mencari dia, hampir ke seluruh percabangan lorong dan ruang. Hampir lelah, dia tak terlihat juga.
“Apa yang kau cari?” gema suara LAZARUS mendadak.
Langkahku terhenti di depan mata LAZARUS. Aku menatapnya dengan penuh amarah. Aku tahu dia bisa bedakan raut emosi pada wajah.
“Inikah yang kau sebut pengabdian?”
“Jika kau artikan pengabdian adalah melindungimu, maka aku akan melakukannya…Ayah.”
Panggilan itu menusuk hatiku yang tengah lemah dan tenggelam dalam kebingungan. Bukan karena aku penciptanya lantas dia menyebutku ‘ayah’.
Itu adalah bagian dari cerita yang panjang, tentang aku dan dia. Aku masih ingat bagaimana kulihat wajah kecilnya saat pertama kali membuka mata di dunia. Tangisannya menyeruak, saat aku dan Ana pertama kali menerima dia sebagai Roberto van Luigi. Lalu tangisanku pula yang mengiringi kepergiannya akibat serangan Zerta, bertahun-tahun silam. Aku terlalu kecewa, sampai kuciptakan kembali kehidupan baginya. Dengan semua kemampuanku, dengan bantuan dari orang-orang terpintar dalam Alpha Operation, jadilah dia sekarang. Kami bangkitkan Robert kembali, sebagai sebuah mesin, dengan ratusan program menjalankannya, dengan jutaan kabel menunjang kehidupannya setiap hari. Sebagai LAZARUS, bukan Robert.
“LAZARUS…Robert, kau bukan lagi anakku atas segala yang kau perbuat. Aku akan mengembalikanmu ke tempat kau seharusnya berada.”
“Adakah rasa terima kasih untukku, Ayah? Kau seharusnya bersyukur, aku telah membawamu keluar dari intrik di dalam organisasi ini...”
LAZARUS terus berceloteh sementara aku mencari-cari dimana Hayden. Aku berusaha menjauhkan pikiranku dari semua kata-kata dengan kata tanya “mengapa” yang seperti terdengar menggema dari seluruh ruangan.
“Kau mencari Hayden bukan?” serunya tiba-tiba.
“Katakan dimana dia, Robert.”
“Tempat yang ingin kau kunjungi setelah ini, kau tahu bukan? Aku tahu kau akan mematikanku setelah ini, di sanalah Hayden berada.”
Aku pergi ke sana. Lorong ini belum tersentuh modernisasi pembangunan markas. Dindingnya masih terbuat dari batu, begitupun lantainya. Penerangan di sini mengandalkan api yang keluar dari lubang-lubang bergas yang menyembur ke atas. Di sinilah disimpan batu Oriel, portal menuju Mithrillia dan tentunya jantung LAZARUS, pusat dari segala pemikiran dan kehidupannya.
Pintu besar, terbesar di sini, inilah ruangan tempat jantung LAZARUS digantungkan. Pintu besar ini hampir mustahil terbuka oleh tangan manusia biasa, pintunya amat sangat berat. Saat kuberdiri di depannya, pintu mendadak terbuka dengan sendirinya. Bunyi gesekan baja dan lantai menderit memantul ke seluruh lorong remang. Dan terbukalah sebuah ruangan berbentuk bulat, langit-langitnya juga berbentuk kubah. Di tengahnya terdapat sebuah tabung besar dengan cairan bergelembung yang berhubungan dengan kabel-kabel ke mesin utama—jantung LAZARUS—antara lantai dan tabung itu dipisahkan dengan jurang yang mengitari.
Pintu tertutup rapat-rapat, suaranya keras sekali. Tepat di dekat mesin utama LAZARUS, Hayden, pria tua tambun dengan topi dan jaket baseball putihnya itu, terkapar tak berdaya. Wajah tuanya masih memancarkan sedikit cahaya kehidupan. Deru nafas lemahnya mengalir melewati kumis tipisnya yang penuh uban.
“Dia belum mati, Ayah.”
“Kau keterlaluan! Bagaimana bisa kau berbuat sejauh ini?”
“Bukan aku, Hayden menjadi seperti itu bukan karena kehendakku. Tapi seseorang yang meninggalkan benda ini.”
LAZARUS mengeluarkan tangan-tangannya dari dalam jurang pemisah. Tangan-tangan baja itu seperti tangan gurita yang berjumlah lima pasang, dibelit oleh kabel-kabel hitam sampai ke pergelangannya. Tiga jari bajanya terlihat kokoh. Satu di antara tangan-tangan gurita itu memegang benda asing. Benda itu dilemparkan padaku, jatuhnya berbunyi seperti besi, seperti sebuah helm perang. Aku memungut pelindung kepala kuno itu, sudah tua, usang dan berkarat. Siapapun yang memakainya dulu pasti terlihat menyeramkan, sebab helm ini menutupi hampir seluruh wajah, belum lagi dengan ukiran-ukirannya. Aku tak tahu apa ini.
“Itu sebuah peninggalan dari Raja Abigor, salah satu raja termashyur di Mirage. Itu sebagai tanda kalau tujuan mereka berkaitan dengan itu. Seorang manusia melemparkannya pada Hayden, sebelum Hayden berusaha melawan karena mengetahui kenyataannya.”
“Ini? Benarkah yang kau katakan?”
“Kau bisa mulai percaya padaku sekarang…”
“Tunggu. Belum saatnya aku menyatakan itu. Dimana kau saat itu? Kau mengecilkan kepercayaanku hingga menjadi nol padamu. Kenyataan apapun, kau tetap berkewajiban menjaga Hayden,” kataku geram.
“Hayden mematikan sistemku saat penyerangan usai. Usahanya untuk memblokir penggunaan portal sia-sia. Monster dan manusia itu tetap berhasil pergi ke Mithrillia. Manusia itu masuk ke sini, membanting Hayden, melemparkan helm itu, dan menyalakanku kembali. Hingga akhirnya mereka bedua berhasil lolos ke Mithrillia.”
“Manusia itu jugakah yang membuat Deven mati?”
“Deven mati terhempas manusia itu. Monster lain mengacak-ngacak seluruh isi markas, mereka mencari kunci menuju sektor ini.”
“Dan aku bertanya padamu bukan sebagai ayah, LAZARUS. Ini antara pencipta dan ciptaannya yang memberontak nilai-nilai kemanusiaan dalam programnya. Bagaimana bisa mereka masuk ke dalam?”
LAZARUS terdiam sesaat.
“Justru aku sedang menjalankan apa yang kau sebut program kemanusiaan...”
“Kupikir kau sudah sadar, LAZARUS, ternyata aku salah.”
“Tak bisakah kau melihat? Kau sedang dijebak, penyerangan ke markas ini sudah lama direncanakan. Surat ancaman itu palsu dan apa kau pikir suatu kebetulan bila Flavio tak ada di sini?”
“Sepertinya kau yang sedang dipengaruhi oleh manusia itu. Sisi manusiamu mulai terhasut pikiran-pikiran aneh yang membawamu pada tindakan tak masuk akal. Seharusnya kau bisa mencegah manusia dan monster itu menggunakan portal, kau bisa lakukan itu. Tak tahukah kau kalau Ivander sedang berada dalam misi penting di dalam sana?”
“Flavio menjebakmu agar bergerak di istana. Jaringan The Black Crow telah menerima surat dari Flavio, mereka bertindak seakan-akan ada banyak orang penting di dalam istana. Padahal semua itu hanya menipu, setelah itu kau hanya akan berakhir mengenaskan di penjara intelejen, sampai hukuman mati diturunkan…”
“Apa?” ungkapku seakan tak percaya.
“Sampai aku memutuskan untuk memasukkan Hellfire Institution ke dalam permainan Flavio ini. Aku menjadikan kebohongan surat ancaman Flavio kenyataan. Agar dia tahu, betapa pedihnya dikhianati. Redith terpancing ke dalam istana, aku tahu para intelejen itu sudah kalang kabut dan memilih lari dari sana. Kesalahanku hanya satu, aku membiarkan Hellfire Institution menyadap gelombang transmisi kita, itulah yang membuat posisi markas diketahui. Walaupun pengorbanan untuk ini adalah seluruh markas, aku hanya ingin kau lolos dari jeratan itu. Sudah bukan saatnya kau percaya bahwa Flavio naik tahta dengan penghitungan suara murni, bagaimana mungkin kau dan Hayden bisa kalah dengan komandan militer macam dia?”
Pikiranku seakan bergerak membenarkan perkataan LAZARUS. Aku hanya terdiam mendengar seluruhnya.
“Keberadaanmu hanya mengganggunya,” lanjut LAZARUS. “Sejak awal, dia menginginkan eksploitasi kemampuan luar biasa Ivander, untuk dia kembangkan bersama The Black Crow, hingga akan terbentuk mesin perang sadis. Dan jika kau percaya akan Tragedi Little Marry di tahun 1990 yang menimpa Ivander, kau pasti tahu seberapa besar kerusakan yang mungkin ditimbulkan.”
“Bisakah kau berikan aku alasan? Aku mulai ragu.”
“Alasannya adalah Témpust. Bila kau cukup mengetahui hubungan Témpust dan Flavio, gerakan yang dipimpin Témpust merencanakan penyerangan besar-besaran menuju Benua Tengah. Mereka butuh pasukan lebih, dan Flavio memberikan solusi itu. Kloning Ivander akan memberi dampak besar pada Mithrillia. Buktinya ada pada dataku, coba lihat dan saksikan sendiri.”
LAZARUS menampilkan layar yang menempel di seluruh dinding bulat ini. Seluruh data tentang Ivander, baik dari berat badan, tinggi, dan kode-kode genetikanya tercantum rapih dan membingungkan. Data-data pertarungan Ivander, semua kecepatan serangan dan system pemulihannya sedang diteliti. Aku tertegun, ternyata leluconnya tentang kloning Ivander pagi hari tadi bukanlah candaan. Itu nyata.
“Katakan bahwa tak ada kemungkinan kalau kau yang merekayasa semua ini?” celetukku.
“Kau, Hayden, Deven, entah siapa yang akan mempercayaiku. Aku tak mampu bergerak, aku hanya mesin, tapi aku berusaha melindungimu sekuat tenagaku. Sebab, seandainya rencana tadi berhasil, setelah kau dihukum mati, DNA-mu dan Ivander akan disatukan. Akan terbentuk manusia tanpa luka, regenerator super cepat. Apalagi dengan kejatuhan seekor Guardian di Detroit oleh Ivander, penelitian ini semakin bergairah. Flavio sudah tahu dan mengukur seberapa dalam kekuatan Ivander. Témpust memang tak pernah meminta hal ini, namun jika dipikirkan, apa ruginya dia menerima tawaran Flavio? Témpust bukanlah seorang yang cukup manusiawi, bahkan dia mau melakukan apa saja untuk mengusir bangsa Mirage. Bukankah penduduk Mithrillia juga menjulukinya sebagai Si Mata Griffon, Kaki Centaur, dan Tangan Goriathes? Itu cukup menjelaskan tabiatnya yang cukup merindukan kemerdekaan. ”
“Bukankah kepergian Ivander untuk memberitakan batu Oriel yang bersinar?”
“Jika memang hanya itu, mengapa bukan Deven? Mengapa bukan pria bernama Deven yang lebih mengetahui setidaknya sedikit lebih dari Ivander tentang Mithrillia? Bagaimana kau bisa menjelaskan hal itu? Karena aku tahu kau sangat menyayangi Ivander seperti anakmu sendiri, aku menjadi bertanya-tanya mengapa bukan Ivander yang ditugaskan untuk memanggilmu kembali.”
“Lalu, menurutmu alasan apa bagi Flavio untuk mengirim Ivander?”
“Seperti ketika kau membeli Panhead Joker-mu dulu, ada suatu proses yang dinamakan test drive. Dan itulah yang tengah terjadi pada Ivander, mungkin Flavio menawarkan contoh barang yang akan Témpust peroleh nanti.”
“Kau mungkin benar, tapi aku tak sampai hati menuduh. Aku tak melihat uang bermain di sini.”
“Mungkin uang tetap ada, Enrico. Flavio akan mundur dari jabatan pimpinan setelah berhasil dengan rencananya. Bukannya aku bersikap sok tahu, tapi itulah kenyataan yang terjadi. Tapi aku tetap tak tahu apa yang Flavio inginkan dari Témpust, atau mungkin dari kejatuhan penjajah. Aku tak tahu, Enrico.”
Aku mematikan layar dan menghilangkan pemandangan mengerikan tadi dari hadapanku. Sesaat aku merenung, aku menyandarkan tubuh Hayden agar terduduk, tidak terbaring terbalik.
“Lalu, LAZARUS,” ucapku tiba-tiba. “Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah kau memberitahuku hal ini, yang pasti seseorang harus menyampaikannya pada Ivander. Kirimkan aku ke Mithrillia, siapkan pasokan energi untuk portal, aku berangkat sekarang.”
“Tapi, bukankah kemungkinannya kecil?” sanggah LAZARUS.
“Bukan saatnya mengiba, Robert. Memang kemungkinan semua akan kacau setelah ini, dari awal aku yakin Flavio pun tahu kalau kemungkinan Ivander kembali sangat kecil. Aku pun yakin kau tahu itu, kau bukan manusia lagi, pasti kau memiliki penjelasan matematis akan betapa berbahayanya perpindahan dimensi saat Lacuna Syndrome berjalan.”
“Lalu apa yang akan terjadi pada Alpha Operation di sini?” protes LAZARUS.
“Biarkan Flavio memimpin untuk mengembalikan keadaan markas seperti semula. Biarkan Deven dikuburkan dengan layak, biarkan Hayden mendapat perawatan luka-lukanya walaupun itu dari Flavio. Namun satu pesanku yang harus kau ingat baik-baik,” kataku serius. Aku melepaskan kacamata lensa bundarku dan menyekanya dengan sisi lain dari bajuku. “Satu hal itu adalah, jangan sampai portal terbuka lagi setelah ini.”
“Itu akan membuatmu terperangkap di dalamnya dan hanya bisa mengharapkan Supernative untuk kembali. Kau yakin dengan pilihanmu itu?”
“Jika Flavio Rosetti, pimpinan berwatak Yudas itu, sudah menghasilkan apa yang dia inginkan, pengiriman akan terlaksana. Namun tidak tanpa portal itu. Betapapun sulitnya, inilah yang harus dilakukan untuk mencegah niatan Flavio yang belum kita ketahui maksudnya.”
“Témpust sedang dalam penyusunan kekuatan, kita mendukung Témpust, kita juga inginkan perdamaian antar-dimensi, tapi mengapa kau mengernyitkan alismu pada ide Flavio? Sesungguhnya pun aku tak mengerti walaupun aku tahu banyak hal,” tanya LAZARUS balik.
“Apakah ada jaminan Ivander-Ivander palsu itu terus bersama Témpust saat perang berakhir dengan kemenangan bagi Témpust? Aku memikirkan hal itu, sejak awal kau mengatakan kalau Flavio adalah otaknya, dan saat kau mengatakan bahwa Flavio memanipulasi suara votingnya.”
Keadaan hening sekali. Hanya terdengar deru nafasku yang mencoba untuk tenang. Suara-suara gelembung itu seperti suara gejolak hati Robert, dia tetap mempertahankan sisi kemanusiaannya, meski kehidupan manusianya telah hilang.
Aku memandangi tubuh anakku yang terendam tabung berisi cairan merah, memandangi rambut tebalnya yang melayang-layang di dalam air, memandangi kelopak matanya yang menutup sejak bertahun-tahun lalu. Dia dan Julia tak akan lagi kulihat dalam sejarah kehidupanku selanjutnya—mungkin iya, mungkin tidak.
“Aku mengerti, jadi apa yang harus aku lakukan?” tanya LAZARUS menggema.
………
Saat ini, bulan ketujuh, Sathyrozett tengah berjalan di Mithrillia. Itu adalah tanda musim panas tengah menyelubungi dunia lain ini.
Dan inilah Mithrillia yang sesungguhnya. Deretan bukit hijau yang diselingi padang pasir, sebuah pemandangan aneh bagi seorang manusia Maya. Kutapaki sejejak jalan dengan rerumputan kering yang mengelilinginya. Sebuah desa kecil dengan posisi tanah agak rendah, terpampang di depan mataku. Ke sanalah aku harus mencari infomasi terlebih dahulu.
Portal telah kulalui, seiring dengan pesanku yang dijalankan oleh seorang mantan manusia yang bernama LAZARUS. Hancurkan portalnya, dan aku ingin kau rekayasa kepergianku oleh kematian di tangan Redith. Rekayasa kedua adalah menyamarkan akibat kehancuran portal, hapus semua video saat aku melewatinya. Walaupun dengan suara beratnya, akhirnya LAZARUS mengantarkan kepergianku dengan kata setuju. Mulai detik ini aku tak lagi berada di sana, hanya aku dan dunia terasingku. Di tempat ini, aku akan mencari Ivander.
Dengan jalan setapak berbatu, aku menuju ke sana. Sekelilingnya adalah tanah berpasir dengan sedikit rumput. Hamparan ladang gandum sepertinya akan lebih banyak lagi kutemukan. Ada papan kayu di atas gerbang desa, tergantung dengan dua rantai dikedua sisinya. Di sanalah tertulis nama desa ini.
Desa Cordanté, Tanah Para Pemberani dan Para Pejuang.
Entah kebetulan atau tidak, inilah tempat kelahiran manusia terkenal itu, Lampros Témpust. Aku hampir-hampir tak percaya sebuah kisah perjuangan berawal dari sini.
“Tuan, anda sepertinya asing di sini. Anda orang baru, butuh penginapan, murah-murah…” Mereka tak memberiku kesempatan bernafas. Beruntun, orang-orang datang menawarkan penginapan.
Sebagai tempat kelahiran Témpust, desa ini dinobatkan menjadi desa yang sering dikunjungi oleh orang-orang yang ingin melihat dimana Témpust dibesarkan—benar-benar sebuah desa wisata. Terlalu banyak penginapan berjejer di sini. Beberapa memang sedang kosong, karena itu mereka bersaing untuk mendapatkan minatku.
Témpust besar di sebuah desa yang indah. Dikelilingi bukit batu yang berteman dengan deburan angin pasir. Tempat tinggi dan rendah dihubungkan dengan tangga batu. Arsitektur Eropa di abad pertengahan amat kental di sini. Kota yang beralaskan tanah berumput kering ini memiliki banyak lahan pertanian. Orang-orang berpakaian seperti selayaknya petani dan pedagang. Tubuh mereka ditutupi kulit domba, banyak juga yang memakai cadar.
Sesaat aku tertarik pada segerombolan anak yang bermain perang-perangan. Aku bisa melihat mereka bermain gembira dengan pedang kayu. Satu dari mereka memakai janggut palsu dari ilalang kering. Dan dia selalu berteriak, “Merdeka,” ketika dia dan bagiannya menyerbu pasukan sisi lain. Saat komandan lawannya membalas, “Bunuh Témpust!” aku menjadi paham akan maksud anak-anak ini.
Arah selatan bagi Mithrillia, di sanalah Goat Hill. Berarti aku akan pergi ke selah-selah bukit itu. Pasti sangat jauh dan melelahkan. Mungkinkah aku bisa membeli hewan untuk kunaiki? Aku tahu mata uang di sini berbeda, mereka menggunakan Krall, mata uang dari Kerajaan. Aku tak akan mampu berkutik di sini dengan Euro dan Dollar di sakuku.
Seorang wanita mengganggu pandanganku ketika aku mulai berjalan menuju ujung desa di bagian selatan. Gaya rambutnya mungkin sungguh lazim di dunia Maya, namun di sini, itu akan menjadi barang langka yang mencolok. Aku tak akan mencurigainya bila bukan karena rambutnya. Pakaian yang wanita itu sudah sama dengan wanita setempat yang mengenakan rok panjang dan baju-baju berwarna hijau pastel. Di sampingnya, seseorang berbadan tegap mendampingi. Orang itu mengenakan jubah hitam berkerudung, yang terbuat dari kulit binatang. Seluruhnya serba hitam. Di pinggangnya tersarung sebuah pedang yang gagah.
Pertanyaan muncul, siapa wanita itu sebenarnya?
Mereka berjalan kaki, keluar dari gerbang selatan desa Cordanté. Kuambil langkah seribu membuntuti. Perjalanan di atas jalan setapak yang naik turun ini di kelilingi padang rumput kering. Mereka berdua terlihat kaku dan tak bersahabat. Dari awal, aku mencurigai bahwa wanita itu memang orang dari dunia Maya yang terlempar badai dimensi, dan orang di sampingnya pasti memiliki niat buruk—menjual wanita itu mungkin?
Siapa yang tahu?
Mulutku gatal untuk menghentikan langkah pria tinggi itu. Kami sudah cukup jauh dari pintu gerbang selatan, tak akan ada masalah bila terjadi pertarungan di sini.
“Hei, kau! Hentikan langkahmu!” seruku kencang.
Dia berhenti, wanita itu pun berhenti dan memalingkan pandangannya padaku. Pria itu tetap dingin, seakan aku bukanlah gangguan yang berarti.
“Bicaralah sesukamu.” Pria serba hitam itu melanjutkan langkahnya, dia membuat wanita itu terpaksa mengikutinya lagi.
“Satu langkah lagi berarti kau mencari masalah denganku,” ancamku serius. Bunyi sabitku yang bergesekan membuat pria itu berhenti kembali.
“Sebaiknya kau punya cukup alasan untuk membuat langkah buru-buruku tertahan, Pak Tua.”
Pria misterius itu berbalik, dia membuka kerudung yang membuat bayangan hitam pada wajahnya. Tampaklah seraut ekspresi dingin, wajahnya nampak tak terawat, kumis dan janggut tipisnya dibiarkan tumbuh berantakan. Alisnya yang tebal begitu lekat dengan mata, dia masih tenang dan datar di saat aku mengancamnya. Seingatku, seperti inilah ciri-ciri salah satu profesi paling berbahaya di Mithrilia—Bounty Hunter—orang ini pasti seorang pemburu bayaran.
“Sepertinya gadis itu tidak berasal dari sini. Pemburu bayaran, lalu untuk apa kau membawa-bawa dia?”
Gadis itu seakan ingin bereaksi terhadap pertanyaanku, namun pria ini menghalanginya.
“Apa keuntunganmu atas informasi ini?” jawabnya ketus. Pria ini mengeluarkan pedangnya yang bermata lebar, menebarkan bunyi gesekan logam pada sarungnya. “Kau yang meminta, kau yang menerima.”
“Silahkan, aku ladeni keinginanmu,” jawabku menanggapi.
Dan siang pun mulai menua, digantikan oleh jingga cahaya matahari senja yang begitu tajam mewarnai langit. Udara dingin perlahan mulai menggantikan panas gurun. Serigala-serigala melolong tinggi, tanda bau kematian sudah dekat.
0 comments:
Post a Comment