Sunday, 21 February 2010
July, 19th 2004
Ini sudah yang keempat kalinya, terhitung sejak seminggu yang lalu. Mimpi yang selalu datang membuntutiku, semalaman suntuk, bahkan membuatku tak mampu tenang saat aku terjaga olehnya. Pedang-pedang berkilau, hentakan sepatu-sepatu besi dan ribuan sorak-sorai manusia, tepat di hadapanku, dan aku tak mampu menjawab apa-apa. Kemudian ilusi itu berganti dengan derap langkah kuda-kuda besar, dan teriakan bengis wajah-wajah seram.
Hari yang sama seperti awal mula tahun ajaran kemarin, di sini, rumahku di 44th Terrace North, jalan sepi di utara kota Birmingham.
Mobil sedan abu-abu milik Dad, telah meluncur keluar gerbang rumahku. Mobil itu kini disusul sedan hitam lain milik Mom. Dia sudah memacu kecepatan mobil sejak kami menyusuri Cheek Road, jalan yang pertama dilalui dari 44th Terrace North. Mom sudah terbiasa melalui jalan singkat tanpa panduan GPS. Setiap pagi tentunya lalu lintas di sekitar jalan Arkadelphia hingga Jasper, amat padat oleh mobil. Karena itu, jalan pintas adalah kewajiban bagi Mom. Melalui lebih dari delapan tikungan, Mom masih memacu kencang Porsche Cayman kesayangannya. Tentunya dengan kecepatan itu, aku bisa sampai di sekolah lima menit lebih awal. Gerbang tinggi sekolahku, Birmingham-Southern College, masih dibuka lebar-lebar.
Terakhir, kulambaikan tanganku pada salam terakhir Mom untuk berpisah hari ini. Mom menekan tombol di sisi kanannya untuk menutup kaca jendela.
Masih ada lima menit untuk naik ke kelas astronomi. Biasanya pada jam-jam seperti ini, elevator penuh murid-murid lain yang bahkan telah lama mengantri. Daripada menunggu seperti mereka yang tak ingin berkeringat, lebih baik langsung berlari lewat tangga.
Memasuki gedung utama, pintu otomatis terbuka. Dalam gedung utama, terdapat seluruh kelas yang dirangkum dalam empat lantai. Ruangan ini langsung menyambutku dengan patung sistem tata surya, yang telah dipajang di hall utama lebih dari tujuh tahun lalu. Elevator tabung kaca tampak memualkan dengan banyaknya manusia pemalas.
Sepasang kaki ini langsung melaju melewati puluhan anak tangga, menuju lantai tiga. Satu atau dua murid lainnya juga mengikuti caraku. Maklum saja, hari ini adalah hari pertama ke sekolah setelah libur kenaikan tingkat yang panjang. Semua masih membawa hawa malas dari rumah ke sekolah.
Gawat, tinggal satu menit lagi. Keterlambatan ini sungguh merisaukan…
Walaupun sempat sedikit tersandung kecil, pada akhirnya aku sampai juga ke ruangan dengan lima belas murid lainnya. Untunglah Miss Naomi belum ada di tempatnya. Dengan nafas yang kepayahan, aku meletakkan tas berisi notebook ke atas mejaku. Kuseka keringat di dahiku dengan sapu tangan biru dari sakuku.
Oh, tidak…
Lihatlah ke depan, guru tua yang selalu menggunakan kata-kata rumit dalam setiap ucapannya.
Setelah itu, dimulailah satu jam kelas astronomi. Guru yang sudah tua itu bertele-tele dalam menjelaskan, bagaimana bisa aku menahan diri untuk tidak melamun? Keadaan di luar jendela tampak lebih menarik. Memang selalu begitu di saat semuanya terlalu membosankan.
Terus…terus dan terus…Detik terus berlalu dengan lambat.
Hingga akhirnya bel tanda pergantian kelas berbunyi nyaring. Akhirnya guru tua itu pergi juga, begitupun aku. Setelah ini, pukul sepuluh akan ada kelas matematika-kalkulus.
Pelan-pelan kutekan tombol lantai satu pada elevator yang membawaku turun. Aku menyelinap keluar dari gedung utama, ke perpustakaan. Ruangan ini besarnya tak terhingga bagiku. Begitu masuk ke dalamnya, aku selalu teringat akan beberapa cerita takhayul yang terkenal di sini. Konon, seorang siswa yang mampu membaca seluruh buku di sini, akan mendapatkan kesaktian untuk melakukan sihir seperti film-film fiksi. Ada juga yang bilang akan ada sebuah dunia fantasi seperti dalam khayalan, yang terbuka melalui buku terakhir yang kita selesaikan. Ada lagi yang bilang, rahasia besar akan terungkap dari balik salah satu buku di antara ratusan ribu buku di sini.
Omong kosong, itu hanya akal-akalan. Mana mungkin ada yang bisa menyelesaikan membaca seluruh buku di sini?
Itu hanya satu dari banyak kisah tak masuk akal di sekolah ini.
Rak-rak buku yang tinggi membuat aku harus berdiri pada posisi jinjit untuk meraih buku di deretan rak teratas. Mulai dari buku pelajaran, literatur, sejarah, novel, ensiklopedia, semua lengkap di sini. Perpustakaan ini bertingkat tiga. Di bagian teratas, penuh dengan karya sastra klasik dari sastrawan berbagai negara. Keseluruhan arsitektur ruangannya begitu klasik, serba kayu, dengan patung-patung di setiap sudutnya. Beberapa lukisan abstrak bernuansa klasik dipajang pada setiap dinding kosong. Untuk masuk ke dalam, perlu kartu perpustakaan yang digesekkan di samping pintu masuk. Tentunya untuk mengetahui siapa saja yang masuk ke dalam, di tengah ruangan sebesar ini.
“Hei, Alexa…bagaimana liburanmu?” sapa Cordelia setengah berbisik. Tiba-tiba saja dia muncul.
Cordelia adalah sosok gadis misterius. Dia selalu mengenakan baju-baju bernuansa hitam. Sekarang saja, dia memakai sweater agak ketat, berwarna hitam pula. Rambutnya pirang, agak jingga, selalu digerai lurus. Bola mata peraknya, membuat kesan misterius semakin kuat. Apalagi dengan garis hitam pudar di bawah kantung matanya. Sebuah kalung salib perak selalu tergantung di lehernya. Dia selalu berjalan dengan penuh keanggunan, tentunya sampai dia menemukan hal mistik, dia langsung berubah menjadi sosok maniak.
“Hei, Cordelia,” kataku sambil tersenyum ramah. “Biasa saja, hanya pergi mengunjungi kakekku di Shanghai. Kau?”
“Belajar…terus belajar. Aku tak ingin hanya mendapatkan nilai C lagi seperti tingkat 12 lalu. Buku apa yang kau pegang?” matanya begitu antusias.
“Entahlah. Cerita lain tentang tempat tinggal manusia lain mungkin.”
Buku yang kubaca adalah buku Supernative, sebuah buku tentang teori adanya dimensi keempat. Kecil sekali tertulis di sana, nama Brian Lucas Junior muncul sebagai pengarang buku ini. Buku ini tebalnya sekitar 250 halaman. Keseluruhan covernya hitam, agak pudar karena usianya. Setiap kertas per halamannya juga sudah menguning, lagi-lagi karena usianya. Tapi hebatnya, buku ini tak tersentuh rayap sama sekali. Aku menemukan alasan yang tepat untuk menjawabnya. Menurut para siswa, ada beberapa trik khusus yang dimiliki Mr. Mario Gustavo, si penjaga perpustakaan, untuk menghindari para rayap menyerbu. Tapi jelas, itu adalah rahasianya pribadi.
Dasar pelit! Pria beralis ulat bulu yang sedikit terkesan angkuh.
Memikirkan itu, aku jadi menengok sekilas pada wajah brilian Mr. Mario Gustavo. Kepalanya sudah jarang ditumbuhi rambut, lagipula rambutnya telah memutih. Kumisnya agak tebal, berwarna sama dengan rambutnya. Kacamata baca itu selalu kutemukan menggantung di atas hidung bengkoknya. Entahlah itu minus atau plus, dia memang kesulitan melihat jauh dan dekat. Maklum, usianya sudah kepala lima, memang sulit jadi orang tua yang mencintai buku—sepertinya dia menjadikan buku sebagai istrinya.
“Astaga…mungkin kau perlu menguras seluruh isi otakmu, Alexa. Terakhir kali buku itu dibaca, itu sudah lima tahun lalu. Lihat betapa lengketnya lembaran buku itu,” kata Cordelia dengan alis mengernyit.
“Kau salah. Terakhir buku ini dibaca, baru tiga bulan yang lalu. Lihat, lipatan yang kutinggalkan di halaman 73 belum diluruskan. Berarti belum ada orang yang membacanya lagi selain aku.”
“Oh Tuhan, Alexa. Konon…”
“Konon apa lagi, Cordelia?” potongku. “Selain adanya negeri fantasi, sihir, dan rahasia harta karun yang kau ceritakan padaku, apa lagi?” tanyaku masih dalam keadaan berbisik.
“Masih ada lagi, Alexa…”
Ini dia fantasi terbesar abad ini, dari Cordelia Peterson.
“Konon yang membaca buku itu sampai halaman 120 secara berurut, akan mengalami kesialan dalam hidupnya. Menurut cerita yang beredar di sekolah ini, lima tahun lalu, ada seorang siswa pria yang mencoba menantangnya. Bisa ditebak, sepulang sekolah, dia dikabarkan hilang tanpa jejak. Sampai sekarang, orang itu belum kembali…jiwanya terkurung dalam dimensi lain, meraung-raung inginkan kebebasan,” paparnya dengan penuh dramatisir. “Jika kau masih punya akal sehat, jangan lakukan hal itu, Alexa…Jangan pernah!”
“Sudahlah, lagipula kau juga tak tahu kebenarannya, kan? Di jaman modern seperti sekarang, takhayul memang makin digemari, itu semua semata-mata karena dunia nyata begitu membosankan.”
Sebenarnya, itu pendapatku sendiri. Sejujur-jujurnya aku ingin sekali menemukan dunia semacam itu, dimana fantasi dan sihir mungkin menjadi kenyataan, hanya saja aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah tak mungkin, atau tepatnya tak bisa mempercayai hal-hal semacam itu lagi.
“Kau sendiri, buku apa itu?”
“Demonology…legenda 72 iblis yang disegel oleh King Solomon, legenda The Fallen Angels. Berminat?” tawarnya padaku.
Buku itu hanya bersampulkan cover hitam. Tulisan di covernya dicetak dengan tinta ungu gelap. Tebal sekali. Aku heran, sampai sebegitu antusiasnya dia dengan hal-hal semacam itu.
“Tidak, aku tak tertarik dengan hal itu…”
“Tunggu, untuk apa kau baca buku yang kau pegang kalau kau tak tertarik?”
“Masa? Ini jelas berbeda bidang.”
“Oh, tentu saja tidak. Jelas sekali ada benang merah antara keduanya,” sanggah Cordelia ngotot. Matanya menyorotkan keyakinan yang tak terelakkan. “Benang yang amat tebal…”
“Cordelia, yang kubaca ini adalah hubungan antara dunia kita dan dimensi keempat, dengan analisis fisika. Jadi yang ada di sini, adalah apa yang ada di dalam dunia, berdasarkan ilmu pengetahuan,” jelasku sabar-sabar.
Alexa, tolong perpanjang kesabaranmu.
“Tak semua bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan, Alexa. Percayalah pada ceritaku barusan,” katanya sok menakut-nakutiku.
Aku hanya diam dan memberi pandangan aneh padanya. Tampaknya kesan misterius di matanya, mulai luntur, berganti rasa aneh karena ceritanya ditanggapi dengan aneh pula. Dia mulai kembali ke ekspresi normal.
“Kukira kau akan takut,” ujarnya sedikit kecewa, namun dia hanya melepaskan senyum untuk menutupi kegagalan terornya. “Sudahlah, aku mau bawa pulang buku ini. Ada kelas menungguku sepuluh menit lagi. Sampai ketemu nanti, Alexa…atau mungkin kita tak akan bertemu lagi,” katanya masih dengan keinginan menakutiku.
Setelah itu dia berlalu menuju penjaga perpustakaan. Aku pun berjalan cepat-cepat, menaiki tangga kayu yang memutar untuk pergi ke lantai dua, memilih tempat yang dekat dengan AC untuk membaca, seperti biasanya. Aku lebih tertarik terhadap kisah-kisah sejarah dunia, dan setidaknya buku yang kubaca bukanlah sesuatu yang tak berguna seperti Cordelia.
“Ada-ada saja…” lanjut pikiranku, saat kumulai meluruskan kembali lipatan yang kubuat, tiga bulan lalu.
Kulahap kata demi kata, halaman demi halaman buku ini. Tanpa terasa satu jam sudah berlalu. Jariku sudah menjejaki halaman 118 dari keseluruhan buku. Walaupun sebenarnya aku tak percaya takhayul, tapi gara-gara sugesti yang diberikan Cordelia tadi, rasanya terror halaman 120 itu terus saja mengikutiku.
“Ah, Alexa…itu hanya cerita bualan saja. Jangan biarkan pikiranmu dipenuhi hal itu…” gumamku pada diriku sendiri.
Begitu takutnya sampai-sampai pikiranku merinding membaca judul yang terpampang, tepat di halaman 120, Pintu Masuk Menuju Dimensi Keempat. Di sana tertulis, menurut teori sang penulis, bila ada gejolak antar dua dimensi itu, seperti adanya badai elektromagnetik dengan taraf energi di atas ledakan sebuah nuklir, dapat terbuka sebuah pintu gerbang menuju dimensi keempat. Yang dimaksud dengan dimensi keempat sendiri, adalah suatu dunia dimana makhluk-makhluk selain manusia tinggal dan hidup berdampingan dengan para manusia. Dalam istilahnya, penulis menyebutkan dimensi keempat sebagai Mithrillia.
Mungkin maksudnya teror di halaman 120, adalah karena di halaman itu, ada informasi yang jelas tentang dimensi keempat.
Beberapa penjelasan panjang dari seorang fisikawan yang agak misterius, dijelaskan dengan rinci. Buku ini sebenarnya masuk ke dalam buku sci-fi, namun karena kemasannya dengan bahasa yang berat, tanpa terasa aku jadi berpikir bahwa isi buku ini adalah fakta. Padahal awalnya hanya berniat iseng mengisi waktu kosong antar jam pelajaran. Beberapa alinea panjang kubaca, hingga halaman membawaku pada angka 130, pintu gerbang paling mudah adalah ‘kematian’.
“Wew…jadi tanpa badai antar-dimensi, kita hanya bisa masuk ke dalam dunia itu melalui kematian? Bagus juga…” pikirku.
Tersebut sebuah dimensi gaib yang dinamai Mirage akibat banyaknya kemustahilan yang ada di sana. Dimensi itu memiliki pergerakan yang cenderung individualistis dan superior dibandingkan kedua dimensi lainnya. Dari Mirage, perpindahan bisa dilakukan dengan mudah ke Mithrillia dan Maya, namun kedua dimensi itu tak bisa berpindah dengan cara apapun ke dimensi Mirage. Itu cukup menunjukkan betapa istimewanya dimensi itu.
Mengenai dimensi kelima, sedikit sekali dijelaskan di sini. Kemungkinan terbukanya hampir mustahil, mendekati nol persen. Kejadian apa yang bisa membuat tenaga lebih besar dari seribu bom atom termutakhir yang diledakkan bersamaan? Pastinya Einstein pun tak berpikir temuannya akan dijadikan perbandingan dalam hal sekonyol ini.
Disebutkan bahwa banyak makhluk-makhluk Mirage yang bisa melakukan perpindahan dimensi dengan mudah. Mereka juga menjejakkan kakinya ke dimensi Maya untuk melihat kehidupan di dunia kita. Banyak dari mereka yang sudah membuat keonaran tak terjelaskan di dimensi Maya. Tak ada seorangpun yang dapat mencegah hal itu terjadi, sebab perpindahan dari dimensi Mirage ke Maya amat mudah dilakukan. Manusia di sini menyebut makhluk-makhluk itu hantu.
Telah banyak saksi mata yang menyebutkan kehadiran makhluk-makhluk Mirage. Juga berderet teks panjang berisi daftar laporan kemunculan makhluk-makhluk itu di dunia Maya. Jumlahnya mencapai lebih dari lima halaman, hampir mencapai tujuh halaman. Ulasan setelahnya juga makin jauh dari kenyataan dan logika yang kupegang teguh. Aku berjanji diriku tak akan terpengaruh, tidak sampai menjadi Cordelia Si Maniak Misteri.
Nemoralexia, Sebuah Peradaban Legendaris yang Lenyap, itulah judul yang kubaca selanjutnya. Disertakan ilustrasi, nama-nama berdialek aneh, tahun peradaban, dan tahun hilangnya peradaban. Minim informasi pada buku ini, negeri ini dikabarkan hilang setelah adanya perngolakan internal di dalam pemerintahannya.
Legenda Nemoralexia itu juga tak diamini semua pihak di Mithrillia. Negeri itu sejenis dengan peradaban Atlantis yang hilang di Maya. Sesuatu yang berbahaya tersembunyi di sana. Sesuatu itu siap menghancurkan dominasi kaum manusia Maya yang merasa dirinya paling berkuasa di antara ketiga dimensi. Sebuah sejarah panjang tentang asal usul peperangan besar di jaman kuno, yang disusul oleh peperangan panjang di Mithrillia.
Peperangan panjang?
Penjajahan kaum Mirage terhadap Mithrillia membuat mereka meradang. Para makhluk Mithrillia terus berusaha mempertahankan tanah leluhurnya, sampai kejatuhan kerajaan terakhir membuat usaha itu ikut runtuh. Kini serdadu Mirage menduduki seluruh pemerintahan di Mithrillia. Mereka menindas para penduduk, membunuhi penentang-penentang, dan memanfaatkan orang-orang sebagai budak, sesuka hatinya. Akhir yang mengenaskan bagi pengorbanan para pemberani Mithrillia.
Pengarang buku ini menyebutkan bahwa dirinya adalah contoh langka dari sedikit manusia yang berhasil menyaksikan bagaimana peradaban Mirage sebenarnya. Bagaimana mereka hidup, ada apa di sana, makhluk apa saja di sana, namun dia tak cukup berani untuk mengungkapkannya di buku ini. Dunia mereka tak memiliki sedikitpun kesamaan dengan dunia ketiga dan dunia keempat. Yang pasti, pengarang menyebutkan sekali lagi betapa mudahnya mereka berpindah dimensi.
Terlalu banyak penjelasan yang rumit di sini. Begitu banyak gambar grafik dan simulasi dari terjadinya hubungan antar-dua dimensi. Pengarang buku ini menunjukkan betapa pintarnya dia mempengaruhi pembaca melalui bukti-bukti yang seakan-akan nyata.
Kurasa aku termasuk dalam golongan pembaca itu—hampir.
Kemudian jari jemariku mulai melambat menggeser lembaran kertas yang sedikit berdebu itu, sebab aku menemukan halaman yang menarik minatku untuk membacanya kembali. Dia katakan di sana, halaman ini adalah surat yang dikirimkan ayahnya pada rekannya sesama psikiater di Swiss.
Amsterdam, Juli-27-1941
Salam,
Dokter Zack, kuingin kau membantuku untuk menganalisa laporan dariku. Aku mencatat begitu rinci kata-kata dari seorang pasienku.
Seorang pria kisaran dua puluh tahun datang ke ruanganku. Dia seperti orang kikuk.. Dia masih begitu muda, dan tak ingin menyebut namanya. Aku ingat dia pertama kali bertanya, “Apakah aku gila, Dokter?” Aku langsung tahu dia tidak gila saat dia tanyakan hal itu.
Awalnya aku begitu yakin dengan kewarasannya, tapi semakin lama dia bercerita, semakin aku meragukannya. Dia berkata banyak tentang dunia lain, tempat yang penuh dengan monster, pasukan berkuda, dan naga-naga terbang. Beberapa kali dia meyakinkanku bahwa dirinya sempat ada di dunia lain itu. Dia bertemu kaum pejuang yang memperjuangkan kebebasan mereka. Kaum itu mengingatkannya agar berhati-hati akan serangan dunia lain. Setelahnya, dia berkata kalau dia terbangun dari tidurnya. Tanpa sadar dia mengakui dirinya terkapar di antara koridor apartemennya.
Yang paling menarik setelahnya, dia menunjukkan sebuah batu rubi berwarna kebiruan. Dia menganggap batu itu bertuah. Orang di dunia lain yang memberinya.. Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi. Dia mengaku sering mengalami sakit kepala disertai pengaburan penglihatan. Setelahnya dia melihat dunia itu ada di depan matanya lagi, lalu menghilang begitu saja. Dia juga mengaku sering dibayang-bayangi sosok monster sepanjang harinya.
Aku berusaha meyakinkannya bahwa itu hanya mimpi, tapi kau harus lihat keyakinan besar di matanya, Zack. Kau tahu tugasku sebagai dokter jiwa bagi para misionaris ke luar Belanda. Kau tahu apa yang akan ditimpakan padaku jika aku meloloskan dia di saat ternyata dia gila.
Kulampirkan salinan hasil testnya bersama surat ini. Bacalah, dan lihatlah wajahnya di selembar foto bersama surat ini. Kuharap kau bisa membantu.
Terima kasih
Tertanda,
Dr. Brian Lucas
Aku hampir saja percaya pada bualan ini Beruntung di telingaku masih terngiang kata-kataku di beberapa saat lalu. Aku tak akan menjadi sama seperti Cordelia Si Maniak Misteri, bisa kupastikan itu.
“Alexa, kau masih di sini?” tegur seorang pria yang memegang pundakku. “Kelas matematikamu sudah dimulai.” katanya agak memelan.
Astaga, bodohnya diriku. hanya karena buku ini, aku jadi sampai melupakan kelas matematika-kalkulus.
“Terima kasih, Teman. Aku berhutang padamu,” kataku setelah melipat halaman buku terakhir yang kubaca. Aku tergesa-gesa keluar, pasti Mr. Simpsons juga belum sampai. Terlambat juga adalah hobinya.
Agak gegabah, aku berlari menerobos orang-orang lainnya.
“Permisi…permisi,” atau “Maaf, aku terburu-buru,” selalu kuucapkan berulang-ulang saat menabrak orang lain. Aku tak punya pilihan lain. Si Galak itu mungkin sudah beranjak dari ruang guru.
Sampai juga di depan pintu kelas. Pikiranku memikirkan apa yang ada di dalamnya. Mengapa pintu tertutup dan keadaan hening? Jangan-jangan Mr. Simpsons sudah bertengger di tahtanya. Lagi-lagi, aku tak memiliki pilihan lain. Kuberanikan diriku memutar gagang pintu ini, walaupun jantungku berdetak tak karuan. Tanganku dingin, membayangkan wajah siapa yang akan pertama kali kulihat di kelas.
“Kumohon…kumohon…” gumamku sambil membuka daun pintu ini. Pelan-pelan, sampai…
“Keluar!!!!” teriak seorang pria paruh baya dari dalam secara tiba-tiba. Teriakkan itu bagai merontokkan seluruh tulangku menjadi kepingan fosil tua.
Semua tampak begitu tegang. Benar saja pikiranku, Mr. Simpsons telah datang, dia seperti sedang mengawasi…
Ujian?!!
Mengapa di hari pertama ada ujian? Semua murid di sini, jelas-jelas agak kelabakan. Terlihat dari wajah mereka, sepertinya yang diujiankan adalah materi sulit yang belum dibahas.
“Mr. Simpsons, tolong maafkan saya. Ijinkan saya masuk sekali ini saja. Saya tidak mau ketinggalan pelajaran anda. Tak akan saya ulangi, saya janji,” pintaku memelas.
“Itu salahmu sendiri, Alexa. Di sekolah ini, semua kuperlakukan sama. Kau tahu, akupun akan melakukan hal yang sama bahkan jika kau adalah Albert Einstein atau Isaac Newton. Sekarang, keluar!!!” teriaknya berang.
Teriakkannya seakan menyemburkan pusaran angin mahadahsyat yang meluluhlantahkan seluruh nyaliku di hadapannya. Aku menyingkirkan diriku dari hadapan ‘beruang besar’ yang tengah mengamuk itu. Cepat-cepat kututup kembali pintu kelas, dengan menggunakan tanganku yang gemetaran. Aku melangkah lesu meninggalkan ruangan kelas. Tak kupikirkan kemana arahku berjalan.
Hanya karena buku tadi, semua berantakan di hari pertama. Sial!!
Begitu sibuknya aku memikirkan kejadian tadi, juga begitu penuhnya kepalaku dengan gerutuan kesal, hingga baru sekarang aku menyadari tanganku terasa hampa. Barang penting itu hilang, sesuatu yang penting bagi seluruh murid di sekolah ini, termasuk bagiku.
Pantas saja dari tadi rasanya ringan
Aku ingat, terakhir kali notebook iu kuletakkan di perpustakaan. Meski jaraknya dengan tempatku berdiri sekarang tak terlalu jauh, tetap saja terasa melelahkan. Aku ingat telah membelinya sendiri seharga 1800 USD. Jangan sampai hasil jerih payahku hilang dalam waktu singkat. Dengan langkah cepat yang agak malas, aku kembali ke gedung itu lagi. Memang di sana tas itu masih utuh, tetap pada tempatnya. Walaupun beberapa orang lalu-lalang, tas ini tak disentuh sedikitpun. Begitulah bila semua murid dan staff di sini, sudah terlalu kaya dan mapan. Berpikir untuk peduli pun tidak.
Anehnya, buku itu masih ada di atas meja. Aku memutar kembali memoriku, karena sejauh yang kuingat, buku itu telah kembali pada raknya. Tulisan dengan tinta serupa emas, bertuliskan Supernative, sebagai judul buku itu, jelas menambah kesan misteriusnya. Dari jauh, bila dilihat, tak akan ada bedanya dengan catatan harian klasik. Sampulnya terbuat dari semacam karet polyester menyerupai kulit binatang sungguhan.
Pasti pria di perpustakaan tadi yang melakukannya. Dia melihat apa yang kubaca, mengambilnya kembali dari rak, kemudian karena alasan tertentu, dia lupa mengembalikannya ke tempat semula. Apa boleh buat, terpaksa kukembalikan lagi buku ini ke tempatnya. Rak nomor tujuh dari rak di lantai satu paling kiri. Susunan rak kelima dari bawah, ada sebuah ruang kosong yang memang milik buku ini. Kuletakkan kembali ke dalamnya. Dengan tas yang tergantung di bahuku, aku berjalan keluar dari perpustakaan.
Aku cepat-cepat menepis kemalanganku hari ini. Bentakan yang meruntuhkan konsentrasiku dalam beberapa pelajaran berikutnya. Sudah cukup aku kehilangan kalkulus saja hari ini.
………
Bel berdering, menyuarakan bunyi bak raungan terompet kebebasan bagi tahanan sekolah. Seluruh koridor bisa mendengarnya, nyaring sampai ke kelas-kelas. Kesal hari ini harus kutuangkan langsung pada dunia maya. Karena itu kafe di ujung jalan utara langsung tergambar jelas di pikiranku. Kurogoh-rogoh tas hitamku untuk menarik keluar sebuah ponsel. Ketika kuhubungi Mom, dia hanya menjawab ‘tak apa, sebab Mom juga sedang sibuk’. Sangat lazim. Terlalu biasa bahkan tak sedikitpun membuatku merasa terabaikan.
Kututup saluran telepon itu. Beberapa langkah kujalani sebelum sampai di halte milik sekolahku. Dengan bis yang memang melewati halte yang begitu dekat dengan Green Acres Café, aku meluncur ke sana. Memasuki bis, banyak tempat duduk kosong yang bisa kuisi. Aku memilih duduk di barisan ketiga dari belakang, tepat di samping jendela. Beberapa persimpangan kulalui, walaupun tak ada yang berubah dari pemandangan biasanya.
4th Avenue North, begitu tulisan merah yang tertera pada penunjuk digital, di langit-langit bis. Kutekan tombol merah, memberi sinyal bahwa aku akan turun di sana. Bis berhenti, menurunkan dua penumpang lainnya di halte ini. Sekarang sudah pukul satu siang. Kafe ini masih sepi, menunggu ramainya pengunjung pada kisaran pukul empat ke atas. Justru inilah saat yang tepat. Kafe berbentuk gedung kotak berdinding luar cokelat ini sudah kukunjungi sejak pertama aku pindah ke kota ini. Di dalam sini, aku menuliskan beberapa bait kata-kata pada blog milikku. Ya, saat ini adalah waktunya meluapkan kekesalanku pada buku itu pada blog.
“Permisi, Alexa. Pesan apa hari ini?” tanya seorang pria berhidung besar. Dia pelayan kafe, Gregor, anak pemilik kafe ini, Bob Rasmus. Dia sudah sangat mengenalku, kapan aku datang, dan dimana aku akan duduk. “Tunggu, jangan menjawab dulu, ice blended cappuccino, benar?”
Aku memperlihatkan senyumku, seakan-akan tebakannya benar. “Salah, sayang sekali. Aku pesan chesse tart, dan mocca latte yang dingin sekali. Lain kali, coba lagi menebakku,” sangkalku dengan canda.
“Pasti benar, Alexa,” balasnya dengan senyum. “Dingin sekali, cocok untuk panasnya Birmingham yang mulai menggila. Tunggu lima menit.” Setelah itu Gregor pergi dari dekat tempat dudukku.
Lama berselang, pukul tiga sore, mobil sedan Jaguar hitam telah diparkir di pinggir trotoar. Aku melihatnya saatku menengok keluar dari jendela kafe. Kemudian bel di atas pintu berdenting kecil, tepat saat sepatuku menginjakkan kaki di trotoar luar dari sisi pintu. Seorang berambut hitam, dikuncir kuda, dengan kacamata minus menggantung di hidung catutnya, dibalut dengan kemeja hitam berlengan panjang, ada di sana. Paman Jones, pria berdasi merah itu, bergegas keluar dari mobil dan membukakan pintu kursi tengah untukku.
“Bagaimana sekolah anda hari ini, Nona Alexa? Tampak dari wajah anda, sepertinya ada yang kurang berkenan,” tanya paman Jones. Maklum saja, paman Jones telah bekerja di rumah kami sejak aku belum lahir, dia kenal baik seluruh anggota keluarga McGeady.
“Memang ada, Paman. Tapi membicarakannya justru membuatku makin merasa suntuk,” jawabku sambil melihat pemandangan di luar jendela.
………
Paman Jones meliukkan mobil ini pada jalur yang membawanya menghadap tingginya gerbang rumahku. Gerbang depan yang besar, warnanya hitam dari baja kuat. Terdapat sekat-sekat di antara gerbang yang memungkinkan orang melihat ke dalam. Di atas gerbang terukir nama keluarga McGeady dengan warna emas. Aku bisa melihat senyum paman Jack menyambut kami saat membukakan gerbang. Juga bagaimana Julius si tukang kebun memotong dahan-dahan kering dari pohon maple di halamanku. Lalu sebuah istana besar dari seorang Alexander McGeady berdiri kokoh di hadapanku. Inilah rumahku.
Setelah ini hanya ada kesendirian di dalam kamar. Dindingnya krem, lantainya papan kayu, langit-langitnya dari papan cokelat sejajar yang dipoles mulus. Lalu seluruh penat terlepas dalam beberapa menit aku berkutat dengan air di kamar mandi. Kurebahkan diriku di atas ranjang, begitu tenang hingga mata terasa seberat batu. Sampai aku ingat sebuah hal tak terlalu penting yang tak mungkin kuabaikan. Mungkin beberapa pesan singkat sudah mengantri di ponselku. Kuraba-raba tasku, seingatku aku meletakkannya di bagian tengah. Sampai kuraba benda keras, seperti cover, buku?
Apa ini? Seingatku, hari ini aku tak membawa satupun buku.
Kugenggam sisi buku itu, perlahan-lahan kuangkat ke atas. Mataku hampir saja lepas ketika melihat buku apa yang kugenggam. Jantungku langsung memacu kencang sekali, seakan-akan benda itu akan meledak.
Kulempar buku itu ke sudut kamarku. Lalu kuambil selimut dan membuangnya hingga menutupi buku, seakan setelah itu semua akan baik-baik saja.
Aku berusaha, mengingat-ingat kembali, apa yang terakhir kali kulakukan dengan buku itu, aku sesekali melihat tumpukan selimut itu. Jawabannya selalu mengacu ke satu arah, aku benar-benar sudah mengembalikannya. Hanya itu yang terakhir kuingat.
Jangan-jangan Cordelia iseng memasukkan buku itu ke dalam tasku. Tapi bagaimana caranya? Dia hanya bersamaku sekitar pukul sembilan sampai sembilan lewat lima belas, setelah itu, dia tak ada lagi. Mungkin saja buku ini ada dua, yang satu adalah buku di meja, yang satu dimasukkan ke dalam tasku oleh seseorang. Aku tak boleh berpikir bodoh, pasti ada penjelasan rasional tentang semua ini.
Cepat-cepat tanganku meraih ponsel, kuburu nomor kontak Cordelia di daftar nomor. Cukup lama menunggu, akhirnya penantianku terbalaskan juga.
“Halo, Alexa?”
Cepat-cepat kuhantam dia dengan pertanyaan mengenai buku jelek itu. Seperti ribuan kembang api yang meledak serentak. Beberapa kali kuulangi pertanyaanku, beberapa kali itu pula dia menangkisnya dengan pertahanan tinggi. Dia benar-benar menyangkali perbuatan itu. Dia bahkan berkilah dirinya tak lagi ada di perpustakaan sampai bel pulang berbunyi. Aku bisa mendengar suara yakinnya menusuk-nusuk telingaku. Lalu kutenangkan tensi ini.
“Cordelia, aku serius. Dengarkan aku, sekarang aku sedang tak ingin bercanda. Hari ini sudah terlalu banyak kejadian buruk menimpaku. Jadi, tolong bantu aku untuk berkata sejujurnya.”
Pada akhirnya, aku dan Cordelia hanya memperdebatkan masalah halaman ke seratus dua puluh. Dia beri usul selesaikan itu dengan cara-cara di luar nalar, tapi tidakkah dia lihat aku, si pengguna logika tulen?
“Aku minta maaf telah mencurigaimu, Cordelia,” kataku penuh sesal.
“Tak apa, Alexa. Telepon aku jika kau berubah pikiran.”
Suara telepon yang kututup masih saja terngiang di kepalaku, saat aku membaringkan tubuh letihku ke atas ranjang. Tak ada jawaban yang kuinginkan dari kedua orang itu. Otakku masih saja terus berputar kencang, sampai aku menyerah. Semua kemungkinan yang kupikirkan amat tidak masuk akal.
Pandanganku teralih pada tumpukan selimut yang menutupi buku tua itu. Walau rasa takut menguasai, keingintahuanku menggebu-gebu untuk membuka tabir ini. Hanya ada satu cara lagi untuk mengetahui kebenaran dari hal aneh itu. Terakhir kali membacanya, aku melipat di halaman 146. Jika lipatan itu tidak ada, berarti aku memang sedang dijahili, betapapun hebatnya mereka berdua bersumpah. Tetapi bila ada, maka inilah akhir dari pikiran logikaku.
Kakiku kutapakkan dari atas ranjang, ke atas karpet merah marun kamarku. Perlahan kusingkapkan selimut yang menutupi buku itu. jantungku berdebar setengah mati, padahal yang kutemukan di sana lebih mengejutkanku. Buku yang kutakuti itu lenyap tak berbekas. Hanya ada karpet kosong yang kututupi selimut tebalku.
Mustahil…
Terus kubolak-balik selimut itu, hingga kucari ke balik karpet, hasilnya nihil. Buku itu benar-benar menghilang dengan sempurna, seperti tak pernah ada di kamarku sebelumnya. Kakiku, tanganku, tubuhku, semuanya bergetar ketakutan. Aku tak bisa lagi menenangkan tubuhku.
Dengan langkah lunglai, aku keluar dari kamarku. Perlahan kutapakkan kakiku pada anak tangga yang membawaku turun ke lantai bawah. Aku merasa ling-lung, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Hanya saja sebagian diriku berharap, buku itu memang hanya ilusi akibat kelelahanku.
“Nona Alexa, ada apa?” tanya paman Jones yang kebetulan lewat.
“Ah?” aku tak bisa fokus pada pertanyaannya.
“Kenapa wajah anda pucat sekali?” ulang paman Jones.
“Pucat? Tidak apa-apa, Paman. Hanya saja, aku sedang tak enak badan.”
Paman Jones tampak kuatir, dia meraba keningku dengan tangannya. “Agak hangat, Nona. Lebih baik anda jangan keluar kamar dulu. Besok anda masih harus ke sekolah, bukan?”
Paman Jones membopongku kembali ke kamar, padahal tadi aku bermaksud pergi ke rumah Cordelia. Aku menurut saja ketika paman Jones membaringkanku ke atas ranjang, dan menutupi tubuhku dengan selimut yang tergeletak di lantai.
“Saya akan hubungi nyonya, sekarang lebih baik anda istirahat. Bila perlu apa-apa, panggil saja dengan telepon. Permisi, Nona,” kata paman Jones. Dia menutup pintu kamar ketika keluar.
Tanganku kuletakkan ke atas keningku, menyingkap poni rambutku. Mataku terus saja tertuju pada langit-langit tanpa bisa terpejam.
Tiga bulan yang lalu, sebelum waktu libur tiba. Saat itu aku begitu bosan di kelas, sampai-sampai tiga kali Miss Claire, guru biologi, menegurku keras. Siangnya, aku pergi ke perpustakaan. Tanpa tahu buku apa yang akan kubaca, aku menyusuri satu persatu judul dari setiap rak buku di lantai bawah. Perlahan-lahan, kucari judul yang bisa menarik minat bacaku, sampai aku tiba di rak nomor tujuh. Di sana terpampang sebuah buku tua. Buku itu langsung menarik perhatianku, kuambil dari tempatnya, dan kubaca di tempat biasanya. Halaman-halaman buku itu sudah saling menempel, sesuai dengan kata-kata Cordelia, bahwa buku itu sudah lama teronggok di sana.
Entah mengapa tak ada yang mau membacanya, hanya karena mitos yang beredar kuat. Bahkan Mister Gustavo pun enggan memindahkannya ke gudang buku, di bawah tanah. Di hari itu, aku menghabiskan 52 halaman untuk dibaca. Baik judul dan isinya, sama sekali tak berkaitan menurutku. Supernative, tapi berisi bagaimana teori tentang badai dimensi. Sampai aku menemukan bahwa badai dimensi itu, memang disebut Supernative.
Esoknya, aku kembali ke perpustakaan itu, mengambil buku yang sama, hingga aku tiba di halaman 73, sebelum berhenti karena waktu ujianku hampir dimulai. Setelah itu, libur tiba, aku tak lagi membaca buku itu. saat itu perasaanku masih baik-baik saja, sampai aku melewati halaman 120, seperti yang dikatakan Cordelia.
Aku harus menghubungi Cordelia sekali lagi, walaupun dia agak maniak, pasti dia tahu sesuatu.
Sebatang kecil ponsel di meja langsung kusambar. Lekas kucari nomor kontak Cordelia. Kukatakan dengan buru-buru kalau aku butuhkan bantuannya, apa saja tentang pengetahuannya. Begitu gugupnya sampai kata-kataku hanya terdengar sepotong-sepotong. Susah payah aku menjelaskan segalanya. Akhirnya Cordelia mengerti maksudku.
“Sekarang? Okay, aku datang secepatnya.” Cordelia menutup pembicaraan. Sekarang dia pasti tengah mempersiapkan dirinya untuk datang. Tak mungkin dia tak datang, aku berani bertaruh untuk seluruh ke-maniak-annya.
………
Empat puluh lima menit kemudian, aku nyaris tertidur di dalam buaian lagu. Seseorang mengetuk pintu kamarku, segera kumatikan nyala pemutar CD di samping kiri televisi. Sepertinya paman Jack mengetuk pintu, sebab setiap ketukannya terdengar lambat dan berat. Yang kutunggu telah datang.
“Ada apa, Paman?” tanyaku dari dalam
“Ada teman anda yang datang. Katanya dia bernama Cordelia.”
“Suruh masuk ke kamarku saja, Paman.”
Paman Jack terdengar turun ke bawah. Langkah tambun ini membuatku menanti. Tak lama kemudian, suara langkah kaki kembali ke atas. Pintu kamarku dibuka perlahan, gadis berkaus hitam itu, masuk ke dalam kamarku. Benar, hanya empat puluh menit. Cordelia memang luar biasa.
“Cordelia, akhirnya kau datang juga.”
Aku berjalan cepat, menutup rapat-rapat pintu kamarku. Cordelia segera terduduk di atas ranjangku.
“Jadi, sebenarnya ada apa denganmu? Apa ini berhubungan dengan buku itu?” tanya Cordelia, matanya menjelajahi seisi kamarku.
“Kau tahu, sepertinya buku itu membuatku gila. Katakan, apa lagi yang kau ketahui tentang buku itu,” pintaku tergesa-gesa.
Wajahnya berpikir kalau aku ini aneh, sangat terbaca jelas. Dia bingung harus menjawab apa.
“Sayang sekali, Alexa. Hanya itu yang kuketahui. Masalahnya jangan kau yang bertanya padaku dahulu, tapi biarkan aku tahu sebenarnya ada apa?”
Aku membuat tubuhku duduk di atas ranjangku. Perlahan, kutarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya hingga terkumpul sebuah tenaga sekedar untuk bertutur.
“Buku itu, kurasa dia mengikutiku. Sejak terakhir aku di perpustakaan, aku telah meletakkannya kembali ke dalam rak. Tapi di dalam kamar ini, aku menemukannya telah berada di dalam tasku…”
“Sekarang dimana buku itu?” potong Cordelia.
“Kalau aku terkejut hanya karena buku itu ada dalam tasku tanpa kuketahui, aku tak akan memanggilmu ke sini. Dengarkan dulu, buku itu kulemparkan ke sana, saat itu aku sangat panik,” kataku menunjukkan sudut kamarku. “Begitu juga dengan selimut yang kugunakan untuk menutupinya, aku tak ingin melihat buku itu. Tapi saat kucoba mengambilnya dari balik tumpukan selimut, buku itu hilang!”
Dia tak mempercayaiku, itu terlihat dari wajahnya. Kemudian, satu tangannya ditempelkan ke atas pundakku.
“Aku minta maaf telah membuatmu takut, Alexa. Sebenarnya cerita itu tak jelas kebenarannya. Kau tahu, cerita tentang halaman 120 itu, aku juga berpikir itu hanya bualan saja. Aku tak menyangka itu membuatmu sampai berimajinasi seperti ini,” katanya pelan-pelan.
“Sungguh, Cordelia! Kau harus percaya padaku kali ini. Aku serius!” ucapku ngotot membela diri. Dia sungguh-sungguh menganggapku membual.
Dia melihat jam tangannya, sangat mungkin dia sedang mencari-cari alasan untuk pergi dari sini.
“Uppss, sudah pukul lima sore, aku lupa ada urusan penting. Aku pergi dulu, Alexa.”
Tanpa beban, seperti menganggapku mencoba mengerjainya juga, dia melenggang bebas menuju pintu kamarku. Aku sama sekali tak menginterupsi kepergiannya, aku tahu akan percuma. Suara pintu tertutup segera terdengar.
Siapa lagi yang bisa kuharapkan? Akhir dari pembicaraan yang sangat-sangat singkat dengan Cordelia membuatku semakin gusar. Namun pikiranku tiba-tiba mendapat jawaban yang menurutku masuk akal. Pertanyaannya adalah, bilapun dia mau membantu, apa yang bisa kuharapkan dari orang yang kuharapkan? Nyata-nyatanya buku itu telah hilang. Mungkin tak akan menjadi masalah bila aku membiarkan hal ini berlalu. Cukup jauhi saja rak nomor tujuh, dan jangan mengungkit-ungkit lagi tentang buku itu. Semua akan baik-baik saja.
Itulah yang ada di pikiranku, ketika aku memutuskan untuk membaringkan tubuhku dan berusaha mengikuti kata-kata paman Jones. Nyaman sekali, akhirnya aku bisa melepaskan beban itu. Kupejamkan mataku, agar rasa lelah ini terbuang.
………
Suara gaduh yang dibuat nada dering ponselku, membuat mataku terjaga. Kuraih ponsel itu dari arah samping kanan bantalku, tanpa membalik badanku untuk melihatnya. Tertulis dengan angka di layarnya, pukul tujuh malam. Bersamaan dengan itu, panggilan Mom menyuarakan deringnya.
Ini Mom dengan suaranya yang terdengar begitu buru-buru. Kata-katanya banyak disela asisten-asistennya. Sudah terbayang olehku betapa rumitnya keadaan di seberang sana, di sisi lain dari saluran telepon. Mom terdengar cemas dengan kondisiku, walaupun aku merasa baik-baik saja dan tetap mencoba menjelaskan pada Mom kalau aku baik-baik saja.
Hingga perkataan terakhir, Mom hanya mendikte kegiatanku. Tak lupa juga dia sebutkan kata-kata yang bagai slogan itu, “Alexa, jangan lupa makan malam.” Selalu ada dalam tiap permohonan maafnya karena terlambat pulang.
Keadaan in bahkan tak lagi pantas untuk menyandang kata ‘bosan’. Seandainya ada sebuah kata baru yang kekuatannya melebihi kata ‘bosan’, akan kugunakan utnuk meluapkan perasaanku. Inginnya sekali saja, aku, Mom dan Dad bisa berlibur dengan tenang, tanpa gangguan pekerjaan mereka. Tanpa mesin faks yang berderit-derit tiap setengah jam sekali. Tanpa bunyi ‘beep!’ tiap sepuluh menit dari gadget mereka. Tanpa raungan “kring-kring!” dari enam ponsel yang dimiliki Mom dan Dad. Tapi mengharapkan itu sama saja dengan mencoba membelah air—tak mungkin.
Kuusap-usap kedua mataku dengan tangan. Kamarku terlihat begitu gelap, sebab lampu belum dinyalakan. Jendela masih terbuka lebar, angin berhembus masuk ke dalam, membuat daun jendela bergoyang-goyang di sisi luar. Aku beranjak dari lingkupan selimutku, menuju kamar mandi. Setelah itu, aku turun dari kamar, sebab ini waktunya untuk makan malam, tanpa menikmatinya sedikitpun.
………
Kembali ke kamarku yang tampak gelap. Lampu masih belum kunyalakan, sejak terakhir aku meninggalkannya. Kuraba-raba dinding di sebelah kiri pintu masuk, untuk mencari tombol itu. Karena sudah hafal, aku segera menemukannya, lampu neon putih segera menyala. Sinar itu segera merambat ke seluruh penjuru kamarku.
Sekali lagi, ini mustahil!!!
Buku itu, buku yang mengikutiku, buku yang hilang tiba-tiba, sekarang sudah tergeletak di atas ranjangku. Aku hampir saja berlari ketakutan ke bawah, tapi pikiranku tak mau melepaskan rasa ingin tahunya. Mataku memandanginya dalam-dalam. Hanya berdiri dekat dengannya saja, hawa misterius itu sudah terendus. Aku melangkah hati-hati, kemudian duduk di samping buku itu. Perlahan, tangan yang gemetar ini mencoba meraihnya. Jantungku berdegup keras sekali, saat aku pertama menyentuhnya. Bagaimana bisa ini terjadi padaku? Buku ini adalah buku yang sama, buku yang kubaca di perpustakaan, dengan pikiranku yang tadinya mengganggap bahwa semua ini adalah bualan. Sekarang, buku ini mulai menguasai jalan pikiranku.
Rasa ingin tahu terus hinggap padaku, mendorongku untuk membuka kembali lembaran terakhir yang terlipat, halaman 146, jelas sekali bekas lipatan itu membuat halaman itu menonjol. Jemariku mengangkat cover hitam buku ini, dan menyibakkan beberapa halaman, sampai menemui lipatan itu. Kuluruskan kembali lipatan yang meninggalkan bekas itu, untuk mulai membaca setiap katanya perlahan.
Nyatakah buku ini?
Surat-surat lainnya tercetak dalam beberapa halaman lagi. Sepertinya orang bernama Dokter Brian Lucas Senior dan Dokter Zack itu saling berbalas-balasan surat. Kusingkapkan halaman awal di mana surat itu dimulai kembali. Tulisan-tulisannya sudah agak pudar, perlu sedikit kontraksi pada mata untuk membaca kata demi kata di sana. Cukup bagiku untuk menerka usia surat itu.
Jenewa, Juli-29-1941
Salam,
Dokter Brian, aku telah membaca dan menganalisa hasil laporanmu terhadap pendeta muda itu. Aku juga menarik kesimpulan yang sama denganmu. Dia tidak gila, hanya saja dia agak tertekan. Kau sendiri menyebutkan dia tersadar dari tidurnya di koridor. Ada kemungkinan dia mengalami depresi yang memaksa syaraf otaknya melupakan kejadian buruk dalam hidupnya dan menggantinya dengan khayalan imajinatif yang dia ceritakan. Tapi di sisi lain, aku juga curiga dia berada dalam pengaruh obat bius tertentu. Jika itu sampai terjadi, pastikan kau tak mengeluarkan surat ijin baginya untuk bertugas, Brian. Reputasi dan karirmu bisa hancur seketika.
Temui Dokter Phillipus Anderson, dia bisa membantumu melakukan tes urin bagi klienmu. Cari tahu juga segalanya tentang dia, amati kegiatannya sehari-hari. Cari tahu siapa keluarganya dari daftar nama pasukan militer atau gereja tempatnya berasal. Aku tahu batasnya tanggal delapan belas Agustus. Kau beruntung dia mendatangimu, Brian.
Jika ada perkembangan baru tentangnya, hubungi aku lagi.
Tertanda,
Dr. Zaccharia van Hoodwijk
………
Kosong? Apa-apaan halaman ini?
Aku tak habis pikir mengapa ada penerbit yang bisa mengeluarkan buku berhalaman kosong. Sampai akhir pun tetap kosong. Tapi pertanyaanku terjawab setelah melihat tak ada nama penerbit tercantum di buku ini. Dengan kata lain, buku ini seharusnya ilegal. Besok, aku akan—dan harus—menanyakan pada Mr. Gustavo, mengapa buku ini sampai ada di perpustakaan.
Ini sudah yang keempat kalinya, terhitung sejak seminggu yang lalu. Mimpi yang selalu datang membuntutiku, semalaman suntuk, bahkan membuatku tak mampu tenang saat aku terjaga olehnya. Pedang-pedang berkilau, hentakan sepatu-sepatu besi dan ribuan sorak-sorai manusia, tepat di hadapanku, dan aku tak mampu menjawab apa-apa. Kemudian ilusi itu berganti dengan derap langkah kuda-kuda besar, dan teriakan bengis wajah-wajah seram.
Hari yang sama seperti awal mula tahun ajaran kemarin, di sini, rumahku di 44th Terrace North, jalan sepi di utara kota Birmingham.
Mobil sedan abu-abu milik Dad, telah meluncur keluar gerbang rumahku. Mobil itu kini disusul sedan hitam lain milik Mom. Dia sudah memacu kecepatan mobil sejak kami menyusuri Cheek Road, jalan yang pertama dilalui dari 44th Terrace North. Mom sudah terbiasa melalui jalan singkat tanpa panduan GPS. Setiap pagi tentunya lalu lintas di sekitar jalan Arkadelphia hingga Jasper, amat padat oleh mobil. Karena itu, jalan pintas adalah kewajiban bagi Mom. Melalui lebih dari delapan tikungan, Mom masih memacu kencang Porsche Cayman kesayangannya. Tentunya dengan kecepatan itu, aku bisa sampai di sekolah lima menit lebih awal. Gerbang tinggi sekolahku, Birmingham-Southern College, masih dibuka lebar-lebar.
Terakhir, kulambaikan tanganku pada salam terakhir Mom untuk berpisah hari ini. Mom menekan tombol di sisi kanannya untuk menutup kaca jendela.
Masih ada lima menit untuk naik ke kelas astronomi. Biasanya pada jam-jam seperti ini, elevator penuh murid-murid lain yang bahkan telah lama mengantri. Daripada menunggu seperti mereka yang tak ingin berkeringat, lebih baik langsung berlari lewat tangga.
Memasuki gedung utama, pintu otomatis terbuka. Dalam gedung utama, terdapat seluruh kelas yang dirangkum dalam empat lantai. Ruangan ini langsung menyambutku dengan patung sistem tata surya, yang telah dipajang di hall utama lebih dari tujuh tahun lalu. Elevator tabung kaca tampak memualkan dengan banyaknya manusia pemalas.
Sepasang kaki ini langsung melaju melewati puluhan anak tangga, menuju lantai tiga. Satu atau dua murid lainnya juga mengikuti caraku. Maklum saja, hari ini adalah hari pertama ke sekolah setelah libur kenaikan tingkat yang panjang. Semua masih membawa hawa malas dari rumah ke sekolah.
Gawat, tinggal satu menit lagi. Keterlambatan ini sungguh merisaukan…
Walaupun sempat sedikit tersandung kecil, pada akhirnya aku sampai juga ke ruangan dengan lima belas murid lainnya. Untunglah Miss Naomi belum ada di tempatnya. Dengan nafas yang kepayahan, aku meletakkan tas berisi notebook ke atas mejaku. Kuseka keringat di dahiku dengan sapu tangan biru dari sakuku.
Oh, tidak…
Lihatlah ke depan, guru tua yang selalu menggunakan kata-kata rumit dalam setiap ucapannya.
Setelah itu, dimulailah satu jam kelas astronomi. Guru yang sudah tua itu bertele-tele dalam menjelaskan, bagaimana bisa aku menahan diri untuk tidak melamun? Keadaan di luar jendela tampak lebih menarik. Memang selalu begitu di saat semuanya terlalu membosankan.
Terus…terus dan terus…Detik terus berlalu dengan lambat.
Hingga akhirnya bel tanda pergantian kelas berbunyi nyaring. Akhirnya guru tua itu pergi juga, begitupun aku. Setelah ini, pukul sepuluh akan ada kelas matematika-kalkulus.
Pelan-pelan kutekan tombol lantai satu pada elevator yang membawaku turun. Aku menyelinap keluar dari gedung utama, ke perpustakaan. Ruangan ini besarnya tak terhingga bagiku. Begitu masuk ke dalamnya, aku selalu teringat akan beberapa cerita takhayul yang terkenal di sini. Konon, seorang siswa yang mampu membaca seluruh buku di sini, akan mendapatkan kesaktian untuk melakukan sihir seperti film-film fiksi. Ada juga yang bilang akan ada sebuah dunia fantasi seperti dalam khayalan, yang terbuka melalui buku terakhir yang kita selesaikan. Ada lagi yang bilang, rahasia besar akan terungkap dari balik salah satu buku di antara ratusan ribu buku di sini.
Omong kosong, itu hanya akal-akalan. Mana mungkin ada yang bisa menyelesaikan membaca seluruh buku di sini?
Itu hanya satu dari banyak kisah tak masuk akal di sekolah ini.
Rak-rak buku yang tinggi membuat aku harus berdiri pada posisi jinjit untuk meraih buku di deretan rak teratas. Mulai dari buku pelajaran, literatur, sejarah, novel, ensiklopedia, semua lengkap di sini. Perpustakaan ini bertingkat tiga. Di bagian teratas, penuh dengan karya sastra klasik dari sastrawan berbagai negara. Keseluruhan arsitektur ruangannya begitu klasik, serba kayu, dengan patung-patung di setiap sudutnya. Beberapa lukisan abstrak bernuansa klasik dipajang pada setiap dinding kosong. Untuk masuk ke dalam, perlu kartu perpustakaan yang digesekkan di samping pintu masuk. Tentunya untuk mengetahui siapa saja yang masuk ke dalam, di tengah ruangan sebesar ini.
“Hei, Alexa…bagaimana liburanmu?” sapa Cordelia setengah berbisik. Tiba-tiba saja dia muncul.
Cordelia adalah sosok gadis misterius. Dia selalu mengenakan baju-baju bernuansa hitam. Sekarang saja, dia memakai sweater agak ketat, berwarna hitam pula. Rambutnya pirang, agak jingga, selalu digerai lurus. Bola mata peraknya, membuat kesan misterius semakin kuat. Apalagi dengan garis hitam pudar di bawah kantung matanya. Sebuah kalung salib perak selalu tergantung di lehernya. Dia selalu berjalan dengan penuh keanggunan, tentunya sampai dia menemukan hal mistik, dia langsung berubah menjadi sosok maniak.
“Hei, Cordelia,” kataku sambil tersenyum ramah. “Biasa saja, hanya pergi mengunjungi kakekku di Shanghai. Kau?”
“Belajar…terus belajar. Aku tak ingin hanya mendapatkan nilai C lagi seperti tingkat 12 lalu. Buku apa yang kau pegang?” matanya begitu antusias.
“Entahlah. Cerita lain tentang tempat tinggal manusia lain mungkin.”
Buku yang kubaca adalah buku Supernative, sebuah buku tentang teori adanya dimensi keempat. Kecil sekali tertulis di sana, nama Brian Lucas Junior muncul sebagai pengarang buku ini. Buku ini tebalnya sekitar 250 halaman. Keseluruhan covernya hitam, agak pudar karena usianya. Setiap kertas per halamannya juga sudah menguning, lagi-lagi karena usianya. Tapi hebatnya, buku ini tak tersentuh rayap sama sekali. Aku menemukan alasan yang tepat untuk menjawabnya. Menurut para siswa, ada beberapa trik khusus yang dimiliki Mr. Mario Gustavo, si penjaga perpustakaan, untuk menghindari para rayap menyerbu. Tapi jelas, itu adalah rahasianya pribadi.
Dasar pelit! Pria beralis ulat bulu yang sedikit terkesan angkuh.
Memikirkan itu, aku jadi menengok sekilas pada wajah brilian Mr. Mario Gustavo. Kepalanya sudah jarang ditumbuhi rambut, lagipula rambutnya telah memutih. Kumisnya agak tebal, berwarna sama dengan rambutnya. Kacamata baca itu selalu kutemukan menggantung di atas hidung bengkoknya. Entahlah itu minus atau plus, dia memang kesulitan melihat jauh dan dekat. Maklum, usianya sudah kepala lima, memang sulit jadi orang tua yang mencintai buku—sepertinya dia menjadikan buku sebagai istrinya.
“Astaga…mungkin kau perlu menguras seluruh isi otakmu, Alexa. Terakhir kali buku itu dibaca, itu sudah lima tahun lalu. Lihat betapa lengketnya lembaran buku itu,” kata Cordelia dengan alis mengernyit.
“Kau salah. Terakhir buku ini dibaca, baru tiga bulan yang lalu. Lihat, lipatan yang kutinggalkan di halaman 73 belum diluruskan. Berarti belum ada orang yang membacanya lagi selain aku.”
“Oh Tuhan, Alexa. Konon…”
“Konon apa lagi, Cordelia?” potongku. “Selain adanya negeri fantasi, sihir, dan rahasia harta karun yang kau ceritakan padaku, apa lagi?” tanyaku masih dalam keadaan berbisik.
“Masih ada lagi, Alexa…”
Ini dia fantasi terbesar abad ini, dari Cordelia Peterson.
“Konon yang membaca buku itu sampai halaman 120 secara berurut, akan mengalami kesialan dalam hidupnya. Menurut cerita yang beredar di sekolah ini, lima tahun lalu, ada seorang siswa pria yang mencoba menantangnya. Bisa ditebak, sepulang sekolah, dia dikabarkan hilang tanpa jejak. Sampai sekarang, orang itu belum kembali…jiwanya terkurung dalam dimensi lain, meraung-raung inginkan kebebasan,” paparnya dengan penuh dramatisir. “Jika kau masih punya akal sehat, jangan lakukan hal itu, Alexa…Jangan pernah!”
“Sudahlah, lagipula kau juga tak tahu kebenarannya, kan? Di jaman modern seperti sekarang, takhayul memang makin digemari, itu semua semata-mata karena dunia nyata begitu membosankan.”
Sebenarnya, itu pendapatku sendiri. Sejujur-jujurnya aku ingin sekali menemukan dunia semacam itu, dimana fantasi dan sihir mungkin menjadi kenyataan, hanya saja aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah tak mungkin, atau tepatnya tak bisa mempercayai hal-hal semacam itu lagi.
“Kau sendiri, buku apa itu?”
“Demonology…legenda 72 iblis yang disegel oleh King Solomon, legenda The Fallen Angels. Berminat?” tawarnya padaku.
Buku itu hanya bersampulkan cover hitam. Tulisan di covernya dicetak dengan tinta ungu gelap. Tebal sekali. Aku heran, sampai sebegitu antusiasnya dia dengan hal-hal semacam itu.
“Tidak, aku tak tertarik dengan hal itu…”
“Tunggu, untuk apa kau baca buku yang kau pegang kalau kau tak tertarik?”
“Masa? Ini jelas berbeda bidang.”
“Oh, tentu saja tidak. Jelas sekali ada benang merah antara keduanya,” sanggah Cordelia ngotot. Matanya menyorotkan keyakinan yang tak terelakkan. “Benang yang amat tebal…”
“Cordelia, yang kubaca ini adalah hubungan antara dunia kita dan dimensi keempat, dengan analisis fisika. Jadi yang ada di sini, adalah apa yang ada di dalam dunia, berdasarkan ilmu pengetahuan,” jelasku sabar-sabar.
Alexa, tolong perpanjang kesabaranmu.
“Tak semua bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan, Alexa. Percayalah pada ceritaku barusan,” katanya sok menakut-nakutiku.
Aku hanya diam dan memberi pandangan aneh padanya. Tampaknya kesan misterius di matanya, mulai luntur, berganti rasa aneh karena ceritanya ditanggapi dengan aneh pula. Dia mulai kembali ke ekspresi normal.
“Kukira kau akan takut,” ujarnya sedikit kecewa, namun dia hanya melepaskan senyum untuk menutupi kegagalan terornya. “Sudahlah, aku mau bawa pulang buku ini. Ada kelas menungguku sepuluh menit lagi. Sampai ketemu nanti, Alexa…atau mungkin kita tak akan bertemu lagi,” katanya masih dengan keinginan menakutiku.
Setelah itu dia berlalu menuju penjaga perpustakaan. Aku pun berjalan cepat-cepat, menaiki tangga kayu yang memutar untuk pergi ke lantai dua, memilih tempat yang dekat dengan AC untuk membaca, seperti biasanya. Aku lebih tertarik terhadap kisah-kisah sejarah dunia, dan setidaknya buku yang kubaca bukanlah sesuatu yang tak berguna seperti Cordelia.
“Ada-ada saja…” lanjut pikiranku, saat kumulai meluruskan kembali lipatan yang kubuat, tiga bulan lalu.
Kulahap kata demi kata, halaman demi halaman buku ini. Tanpa terasa satu jam sudah berlalu. Jariku sudah menjejaki halaman 118 dari keseluruhan buku. Walaupun sebenarnya aku tak percaya takhayul, tapi gara-gara sugesti yang diberikan Cordelia tadi, rasanya terror halaman 120 itu terus saja mengikutiku.
“Ah, Alexa…itu hanya cerita bualan saja. Jangan biarkan pikiranmu dipenuhi hal itu…” gumamku pada diriku sendiri.
Begitu takutnya sampai-sampai pikiranku merinding membaca judul yang terpampang, tepat di halaman 120, Pintu Masuk Menuju Dimensi Keempat. Di sana tertulis, menurut teori sang penulis, bila ada gejolak antar dua dimensi itu, seperti adanya badai elektromagnetik dengan taraf energi di atas ledakan sebuah nuklir, dapat terbuka sebuah pintu gerbang menuju dimensi keempat. Yang dimaksud dengan dimensi keempat sendiri, adalah suatu dunia dimana makhluk-makhluk selain manusia tinggal dan hidup berdampingan dengan para manusia. Dalam istilahnya, penulis menyebutkan dimensi keempat sebagai Mithrillia.
Mungkin maksudnya teror di halaman 120, adalah karena di halaman itu, ada informasi yang jelas tentang dimensi keempat.
Beberapa penjelasan panjang dari seorang fisikawan yang agak misterius, dijelaskan dengan rinci. Buku ini sebenarnya masuk ke dalam buku sci-fi, namun karena kemasannya dengan bahasa yang berat, tanpa terasa aku jadi berpikir bahwa isi buku ini adalah fakta. Padahal awalnya hanya berniat iseng mengisi waktu kosong antar jam pelajaran. Beberapa alinea panjang kubaca, hingga halaman membawaku pada angka 130, pintu gerbang paling mudah adalah ‘kematian’.
“Wew…jadi tanpa badai antar-dimensi, kita hanya bisa masuk ke dalam dunia itu melalui kematian? Bagus juga…” pikirku.
Tersebut sebuah dimensi gaib yang dinamai Mirage akibat banyaknya kemustahilan yang ada di sana. Dimensi itu memiliki pergerakan yang cenderung individualistis dan superior dibandingkan kedua dimensi lainnya. Dari Mirage, perpindahan bisa dilakukan dengan mudah ke Mithrillia dan Maya, namun kedua dimensi itu tak bisa berpindah dengan cara apapun ke dimensi Mirage. Itu cukup menunjukkan betapa istimewanya dimensi itu.
Mengenai dimensi kelima, sedikit sekali dijelaskan di sini. Kemungkinan terbukanya hampir mustahil, mendekati nol persen. Kejadian apa yang bisa membuat tenaga lebih besar dari seribu bom atom termutakhir yang diledakkan bersamaan? Pastinya Einstein pun tak berpikir temuannya akan dijadikan perbandingan dalam hal sekonyol ini.
Disebutkan bahwa banyak makhluk-makhluk Mirage yang bisa melakukan perpindahan dimensi dengan mudah. Mereka juga menjejakkan kakinya ke dimensi Maya untuk melihat kehidupan di dunia kita. Banyak dari mereka yang sudah membuat keonaran tak terjelaskan di dimensi Maya. Tak ada seorangpun yang dapat mencegah hal itu terjadi, sebab perpindahan dari dimensi Mirage ke Maya amat mudah dilakukan. Manusia di sini menyebut makhluk-makhluk itu hantu.
Telah banyak saksi mata yang menyebutkan kehadiran makhluk-makhluk Mirage. Juga berderet teks panjang berisi daftar laporan kemunculan makhluk-makhluk itu di dunia Maya. Jumlahnya mencapai lebih dari lima halaman, hampir mencapai tujuh halaman. Ulasan setelahnya juga makin jauh dari kenyataan dan logika yang kupegang teguh. Aku berjanji diriku tak akan terpengaruh, tidak sampai menjadi Cordelia Si Maniak Misteri.
Nemoralexia, Sebuah Peradaban Legendaris yang Lenyap, itulah judul yang kubaca selanjutnya. Disertakan ilustrasi, nama-nama berdialek aneh, tahun peradaban, dan tahun hilangnya peradaban. Minim informasi pada buku ini, negeri ini dikabarkan hilang setelah adanya perngolakan internal di dalam pemerintahannya.
Legenda Nemoralexia itu juga tak diamini semua pihak di Mithrillia. Negeri itu sejenis dengan peradaban Atlantis yang hilang di Maya. Sesuatu yang berbahaya tersembunyi di sana. Sesuatu itu siap menghancurkan dominasi kaum manusia Maya yang merasa dirinya paling berkuasa di antara ketiga dimensi. Sebuah sejarah panjang tentang asal usul peperangan besar di jaman kuno, yang disusul oleh peperangan panjang di Mithrillia.
Peperangan panjang?
Penjajahan kaum Mirage terhadap Mithrillia membuat mereka meradang. Para makhluk Mithrillia terus berusaha mempertahankan tanah leluhurnya, sampai kejatuhan kerajaan terakhir membuat usaha itu ikut runtuh. Kini serdadu Mirage menduduki seluruh pemerintahan di Mithrillia. Mereka menindas para penduduk, membunuhi penentang-penentang, dan memanfaatkan orang-orang sebagai budak, sesuka hatinya. Akhir yang mengenaskan bagi pengorbanan para pemberani Mithrillia.
Pengarang buku ini menyebutkan bahwa dirinya adalah contoh langka dari sedikit manusia yang berhasil menyaksikan bagaimana peradaban Mirage sebenarnya. Bagaimana mereka hidup, ada apa di sana, makhluk apa saja di sana, namun dia tak cukup berani untuk mengungkapkannya di buku ini. Dunia mereka tak memiliki sedikitpun kesamaan dengan dunia ketiga dan dunia keempat. Yang pasti, pengarang menyebutkan sekali lagi betapa mudahnya mereka berpindah dimensi.
Terlalu banyak penjelasan yang rumit di sini. Begitu banyak gambar grafik dan simulasi dari terjadinya hubungan antar-dua dimensi. Pengarang buku ini menunjukkan betapa pintarnya dia mempengaruhi pembaca melalui bukti-bukti yang seakan-akan nyata.
Kurasa aku termasuk dalam golongan pembaca itu—hampir.
Kemudian jari jemariku mulai melambat menggeser lembaran kertas yang sedikit berdebu itu, sebab aku menemukan halaman yang menarik minatku untuk membacanya kembali. Dia katakan di sana, halaman ini adalah surat yang dikirimkan ayahnya pada rekannya sesama psikiater di Swiss.
Amsterdam, Juli-27-1941
Salam,
Dokter Zack, kuingin kau membantuku untuk menganalisa laporan dariku. Aku mencatat begitu rinci kata-kata dari seorang pasienku.
Seorang pria kisaran dua puluh tahun datang ke ruanganku. Dia seperti orang kikuk.. Dia masih begitu muda, dan tak ingin menyebut namanya. Aku ingat dia pertama kali bertanya, “Apakah aku gila, Dokter?” Aku langsung tahu dia tidak gila saat dia tanyakan hal itu.
Awalnya aku begitu yakin dengan kewarasannya, tapi semakin lama dia bercerita, semakin aku meragukannya. Dia berkata banyak tentang dunia lain, tempat yang penuh dengan monster, pasukan berkuda, dan naga-naga terbang. Beberapa kali dia meyakinkanku bahwa dirinya sempat ada di dunia lain itu. Dia bertemu kaum pejuang yang memperjuangkan kebebasan mereka. Kaum itu mengingatkannya agar berhati-hati akan serangan dunia lain. Setelahnya, dia berkata kalau dia terbangun dari tidurnya. Tanpa sadar dia mengakui dirinya terkapar di antara koridor apartemennya.
Yang paling menarik setelahnya, dia menunjukkan sebuah batu rubi berwarna kebiruan. Dia menganggap batu itu bertuah. Orang di dunia lain yang memberinya.. Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi. Dia mengaku sering mengalami sakit kepala disertai pengaburan penglihatan. Setelahnya dia melihat dunia itu ada di depan matanya lagi, lalu menghilang begitu saja. Dia juga mengaku sering dibayang-bayangi sosok monster sepanjang harinya.
Aku berusaha meyakinkannya bahwa itu hanya mimpi, tapi kau harus lihat keyakinan besar di matanya, Zack. Kau tahu tugasku sebagai dokter jiwa bagi para misionaris ke luar Belanda. Kau tahu apa yang akan ditimpakan padaku jika aku meloloskan dia di saat ternyata dia gila.
Kulampirkan salinan hasil testnya bersama surat ini. Bacalah, dan lihatlah wajahnya di selembar foto bersama surat ini. Kuharap kau bisa membantu.
Terima kasih
Tertanda,
Dr. Brian Lucas
Aku hampir saja percaya pada bualan ini Beruntung di telingaku masih terngiang kata-kataku di beberapa saat lalu. Aku tak akan menjadi sama seperti Cordelia Si Maniak Misteri, bisa kupastikan itu.
“Alexa, kau masih di sini?” tegur seorang pria yang memegang pundakku. “Kelas matematikamu sudah dimulai.” katanya agak memelan.
Astaga, bodohnya diriku. hanya karena buku ini, aku jadi sampai melupakan kelas matematika-kalkulus.
“Terima kasih, Teman. Aku berhutang padamu,” kataku setelah melipat halaman buku terakhir yang kubaca. Aku tergesa-gesa keluar, pasti Mr. Simpsons juga belum sampai. Terlambat juga adalah hobinya.
Agak gegabah, aku berlari menerobos orang-orang lainnya.
“Permisi…permisi,” atau “Maaf, aku terburu-buru,” selalu kuucapkan berulang-ulang saat menabrak orang lain. Aku tak punya pilihan lain. Si Galak itu mungkin sudah beranjak dari ruang guru.
Sampai juga di depan pintu kelas. Pikiranku memikirkan apa yang ada di dalamnya. Mengapa pintu tertutup dan keadaan hening? Jangan-jangan Mr. Simpsons sudah bertengger di tahtanya. Lagi-lagi, aku tak memiliki pilihan lain. Kuberanikan diriku memutar gagang pintu ini, walaupun jantungku berdetak tak karuan. Tanganku dingin, membayangkan wajah siapa yang akan pertama kali kulihat di kelas.
“Kumohon…kumohon…” gumamku sambil membuka daun pintu ini. Pelan-pelan, sampai…
“Keluar!!!!” teriak seorang pria paruh baya dari dalam secara tiba-tiba. Teriakkan itu bagai merontokkan seluruh tulangku menjadi kepingan fosil tua.
Semua tampak begitu tegang. Benar saja pikiranku, Mr. Simpsons telah datang, dia seperti sedang mengawasi…
Ujian?!!
Mengapa di hari pertama ada ujian? Semua murid di sini, jelas-jelas agak kelabakan. Terlihat dari wajah mereka, sepertinya yang diujiankan adalah materi sulit yang belum dibahas.
“Mr. Simpsons, tolong maafkan saya. Ijinkan saya masuk sekali ini saja. Saya tidak mau ketinggalan pelajaran anda. Tak akan saya ulangi, saya janji,” pintaku memelas.
“Itu salahmu sendiri, Alexa. Di sekolah ini, semua kuperlakukan sama. Kau tahu, akupun akan melakukan hal yang sama bahkan jika kau adalah Albert Einstein atau Isaac Newton. Sekarang, keluar!!!” teriaknya berang.
Teriakkannya seakan menyemburkan pusaran angin mahadahsyat yang meluluhlantahkan seluruh nyaliku di hadapannya. Aku menyingkirkan diriku dari hadapan ‘beruang besar’ yang tengah mengamuk itu. Cepat-cepat kututup kembali pintu kelas, dengan menggunakan tanganku yang gemetaran. Aku melangkah lesu meninggalkan ruangan kelas. Tak kupikirkan kemana arahku berjalan.
Hanya karena buku tadi, semua berantakan di hari pertama. Sial!!
Begitu sibuknya aku memikirkan kejadian tadi, juga begitu penuhnya kepalaku dengan gerutuan kesal, hingga baru sekarang aku menyadari tanganku terasa hampa. Barang penting itu hilang, sesuatu yang penting bagi seluruh murid di sekolah ini, termasuk bagiku.
Pantas saja dari tadi rasanya ringan
Aku ingat, terakhir kali notebook iu kuletakkan di perpustakaan. Meski jaraknya dengan tempatku berdiri sekarang tak terlalu jauh, tetap saja terasa melelahkan. Aku ingat telah membelinya sendiri seharga 1800 USD. Jangan sampai hasil jerih payahku hilang dalam waktu singkat. Dengan langkah cepat yang agak malas, aku kembali ke gedung itu lagi. Memang di sana tas itu masih utuh, tetap pada tempatnya. Walaupun beberapa orang lalu-lalang, tas ini tak disentuh sedikitpun. Begitulah bila semua murid dan staff di sini, sudah terlalu kaya dan mapan. Berpikir untuk peduli pun tidak.
Anehnya, buku itu masih ada di atas meja. Aku memutar kembali memoriku, karena sejauh yang kuingat, buku itu telah kembali pada raknya. Tulisan dengan tinta serupa emas, bertuliskan Supernative, sebagai judul buku itu, jelas menambah kesan misteriusnya. Dari jauh, bila dilihat, tak akan ada bedanya dengan catatan harian klasik. Sampulnya terbuat dari semacam karet polyester menyerupai kulit binatang sungguhan.
Pasti pria di perpustakaan tadi yang melakukannya. Dia melihat apa yang kubaca, mengambilnya kembali dari rak, kemudian karena alasan tertentu, dia lupa mengembalikannya ke tempat semula. Apa boleh buat, terpaksa kukembalikan lagi buku ini ke tempatnya. Rak nomor tujuh dari rak di lantai satu paling kiri. Susunan rak kelima dari bawah, ada sebuah ruang kosong yang memang milik buku ini. Kuletakkan kembali ke dalamnya. Dengan tas yang tergantung di bahuku, aku berjalan keluar dari perpustakaan.
Aku cepat-cepat menepis kemalanganku hari ini. Bentakan yang meruntuhkan konsentrasiku dalam beberapa pelajaran berikutnya. Sudah cukup aku kehilangan kalkulus saja hari ini.
………
Bel berdering, menyuarakan bunyi bak raungan terompet kebebasan bagi tahanan sekolah. Seluruh koridor bisa mendengarnya, nyaring sampai ke kelas-kelas. Kesal hari ini harus kutuangkan langsung pada dunia maya. Karena itu kafe di ujung jalan utara langsung tergambar jelas di pikiranku. Kurogoh-rogoh tas hitamku untuk menarik keluar sebuah ponsel. Ketika kuhubungi Mom, dia hanya menjawab ‘tak apa, sebab Mom juga sedang sibuk’. Sangat lazim. Terlalu biasa bahkan tak sedikitpun membuatku merasa terabaikan.
Kututup saluran telepon itu. Beberapa langkah kujalani sebelum sampai di halte milik sekolahku. Dengan bis yang memang melewati halte yang begitu dekat dengan Green Acres Café, aku meluncur ke sana. Memasuki bis, banyak tempat duduk kosong yang bisa kuisi. Aku memilih duduk di barisan ketiga dari belakang, tepat di samping jendela. Beberapa persimpangan kulalui, walaupun tak ada yang berubah dari pemandangan biasanya.
4th Avenue North, begitu tulisan merah yang tertera pada penunjuk digital, di langit-langit bis. Kutekan tombol merah, memberi sinyal bahwa aku akan turun di sana. Bis berhenti, menurunkan dua penumpang lainnya di halte ini. Sekarang sudah pukul satu siang. Kafe ini masih sepi, menunggu ramainya pengunjung pada kisaran pukul empat ke atas. Justru inilah saat yang tepat. Kafe berbentuk gedung kotak berdinding luar cokelat ini sudah kukunjungi sejak pertama aku pindah ke kota ini. Di dalam sini, aku menuliskan beberapa bait kata-kata pada blog milikku. Ya, saat ini adalah waktunya meluapkan kekesalanku pada buku itu pada blog.
“Permisi, Alexa. Pesan apa hari ini?” tanya seorang pria berhidung besar. Dia pelayan kafe, Gregor, anak pemilik kafe ini, Bob Rasmus. Dia sudah sangat mengenalku, kapan aku datang, dan dimana aku akan duduk. “Tunggu, jangan menjawab dulu, ice blended cappuccino, benar?”
Aku memperlihatkan senyumku, seakan-akan tebakannya benar. “Salah, sayang sekali. Aku pesan chesse tart, dan mocca latte yang dingin sekali. Lain kali, coba lagi menebakku,” sangkalku dengan canda.
“Pasti benar, Alexa,” balasnya dengan senyum. “Dingin sekali, cocok untuk panasnya Birmingham yang mulai menggila. Tunggu lima menit.” Setelah itu Gregor pergi dari dekat tempat dudukku.
Lama berselang, pukul tiga sore, mobil sedan Jaguar hitam telah diparkir di pinggir trotoar. Aku melihatnya saatku menengok keluar dari jendela kafe. Kemudian bel di atas pintu berdenting kecil, tepat saat sepatuku menginjakkan kaki di trotoar luar dari sisi pintu. Seorang berambut hitam, dikuncir kuda, dengan kacamata minus menggantung di hidung catutnya, dibalut dengan kemeja hitam berlengan panjang, ada di sana. Paman Jones, pria berdasi merah itu, bergegas keluar dari mobil dan membukakan pintu kursi tengah untukku.
“Bagaimana sekolah anda hari ini, Nona Alexa? Tampak dari wajah anda, sepertinya ada yang kurang berkenan,” tanya paman Jones. Maklum saja, paman Jones telah bekerja di rumah kami sejak aku belum lahir, dia kenal baik seluruh anggota keluarga McGeady.
“Memang ada, Paman. Tapi membicarakannya justru membuatku makin merasa suntuk,” jawabku sambil melihat pemandangan di luar jendela.
………
Paman Jones meliukkan mobil ini pada jalur yang membawanya menghadap tingginya gerbang rumahku. Gerbang depan yang besar, warnanya hitam dari baja kuat. Terdapat sekat-sekat di antara gerbang yang memungkinkan orang melihat ke dalam. Di atas gerbang terukir nama keluarga McGeady dengan warna emas. Aku bisa melihat senyum paman Jack menyambut kami saat membukakan gerbang. Juga bagaimana Julius si tukang kebun memotong dahan-dahan kering dari pohon maple di halamanku. Lalu sebuah istana besar dari seorang Alexander McGeady berdiri kokoh di hadapanku. Inilah rumahku.
Setelah ini hanya ada kesendirian di dalam kamar. Dindingnya krem, lantainya papan kayu, langit-langitnya dari papan cokelat sejajar yang dipoles mulus. Lalu seluruh penat terlepas dalam beberapa menit aku berkutat dengan air di kamar mandi. Kurebahkan diriku di atas ranjang, begitu tenang hingga mata terasa seberat batu. Sampai aku ingat sebuah hal tak terlalu penting yang tak mungkin kuabaikan. Mungkin beberapa pesan singkat sudah mengantri di ponselku. Kuraba-raba tasku, seingatku aku meletakkannya di bagian tengah. Sampai kuraba benda keras, seperti cover, buku?
Apa ini? Seingatku, hari ini aku tak membawa satupun buku.
Kugenggam sisi buku itu, perlahan-lahan kuangkat ke atas. Mataku hampir saja lepas ketika melihat buku apa yang kugenggam. Jantungku langsung memacu kencang sekali, seakan-akan benda itu akan meledak.
Kulempar buku itu ke sudut kamarku. Lalu kuambil selimut dan membuangnya hingga menutupi buku, seakan setelah itu semua akan baik-baik saja.
Aku berusaha, mengingat-ingat kembali, apa yang terakhir kali kulakukan dengan buku itu, aku sesekali melihat tumpukan selimut itu. Jawabannya selalu mengacu ke satu arah, aku benar-benar sudah mengembalikannya. Hanya itu yang terakhir kuingat.
Jangan-jangan Cordelia iseng memasukkan buku itu ke dalam tasku. Tapi bagaimana caranya? Dia hanya bersamaku sekitar pukul sembilan sampai sembilan lewat lima belas, setelah itu, dia tak ada lagi. Mungkin saja buku ini ada dua, yang satu adalah buku di meja, yang satu dimasukkan ke dalam tasku oleh seseorang. Aku tak boleh berpikir bodoh, pasti ada penjelasan rasional tentang semua ini.
Cepat-cepat tanganku meraih ponsel, kuburu nomor kontak Cordelia di daftar nomor. Cukup lama menunggu, akhirnya penantianku terbalaskan juga.
“Halo, Alexa?”
Cepat-cepat kuhantam dia dengan pertanyaan mengenai buku jelek itu. Seperti ribuan kembang api yang meledak serentak. Beberapa kali kuulangi pertanyaanku, beberapa kali itu pula dia menangkisnya dengan pertahanan tinggi. Dia benar-benar menyangkali perbuatan itu. Dia bahkan berkilah dirinya tak lagi ada di perpustakaan sampai bel pulang berbunyi. Aku bisa mendengar suara yakinnya menusuk-nusuk telingaku. Lalu kutenangkan tensi ini.
“Cordelia, aku serius. Dengarkan aku, sekarang aku sedang tak ingin bercanda. Hari ini sudah terlalu banyak kejadian buruk menimpaku. Jadi, tolong bantu aku untuk berkata sejujurnya.”
Pada akhirnya, aku dan Cordelia hanya memperdebatkan masalah halaman ke seratus dua puluh. Dia beri usul selesaikan itu dengan cara-cara di luar nalar, tapi tidakkah dia lihat aku, si pengguna logika tulen?
“Aku minta maaf telah mencurigaimu, Cordelia,” kataku penuh sesal.
“Tak apa, Alexa. Telepon aku jika kau berubah pikiran.”
Suara telepon yang kututup masih saja terngiang di kepalaku, saat aku membaringkan tubuh letihku ke atas ranjang. Tak ada jawaban yang kuinginkan dari kedua orang itu. Otakku masih saja terus berputar kencang, sampai aku menyerah. Semua kemungkinan yang kupikirkan amat tidak masuk akal.
Pandanganku teralih pada tumpukan selimut yang menutupi buku tua itu. Walau rasa takut menguasai, keingintahuanku menggebu-gebu untuk membuka tabir ini. Hanya ada satu cara lagi untuk mengetahui kebenaran dari hal aneh itu. Terakhir kali membacanya, aku melipat di halaman 146. Jika lipatan itu tidak ada, berarti aku memang sedang dijahili, betapapun hebatnya mereka berdua bersumpah. Tetapi bila ada, maka inilah akhir dari pikiran logikaku.
Kakiku kutapakkan dari atas ranjang, ke atas karpet merah marun kamarku. Perlahan kusingkapkan selimut yang menutupi buku itu. jantungku berdebar setengah mati, padahal yang kutemukan di sana lebih mengejutkanku. Buku yang kutakuti itu lenyap tak berbekas. Hanya ada karpet kosong yang kututupi selimut tebalku.
Mustahil…
Terus kubolak-balik selimut itu, hingga kucari ke balik karpet, hasilnya nihil. Buku itu benar-benar menghilang dengan sempurna, seperti tak pernah ada di kamarku sebelumnya. Kakiku, tanganku, tubuhku, semuanya bergetar ketakutan. Aku tak bisa lagi menenangkan tubuhku.
Dengan langkah lunglai, aku keluar dari kamarku. Perlahan kutapakkan kakiku pada anak tangga yang membawaku turun ke lantai bawah. Aku merasa ling-lung, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Hanya saja sebagian diriku berharap, buku itu memang hanya ilusi akibat kelelahanku.
“Nona Alexa, ada apa?” tanya paman Jones yang kebetulan lewat.
“Ah?” aku tak bisa fokus pada pertanyaannya.
“Kenapa wajah anda pucat sekali?” ulang paman Jones.
“Pucat? Tidak apa-apa, Paman. Hanya saja, aku sedang tak enak badan.”
Paman Jones tampak kuatir, dia meraba keningku dengan tangannya. “Agak hangat, Nona. Lebih baik anda jangan keluar kamar dulu. Besok anda masih harus ke sekolah, bukan?”
Paman Jones membopongku kembali ke kamar, padahal tadi aku bermaksud pergi ke rumah Cordelia. Aku menurut saja ketika paman Jones membaringkanku ke atas ranjang, dan menutupi tubuhku dengan selimut yang tergeletak di lantai.
“Saya akan hubungi nyonya, sekarang lebih baik anda istirahat. Bila perlu apa-apa, panggil saja dengan telepon. Permisi, Nona,” kata paman Jones. Dia menutup pintu kamar ketika keluar.
Tanganku kuletakkan ke atas keningku, menyingkap poni rambutku. Mataku terus saja tertuju pada langit-langit tanpa bisa terpejam.
Tiga bulan yang lalu, sebelum waktu libur tiba. Saat itu aku begitu bosan di kelas, sampai-sampai tiga kali Miss Claire, guru biologi, menegurku keras. Siangnya, aku pergi ke perpustakaan. Tanpa tahu buku apa yang akan kubaca, aku menyusuri satu persatu judul dari setiap rak buku di lantai bawah. Perlahan-lahan, kucari judul yang bisa menarik minat bacaku, sampai aku tiba di rak nomor tujuh. Di sana terpampang sebuah buku tua. Buku itu langsung menarik perhatianku, kuambil dari tempatnya, dan kubaca di tempat biasanya. Halaman-halaman buku itu sudah saling menempel, sesuai dengan kata-kata Cordelia, bahwa buku itu sudah lama teronggok di sana.
Entah mengapa tak ada yang mau membacanya, hanya karena mitos yang beredar kuat. Bahkan Mister Gustavo pun enggan memindahkannya ke gudang buku, di bawah tanah. Di hari itu, aku menghabiskan 52 halaman untuk dibaca. Baik judul dan isinya, sama sekali tak berkaitan menurutku. Supernative, tapi berisi bagaimana teori tentang badai dimensi. Sampai aku menemukan bahwa badai dimensi itu, memang disebut Supernative.
Esoknya, aku kembali ke perpustakaan itu, mengambil buku yang sama, hingga aku tiba di halaman 73, sebelum berhenti karena waktu ujianku hampir dimulai. Setelah itu, libur tiba, aku tak lagi membaca buku itu. saat itu perasaanku masih baik-baik saja, sampai aku melewati halaman 120, seperti yang dikatakan Cordelia.
Aku harus menghubungi Cordelia sekali lagi, walaupun dia agak maniak, pasti dia tahu sesuatu.
Sebatang kecil ponsel di meja langsung kusambar. Lekas kucari nomor kontak Cordelia. Kukatakan dengan buru-buru kalau aku butuhkan bantuannya, apa saja tentang pengetahuannya. Begitu gugupnya sampai kata-kataku hanya terdengar sepotong-sepotong. Susah payah aku menjelaskan segalanya. Akhirnya Cordelia mengerti maksudku.
“Sekarang? Okay, aku datang secepatnya.” Cordelia menutup pembicaraan. Sekarang dia pasti tengah mempersiapkan dirinya untuk datang. Tak mungkin dia tak datang, aku berani bertaruh untuk seluruh ke-maniak-annya.
………
Empat puluh lima menit kemudian, aku nyaris tertidur di dalam buaian lagu. Seseorang mengetuk pintu kamarku, segera kumatikan nyala pemutar CD di samping kiri televisi. Sepertinya paman Jack mengetuk pintu, sebab setiap ketukannya terdengar lambat dan berat. Yang kutunggu telah datang.
“Ada apa, Paman?” tanyaku dari dalam
“Ada teman anda yang datang. Katanya dia bernama Cordelia.”
“Suruh masuk ke kamarku saja, Paman.”
Paman Jack terdengar turun ke bawah. Langkah tambun ini membuatku menanti. Tak lama kemudian, suara langkah kaki kembali ke atas. Pintu kamarku dibuka perlahan, gadis berkaus hitam itu, masuk ke dalam kamarku. Benar, hanya empat puluh menit. Cordelia memang luar biasa.
“Cordelia, akhirnya kau datang juga.”
Aku berjalan cepat, menutup rapat-rapat pintu kamarku. Cordelia segera terduduk di atas ranjangku.
“Jadi, sebenarnya ada apa denganmu? Apa ini berhubungan dengan buku itu?” tanya Cordelia, matanya menjelajahi seisi kamarku.
“Kau tahu, sepertinya buku itu membuatku gila. Katakan, apa lagi yang kau ketahui tentang buku itu,” pintaku tergesa-gesa.
Wajahnya berpikir kalau aku ini aneh, sangat terbaca jelas. Dia bingung harus menjawab apa.
“Sayang sekali, Alexa. Hanya itu yang kuketahui. Masalahnya jangan kau yang bertanya padaku dahulu, tapi biarkan aku tahu sebenarnya ada apa?”
Aku membuat tubuhku duduk di atas ranjangku. Perlahan, kutarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya hingga terkumpul sebuah tenaga sekedar untuk bertutur.
“Buku itu, kurasa dia mengikutiku. Sejak terakhir aku di perpustakaan, aku telah meletakkannya kembali ke dalam rak. Tapi di dalam kamar ini, aku menemukannya telah berada di dalam tasku…”
“Sekarang dimana buku itu?” potong Cordelia.
“Kalau aku terkejut hanya karena buku itu ada dalam tasku tanpa kuketahui, aku tak akan memanggilmu ke sini. Dengarkan dulu, buku itu kulemparkan ke sana, saat itu aku sangat panik,” kataku menunjukkan sudut kamarku. “Begitu juga dengan selimut yang kugunakan untuk menutupinya, aku tak ingin melihat buku itu. Tapi saat kucoba mengambilnya dari balik tumpukan selimut, buku itu hilang!”
Dia tak mempercayaiku, itu terlihat dari wajahnya. Kemudian, satu tangannya ditempelkan ke atas pundakku.
“Aku minta maaf telah membuatmu takut, Alexa. Sebenarnya cerita itu tak jelas kebenarannya. Kau tahu, cerita tentang halaman 120 itu, aku juga berpikir itu hanya bualan saja. Aku tak menyangka itu membuatmu sampai berimajinasi seperti ini,” katanya pelan-pelan.
“Sungguh, Cordelia! Kau harus percaya padaku kali ini. Aku serius!” ucapku ngotot membela diri. Dia sungguh-sungguh menganggapku membual.
Dia melihat jam tangannya, sangat mungkin dia sedang mencari-cari alasan untuk pergi dari sini.
“Uppss, sudah pukul lima sore, aku lupa ada urusan penting. Aku pergi dulu, Alexa.”
Tanpa beban, seperti menganggapku mencoba mengerjainya juga, dia melenggang bebas menuju pintu kamarku. Aku sama sekali tak menginterupsi kepergiannya, aku tahu akan percuma. Suara pintu tertutup segera terdengar.
Siapa lagi yang bisa kuharapkan? Akhir dari pembicaraan yang sangat-sangat singkat dengan Cordelia membuatku semakin gusar. Namun pikiranku tiba-tiba mendapat jawaban yang menurutku masuk akal. Pertanyaannya adalah, bilapun dia mau membantu, apa yang bisa kuharapkan dari orang yang kuharapkan? Nyata-nyatanya buku itu telah hilang. Mungkin tak akan menjadi masalah bila aku membiarkan hal ini berlalu. Cukup jauhi saja rak nomor tujuh, dan jangan mengungkit-ungkit lagi tentang buku itu. Semua akan baik-baik saja.
Itulah yang ada di pikiranku, ketika aku memutuskan untuk membaringkan tubuhku dan berusaha mengikuti kata-kata paman Jones. Nyaman sekali, akhirnya aku bisa melepaskan beban itu. Kupejamkan mataku, agar rasa lelah ini terbuang.
………
Suara gaduh yang dibuat nada dering ponselku, membuat mataku terjaga. Kuraih ponsel itu dari arah samping kanan bantalku, tanpa membalik badanku untuk melihatnya. Tertulis dengan angka di layarnya, pukul tujuh malam. Bersamaan dengan itu, panggilan Mom menyuarakan deringnya.
Ini Mom dengan suaranya yang terdengar begitu buru-buru. Kata-katanya banyak disela asisten-asistennya. Sudah terbayang olehku betapa rumitnya keadaan di seberang sana, di sisi lain dari saluran telepon. Mom terdengar cemas dengan kondisiku, walaupun aku merasa baik-baik saja dan tetap mencoba menjelaskan pada Mom kalau aku baik-baik saja.
Hingga perkataan terakhir, Mom hanya mendikte kegiatanku. Tak lupa juga dia sebutkan kata-kata yang bagai slogan itu, “Alexa, jangan lupa makan malam.” Selalu ada dalam tiap permohonan maafnya karena terlambat pulang.
Keadaan in bahkan tak lagi pantas untuk menyandang kata ‘bosan’. Seandainya ada sebuah kata baru yang kekuatannya melebihi kata ‘bosan’, akan kugunakan utnuk meluapkan perasaanku. Inginnya sekali saja, aku, Mom dan Dad bisa berlibur dengan tenang, tanpa gangguan pekerjaan mereka. Tanpa mesin faks yang berderit-derit tiap setengah jam sekali. Tanpa bunyi ‘beep!’ tiap sepuluh menit dari gadget mereka. Tanpa raungan “kring-kring!” dari enam ponsel yang dimiliki Mom dan Dad. Tapi mengharapkan itu sama saja dengan mencoba membelah air—tak mungkin.
Kuusap-usap kedua mataku dengan tangan. Kamarku terlihat begitu gelap, sebab lampu belum dinyalakan. Jendela masih terbuka lebar, angin berhembus masuk ke dalam, membuat daun jendela bergoyang-goyang di sisi luar. Aku beranjak dari lingkupan selimutku, menuju kamar mandi. Setelah itu, aku turun dari kamar, sebab ini waktunya untuk makan malam, tanpa menikmatinya sedikitpun.
………
Kembali ke kamarku yang tampak gelap. Lampu masih belum kunyalakan, sejak terakhir aku meninggalkannya. Kuraba-raba dinding di sebelah kiri pintu masuk, untuk mencari tombol itu. Karena sudah hafal, aku segera menemukannya, lampu neon putih segera menyala. Sinar itu segera merambat ke seluruh penjuru kamarku.
Sekali lagi, ini mustahil!!!
Buku itu, buku yang mengikutiku, buku yang hilang tiba-tiba, sekarang sudah tergeletak di atas ranjangku. Aku hampir saja berlari ketakutan ke bawah, tapi pikiranku tak mau melepaskan rasa ingin tahunya. Mataku memandanginya dalam-dalam. Hanya berdiri dekat dengannya saja, hawa misterius itu sudah terendus. Aku melangkah hati-hati, kemudian duduk di samping buku itu. Perlahan, tangan yang gemetar ini mencoba meraihnya. Jantungku berdegup keras sekali, saat aku pertama menyentuhnya. Bagaimana bisa ini terjadi padaku? Buku ini adalah buku yang sama, buku yang kubaca di perpustakaan, dengan pikiranku yang tadinya mengganggap bahwa semua ini adalah bualan. Sekarang, buku ini mulai menguasai jalan pikiranku.
Rasa ingin tahu terus hinggap padaku, mendorongku untuk membuka kembali lembaran terakhir yang terlipat, halaman 146, jelas sekali bekas lipatan itu membuat halaman itu menonjol. Jemariku mengangkat cover hitam buku ini, dan menyibakkan beberapa halaman, sampai menemui lipatan itu. Kuluruskan kembali lipatan yang meninggalkan bekas itu, untuk mulai membaca setiap katanya perlahan.
Nyatakah buku ini?
Surat-surat lainnya tercetak dalam beberapa halaman lagi. Sepertinya orang bernama Dokter Brian Lucas Senior dan Dokter Zack itu saling berbalas-balasan surat. Kusingkapkan halaman awal di mana surat itu dimulai kembali. Tulisan-tulisannya sudah agak pudar, perlu sedikit kontraksi pada mata untuk membaca kata demi kata di sana. Cukup bagiku untuk menerka usia surat itu.
Jenewa, Juli-29-1941
Salam,
Dokter Brian, aku telah membaca dan menganalisa hasil laporanmu terhadap pendeta muda itu. Aku juga menarik kesimpulan yang sama denganmu. Dia tidak gila, hanya saja dia agak tertekan. Kau sendiri menyebutkan dia tersadar dari tidurnya di koridor. Ada kemungkinan dia mengalami depresi yang memaksa syaraf otaknya melupakan kejadian buruk dalam hidupnya dan menggantinya dengan khayalan imajinatif yang dia ceritakan. Tapi di sisi lain, aku juga curiga dia berada dalam pengaruh obat bius tertentu. Jika itu sampai terjadi, pastikan kau tak mengeluarkan surat ijin baginya untuk bertugas, Brian. Reputasi dan karirmu bisa hancur seketika.
Temui Dokter Phillipus Anderson, dia bisa membantumu melakukan tes urin bagi klienmu. Cari tahu juga segalanya tentang dia, amati kegiatannya sehari-hari. Cari tahu siapa keluarganya dari daftar nama pasukan militer atau gereja tempatnya berasal. Aku tahu batasnya tanggal delapan belas Agustus. Kau beruntung dia mendatangimu, Brian.
Jika ada perkembangan baru tentangnya, hubungi aku lagi.
Tertanda,
Dr. Zaccharia van Hoodwijk
………
Kosong? Apa-apaan halaman ini?
Aku tak habis pikir mengapa ada penerbit yang bisa mengeluarkan buku berhalaman kosong. Sampai akhir pun tetap kosong. Tapi pertanyaanku terjawab setelah melihat tak ada nama penerbit tercantum di buku ini. Dengan kata lain, buku ini seharusnya ilegal. Besok, aku akan—dan harus—menanyakan pada Mr. Gustavo, mengapa buku ini sampai ada di perpustakaan.
0 comments:
Post a Comment