Sunday, 21 February 2010
July, 19th 2004
“Ah…kau selalu tahu apa yang kusuka, Nak,” pujiku sambil tersenyum lebar. Kopi racikan putriku memang paling pas di lidahku.
“Thanks, Dad. Selamat menikmati kopi dan kue panekuknya. Aku berangkat, Dad!” seru anaku, Julia Clarkson. Dia berlari terburu-buru keluar. Wajar saja, dia hampir terlambat untuk kelasnya di kampus.
Dengan sebuah sepeda motor sport berwarna hitam, putriku yang perkasa, melaju di jalan sunyi ini. Embun masih membekas di seluruh badan motornya, namun suara raungan knalpotnya sudah bergema.
Tinggal diriku terduduk sepi di atas kursi goyang yang mengguratkan kerentaanku. Bagiku, hidup di tengah pohon-pohon tinggi di pinggiran Virginia, sudah membuatku tenang menikmati sisa hidupku. Sekitar Gum Run Trail. Dalam usiaku yang menginjak 83 tahun, tak tampak ada tanda-tanda kematian yang akan menghampiriku. Aku bahkan tak tahu, apakah benar usiaku 83 tahun? Rasanya waktu terlalu cepat merenggut segalanya.
Aku bukan orang yang tamak. Aku bukan pria yang menginginkan cukup banyak waktu untuk menikmati kekayaanku. Lihatlah sekarang, aku hidup dalam kesederhanaan. Sungguh mengecewakan ketika kusadari arti kematian tak ada untukku.
Akankah Julia tahu keadaanku?
Kutepis kemuraman itu jauh-jauh. Kubawa secangkir kopi pekat di tanganku, keluar menuju beranda. Pagi berkabut tipis di sepanjang halaman rumahku telah menyambut. Di sepanjang penglihatanku, hanya ada jalan aspal yang sesekali dilalui karavan-karavan, juga beberapa mobil dengan tumpukan barang di atasnya.
Terdengar suara asing. Ya, dering telepon memang asing bagiku di sini.
Kriiing…kriiiing…
Salam pagi diucapkannya dengan intonasi yang sangat jelas. Tampaknya dia masih muda. Kuakui dia cukup hebat menarik simpati dengan warna suaranya. Wanita ini memastikan nomorku, sebelum dia menyampaikan pesan menyebalkan yang tertahan di mulutnya. Saat kutahu siapa dia, pandanganku langsung merosot jauh padanya—si penagih kartu kredit.
“Pertama, anda belanja sebesar tiga ratus dollar, untuk membeli perlengkapan rumah, di Mezo Furniture. Sebelumnya, anda juga membuat kerusakan atas mobil Tuan George Green, di Rosewood Hall, anda diwajibkan membayar denda tujuh ratus dollar. Terakhir, tunggakan iuran pembayaran kuliah, atas nama mahasiswi Julia Clarkson, sebesar seribu tujuh ratus dollar…”
Selesaikah?
“Ada lagi, Tuan van Luigi. Anda belum melunasi biaya rumah sakit, di Virginia Care Center, sebesar dua ratus dollar. Kami menanti pembayarannya, Tuan van Luigi. Permisi…”
Tuuutt…tuuutt…
“Hei, tunggu! Bagaimana…”
Kubanting gagang telepon itu dari tanganku. Kurobohkan tubuhku pada kursi goyang di tepian jendela. Semua biaya tadi terasa membakar kepalaku mentah-mentah hingga menjadi bongkahan abu. Andai saja aku belum pensiun dari organisasi, uang sebanyak ini bukanlah perkara sulit. Aku sudah terlanjur berjanji, tak sepeser pun uang hasil pekerjaanku di Alpha Operation yang akan kugunakan, karena itu adalah hak Julia dan cucu-cucuku nantinya.
Pada masa-masaku dulu, aku mengabdi pada organisasi dengan bersenjatakan tiga bilah sabit perak. Terpikir olehku untuk menjual dua saja dari tiga. Aku tahu, sabitku bisa dihargai senilai sebuah rumah di tengah kota dengan Hummer H2 di halamannya. Sangat cukup, bahkan lebih untuk menutup bebanku. Tapi pandangan uang itu langsung kubasuh dengan tangan kosong ke wajahku. Aku akan usahakan dengan jalan lain, bukan dengan menjual sejarahku sendiri.
Hari siang seperti ini, tak ada yang bisa kukerjakan selain duduk di luar, atau membiarkan diriku tertidur saat menonton acara televisi. Tapi itu lebih baik daripada kehidupan kota yang penuh hiruk-pikuk dalam ketidakpedulian.
Jam sepuluh lebih sepuluh menit. Lebih baik aku pergi ke kota, mencari-cari koran hari ini.
Dengan motor Harley Davidson Joker Panhead tua milikku, aku meluncur di atas mulusnya jalan raya sepi. Bayangan-bayangan pinus berlalu cepat pada pantulan kacamata bulatku.
………
Setengah jam perjalanan, dari Rawley Pike dan jalan menurun membawaku ke Jalan Clover Hill. Aku sampai ke tempat yang dinamakan pinggir kota. Kota tak tampak begitu ramai, semua keramaian sudah berlalu saat para manusia telah duduk tenang di depan meja kantornya. Kios tempat langgananku di pinggir Clover Hill Road, masih setia menggelar dagangannya.. Wajahnya masih tampak hangat untuk pagi selarut ini. Curtis, begitu aku menyapanya, dia adalah pria negro kurus yang menjajakan koran. Sebuah jaket kusam, dan kaus putih, sekarang menempel di tubuhnya.
“Selamat pagi, Pak Tua…Everyday Times? Virginia Daily News, atau yang lainnya? Rata-rata membahas hal yang sama, ledakan agak besar, namun terang bersinar bagai ribuan senter, kejadian itu terjadi di pabrik garment, Detroit, semalam baru saja terjadi…”
“Ledakan? Mengapa dunia menjadi aneh, Curtis?” tanyaku retoris. Sedikit senyum konyol kutampakkan saat kuraih satu dari antara belasan koran di kiosnya.
“Itu yang mungkin mereka katakan. Sinar misterius, sampai-sampai NASA kabarnya akan turun tangan. Ada dua orang wartawan yang mengatakan, sesosok manusia berambut panjang masuk ke sana. Mungkin itu hantu, entahlah, sebab ada pula yang bilang itu alien. Orang-orang mulai gila, jangan sampai negara ini mengeluarkan film tentang alien lagi.”
“Mungkin judulnya akan menjadi Si Rambut Panjang dari Pabrik Garment?” candaku sambil tertawa.
“Atau mungkin saja Garmentgeddon, Pak tua!” dia membalas leluconku dengan tawa cekikikan.
“Jika begitu, mungkin sebentar lagi UFO akan mendarat di Detroit, seperti di film-film. Lalu beberapa gurita keluar dari sana dengan potongan-potongan pakaian dan berkata, ‘anda berminat membelinya, manusia bumi? Hahaha!” tawaku renyah.
Curtis ikut tertawa keras, namun dia sibuk melayani banyak pembeli lain. Biasanya pembeli langsung melemparkan uang saat mereka menyabet harian, tapi hari ini mereka ikut bertanya-tanya, jelas-jelas Curtis bagaikan menjadi orang terpintar hari ini.
“Begitulah, Pak Tua. Semuanya lima puluh lima sen, untuk berita terhangat hari ini. Ingat, jangan hanya menumpang baca, Pak Tua,” sindirnya padaku, yang mulai serius membaca, hingga tak menghiraukan perkataannya.
Buru-buru aku merogoh dompet dari saku celanaku. Kuambil lima puluh lima sen, untuk membayar Curtis. Suara merongrong knalpot motor antik ini merambat kemana-mana.
………
Seseorang berkemeja putih tampak duduk di serambi rumahku. Dia dan sebatang rokoknya berdiri menyambut. Patricio Deven, aku tak habis pikir apa yang membuatnya datang ke sini.
Hanya kusediakan teh untuknya, sambil berbasa-basi mengenai kabarku di sini. Yeah, dia tak akan pernah tahu seberapa sulit aku mendapat uang.
“Kau sudah tahu akan gejala aneh yang ditunjukkan kedua dimensi?”
“Bukankah memang sudah seaneh itu sejak dulu? Kau bisa lihat aku.”
“Topiknya memang itu, batu rubi biru itu juga mulai bergerak.”
“Memang seperti itu sejak 17 tahun lalu, sampai sekarang kita tak bisa mendapatkan apa-apa dari batu itu,” sanggahku ketus.
“Mungkin detik ini akan berubah…bila kau mau kembali bersama kami. Kami membutuhkanmu, tanda-tanda Sang Terpilih sudah tampak menguat, waktunya semakin dekat untuk Lacuna Syndrome. Kami menemukan lima orang lagi dari seluruh penjuru dunia terserang wabah Judas Eyes Sickness.”
“Bagaimana situasi penyakit itu?”
“Mereka menjadi sama sepertimu. Sayangnya mereka gila, beberapa bahkan ditemukan telah mengakhiri hidup mereka sendiri. Gejala ini mereka anggap sebagai kutukan, tak banyak yang mau menceritakan penyakit yang mereka idap. Dampak akibat pengucilan lingkungan lebih besar daripada dampak kerusakan fisik mereka sendiri.”
“Itu mengecewakanku, sepertinya penyakit itu juga telah menggerogoti keberanian mereka.”
“Karena itulah, baru sekarang isu itu kembali muncul. Seorang wanita tua telah melaporkan diri ke markas pusat. Dia bersaksi bahwa dirinya sering dihantui makhluk aneh, menurutku itu dari dimensi Mirage. Disebutkan juga, dia menemukan suatu fakta mengejutkan,” lanjut Deven penuh nada misterius.
“Jangan buat aku memikirkan hal-hal aneh, Deven.”
“Ini memang aneh. Wanita itu menyebutkan kalau penyakit yang dia idap, menurun pada cucunya. Hal yang sama terjadi pada pengidap lainnya, dan terus akan terus menurun bila obatnya belum juga ditemukan. Itu menimbulkan kesimpulan, mata rantai penyakit akibat radiasi itu tak akan pernah putus.”
“Itu berarti aku juga? Kau mau bilang aku juga?” tanyaku kalut.
“Termasuk kau, Ketua. Anak dari anakmu, bisa jadi adalah seorang pengidap Judas Eyes Sickness. Pikirkan akibatnya, dengan semakin banyaknya pengidap penyakit itu, semakin banyak yang tahu tentang adanya ketiga dimensi itu. Ketika itu terjadi, organisasi kita secara tidak langsung akan ikut terseret dalam isu pembicaraan masyarakat. Tebak siapa yang diuntungkan dari kejadian itu?”
“Hellfire Institution…pasti mereka.”
“Itu benar. Kelicikan mereka bisa memanipulasi pikiran para pengidap, atau mungkin mereka akan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari wabah pandemi itu nantinya. Dengan dana sebesar itu, mereka bisa memulai perang lagi, kita akan hancur,” jelas Deven cemas. Raut alisnya memperlihatkan hal itu, Alpha Operation yang sekarang, tak akan kuat menghadapi gempuran Hellfire Institution.
“Kalian punya kekuatan lebih dari mereka. Untuk apa takut?”
“Penderita Judas Eyes Sickness juga mengalami kejaran dari para Guardian, terus menerus, hingga mereka mati. Jelas sekali para Guardian tak ingin ada yang melihat mereka, itu yang terjadi pada kasus di Detroit,” sahutnya cepat.
“Setelah sepuluh tahun ini, beraninya kalian datang mengusik masa istirahatku demi kepentingan organisasi kalian!”
Mereka membuatku kecewa. Mengapa mereka terlalu tergantung pada laki-laki tua ini?
“Kau mungkin tak percaya. Aku memang mengakui, kami semakin lemah, Ketua. Aku dan Ivander tak akan cukup untuk mengatasi ini semua.”
Aku berpikir sejenak, diam tak bersuara, membuat keadaan sunyi, seakan semua elemen ikut berpikir. Suara pinus menjadi begitu tenang, hanya ada suaraku yang menahan batuk. Deven mulai terlihat tegang, dia mengeluarkan sebungkus rokok, mengetuk-ngetuknya ke atas meja kayu sebelum dia menyematkan sebatang pada bibirnya. Sesaat aku memandangi pandangan matanya yang tampak kebingungan harus berkata apa lagi, aku melihat sangat besar kesungguhan di matanya. Deven memang belum berubah, dia masih seorang yang terlalu cepat frustasi, bahkan sebelum dia yakin apa yang akan kuucapkan.
Tak kusangka akhirnya pikiranku meloloskan kata ‘ya’ untuk meluncur keluar dari mulutku. Barulah Deven terhenyak sesaat, matanya membesar penuh harapan dan rasa terima kasih. Sebatang rokok itu batal dinyalakan, dia tersenyum kecil, kemudian memelukku erat.
“Selamat datang kembali…Ketua Enrico…” bisiknya dari atas bahuku.
“Senang bisa kembali lagi, Nak.”
Angin perubahan akan berhembus, merambat naik hingga menjadi hembusan yang cukup kuat untuk menggerakan perahu layarku yang sedang membeku di tengah laut. Entah apakah mereka juga benar-benar membutuhkanku untuk menjadi angin pembaharuan bagi mereka, yang juga mempercepat laju perahu layar mereka, atau aku hanya akan menjadi jangkar yang memperlambat jalannya perahu mereka.
Julia pulang beberapa jam setelah Deven kembali ke markas pusat. Aku tak tahu bagaimana harus mengatakannya, atau memulai sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi keahlianku, aku harus mulai dari mana? Apakah semua harus kukatakan pada Julia, atau kubiarkan organisasi yang mengurus segalanya, sebuah pilihan yang harus kutentukan esok malam. Menghapus memori Julia akan kehadiranku, atau membiarkannya mengetahui lebih banyak lagi.
“Ah…kau selalu tahu apa yang kusuka, Nak,” pujiku sambil tersenyum lebar. Kopi racikan putriku memang paling pas di lidahku.
“Thanks, Dad. Selamat menikmati kopi dan kue panekuknya. Aku berangkat, Dad!” seru anaku, Julia Clarkson. Dia berlari terburu-buru keluar. Wajar saja, dia hampir terlambat untuk kelasnya di kampus.
Dengan sebuah sepeda motor sport berwarna hitam, putriku yang perkasa, melaju di jalan sunyi ini. Embun masih membekas di seluruh badan motornya, namun suara raungan knalpotnya sudah bergema.
Tinggal diriku terduduk sepi di atas kursi goyang yang mengguratkan kerentaanku. Bagiku, hidup di tengah pohon-pohon tinggi di pinggiran Virginia, sudah membuatku tenang menikmati sisa hidupku. Sekitar Gum Run Trail. Dalam usiaku yang menginjak 83 tahun, tak tampak ada tanda-tanda kematian yang akan menghampiriku. Aku bahkan tak tahu, apakah benar usiaku 83 tahun? Rasanya waktu terlalu cepat merenggut segalanya.
Aku bukan orang yang tamak. Aku bukan pria yang menginginkan cukup banyak waktu untuk menikmati kekayaanku. Lihatlah sekarang, aku hidup dalam kesederhanaan. Sungguh mengecewakan ketika kusadari arti kematian tak ada untukku.
Akankah Julia tahu keadaanku?
Kutepis kemuraman itu jauh-jauh. Kubawa secangkir kopi pekat di tanganku, keluar menuju beranda. Pagi berkabut tipis di sepanjang halaman rumahku telah menyambut. Di sepanjang penglihatanku, hanya ada jalan aspal yang sesekali dilalui karavan-karavan, juga beberapa mobil dengan tumpukan barang di atasnya.
Terdengar suara asing. Ya, dering telepon memang asing bagiku di sini.
Kriiing…kriiiing…
Salam pagi diucapkannya dengan intonasi yang sangat jelas. Tampaknya dia masih muda. Kuakui dia cukup hebat menarik simpati dengan warna suaranya. Wanita ini memastikan nomorku, sebelum dia menyampaikan pesan menyebalkan yang tertahan di mulutnya. Saat kutahu siapa dia, pandanganku langsung merosot jauh padanya—si penagih kartu kredit.
“Pertama, anda belanja sebesar tiga ratus dollar, untuk membeli perlengkapan rumah, di Mezo Furniture. Sebelumnya, anda juga membuat kerusakan atas mobil Tuan George Green, di Rosewood Hall, anda diwajibkan membayar denda tujuh ratus dollar. Terakhir, tunggakan iuran pembayaran kuliah, atas nama mahasiswi Julia Clarkson, sebesar seribu tujuh ratus dollar…”
Selesaikah?
“Ada lagi, Tuan van Luigi. Anda belum melunasi biaya rumah sakit, di Virginia Care Center, sebesar dua ratus dollar. Kami menanti pembayarannya, Tuan van Luigi. Permisi…”
Tuuutt…tuuutt…
“Hei, tunggu! Bagaimana…”
Kubanting gagang telepon itu dari tanganku. Kurobohkan tubuhku pada kursi goyang di tepian jendela. Semua biaya tadi terasa membakar kepalaku mentah-mentah hingga menjadi bongkahan abu. Andai saja aku belum pensiun dari organisasi, uang sebanyak ini bukanlah perkara sulit. Aku sudah terlanjur berjanji, tak sepeser pun uang hasil pekerjaanku di Alpha Operation yang akan kugunakan, karena itu adalah hak Julia dan cucu-cucuku nantinya.
Pada masa-masaku dulu, aku mengabdi pada organisasi dengan bersenjatakan tiga bilah sabit perak. Terpikir olehku untuk menjual dua saja dari tiga. Aku tahu, sabitku bisa dihargai senilai sebuah rumah di tengah kota dengan Hummer H2 di halamannya. Sangat cukup, bahkan lebih untuk menutup bebanku. Tapi pandangan uang itu langsung kubasuh dengan tangan kosong ke wajahku. Aku akan usahakan dengan jalan lain, bukan dengan menjual sejarahku sendiri.
Hari siang seperti ini, tak ada yang bisa kukerjakan selain duduk di luar, atau membiarkan diriku tertidur saat menonton acara televisi. Tapi itu lebih baik daripada kehidupan kota yang penuh hiruk-pikuk dalam ketidakpedulian.
Jam sepuluh lebih sepuluh menit. Lebih baik aku pergi ke kota, mencari-cari koran hari ini.
Dengan motor Harley Davidson Joker Panhead tua milikku, aku meluncur di atas mulusnya jalan raya sepi. Bayangan-bayangan pinus berlalu cepat pada pantulan kacamata bulatku.
………
Setengah jam perjalanan, dari Rawley Pike dan jalan menurun membawaku ke Jalan Clover Hill. Aku sampai ke tempat yang dinamakan pinggir kota. Kota tak tampak begitu ramai, semua keramaian sudah berlalu saat para manusia telah duduk tenang di depan meja kantornya. Kios tempat langgananku di pinggir Clover Hill Road, masih setia menggelar dagangannya.. Wajahnya masih tampak hangat untuk pagi selarut ini. Curtis, begitu aku menyapanya, dia adalah pria negro kurus yang menjajakan koran. Sebuah jaket kusam, dan kaus putih, sekarang menempel di tubuhnya.
“Selamat pagi, Pak Tua…Everyday Times? Virginia Daily News, atau yang lainnya? Rata-rata membahas hal yang sama, ledakan agak besar, namun terang bersinar bagai ribuan senter, kejadian itu terjadi di pabrik garment, Detroit, semalam baru saja terjadi…”
“Ledakan? Mengapa dunia menjadi aneh, Curtis?” tanyaku retoris. Sedikit senyum konyol kutampakkan saat kuraih satu dari antara belasan koran di kiosnya.
“Itu yang mungkin mereka katakan. Sinar misterius, sampai-sampai NASA kabarnya akan turun tangan. Ada dua orang wartawan yang mengatakan, sesosok manusia berambut panjang masuk ke sana. Mungkin itu hantu, entahlah, sebab ada pula yang bilang itu alien. Orang-orang mulai gila, jangan sampai negara ini mengeluarkan film tentang alien lagi.”
“Mungkin judulnya akan menjadi Si Rambut Panjang dari Pabrik Garment?” candaku sambil tertawa.
“Atau mungkin saja Garmentgeddon, Pak tua!” dia membalas leluconku dengan tawa cekikikan.
“Jika begitu, mungkin sebentar lagi UFO akan mendarat di Detroit, seperti di film-film. Lalu beberapa gurita keluar dari sana dengan potongan-potongan pakaian dan berkata, ‘anda berminat membelinya, manusia bumi? Hahaha!” tawaku renyah.
Curtis ikut tertawa keras, namun dia sibuk melayani banyak pembeli lain. Biasanya pembeli langsung melemparkan uang saat mereka menyabet harian, tapi hari ini mereka ikut bertanya-tanya, jelas-jelas Curtis bagaikan menjadi orang terpintar hari ini.
“Begitulah, Pak Tua. Semuanya lima puluh lima sen, untuk berita terhangat hari ini. Ingat, jangan hanya menumpang baca, Pak Tua,” sindirnya padaku, yang mulai serius membaca, hingga tak menghiraukan perkataannya.
Buru-buru aku merogoh dompet dari saku celanaku. Kuambil lima puluh lima sen, untuk membayar Curtis. Suara merongrong knalpot motor antik ini merambat kemana-mana.
………
Seseorang berkemeja putih tampak duduk di serambi rumahku. Dia dan sebatang rokoknya berdiri menyambut. Patricio Deven, aku tak habis pikir apa yang membuatnya datang ke sini.
Hanya kusediakan teh untuknya, sambil berbasa-basi mengenai kabarku di sini. Yeah, dia tak akan pernah tahu seberapa sulit aku mendapat uang.
“Kau sudah tahu akan gejala aneh yang ditunjukkan kedua dimensi?”
“Bukankah memang sudah seaneh itu sejak dulu? Kau bisa lihat aku.”
“Topiknya memang itu, batu rubi biru itu juga mulai bergerak.”
“Memang seperti itu sejak 17 tahun lalu, sampai sekarang kita tak bisa mendapatkan apa-apa dari batu itu,” sanggahku ketus.
“Mungkin detik ini akan berubah…bila kau mau kembali bersama kami. Kami membutuhkanmu, tanda-tanda Sang Terpilih sudah tampak menguat, waktunya semakin dekat untuk Lacuna Syndrome. Kami menemukan lima orang lagi dari seluruh penjuru dunia terserang wabah Judas Eyes Sickness.”
“Bagaimana situasi penyakit itu?”
“Mereka menjadi sama sepertimu. Sayangnya mereka gila, beberapa bahkan ditemukan telah mengakhiri hidup mereka sendiri. Gejala ini mereka anggap sebagai kutukan, tak banyak yang mau menceritakan penyakit yang mereka idap. Dampak akibat pengucilan lingkungan lebih besar daripada dampak kerusakan fisik mereka sendiri.”
“Itu mengecewakanku, sepertinya penyakit itu juga telah menggerogoti keberanian mereka.”
“Karena itulah, baru sekarang isu itu kembali muncul. Seorang wanita tua telah melaporkan diri ke markas pusat. Dia bersaksi bahwa dirinya sering dihantui makhluk aneh, menurutku itu dari dimensi Mirage. Disebutkan juga, dia menemukan suatu fakta mengejutkan,” lanjut Deven penuh nada misterius.
“Jangan buat aku memikirkan hal-hal aneh, Deven.”
“Ini memang aneh. Wanita itu menyebutkan kalau penyakit yang dia idap, menurun pada cucunya. Hal yang sama terjadi pada pengidap lainnya, dan terus akan terus menurun bila obatnya belum juga ditemukan. Itu menimbulkan kesimpulan, mata rantai penyakit akibat radiasi itu tak akan pernah putus.”
“Itu berarti aku juga? Kau mau bilang aku juga?” tanyaku kalut.
“Termasuk kau, Ketua. Anak dari anakmu, bisa jadi adalah seorang pengidap Judas Eyes Sickness. Pikirkan akibatnya, dengan semakin banyaknya pengidap penyakit itu, semakin banyak yang tahu tentang adanya ketiga dimensi itu. Ketika itu terjadi, organisasi kita secara tidak langsung akan ikut terseret dalam isu pembicaraan masyarakat. Tebak siapa yang diuntungkan dari kejadian itu?”
“Hellfire Institution…pasti mereka.”
“Itu benar. Kelicikan mereka bisa memanipulasi pikiran para pengidap, atau mungkin mereka akan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari wabah pandemi itu nantinya. Dengan dana sebesar itu, mereka bisa memulai perang lagi, kita akan hancur,” jelas Deven cemas. Raut alisnya memperlihatkan hal itu, Alpha Operation yang sekarang, tak akan kuat menghadapi gempuran Hellfire Institution.
“Kalian punya kekuatan lebih dari mereka. Untuk apa takut?”
“Penderita Judas Eyes Sickness juga mengalami kejaran dari para Guardian, terus menerus, hingga mereka mati. Jelas sekali para Guardian tak ingin ada yang melihat mereka, itu yang terjadi pada kasus di Detroit,” sahutnya cepat.
“Setelah sepuluh tahun ini, beraninya kalian datang mengusik masa istirahatku demi kepentingan organisasi kalian!”
Mereka membuatku kecewa. Mengapa mereka terlalu tergantung pada laki-laki tua ini?
“Kau mungkin tak percaya. Aku memang mengakui, kami semakin lemah, Ketua. Aku dan Ivander tak akan cukup untuk mengatasi ini semua.”
Aku berpikir sejenak, diam tak bersuara, membuat keadaan sunyi, seakan semua elemen ikut berpikir. Suara pinus menjadi begitu tenang, hanya ada suaraku yang menahan batuk. Deven mulai terlihat tegang, dia mengeluarkan sebungkus rokok, mengetuk-ngetuknya ke atas meja kayu sebelum dia menyematkan sebatang pada bibirnya. Sesaat aku memandangi pandangan matanya yang tampak kebingungan harus berkata apa lagi, aku melihat sangat besar kesungguhan di matanya. Deven memang belum berubah, dia masih seorang yang terlalu cepat frustasi, bahkan sebelum dia yakin apa yang akan kuucapkan.
Tak kusangka akhirnya pikiranku meloloskan kata ‘ya’ untuk meluncur keluar dari mulutku. Barulah Deven terhenyak sesaat, matanya membesar penuh harapan dan rasa terima kasih. Sebatang rokok itu batal dinyalakan, dia tersenyum kecil, kemudian memelukku erat.
“Selamat datang kembali…Ketua Enrico…” bisiknya dari atas bahuku.
“Senang bisa kembali lagi, Nak.”
Angin perubahan akan berhembus, merambat naik hingga menjadi hembusan yang cukup kuat untuk menggerakan perahu layarku yang sedang membeku di tengah laut. Entah apakah mereka juga benar-benar membutuhkanku untuk menjadi angin pembaharuan bagi mereka, yang juga mempercepat laju perahu layar mereka, atau aku hanya akan menjadi jangkar yang memperlambat jalannya perahu mereka.
Julia pulang beberapa jam setelah Deven kembali ke markas pusat. Aku tak tahu bagaimana harus mengatakannya, atau memulai sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi keahlianku, aku harus mulai dari mana? Apakah semua harus kukatakan pada Julia, atau kubiarkan organisasi yang mengurus segalanya, sebuah pilihan yang harus kutentukan esok malam. Menghapus memori Julia akan kehadiranku, atau membiarkannya mengetahui lebih banyak lagi.
0 comments:
Post a Comment