Thursday, 25 February 2010

A tale by Chris Nugroho

Saat ini, Sladur menjadi kota yang damai dan tenang. Di sebuah penginapan, Alexa melahap sepiring sup daging rusa dengan lahap, meski baru kali ini dia merasakan makanan itu. Dia tahu, mengisi perut akan terus menjadi peristiwa langka dalam perjalanan demi perjalanan ini.

White Horse Inn—cocok dengan warna dari Silver Wind— itu adalah nama dari penginapan yang menampung rasa kantuk mereka sekarang ini. Penginapan itu terbangun dari batu bata yang sama dengan penyusun benteng ini. Batu abu-abu dengan bagian bawah di sisi luarnya yang mulai ditumbuhi lumut. Papan kayu yang tergantung di dekat pintu luar, sesekali berdecit terhempas angin kecil. Lantai bagian bawah penginapan itu adalah sebuah bar kecil.

Bader memikirkan seluruh pesan Karkouri padanya. Membunuh seorang Tammil Ibrahim pastilah pekerjaan yang amat mudah. Tapi mencarinya membutuhkan waktu yang tak sedikit. Belum lagi menghadapi pengawal-pengawalnya yang penuh kegilaan akan loyalitas pada pedagang itu. Suara-suara mendesing dari pedang mereka bisa membuat Bader gila. Setelah semuanya selesai, dia berjanji akan kembali ke Goat Hill dan membawa Alexa selamat. Demi penghormatannya pada pekerjaan Kusko sebagai Bounty Hunter.

Dia mulai curiga Tammil Ibrahim dan Kusko memperebutkan Alexa demi tujuan tertentu. Dia juga curiga ada sebuah maksud lain yang membuat Tammil Ibrahim mulai bergerak aktif lagi, bersama dengan Serigala Pasirnya. Jumlah anggota kelompok itu sangat besar, lebih dari jumlah seluruh pejuang. Tapi mereka dibagi atas tingkatan-tingkatan militer. Hanya kebetulan saja para Serigala Pasir yang terbantai Karkouri hanyalah anggota tingkatan bawah. Sebagian besar anggotanya masih berdiam di Benua Selatan, atau berada di Benua Tengah.

“Setelah ini, kita jelajahi seluruh benteng ini?” kata Alexa seperti merasa malas, penuh keterpaksaan.

“Kau ingin terus di sini? Lalu penculikan akan terus terulang,” ujar Bader sedikit kesal. “Kita cari dia, atau dia yang akan temukan kita.”

Alexa menatap Bader cemberut. Bader tak lagi menanggapi manjanya Alexa, dia memilih melanjutkan makan dari mangkuknya. Alexa merasa tidak nyaman telah menanyakan pertanyaan itu pada Bader. Dia menyesal telah membuat lelaki itu menggerutu kesal, meskipun Bader melakukannya di dalam hati.

“Emm…Bader…” kata Alexa ragu-ragu.

Bader menegakkan wajahnya dari mangkuk. Dia menurunkan tangan kanannya yang memegang sendok berisi sesuap kuah sup. Dia memaku matanya pada wajah ragu gadis itu.

“Bicaralah, Alexa.”

“Sungguh kita akan bermalam di sini?”

Kesal itu meluap lagi, tapi Bader berusaha sedikit sabar. Dia mengatupkan kedua rahangnya untuk menahan amarah. Bader sedikit membuang wajahnya. “Iya, kau tak suka? Tak mungkin kita mencari sekarang. Lagipula, kita tak akan mungkin mengusik Tammil di sini. Ini tempat penghukuman paling keji dan ketat.”

“Bukan itu…”

“Lalu apa? Bicaralah!” Bader akhirnya sedikit mengeluarkan nada kerasnya. Dia tak sabar, kemudian dia menatap Alexa dengan ketidaksabaran itu.

“Tunggu aku bicara, Bader, aku hanya ragu.” Alexa melirik ke sudut kanan, daerah yang dipunggungi Bader. “Sepertinya pria itu mengawasiku dari tadi. Aku takut dia berbuat macam-macam.”

Bader mengernyitkan alisnya. Dengan cepat dia membalikkan pandangannya ke belakang, tepat searah dengan pandangan Alexa. Dan pria berpakaian abu-abu itupun membalik wajahnya, seakan sedari tadi dia memperhatikan secangkir bir di gelasnya. Bader pun menyadari apa maksud Alexa, seorang penguntit sedang mengawasi mereka. Kenyataan itu segera terbantahkan, sebab sesaat setelah itu, Alexa menyadari sesuatu yang lebih besar—beberapa manusia di dalam bar ini tengah mengawasi mereka diam-diam.

“Kau benar, Alexa. Sepertinya akan berbahaya jika kita berdiam semalam di sini,” bisik Bader. “Aku tak tahu siapa yang mereka perhatikan, apakah aku atau kau, namun itu sama beresikonya.”

Alexa mengangguk setuju, dia pun sependapat dengan Bader. Dalam hatinya, dia menghakimi kalau Bader tidaklah cukup kuat untuk melindunginya dari seluruh penguntit ini.

“Penguntit butut. Sampah benua selatan, anggota Serigala Pasir. Pasti mereka adalah rombongan sampah penyembah Tammil Ibrahim,” desis Bader setelah menenggak segelas besar bir.

“Bader, tapi…cadar mereka tak ada,” sanggah Alexa.

“Apapun benda itu, mereka bukanlah orang bodoh yang mau nyata-nyata menunjukkan identitas mereka di Sladur. Serigala Pasir juga kriminal di mata Mithrillia. Pastilah mereka berusaha menjadi sewajar mungkin.” Pelan-pelan berganti Bader yang menguntit salah satu dari mereka. “Lihat, Alexa. Sarung pedang pria itu melengkung, pasti itu Scumberg, senjata khas mereka.”

Lagi-lagi Alexa membenarkan kata-kata Bader. Sebuah sarung pedang hitam menggantung di pinggang salah satu dari mereka. Sarung pedang itu melengkung, sejalan dengan bentuk senjata mereka. Senjata itu sempat dilihat Alexa saat pertama dia dicegat dalam hutan. Orang-orang itu adalah golongan orang yang sama.

Bader meninggalkan beberapa peser Krall di atas meja untuk membayar dua mangkuk sup, satu gelas bir, dan satu teko air. Cepat-cepat dia menarik tangan Alexa, dan melangkahkan sepatu bootsnya ke bibir pintu. Sesekali mereka merasa pandangan itu terus menusuk-nusuk punggung mereka, sangat mengganggu. Bayang-bayang kekacauan di Sladur membuat mereka takut. Pada mulanya, Bader meyakini mereka-mereka ini tak mungkin melakukan hal berbahaya di sini. Mereka juga pasti tahu kota apa Sladur itu. Namun tiba-tiba seseorang lain di depan pintu mencabut sebilah logam tajam dari sarungnya untuk menghentikan langkah Bader. Putera Témpust itu terhenyak, dia tak menyangka pria ini berani mencabut pedangnya di sini, di Benteng Sladur yang penuh kekuatan militer dan hukum. Malam itu, hukum telah dilanggar di Sladur. Bahwa tak satupun dari rakyat sipil berhak menggunakan senjatanya di wilayah Sladur, atas nama keamanan.

Bader pun menyambutnya, seiring dengan orang-orang dalam penginapan yang mulai beranjak panik dari tempatnya, sambil tak melepaskan pandangan mereka dari tiga orang yang sedang bertikai itu. Malam itu, enam orang lain di dalam bar, mencabut pedang yang sama, pedang melengkung penebas kepala sejati. Saat dentingan sepasang stiletto dari serangan pertama Bader terdengar, kegaduhan di sana pun dimulai. Enam yang lain bereaksi melompati meja dan kursi, mendorong pengunjung lain, bahkan menebas yang menghalanginya.

Bader sibuk menghadapi satu orang di pintu. Dia dan tarian dua buah stilettonya belum cukup untuk meredam kekuatan besar dari desingan mengesalkan Scumberg. Saat dua lainnya masuk ke dalam arena pertarungan. Mereka membuat Bader terpojok. Bader mengambil tindakan cepat. Dia menghempaskan orang pertama begitu keras ke dinding. Kemudian Bader menarik pergelangan tangan Alexa untuk keluar dari sana. Mereka berdua berlari kalang-kabut, menyusuri jalan di antara dinding-dinding tinggi dari batu. Serigala Pasir memburu mereka, seperti anjing mengejar tulang yang terhempas.

Sebuah lorong gelap ke arah kiri menjadi pilihan Bader. Batu-batu dinding memantulkan bayangan mereka yang melesat cepat. Kemudian mereka mencoba bersembunyi di balik tembok sebuah rumah, tapi endusan ‘serigala-serigala’ itu amat tajam. Baru saja beberapa saat semua terlihat aman, persembunyian mereka diketahui oleh Serigala Pasir yang berlari mendekat. Akhirnya mereka berdua melanjutkan pelariannya, sampai saat serdadu Sladur menghadang dengan pedangnya. Tiga belas orang berjubah besi datang, bermaksud menghabisi keenam penguntit itu.

Bader tahu dia tak diselamatkan, dia hanya beruntung. Kalaupun semua perlawanan selesai, dia akan tetap ditangkap. Kegaduhan itu menjadi kesempatan Bader untuk berlari membawa Alexa pergi, sejauh mungkin dari kerusuhan itu. Sempat mereka melihat penebasan pedang para serdadu terhadap para bandit, lalu mereka kembali berlari menjauh.

Sladur tak akan membiarkan Bader dan Alexa kabur setelah apa yang mereka lakukan. Penjagaan mereka memang sama ketatnya seperti yang disebutkan oleh kabar angin.

Bader merasakan hujaman tipis dan menyakitkan menerobos betisnya. Dia menyadari dari atas, seorang pemanah berhasil melumpuhkan gerakannya. Pria muda itu sontak jatuh tersungkur ke tanah. Darah mengucur membasahi celana hitamnya. Hal itu membuat Alexa berhenti berlari, dia mencoba membantu Bader, namun Bader menolaknya.

“Pergi! Lari dari sini!” teriak Bader.

“Tapi, kau terluka, Bader.”

“Kembali ke Goat Hill! Tinggalkan aku, Alexa!” ulang Bader berteriak. Dia terus mengerang dan memandangi darah di betisnya.

Alexa bermaksud menyanggupi permintaan Bader, sebelum langkah cepatnya terhenti oleh serdadu berpedang yang mengepungnya dari depan dan belakang. Lorong sempit itu menjadi saksi bisu kekalutan mereka malam itu.

“Orang asing pembawa masalah. Bawa mereka!”

Selekas mungkin mereka membawa Bader dengan begitu kasar. Pria itu tertatih-tatih kesakitan.

“Tunggu! Kami tidak bersalah, mereka yang memulainya!” seru Alexa saat mereka memisahkan dia dengan Bader.

“Mencabut pedang saja sudah merupakan pelanggaran hukum di sini, Wanita Berandal!” tegas komandan mereka. “Kalian lakukan lebih dari itu. Kalian berusaha lari dari penjaga, itu pelanggaran kedua.”

Mereka menggiring Bader tanpa perasaan. Bader pun menghilang terlalap tikungan lorong, bersama dengan tiga orang yang membawanya. Sesekali terdengar jeritan kesakitan Bader setelah bunyi hantaman menyeruak dari balik tikungan. Itu terdengar berulang-ulang. Alexa memandang getir melihat jejak darah yang ditinggalkan Bader. Matanya berkaca-kaca, dia menutupi bibirnya yang bergetar sedih.

“Bawa gadis ini pada Mayor Arbal! Katakan juga pada mereka di sana, bawa pria itu ke dalam sel sementara,” perintah komandan berwatak keras itu.

………

Pusat pemerintahan Sladur begitu megah. Tiang-tiang pilar besar mematung, menyangga atap berukiran rumit pada bagian teras yang memiliki puluhan anak tangga untuk menyambut tamunya. Jendela-jendela besar terpampang pada sebuah ruangan mewah, di sebelah kanan dan kiri jalan menuju tahta Mayor Arbal. Tirai suteranya, dan karpet hitam yang membawa Alexa menghadap sang mayor, semuanya tampak sempurna.
“Kami membawa pengacau ini, Yang Mulia.”

Alexa dihempaskan ke atas permukaan lantai, dia tersungkur dengan tangan terpasung papan kayu persegi dengan lubang kunci baja di kanan dan kiri papan.

Mayor Arbal perlahan berdiri dari tahtanya. Pria berumur lebih dari paruh baya itu mengisyaratkan kepalanya agar penjaga menjauh sejenak dari Alexa. Dengan sekali isyarat, ruangan sudah ditinggalkan penjaganya. Kemudian dia menundukkan badannya untuk melihat Alexa dari dekat. Tangan kasarnya menyentuh dagu Alexa dan mengangkatnya sejajar untuk bertatapan. Sebuah senyum busuk terlontar dari bibirnya, saat itu Mayor Arbal cukup dibuat Alexa terpesona.

“Kau cantik juga, Pengacau. Sayang sekali jika tiang gantungan menjadi titik akhir kehidupanmu.”

Butir demi butir air mata Alexa telah menjadi sebuah jawaban bagi pertanyaan akan apa yang dirasakannya sekarang. Dia terjepit tanpa bantuan, dia takut, dia sedih, dan baginya, dia merasa tak bisa berbuat apa-apa. Terlintas memang sebuah sesal telah meninggalkan rumah.

Mayor Arbal melepaskan tangannya dari Alexa dan kembali berdiri.

“Biarkan dia menjadi permaisuriku saja. Siapkan segala kebutuhannya, Pelayan!” titahnya pada seorang wanita di samping kiri tahtanya.

“Brengsek! Aku tak mau!” bentak Alexa keras-keras.

Mayor Arbal terhentak kaget. Matanya membelalak, alisnya mengkerut tajam. Dia kembali mendekati wajah Alexa dan justru tertawa-tawa di depannya.

“Kau beruntung wajahmu begitu cantik, Nona. Menikahlah denganku dan esok kau akan lolos dari hukuman pancung yang mungkin menimpa dirimu, juga temanmu,” ujarnya cepat dan keras.

“Kalau begitu lakukanlah!” tolak Alexa kasar. Wajahnya dilipat kesal.

Entah emosi apa yang membuatnya begitu mudah untuk meludah di wajah Mayor Arbal. Pria itu mendiamkan wajahnya, padahal hatinya sudah terbakar amarah. Penghinaan itu direspon cepat oleh sang terhina. Tangannya melayang ke pipi Alexa begitu cepat, hingga menyungkurkan gadis itu semakin dalam.

“Satukan dia dengan pria itu!”

“Siap, Yang Mulia!” penjaga mengangkat Alexa dari lantai dan membawanya ke dalam ruang tahanan yang kelam. Penjaga menyeretnya keluar dari pintu.

“Oh jangan, tunggu!” sela Mayor Arbal. “Setelah ini, aku mau bertemu pria itu. Pastikan kalian melucuti seluruh senjatanya.”

Dan penjaga pun segera berlalu, seiring dengan Mayor Arbal yang lenyap untuk mencuci wajahnya yang dianggap tak ternilai harganya—oleh dirinya sendiri. Selanjutnya tiba giliran Bader untuk dihakimi secara sepihak. Sisa-sisa amarahnya terhadap Alexa mungkin saja akan ditumpahkan pada Bader.

Ruangan luas itu dipenuhi ambisi pribadi Mayor Arbal.

Bader datang dengan luka lebam dan goresan di sekujur wajah dan tubuhnya. Tak parah tapi menyakitkan. Pipinya telah terlebih dahulu lebam oleh pukulan-pukulan tangan penjaga yang terbungkus sarung tangan besi. Perutnya perih dihantam kaki penjaga yang tersalut sepatu besi pula. Bahunya retak dibenturkan dengan tongkat kayu keras. Kakinya berdarah akibat anak panah bermata pipih yang menembus betisnya begitu dalam. Anak panah itu telah dicabut paksa dan kasar oleh penjaga, karena itu Bader tak bisa menggunakan kaki kanannya—sakit yang dideritanya terlalu parah.

Bader dilemparkan ke hadapan sang mayor. Wajahnya tak kuasa lagi menggeram, otot-ototnya sudah tak berdaya lagi. Bader hanya bisa menjerit saat merasakan benturan pundaknya dengan lantai batu. Tubrukan antara Bader dan karpet yang terbentang di ruangan ini. Tubrukan yang sebenarnya sudah tak adil lagi. Disadari atau tidak, hukum di sini hanya berakhir dengan satu keputusan akhir—eksekusi mati.

“Yang Mulia, dia tak mau mengakui namanya dan alasannya datang ke sini. Karena itu kami memberinya sedikit perlakuan khusus agar mau bicara…”

“Cukup, komandan Fontus. Biar aku yang mengambil alih dari sini,” ujarnya datar. “Kalian semua, kosongkan ruanganku sekarang!” getar suaranya terdengar hingga keluar pintu.

Dan keheningan pun tercipta seperti yang dikehendaki Mayor Arbal. Suara desis angin lah satu-satunya bunyi yang masih terdengar di ruangan itu. Hembusannya menggoyangkan tirai ruangan untuk jendela yang cukup besar.

“Dan kau…siapa namamu, Pria malang?”

Bader diam. Dia menegakkan kepalanya ke atas dan memperlihatkan tatapan penuh kebenciannya pada sang mayor otoriter itu. Tatapan Bader bersambut. Senyum melebar di bibir Mayor Arbal. Nyatanya Mayor Arbal tak peduli pada mata kebencian itu. Pandangannya sekelebat menemukan adanya kesenangan di balik kerah baju Bader. Tak disangkanya kesempatan ini akan datang begitu mudah.

Mayor Arbal berdehem. “Menurutmu, Tuan-tak-bernama, apakah induk beruang akan marah pada naga yang membunuh anaknya?”

Bader tersentak bingung.

Namun hanya sedetik waktu yang dibutuhkannya untuk menyadari apa maksud pria bejad itu. Lekas dia menutupi simbol di lehernya dengan tangan kanan. Ketakutan menimpanya telak, seperti pilar rapuh yang mendadak runtuh dari berbagai sudut ruangan. Bader merasakan puluhan mata pedang sedang diarahkan padanya. Langit-langit ruangan itu juga serasa akan runtuh menimpa dia dan simbol keluarganya itu.

“Beruang madu itu telah mengambil madu sang naga, dan sang naga mengambil anaknya. Bukankah itu impas?”

Mayor Arbal melangkah pelan-pelan, beberapa tapak ke kiri. Tangannya mengangkat sebilah pedang dari etalase kaca, hal itu membuat Bader semakin gentar. “Dan bila beruang madu akan membalas…dengan apakah dia lakukan itu? Tak pernah ada seekor beruang yang mampu merubuhkan naga…” Suara gesekan sarung terdengar. Mayor Arbal berjalan menghampiri Bader.

Bader memejamkan matanya erat-erat. Dia diam mematung, getaran ketakutan dapat terlihat dari tubuhnya.

“Dan kau, si anak beruang!” Pedang itu dihunuskan di atas tengkuk Bader. “Hanya naga bodoh yang mau membunuhmu.” Mayor Arbal tertawa lepas. Dia puas telah menakut-nakuti Bader.

Bader membuka matanya dan menemukan pria itu tertawa seperti orang gila. Pria gila di depannya itu pasti bermaksud memancing ayahnya agar menyambangi istana, dan seterusnya sudah bisa ditebak—tak akan ada yang dilepaskan, keduanya akan mati bersama.

“Persetan denganmu!” maki Bader dengan suara seadanya. Yang keluar hanyalah kata-kata serak yang ditempeli bau darah.

Mayor Arbal mendadak diam.

Seluruh kata-kata Bader tersebut merambat cepat menuju gendang telinganya. Rasanya perkataan itu menusuk harga dirinya dengan telak dan menggelitik emosinya untuk terbangun. Mayor Arbal menghujamkan pedang itu tegak lurus pada telapak tangan Bader yang tertelungkup, hingga ketajamannya menancapi lantai.

Jeritan perih Bader terdengar menggetarkan, amat deras mengalir hingga keluar ruangan. Kesakitan itu seakan dirasakan juga oleh orang-orang yang mendengarnya. Para penjaga di luar sudah tahu tabiat sang Mayor mereka. Dia gila, bahkan untuk memimpin sebuah desa saja sebenarnya sudah mustahil bagi kegilaannya. Mereka hanya bisa mengelus-elus dadanya tanpa sanggup membayangkan penderitaan Bader di dalam.

Mayor Arbal sering sekali tidak tidur semalaman. Dia sering tertawa sendiri, menangis, lalu mendadak marah. Di saat-saat penting, Mayor Arbal seringkali tertidur tanpa memikirkan pihak lainnya—bahkan di depan Raja Gardner Visselves. Tapi tak ada yang meragukan kemampuan kepemimpinannya. Itulah kenapa posisinya sebagai mayor belum juga tergantikan bahkan di saat kelalimannya mengudara bersama kabar angin. Sayang sekali pikirannya dinodai kekerasan yang berlarut-larut.

Pedang itu lama dibiarkannya menembus telapak tangan Bader. Mayor Arbal memandang keji pada jerit Bader yang berulang-ulang terdengar. Lama kelamaan jeritan itu berubah menjadi sebuah tangisan pilu. Saat itulah kepuasan hinggap di dalam diri Mayor Arbal. Dia tersenyum menyeringai saat kedua tangannya diletakkan di atas gagang pedang itu, kemudian kepalanya disandarkan di atas kedua tangan dan gagangnya.

Bader kembali menjerit, suaranya kering, hampir habis. Darahnya semakin deras mengucur dari telapak tangan kirinya.

“Aku, Mayor Arbal Dominequa, adalah orang yang patut kau hormati di sini, Tuan-tak-bernama!” bentaknya keras dan tinggi.

Dengan begitu tak berperasaan, pedang itu dicabut paksa. Tangan Bader sempat terbawa sesaat bersama sebilah logam tajam itu, sampai tarikannya yang semakin cepat, melepaskan tajamnya logam itu darinya.

Bader mengeluarkan erangan terkerasnya. Dia meringkuk memegangi tangan yang berlubang itu. Nafasnya serasa akan berhenti saat itu. Dia tak sanggup menahan sakitnya perlakuan itu.

Pedang itu dilemparkan Mayor Arbal begitu saja ke kanan. Beberapa kali pedang itu berguling dan terseret jauh bersama darah merah Bader. Dentingannya mengganti jeritan Bader. Sorot mata Mayor Arbal tak jua lepas dari Bader.

Puas.

Tidak, belum. Pikiran Mayor Arbal mudah berubah. Sedetik sebelumnya dia ingin memperistri Alexa, sedetik kemudian dia ingin menggantungnya sampai mati. Sedetik sebelumnya dia ingin menjadikan Bader umpan bagi Témpust, selanjutnya dia menyiksa Bader dan bermaksud memenggal kepalanya.

“Penjaga!” teriaknya kencang, di saat matahari pagi belum bersinar.

“Bawa dia pergi dariku. Pastikan esok pagi seluruh penduduk benteng menyaksikan kepalanya di pelataran timur.” Para penjaga agak terkejut mendengar titahnya. “Tuliskan di sepotong kayu, Putera Témpust, Si Pengumpat Kerajaan.”

Bader tersentak kaget. Dia marah, kesal, takut, dan seluruh perasaan lain yang memutar dalam lingkaran kepedihan. Namun dia menyadari dirinya tak kan mampu berbuat apa-apa. Dia sudah terlalu lemah untuk melawan, apalagi melarikan diri.
“Eksekusi malam ini, Yang Mulia?” tanya seorang penjaga ragu.

Mayor Arbal terlihat begitu kesal untuk menjawabnya. Sang penjaga berpikir apakah kata-katanya itu salah, hingga seluruh ketegasannya luntur. Saat penjaga itu bertanya-tanya dalam hatinya, Mayor Arbal malah memungut kembali pedang yang terlempar tadi. Kemudian, dengan begitu kesalnya dia sabetkan logam tajam itu menyilang di dada penjaga itu. Segera—saat pedang itu dilemparkan kembali ke sembarang arah—tubuh penjaga itu sudah tak bernyawa lagi.

“Singkirkan dia dariku,” titah Mayor Arbal tiba-tiba datar kembali. Dia tak menunjukkan emosi apapun, seakan tak ada sesuatu yang mengerikan. Perintahnya dilaksanakan dengan gentar oleh para penjaga.

Teror di hari itu merupakan buah dari kecerobohan Bader untuk menerobos peringatan alam. Hutan Whisdur telah memperingatkannya, seharusnya bukanlah seperti ini akhir dari seorang putera pimpinan pejuang kebebasan di saat seluruh elemen alam telah menyatakan dukungannya. Inilah buntut dari perlawanan keyakinan Bader oleh dirinya sendiri.

Saat mataharipun belum menunjukkan kepalanya dan membagi sinarnya dengan dunia terkutuk itu, sesuatu telah selesai dilaksanakan. Pisau guillotine telah mencapai titik terbawah dari tiang kayu penyangganya. Darah telah membasahi mata pisaunya, papan kayunya, serta pelataran timur Benteng Sladur.

Lampros Bader, hanya kepalanya yang penuh darah, ditancapkan pada sebatang pasak kayu besar. Saat ini hanyalah waktu yang bermain, dia berputar sampai waktunya para penduduk bangun untuk melihatnya, menertawakannya, mencemoohnya, bahkan meludahinya. Seakan dukungan alam padanya belum juga surut, matahari seperti enggan bersinar untuk datangnya waktu pagi.

0 comments:

Post a Comment