Thursday, 25 February 2010

A tale by Chris Nugroho

Sebuah topi baseball tertelungkup di atas meja kayu. Topi itu ditemani vas berisi bunga segar, dan seteko air beserta gelas. Hingga saat dia diopname, sudah tiga hari ini, belum sekalipun dia sempat berbicara dengan Flavio Rosetti, pimpinannya.

Hayden Guerrero terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Belum ada yang sempat menjenguknya dalam sehari ini. Matanya begitu sayu. Tak henti-hentinya dia menanti akhir pertandingan dalam televisi di depan matanya. Pertandingan masih menyisakan sedikit waktu bagi Yankees untuk menyamakan kedudukan, sekali home-run lagi maka keadaan mungkin berbalik. Sedikit demi sedikit dia habiskan waktu melihat ke channel televisi lainnya. Sesekali pandangannya dilayangkan ke pintu kamar, berharap ada yang masuk dan memberikannya makanan.

Dia tahu itu tak mungkin. Seluruh staff sedang sibuk dengan perbaikan, apalagi Flavio Rosetti—meski kerjanya hanya berkutat di balik meja dengan kepala botaknya. Hayden juga sadar bahwa dia tak lagi memiliki keluarga yang akan mengingatnya di saat dia berada dalam kondisi semacam ini.

Dia mengingat-ingat bentuk pelindung kepala kuno yang dilemparkan padanya. Sesungguhnya dia ingin sekali mencari tahu benda apa itu. Sebuah pelindung kepala untuk berperang, ukiran dan hiasannya rumit, pasti milik seseorang yang berperan penting. Hampir seluruh wajah penggunanya akan terlindung dengan baik, kecuali matanya. Keadaannya sudah kusam, rusak termakan usia, terlihat amat bersejarah dari karatnya. Bahkan seseorang tanpa pengetahuan historis, juga akan menganggap benda itu bernilai tinggi—seperti yang Hayden pikirkan sekarang.

Lelaki tua itu mengeluh.

Dia ingat bagaimana Deven menahan gempuran monster bersenjata otomatis itu, sementara Hayden berusaha berlari, mematikan LAZARUS agar portal tak bisa digunakan. Terakhir, kabar kematian Deven disampaikan oleh seorang staff yang datang berkunjung kemarin. Terhenyak, syok, pasti, sebab Deven adalah pria andalan Hayden, lebih dari dia mengandalkan Ivander. Pria pemurung itu memang tak begitu ramah pada orang lain, tapi untuk Hayden, itu adalah pengecualian. Itu karena dia dan Deven memiliki kesamaan, baseball.

“Errggh!” erang Hayden. “Manusia tak berguna!” Dirinya kesal mendapati seorang pemukul gagal, sudah dua kali strike, semoga kali ini kena.

Sementara sang pemukul menata kembali mentalnya, Hayden melirik keluar jendela, saat kegelapan membiarkan cahaya lampu menyala. Pikirannya yang terakhir bercerita tentang Enrico van Luigi, rekannya yang kini menghilang bagai angin. Desas-desus pembelotan Enrico ke Hellfire Institution membuat Hayden gerah. Dia tahu sahabatnya tak akan mungkin melakukan hal sejauh itu. Tapi belakangan ini, Hayden mengakui ada yang aneh dengan Flavio Rosetti. Itu membuatnya berpikir kalau…

“Yeah!!!” sorakan pendukung Yankess bergemuruh. Hayden hanya bisa berkata, “Yeah!” dengan mengepalkan tangannya dan mengangkatnya ke udara berkali-kali.

Rasanya selebrasi sesaat itu cukup untuk membuatnya tersenyum sesaat pula. Dia kembali, pada lamunan penuh pikiran ke arah jendela bertirai biru langit. Organisasi, pelindung kepala kuno, pria misterius dengan monster, Deven, Enrico, tidak mungkin bisa lebih pelik dari ini.

Hayden berusaha meraih telepon biru yang terpajang di samping segelas air putih. Dia menekan-nekan beberapa tombol, nomor ponsel Flavio Rosetti. Dalam hatinya dia berharap ponsel itu diaktifkan.

Tiba-tiba terdengar suara nada dering ponsel dari balik pintu kamarnya. Dan panggilan itupun ditolak, sebab orang yang dituju sekarang berada di balik lembaran daun pintu itu. Suara kesibukan rumah sakit terdengar sesaat, kemudian mendadak lenyap saat daun pintu ditutup kembali.

“Tak perlu meneleponku, Hayden. Badut yang mendatangimu,” canda Flavio.

Phobia Hayden yang patut diperolok. Flavio hanya menirukan hidung sang badut dengan sebuah jeruk yang ditempelkan ke hidungnya, kemudian berjalan dengan kaki terbuka dengan satu tangan memegang keranjang buah. Agak konyol memang, tapi itulah sisi lain dari seorang Flavio Rosetti.

“Hahaha…lucu juga, Kepala Lampu,” tawa Hayden garing, dibuat-buat. Dia mencoba untuk duduk di atas ranjangnya.

Flavio berhenti bercanda, namun masih menyisakan senyum di bibirnya. Sebuah pemandangan langka dimana seorang pimpinan mau mengunjungi bawahannya. Flavio mengenakan kaus berkerah berwarna hijau gelap dan celana golf pendek. Sama sekali tidak terlihat kalau dia adalah orang di balik meja Alpha Operation.

“Aku bawakan buah untukmu. Bagaimana sekarang, apakah lebih baik?” Flavio meletakkan satu keranjang buah ke atas meja lainnya yang agak jauh dari ranjang.

“Ambilkan apel untukku, Flavio.”

Flavio menatap Hayden dengan satu alis diangkat, dia agak terkejut mendengar kata-kata Hayden barusan.

“Tak apa-apa bukan? Sekali-kali aku yang memberimu komando,” canda Hayden geli. Dan Flavio pun tertawa heran, tangannya menyergap sebuah apel dan menyodorkannya pada Hayden.

Flavio duduk di atas sebuah kursi yang berlawanan arah dengan jendela. Dia mamandang pria tambun itu sedang menggigit buah kemerahan itu. Dengan mulut mengunyah, Hayden memulai pembicaraan.

“Aku baik-baik saja, Flavio. Sebaik yang kau lihat terjadi padaku sekarang.” Hayden mengawang-awang sejenak. Lalu seraut wajah lesu pun ditampakkan dari wajah tuanya. “Bagaimana dengan Deven? Dimana kalian menguburkannya?”

“Aku kembalikan jenazahnya ke Portugal. Kami sudah ke sana dan menguburkannya dengan layak di suatu tempat. Hanya saja, aku tidak mengerti kejadian sebenarnya, saat itu, kau tahu?”

“Sebentar,” Hayden menelan apel di mulutnya. “Aku ingin tanyakan sesuatu dahulu. Dimana kau simpan pelindung kepala kuno itu?”

“Di ruang kerjaku, belum kuputuskan akan diapakan barang itu…”

“Entahlah Flavio,” potong Hayden. Dia seperti berpikir keras. “Sepertinya itu petunjuk penting dari musuh kita sendiri,” potong Hayden. “Mereka tiba-tiba masuk, seperti tikus-tikus masuk ke dalam gudang keju.”

“Tikus-tikus?” Flavio menanggapi serius. “Maksudmu ada yang lain?”

“Bukankah itu sudah pasti? Mereka tak akan mungkin menerobos sendirian, lagipula pertahanan LAZARUS itu ketat. Mereka bawa banyak mayat hidup, hanya sebagai pengacau saja, tak ada maksud untuk mewabahi orang-orang kita. Aku ingat Deven sudah terlalu lelah untuk bertarung lagi, saat itu monster besar malah datang. Jelas-jelas Deven tak bisa menahannya lagi. Dia menyuruhku lari, lari ke ruang kendali LAZARUS, dan matikan seluruh sistemnya.”

“Kau menurut saja?” Flavio tak tahan lagi, dia berdiri dari sana. “Aku heran, mengapa dalam keadaan itu justru Deven…” Flavio berpikir panjang, dia duduk kembali setelah mondar-mandir sejenak. “Pasti Deven mengetahui sesuatu, mungkin kau tahu?”

“Katanya berteriak, jangan biarkan mereka mengambil yang terakhir!” tiru Hayden. “Yang terpikir olehku mungkin maksudnya portal itu, karena itu dia meminta LAZARUS untuk dimatikan.”

“Yang terakhir ya?” tanya Flavio retoris. “Padahal, setelah itu mereka tetap bisa menerobos kode keamanan dan menghidupkan kembali sistem LAZARUS. Sebuah tindakan beresiko yang sia-sia,” sambung Flavio melanjutkan kata-kata Hayden. “Lalu, pelindung kepala itu, ada apa dengan benda itu?”

“Oh, soal itu…” Hayden kembali menelan beberapa kunyahan apel. Dia berusaha keras untuk secepatnya berbicara. “Pria dari Omega Operation melemparkannya padaku, dia katakan sesuatu tentang Cresthalla. Dan…oh, iya, Ivander juga. Dia menyebut nama Ivander sekali, hanya sekali. Dia juga bilang, saatnya sang Chaos menemukan rumahnya kembali.”

“Sang Chaos…” Flavio menahan nafasnya sejenak. Dia berusaha membangun pembicaraan yang lebih serius. Namun agaknya itu lebih sulit dari yang dia duga. Flavio mengeluarkan nafasnya yang tertahan, kemudian memejamkan matanya sejenak, saat dia berpikir cepat. “Ya, memang…Aku dan Enrico tahu, kami tahu…”

“Kau tak pernah beritahu aku?” sela Hayden.

“Kurang tepat rasanya. Darah Ivander tercemar oleh polutan berbahaya. Dia memang berbeda dengan kita, Hayden.”

Hayden tak melanjutkan gigitan apelnya. Matanya memandang tak percaya akan apa yang baru didengarnya. Pikirannya terus mengulang-ulang kata-kata Flavio barusan, hingga dia menjadi sungguh penat dan ingin melepaskannya dari pikiran.

Flavio berdehem sesaat sebelum melanjutkan, “Kupikir sudah saatnya seluruh orang dalam organisasi mengetahui hal itu. Ivander dimasukkan ke dalam organisasi bukan untuk menggantikan siapapun, melainkan agar dia terlindung dari banyaknya ambisi pihak-pihak untuk mendapatkannya.”

“Tapi untuk apa, Flavio? Rasanya Ivander baik-baik saja selama ini.”

“Kami pernah melakukan uji coba. Sel darah hitam milik Ivander, disuntikkan pada seekor tikus putih...” Hayden mematikan televisinya, mencoba lebih fokus pada masalah yang makin pelik. “Tikus itu berubah menjadi sangat mengenaskan. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit, bulunya berubah hitam, matanya berubah merah, badannya membesar, kemudian tanduk-tanduk keluar dari tulang punggungnya. Setelah itu, tikus malang tadi tertelungkup mati, tubuhnya kembali seperti semula. Organ-organnya, seluruh pembuluhnya, hingga tulangnya, semua hitam pekat dan rusak total.” Flavio mengangkat sebuah apel, kemudian melemparkannya dari tangan kanan, ke tangan kirinya terus-menerus, secara bergantian. “Bayangkan, sebenarnya apa yang disebut Chaos itu. Bayangkan juga bila mereka dapatkan Chaos.”

“Tapi mengapa Ivander bisa bertahan?”

“Kami menemukan bahwa bukan hanya darah Ivander berbeda, tapi tubuhnya juga. Dia bisa bertahan dari sifat parasit cairan hitam ganas itu, itulah yang disebut Chaos oleh mereka.”

Flavio membiarkan Hayden terperanjat sejenak. Sudah ada pertanyaan di pikirannya, “Hayden, apakah kau tadi katakan Cresthalla?”

Itu sudah berlangsung dua bulan, sejak kepercayaan Hayden pada LAZARUS menurun. Sebuah pagi sederhana di Bucharest, tapi komputer itu memberikan kesan yang mengesalkan. Hayden baru saja memulai pekerjaannya mengawasi gejala Lacuna Syndrome, cangkir berisi teh sudah terhidang di samping kanan tangannya. Lalu pandangannya ke monitor digantikan oleh LAZARUS yang memunculkan pesan untuk Hayden—dalam bentuk tulisan—pesan mengenai eksperimen Chaos, atau penciptaan sebuah wadah bagi kekuatan penghancur Chaos. Tertuduhnya adalah Flavio Rosetti, seseorang yang sudah sangat akrab dengannya. Itulah yang membuat Hayden enggan berkompromi dengan LAZARUS.

Sejak saat itu, Hayden terus menaruh rasa curiga berlebihan pada LAZARUS. Dia tak pernah merespon pesan-pesan dari LAZARUS, termasuk perkataan-perkataan langsung dari mesin itu. Walaupun dia tak tahu ada apa di balik semua pesan LAZARUS, dan ada apa juga dengan aksi diam Flavio saat itu, Hayden berpikir mungkin inilah jawabannya

Lamunan Hayden terpecah belah, bergegas dia mencoba kembali ke alam sadarnya untuk menjawab Flavio. “Ya, tidak salah lagi. Pria itu mengatakan Cresthalla, aku tak tahu itu apa.”

Flavio berpikir lebih panjang dari sebelumnya, seperti mencari-cari akal, bukan mencari tahu. “Begitupun aku, Hayden. Akan kucari kata itu di salah satu buku-bukuku, siapa tahu benda itu terkenal. Dan maaf, Hayden, aku tak bisa terlalu lama di sini,” sesal Flavio.

“Tak apa, Flavio. Terima kasih sudah mau datang berkunjung.”

“Cepat sembuh, Clown Head,” sindir Flavio ketika keluar dari kamar itu. Hayden tertawa sesaat, tapi kembali dengan cepat pada ekspresi seriusnya.

Dalam otaknya, kini dia hampir menemukan sebuah titik terang. Sebuah kenyataan yang dia tolak mentah-mentah, sebuah kenyataan yang membuatnya membual pada Flavio. Hayden tahu, tentang kegiatan rahasia Flavio Rosetti, apa yang dia lakukan di balik kebijakan-kebijakannya. Dan barusan, Flavio memang bercerita tentang Chaos, tapi secara tak langsung itu membuatnya menyambungkan semua teka-teki. Kini Hayden amat sangat merasa berhutang pada LAZARUS.

“Eksperimen klon…” gumamnya datar dan perlahan.

Hayden menengok ke masa lalu, saat Deven berteriak padanya. Patricio Deven sudah tahu kenyataan ini lebih dahulu daripadanya. Siapa mereka yang disebutkan oleh Deven. Omega Operation-kah, atau justru seorang Flavio Rosetti?

0 comments:

Post a Comment