Sunday, 21 February 2010

A tale by Chris Nugroho

Mereka berpandangan dalam perasaan saling terganggu; saling tidak percaya; dan yang paling penting dalam lubuk hati mereka sekarang, mereka merasa terancam. Wajah pria misterius itu masih tetap datar tanpa ekspresi, dingin seperti gunung es, walaupun tak ada yang tahu seberapa besar detak jantungnya sekarang. Enrico masih teguh di atas tanah tempatnya berpijak, hanya ada satu keyakinannya—pria ini pembunuh, dan gadis itu dalam bahaya.

Kesunyian sesaat itu pun buyar.

Enrico menerpa kesunyian ini dengan sabetan pertamanya yang cepat dan bertenaga. Pria itu kesulitan menghindari serangan demi serangan yang datang menyusul. Terakhir, bagian tumpul dari sabit di tangan kanan Enrico membentur dada Kusko. Dia terhempas mundur.

“Kusko, sudahlah. Sebaiknya kau hentikan ini,” ujar Alexa saat menghampiri Kusko yang tengah berusaha bangkit kembali.

“Diamlah, Alexa! Perjalanan kita ke Goat Hill tak akan usai jika si tua ini masih mengganggu,” timpal pria itu dingin.

Dari mendengar kata-kata Kusko sekilas itu, Enrico tahu Kusko bukan orang sembarangan, karena orang sembarangan tak akan pergi ke sana.

“Tunggu! Apa kau tadi katakan Goat Hill?” sela Enrico mendadak.

Pria itu tampak kesal dengan pertanyaan Enrico. Kusko berpikir kalau selanjutnya hanya akan ada peringatan tak berguna yang sudah ribuan kali didengarnya dari banyak penduduk, tepat ketika dia menyebutkan akan pergi Kota Sampah Goat Hill.

“Sudah kukatakan padamu, urusan kami bukan urusanmu, Pak Tua.”

“Kusko, sabarlah. Dengarkan dahulu penjelasannya, mungkin akan berguna bagi kita,” sela Alexa dengan suara kecil. Kusko memandangnya kesal.

“Aku berani jamin dia hanya akan memperingatkan kita akan bahaya…”

“Bukan! Bukan itu,” sanggah Enrico cepat. “Aku juga akan pergi ke sana. Kalian berdua juga?”
Kusko lambat merespon. Dalam pikirannya, seluruh jaringan otaknya berpikir, menebak-nebak niatan pria menyebalkan di hadapannya.

“Ehhh, entahlah. Kami bukan orang yang mudah diperdaya oleh tipuan seperti itu. Lebih baik, kita selesaikan apa yang tadi baru kau mulai.”

Kusko kembali pada posisi kuda-kuda menyerang dengan pedangnya yang lurus dan datar. Enrico menganggap bahwa pertarungan ini tak boleh terjadi, orang di hadapannya pasti kerabat Témpust.

Suasana menegang, jauh dari sebelumnya.

“Kau bawahan Témpust?” tanya Enrico memecah suasana panas.

Kusko terdiam sejenak, dia mulai melunak dan memasukkan kembali pedang ke sarungnya. “Pria kuat, dengan pertanyaan tentang Tempust dari mulutnya,” ujar Kusko. “Apakah kau juga seorang Bounty Hunter? Misimu menbunuh Témpust? Aku harus menjaga sumpah untuk tidak saling membunuh di antara sesama Bounty Hunter. Jika boleh kutahu, siapa namamu, Pria Tua?” Kusko balik bertanya.

“Sebelumnya ada yang harus kuluruskan di sini, Kusko. Namaku Enrico van Luigi, aku pendeta di dunia Maya, bukan seorang Bounty Hunter. Tujuanku ke sini ingin bertemu dengan Témpust, ada yang harus kuurus dengannya. Karena itu kutanya, apakah dia Tuanmu, Kusko?”

Bounty Hunter adalah pekerjaan paling beresiko di Mithrillia. Seorang Bounty Hunter memiliki Tuan yang harus mereka jaga kerahasiaan identitasnya—walau mereka harus mati karenanya. Tuan dari seorang Bounty Hunter pastilah seseorang yang amat bertaji, baik dalam keuangan, maupun kedudukan dan status sosial. Sebab seperti yang dikatakan tadi, pekerjaan Kusko tidaklah ringan. Bila sudah mendapat mandat, seorang Bounty Hunter tak boleh kembali pada Tuannya sebelum target berhasil dimusnahkan, bagaimanapun caranya, apapun resikonya, itu setimpal dengan tarif yang mereka dapatkan dari tumpahan darah target.

“Maya? Pantas saja kau tak tahu aturan di sini. Aku Mithrillia Kusko, sampai mati pun tak akan mengakui nama dan keberadaan Tuanku. Tapi bisa kupastikan padamu, Témpust bukanlah orang yang kumaksud. Aku hanya datang padanya untuk menyampaikan sesuatu. Termasuk untuk mengamankan gadis ini, terlalu berbahaya bagi orang dunia Maya untuk berkeliaran di Mithrillia sekarang,” lanjut Kusko.

Mereka tahu meneruskan pertarungan adalah sebuah kebodohan. Kini, matahari tengah membinarkan warna lembayung, ketiganya adalah satu rombongan menuju Goat Hill.

“Kusko, bisakah aku menanyakan maksudnya? Mengapa kau sampai bilang kalau makhluk Maya dalam bahaya?” lanjut Enrico masih kebingungan.

“Soal itu,” tanggapnya dingin. “Aku mendapati para raja-raja memerintahkan pasukannya untuk menangkap setiap makhluk Maya yang terlihat. Jangan tanyakan padaku soal alasannya, yang jelas mereka tampak sangat panik, kacau, terburu-buru. Sejak ekspedisi itu dimulai, sepertinya sangkakala perang tak lama lagi akan dibunyikan,” jawab Kusko misterius. Dia mengerudungkan kembali kepalanya dan mengencangkan tali di lehernya. “Mari pergi ke Danau Livero, ada perahu yang sudah menunggu kita.”

Mereka berjalan menelusuri jalur terbuka di sebuah padang hijau berumput rendah yang kini memantulkan warna jingga dari matahari. Padang itu terkadang diselingi beberapa kelompok pepohonan rimbun berdaun hijau. Itulah keunikan Mithrillia, bisa ditemukan padang rumput di samping gurun pasir yang tandus.

Langit menjadi gelap sepenuhnya saat matahari menghilang. Kusko menghampiri salah satu dari pohon untuk memotong dua buah dahannya. Lalu dia mengucurinya dengan getah pohon tertentu dari dalam botol kecil di saku jubahnya. Kusko mengeluarkan sepasang batu kecil seukuran genggaman tangan. Dia meletakkan kedua dahan itu di tanah, kemudian menggesekkan sepasang batu di atas tumpukan daun kering. Enrico menyadari maksud Kusko untuk membuat api. Kemudian pendeta tua itu mengeluarkan korek api batangan dari sakunya.

“Biarkan aku yang melakukannya,” sela Enrico.

Sekejap, api dari dua dahan itu menerangi mereka.

“Korek api, Kusko. Orang-orang di dalam dimensiku menggunakan ini untuk membuat api dengan mudah.”

“Aku sudah tahu…” jawab Kusko pelan.

“Kau tahu? Bukankah tadi kau mengatakan kau sudah tahu?” tanya Enrico menyela. Sebab sebuah keanehan jika manusia Mithrillia mengenal korek api.

“Maksudku, dalam tugasku yang lalu-lalu, aku juga menemui manusia Maya yang menggunakan benda itu. Namanya korek api, benar, korek api,” lanjutnya.

Diterangi cahayanya, mereka kembali pada arah perjalanan mereka. Malam sepi itu mengitari mereka bertiga.

“Ah, Kusko. Ada pertanyaan yang tertinggal. Kau tahu ekspedisi apa itu?”

“Sebuah pencarian akan suatu benda terlarang yang telah hilang selama ribuan tahun. Mereka begitu bernafsu mencarinya, itulah yang kudapatkan dari seorang pasukan Mirage.”

Telah hilang selama ribuan tahun? Enrico pikir itu sama seperti yang dikatakan LAZARUS, soal Abigor dan pelindung kepala kunonya.

“Kusko, kau pernah mendengar soal Abigor?”

Kusko memperlihatkan wajah janggal dengan pertanyaan Enrico. Walaupun begitu, sudah tersimpan kata-kata di mulutnya untuk menjawab pertanyaan Enrico.

“Abigor…Abigor…aku pernah mendengarnya dari suatu desa. Mereka memujanya sebagai dewa, dan menurut mereka Abigor adalah raja yang ahli dalam peperangan. Dia hidup di Mirage ribuan tahun lalu, setelah itu dia menguap entah kemana. Kisahnya pun hanya jadi mitos yang beredar dari mulut ke mulut.” Sesaat Kusko memperhatikan perubahan ekspresi Enrico—walau hampir tak terlihat—Ada apa dengannya?”

“Tidak, bukan apa-apa. Hanya ingin tahu,” kata Enrico coba menutupi. “Pemburu sepertimu, apakah masih banyak yang bertahan?”

“Aku tak tahu, sepertinya benar jumlah kami semakin menyusut. Sejak insiden yang mengotori nama Bounty Hunter, banyak yang mulai mengundurkan diri. Seorang pemburu dari Benua Barat menerima tugas terakhir untuk membunuh seorang pelaut termasyhur, sebagai syarat pengunduran dirinya. Tapi, sesampainya dia di depan target, si pelaut justru memberikannya tawaran menggiurkan, syaratnya Bounty Hunter itu harus membunuh Tuannya. Si pemburu pun kembali pada Tuannya, dia berpura-pura telah menyudahi nyawa sang pelaut. Saat bayaran Tuannya diterima, ditebasnya kepala Tuannya tanpa ampun. Lalu kepala itu dijadikan bukti pada si pelaut, imbalan dari si pelaut juga diterimanya. Tapi tak lama setelah itu, si pelaut ditemukan tewas, oleh pemburu itu. Kemudian dia melepaskan pekerjaan sebagai Bounty Hunter. Banyak penduduk menganggap seluruh pemburu seperti itu, padahal kami memiliki loyalitas yang bisa diuji pada Tuan kami. Mereka semua mundur satu persatu akibat buruknya citra pekerjaannya. Hingga kini, jika aku dapat mengetahui siapa Bounty Hunter rendahan yang melakukan perbuatan itu, aku akan mengoyak-ngoyak nadinya.”

“Mungkin kau berharap terlalu tinggi jika aku adalah Bounty Hunter tadi?”

“Maksudku itu. Ada beberapa hal yang membuatmu gusar karena kau tahu itu salah dan kau tahu betapa hatimu ingin mengubahnya. Hanya saja caranya tak sanggup kau penuhi.”

“Kau bermaksud menceritakan apa yang terjadi pada Mithrillia juga, bukan?”

“Berarti kata-kataku tak sia-sia, Enrico,” tanggapnya dengan sedikit sekali senyum. “Kau mengerti seluruh dunia ini mungkin seperti itu. Tapi bagiku cukup lakukan apa yang menjadi tugasmu dengan sebaik-baiknya.”

………

Suhu mulai turun, hingga kaki-kaki mereka membeku pelan-pelan. Terlebih lagi, Alexa mulai lelah karena berjalan terlalu jauh. Mantel yang dia kenakan belum cukup mengusir rasa dingin itu. Alexa begitu tersiksa hingga dia jatuh terduduk. Danau Livero yang dituju memang masih cukup jauh, mungkin tengah malam, dermaga baru bisa mereka pijak. Sekelompok manusia satu tujuan itupun memilih untuk mencari tempat teraman untuk duduk beristirahat, di balik rimbunya pepohonan dan lebatnya semak. Kusko menghapus dahaganya dengan beberapa teguk anggur dari tempat minumnya. Dia berbagi dengan Enrico dan Alexa untuk mengusir dingin yang semakin menjadi-jadi.

Di samping itu, malam di Mithrillia semakin berbahaya dari hari lepas hari. Penduduk setempat jarang ada yang pergi dari desa atau kotanya keluar perbatasan jika matahari telah tiada. Mereka memilih tetap diam di dalam kota, di dalam lindungan benteng. Mereka takut, kepada para Amon, setan-setan Mirage yang memangsa apapun di depan matanya. Pada awalnya, melepaskan Amon ke Mithrillia ialah strategi Mirage untuk melumpuhkan pertahanan kerajaan-kerajaan. Tapi seiring usainya peperangan, para Amon justru menjadi masalah baru.

“Alexa, ada yang ingin kutanyakan padamu soal kedatanganmu,” kata Enrico membuyarkan pandangan hampa Alexa pada api unggun.

“Aku sendiri bingung. Aku hanya ingat sehari yang lalu, mungkin sehari yang lalu, aku sedang membaca sebuah buku kuno. Buku aneh yang berisi hal yang tadinya tak kupercaya, namun justru membuatku masuk ke dalamnya.”

“Kau datang dari sebuah portal bukan?”

“Buku itulah yang membawaku ke sini. Tapi, sebelumnya aku sempat singgah ke sebuah tempat aneh. Hanya ada seorang laki-laki tua di sana. Dia yang membawaku ke dunia ini.”

“Laki-laki tua? Aku tidak bercanda, Alexa.”

“Aku juga tak bercanda, Tuan Enrico. Kau mungkin tak akan percaya sampai kau menemukan adanya buku yang membawamu pada jamuan minum teh bersama seorang kakek yang melemparkanmu ke dunia asing ini. Aku tidak bercanda, Tuan Enrico,” tegas Alexa.

“Buku, jamuan teh, dan kakek? Buku apa itu?”

“Buku kuno yang sudah lama sekali ada di perpustakaan sekolahku. Buku itu memaparkan semuanya tentang hubungan ketiga dimensi, mungkin dimensi kelima tidak ada, sebab katanya belum ada yang pernah kembali dari sana. Buku itu membawaku berpindah secepat kilat.”

Enrico tadinya serius mendengar penjelasan Alexa, namun lama kelamaan mulutnya yang terkunci rapat tak kuasa menahan rasa geli. Enrico tertawa, dia menahan suara tawanya mati-matian. Kusko yang tadinya diam, ikut tersenyum kecil di tengah kesibukannya menyeka mata pedangnya.

“Kalian kira aku bercanda?” kata Alexa ngotot.

Marah, Alexa memilih membaringkan tubuhnya ke atas alas daun dan memejamkan matanya. Suara tawa cekikikan Enrico masih terdengar sayup-sayup, Kusko masih tampak menggeleng keheranan.

“Hei, Alexa? Sekarang bukan saatnya untuk itu. Kita tak akan bermalam di sini,” kata Kusko tak bernada.

Alexa buru-buru bangun dengan wajah terkejut. Dia menatap mata dingin Kusko untuk memastikan, “Kau serius? Kita jalan lagi?” tanya Alexa dengan nada malas. “Aku lelah berjalan seharian denganmu. Tak bisakah kita istirahat sebentar lagi saja,” rengeknya.

“Amon akan mengerubungi tempat ini jika kita tidak segera bergegas. Kita pergi sekarang,” ajak Kusko. Dia menendang-nendang tanah ke arah api unggun untuk memadamkannya. Tanpa banyak bercakap lagi, Kusko menyelinap ke balik semak-semak, dia kembali pada jalurnya semula.

Rasanya peristirahatan sesaat itu tak merubah apapun. Perjalanan melalui jalan setapak itu tetap melelahkan. Kontur tanahnya tak rata. Banyak jalan yang agak menanjak, walau kemudian dibalas dengan jalan menurun pula. Beberapa lama kemudian, hamparan ilalang kuning tinggi membentang di hadapan mereka. Di ujung padang ilalang itu akan menyambut mereka sebuah hutan lainnya, namun tidak terlalu lebat. Di akhir hutan itulah danau yang mereka tuju berada. Kusko menghentikan langkahnya, dia mencabut pedang dari sarungnya. Pancaran wajahnya berubah drastis, dia menunjukkan wajah sangat serius.

“Enrico, waspadalah! Di balik ilalang ini pasti ada sesuatu yang tak terduga. Danau Livero sudah dekat. Ayo jalan.”

Dengan kata-kata itu, Enrico melepaskan kedua sabitnya ke dalam genggaman. Satu sabit dia berikan pada Alexa, sabit yang menjadi cadangan di kala keadaan mendesak.

“Kau menyuruhku memegang ini? Ini berat sekali, Tuan Enrico!”

“Kau dengar kata Kusko bukan? Aku tak bisa menjamin kau akan terlindungi setiap saat,” jawab Enrico kalem.

“Dia tanggung jawabku, Enrico. Tetap pegang sabit itu dan jangan berjalan jauh dariku, Alexa.”
Dengan kewaspadaan tinggi, mereka masuk ke dalam kumpulan ilalang kekuningan itu. Tangan Kusko dan Enrico digunakan untuk menyingkirkan batangan-batangan rumput yang mengganggu mereka. Malam yang begitu tenang di saat kepanikan tiba-tiba melanda mereka, segaris ilalang itu bergerak seperti terlewati.

“Apa itu? Kalian lihat tadi?!” seru Alexa panik.

“Apa? Aku tak lihat!” bantah si tua Enrico.

Enrico tak melihatnya karena memang terlambat baginya untuk menoleh. Sejauh matanya memandang, dia hanya temukan ilalang yang sama. Saat dia hampir mengomentari kesalahan penglihatan Alexa, ilalang kembali bergerak, muncul garis ilalang di tempat yang berbeda, namun semakin dekat dengan mereka.

“Itu dia! Sama seperti barusan!”

“Aku juga lihat itu. Kusko, apa yang harus kita lakukan?” timpal Enrico yang menyiagakan sepasang perak di tangannya.

“Itu Amon. Mundur…” bisik Kusko pelan.

Kusko tak ingin mengambil resiko melukai Alexa. Dengan langkah perlahan, mereka berjalan mundur, berlawanan dengan arah gerakan misterius itu, namun tetap menuju arah danau Livero. Gerakan itu datang lagi, semakin dekat, kali ini dia bergerak dengan pola zig-zag.

“Tetap tenang…mundur…”

“Tapi, dia semakin…”

“Tenang…jangan buat gerakan mendadak…” bisik Kusko menenangkan Alexa. Wajah Kusko telah dipenuhi guratan kecemasan, udara dingin yang menghembuskan ilalang membuat kakinya semakin bergetar.

Semakin jauh langkah demi langkah mereka meninggalkan tempat semula. Mereka masih terus berjalan mundur dengan mata meneliti setiap celah ilalang.

GRUUSSAKK!

Mendadak terdengar bunyi yang seharusnya tak terdengar. Bunyi itu menggelitik setiap telinga yang tadinya mendengar keheningan malam. Enrico terpeleset, jatuh menimpa ilalang yang menyuarakan bunyi mengganggu itu. Akhirnya ketakutan Kusko terbukti. Seekor makhluk liar di balik gerakan misterius itu menyerbu cepat menuju arah jatuhnya Enrico.

“Alexa, menjauhlah sejenak!” seru Kusko yang mencoba menghalangi arah gerakan makhluk itu.
Tanpa ampun, ketakutan Kusko juga sekali lagi terbukti. Makhluk itu melompat sangat tinggi melampaui Kusko. Dengan siku tangannya yang berduri keras dan tampak tajam, makhluk itu coba melukai Kusko dari atas. Sebilah logam yang dari tadi dia siagakan menjadi berguna untuk menangkis pisau yang tertanam pada siku monster itu.

Kali ini giliran Enrico yang beraksi. Sebilah sabitnya dia lemparkan langsung menembus dada sang monster. Darah hitamnya menyembur langsung seraya tubuhnya yang terhempas jatuh. Suatu pemandangan yang mengerikan bagi Alexa. Matanya masih saja terjerumus pada kejadian singkat yang membuat tetesan hujan darah. Di telinganya masih terdengar suara getir sang monster yang tak kuasa menahan sakit.

“Itukah Amon, Kusko?” tanya Enrico sambil bangkit berdiri.

“Satu dari sejumlah spesies mereka. Amon ini memiliki kaki yang lebih pendek dari tangannya, dengan itu mereka bergerak cepat. Lihat tubuh mereka, mirip dengan kera, juga dengan sepasang mata kecil dan satu mata besar di dahinya, mereka bisa dengan mudah melihat di malam hari,” jelas Kusko. Pria itu berjalan menuju monster lemah itu, kemudian dia mencabut sabit Enrico yang tertancap telak. “Lemparan yang bagus, Enrico. Lain kali lebih berhati-hati.”

“Tenang saja. Aku akan berhati-hati. Batu licin itu membuatku terpeleset,” canda Enrico sambil sedikit tertawa. Sesaat dia melirik Alexa yang masih terpaku. “Hei, Nak. Kau baik-baik saja?”

Alexa tak merespon pertanyaan Enrico, Pak Tua itupun harus mengulang pertanyaannya sekali lagi.

“Aku…aku hanya belum biasa melihat itu. Maaf membuatmu khawatir,” jawab Alexa gemetar. “Bisakah kita meninggalkan tempat ini secepatnya?”

“Alexa ada benarnya. Lebih baik cepat, sebelum bau darah Amon ini mengundang rekan-rekannya,” sahut Kusko.

Secepat mungkin mereka berusaha pergi dari tempat mematikan itu. Belum berapa lama Kusko berkomentar tentang bau darah, sesuatu yang tak diundang itu kembali datang menyusul. Gerakan yang amat mencolok terlihat di kejauhan—jauh dari ketenangan. Sejumlah besar Amon, lima ekor.

“Sepertinya rombongan pesta makan malam datang,” gerutu Enrico.

“Jangan dilihat, terus berlari!” seru Kusko.

Amon-Amon yang tak terganggu dengan lebatnya ilalang dan tajamnya sayatan-sayatan kecil setiap ujung ilalang yang melukai kulit. Para Amon terlihat serupa dengan para hiu yang terjerat aroma darah di lautan. Beringas menerjang.

Suara nafas memburu terdengar bak simfoni, di tengah-tengah bunyi ilalang bergesekan semerawut. Sesekali para Amon melompat keluar dari balik ilalang, seakan bermaksud menunjukkan keberadaan mereka lebih jelas lagi. Mata yang jumlahnya tiga buah itu membelalak seluruhnya, memperlihatkan bola mata hitam besar milik mereka. Taring-taring itu menyeringai buas disertai tetesan-tetesan liur bengis yang semakin agresif menerjang segala ilalang. Kuku-kuku tajam dan siku yang lebih tajam lagi milik para Amon, menebas hadirnya halangan rerumputan kuning yang menghalangi. Mereka bisa melihat tiga mangsa mereka dengan jelas. Ada yang berlari paling lambat.

Alexa mulai tertinggal, dia lelah.

“Tak mungkin lebih cepat dari ini, mereka makin dekat!” Alexa makin menunjukkan ketakutannya.

“Kalian pergilah dulu, aku akan menahan mereka!” usul Kusko. Sontak itu mengejutkan kedua orang lainnya.

“Kau gila? Kau tak boleh pergi begitu saja. Kami membutuhkanmu!” bantah Enrico menolak usul Kusko.

Kusko memperlihatkan wajah nekadnya dalam-dalam. Di dalam setiap detik pandangan matanya, dia memberikan sinyal akan betapa pentingnya keberadaan Alexa. Kusko melambatkan langkah kakinya, sudah jelas apa maksud dari perlambatannya itu.

“Alexa lebih penting!” kerut di wajahnya menegaskan semua itu. “Terus saja berlari lurus dan kalian akan menemukan perahu dengan temanku di dalamnya…”

“Kami tak bisa meninggalkanmu,” Alexa begitu ragu.

“Pergi saja!” bentak Kusko meninggi.

Mendadak Kusko berhenti berlari. Dia tak lagi ingin melihat dua orang itu berdiam menantinya mengubah keputusan. Kusko berjalan berbalik arah lambat-lambat, justru semakin mendekati kawanan Amon lapar. Jaraknya dan dua orang itu semakin jauh. Akhirnya, pria itu meneguhkan diri dengan mengeluarkan sebilah pedangnya. Melihat itu, Enrico dan Alexa membuang jauh-jauh kekuatiran mereka. Mereka meneruskan pelariannya meninggalkan Kusko.

“Jangan tinggalkan Alexa, Enrico! Jangan pernah!” teriaknya untuk terakhir kali. Pandangan matanya tak lepas dari sekumpulan setan di hadapannya.

Enrico dan Alexa terpaksa menuruti kata-kata Kusko. Jiwa seorang Bounty Hunter sejati yang memang tertanam di dadanya. Lalu dimulailah pertempuran tak seimbang itu, di saat Enrico dan Alexa berhasil lepas dari padang ilalang, menuju hutan yang gelap. Suara teriakan Kusko merambat masuk ke dalam telinga mereka—tanda bahwa Kusko tak sekuat tekadnya. Pahitnya, tak ada yang bisa mereka lakukan untuk menolong pria malang itu. Mereka tak bisa berbalik.
Hutan lebat dan lembap ini mereka sisir berdua saja. Terlihat tua dan tak banyak berwarna kehijauan muda. Tak sedikit pohon mati dengan tak satupun daun di dahannya. Akar-akar pohon berlumut banyak menggantung di dahan-dahannya. Terdengar bersahutan derikan serangga-serangga dan reptil malam. Suara burung hantu juga menambah kesan suram pada hutan ini.

“Tuan Enrico, apakah tak apa-apa bila kita membiarkan Kusko sendirian?”

“Bagaimanapun, biarlah dia yang menanggung semua resiko pekerjaannya. Seperti yang kuduga, Tuannya pasti memerintahkan untuk mengawalmu hingga sampai ke Goat Hill, karena itulah dia berani mempertaruhkan nyawanya.”

“Tapi…aku kan…”

“Oh, demi Tuhan. Tepat waktunya. Itu dermaga yang Kusko maksudkan,” kata Enrico memutus maksud dari pertanyaan Alexa.

Mereka tiba di sebuah danau kecil dengan sebuah dermaga sederhana dari papan kayu yang menjorok ke dalam danau. Sekelebatan kabut tipis hampir menutupi pandangan mereka menuju apa yang ada di balik kelamnya danau. Saat melangkah lebih dekat, mereka bisa melihat samping dermaga, seorang pria pendek, tua dan bungkuk, sudah menunggu dengan lentera di tangannya. Pria itu mengenakan mantel cokelat tua dari kain kasar yang menutupi wajahnya juga. Dia mengisi waktu dengan memancing ikan. Sudah malam, satupun ikan belum berhasil dia tangkap.

“Kaukah yang dimaksud Kusko?” tanya Enrico dengan nafas memburu.

Dia berdiri tergopoh-gopoh, hingga perahu itu bergoyang, betapa gemuknya ia. Diletakkannya kail ke atas perahu.

“Kusko? Dimana dia? Yang kalian telah lakukan padanya apa?” Suaranya tipis bak suara tubrukan baja. Pria ini memang tak bisa berkata-kata dengan baik.

“Dia mengatakan temannya ada di sini, seseorang yang akan menghantarkan kami menyebrang ke Goat Hill.”

Pria itu menaikkan sebelah alisnya. Kemudian dia melirik lambat-lambat ke arah hutan, seperti mencari-cari kebenaran akan Kusko. Mendadak fokusnya terganti, dilihatnya keindahan ada di depan mata.

“Gadis yang cantik sangat, apakah kau yang Alexa dinamakan itu?” Digoreskannya jari-jari keriput itu ke pipi Alexa.

Pandangan matanya membuat Alexa tak nyaman dan segera menampik tangannya. Gigi-gigi kuning dan rusak milik si tua itu tampak jelas saat dia menyeringai di hadapan wajah Alexa.

“Kasar sekali, Gadis manis? Apakah aku pikirmu percaya akan padamu jika Kusko tak ada? Sayang sekali sepertimu gadis harus tinggal di sini dengan di sebelahmu pak tua,” katanya dengan nada menakut-nakuti. “Atau…kau bisa istriku menjadi dan melayaniku hidupku selamanya.”

Walaupun kata-katanya berantakan dan tak jelas nadanya, Enrico tahu manusia ini sudah keterlaluan. Lalu Enrico menarik Alexa supaya berlindung di belakang punggungnya. Wajah tuanya mengintimidasi pria kecil itu dalam pandangan tajam. Enrico adalah raksasa bila dibandingkan dengannya, bahkan pria tua di dalam perahu itu tak lebih tinggi dari Alexa.

“Apakah kau bawahan Témpust? Sebutkan namamu.”

Pak tua ini memandang sinis pada ’raksasa’ Enrico.

”Atau perlukah kupanggil kau Si Tua Mesum?” ulang Enrico dengan suara seraknya. “Jawablah, sebab Kusko tak main-main, dan kamipun tak ingin bermain-main denganmu.”

“Perlukah namaku kau tahu, Pak Tua Konyol? Coba jangan menakut-nakutiku dengan besar tubuh dan bulat kacamatamu itu. Jika berani kau macam-macam padaku, kau akan tak dapat pergi ke Goat Hill. Kau akan tersesat, diserbu oleh Amon kawanan, dan mengenaskan mati,” balas si tua dengan senyum culasnya.

“Okay, Pak Tua Mesum,” Enrico mulai berbicara dengan suara beratnya. “Kuberitahu kau beberapa hal. Aku mengenal Témpus. Jika dia mengetahui aku mati mengenaskan dari sebuah sumber yang tak mungkin kau celakai…” pandangan Enrico beralih pada Alexa sejenak dan kembali pada si tua, “Kau akan dipelintir, kaki dan tanganmu dipatahkan, dan kau hanya bisa berteriak mengiba hanya untuk sepotong roti.”

Enrico tahu dia mulai berhasil.

“Aku sudah tahu kalau arah menuju Goat Hill, aku bisa mengatasi puluhan Amon sekalipun, bahkan Guardian yang bisa meremukkan tulangmu berkeping-keping. Jadi untuk kau ketahui, aku tak akan segan-segan menebas kepalamu dengan sabitku yang indah ini, hingga darahmu menjadi minuman ikan-ikan yang kau pancing…” Kemudian Enrico mengubah mimik wajahnya menjadi senyum ramah yang mengancam. “Mengerti?”

“Mengerti…” jawab si tua itu ketakutan. “Naik silakan, aku akan antarkan hingga kalian ke tepi danau. Sisanya lanjutkan kalian sendiri. Aku akan ke sini kembali menjemput untuk Kusko.”

Dia mulai membereskan perahunya untuk menyediakan tempat bagi kedua orang itu. Dia menyingkirkan lentera, kail dan beberapa potong rotinya yang terbungkus daun besar ke bagian kepala perahu. Lalu diangkatnya sebuah kayu panjang setelah melepaskan ikatan tali pada pasak dermaga. Kayu panjang itu adalah kayuhan perahu ini.

“Snearty namaku. Hanya itulah nama yang panggil mereka padaku. Panggil aku kalian boleh…Snearty.”

“Terima kasih, Snearty,” timpal Alexa ketika dia mulai duduk di atas perahu kayu itu.

Dan perahu itu pun mulai menjauh dari dermaga, dengan sebuah tongkat panjang yang menancap hingga ke dasar danau, Snearty mengarahkan setiap gerakan perahunya yang mulai meluncur cepat. Hati Snearty belum tentram, dia masih belum sepenuhnya yakin akan kedua orang yang dia bawa bersamanya. Hanya karena indimidasi sesaat dari Enrico, dia mempersilahkan keduanya naik tanpa Kusko. Dia mulai berpikir apa yang terjadi pada Kusko sebenarnya. Agaknya dia sedikit khawatir.

“Sebenarnya menggangguku ada, aku bertanya bolehkah?”

“Tentang Kusko dan kami? Bukankah itu? tebak Enrico.

“Bukannya aku percaya tidak pada kalian, maaf, bukannya aku percaya tidak, maaf, bukannya aku percaya tidak, tapi…tapi…” katanya lambat-lambat dan gusar.

“Itu sama saja kau tidak percaya pada kami, Snearty,” lanjut Enrico yang lelah dengan gaya bicara Snearty yang agak aneh.

Snearty menggangguk amat perlahan. “Aku hanya bertanya ingin dimana Kusko. Aku ingin hanya bukti kalau kalian ke Goat Hill ingin, memang untuk bukan mencelakai Tuan Témpust,” tanya Snearty menjurus pada tuduhan.

Enrico mendengus pelan, di antara suara nafas kedinginan itu, kencang berhembus nafas Alexa yang begitu tersiksa dengan udara malam yang semakin menggigit. Enrico bingung ketika di hadapkan dengan situasi ini, dia tahu Snearty tidak memiliki cara pikir orang pada umumnya, dia tahu Snearty agak memiliki keterbelakangan, itu terlihat dari setiap senyum dan pandangannya ke Alexa. Dia memiliki obsesi maniak.

“Bukannya aku berbohong, Snearty, tapi aku hanya tak tahu harus membuktikannya dengan cara apa. Maafkan aku, tapi inilah kami yang dibawa Kusko,” kata Enrico pasrah.
Dia melihat ketidakpuasan di mata Snearty.

“Cukup,” sela Snearty.

“Snearty, tapi kami…”

“Cukup, sudah cukup dari kalian bukti. Percaya aku pada kalian,” selanya mengejutkan.
Enrico membenarkan semua pikirannya tadi, Snearty memang agak aneh dalam menilai manusia lain. Sementara itu, danau ini membuat hawa dingin lebih dari seharusnya, Alexa terdiam tak mampu berbuat banyak. Bibirnya mulai beku, tangannya dilipat, kakinya dirapatkan. Enrico tak punya apa-apa lagi selain kemeja pendeta hitam yang melekat di tubuhnya.

………

Cukup lama perahu mulai berjalan. Kanan dan kiri hanya hutan dengan akar-akar berlumut yang menggantung di dahan, mirip seperti ular. Danau ini tidaklah jernih, warnanya keruh mendekati abu-abu. Baunya pun busuk. Seringkali Snearty kesulitan menggerakkan tongkat kemudinya. Enrico pun menyadari apa alasan kesulitan Snearty, sebab sesaat ketika mereka berguncang kecil, matanya melihat tubuh pucat yang masih utuh di dalam air. Bukan hanya satu, tapi banyak, mereka seperti pejuang-pejuang kuno.

Perahu itu merambati danau agak cepat. Lengan-lengan kuat Snearty tak berhenti mendorongnya melaju. Snearty sesekali menengok ke belakang. Dilihatnya Alexa tengah tertidur pulas tanpa gerakan berarti. Dia tak inginkan itu, Snearty kemudian gusar dan berusaha memperingatkan.

“Gadis itu, tertidur apakah? Bangunkan dia, bangunkan dia!”

“Tenang, Snearty. Ada apa dengan masalah itu?” tanya Enrico mencoba rileks.

“Danau Livero tidak damai, danau Livero tidak damai. Pejuang mati banyak di sini. Angker danau ini, bangunkan dia, bangunkan dia!”

Walaupun agak bingung, Enrico menurut saja setelah cukup lama mencoba mencerna kata-kata Snearty yang makin ngawur. Enrico menepuk-nepuk pipi Alexa hingga mata gadis itu mencoba keras untuk terbangun.

“Alexa, bangunlah…aku tahu kau lelah, tapi jangan tidur di sini.”

“Bangunkan dia, bangunkan dia, bangunkan!” seru Snearty lagi.

“Alexa, kau dengar bukan? Kau tak boleh tidur di sini. Bangunlah,” kata Enrico berusaha keras membuatnya terjaga.

Alexa merasa hari ini lebih dari cukup untuk membuatnya terlelap. Dia begitu lelah karena sejak datang ke Mithrillia, dia sama sekali belum punya waktu untuk beristirahat. Kusko terus membawanya berjalan menyusuri beberapa kilometer padang gurun sebelum mereka makan dan minum sejenak di Desa Cordanté. Belum sempat membuat makanannya nyaman di dalam perut, Kusko bergegas membawanya kembali dalam perjalanan hingga mereka bertemu dengan Enrico di perbatasan selatan. Terlibat dalam peristiwa menegangkan di padang ilalang, hingga akhirnya sampai ke sebuah perahu damai yang nyaman untuk memejamkan mata, saat yang paling sulit bagi Alexa adalah membuka matanya.

“Aku…lelah…” jawab Alexa semakin melemah.

“Pak Tua, di sini tempat bukan untuk tidur. Dia mati bisa-bisa oleh roh penunggu danau!” Snearty makin panik, walaupun Enrico menanggapinya dengan kurang serius.

“Memangnya yang seperti itu ada di sini, Snearty?” tanya Enrico agak meremehkan. Enrico juga tak kalah lelah dengan Alexa, namun dia tak mungkin tidur dengan kondisi ini.

“Meremehkan mereka jangan! Mudah mereka marah, kau mati bisa-bisa.”

Perhatian Enrico sedang tertuju pada cahaya biru berekor yang melayang di kejauhan pandangan. Cahaya itu meyerupai sebuah bola api, kobarannya tampak agak keputih-putihan. Damainya cahaya itu, seakan mereka turut membantu ketenangan danau ini.

“Itu dia, Pak Tua!” seru Snearty gemetar. “Itu yang kutakutkan! Itu danau penunggunya. Gadis itu bangunkan!”

Kepanikan yang disuarakan oleh Snearty rupanya mempengaruhi Enrico. Dia menyadari bahaya itu memperhatikan mereka, dan itu menjadi cukup alasan untuk membangunkan Alexa sekuat tenaga. Bahkan sudah beberapa kali tubuhnya digoyang dengan kedua tangannya, Alexa tetap tak bergeming dan hanya menolak untuk bangun dengan kata-kata lemahnya.

Bola api itu merambat semakin dekat, cahayanya menyebar kemana-mana. Lama kelamaan, bentuk bola biru itu berubah, dia lebih mirip seorang serdadu dengan kuda yang ditungganginya sedang berlari ingin menerjang Alexa. Siluet itu memperlihatkan wajahnya tengah berteriak bagi perjuangan.

Alexa memang sedikit terjaga, dia tak melihat serdadu itu sebagai ancaman, justru sebagai sebuah ilusi mata di saatnya sedang mengantuk.

“Alexa, kau lihat serdadu biru itu? Itu nyata, Nak! Bangunlah!”

“Bangun! Bangun! Atau dia akan tubuhmu digunakan sebagai tubuh barunya,” tambah Snearty.

Alexa mendengar suara kedua orang itu sayup-sayup. Begitu sulitnya Alexa menuruti keinginan hatinya untuk terbangun. Bak kilat menyambar, serdadu berkuda biru itu menerjang Alexa. Perahu bergoyang ke kanan dan ke kiri saat semua berakhir. Nyata-nyatanya Alexa selamat, dia berhasil membuka matanya di detik-detik terakhir. Serdadu berkuda biru itu hanya lewat seperti angin, dan menghilang di belakang tubuh Alexa bagaikan serpihan daun kering.
Alexa terperanjat sesaat, dia sempat melihat wajah penderitaan abstrak dari makhluk itu. Kali ini dia menjadi sadar sepenuhnya, lebih dari itu, dia begitu ketakutan, terkejut, cemas, semua bercampur menjadi satu. Sebuah kejutan yang luar biasa bagi orang yang baru saja terbangun dari tidurnya.

“Tadi itu apa, Snearty?” tanya Enrico kebingungan.

“Serdadu Mithrillia itu. Dibunuh mereka mati oleh serdadu Mirage. Dendam mereka pada Mirage dibalaskan ingin. Mereka mencari tubuh untuk melampiaskannya, sebab tanpa tubuh ancaman bukan. Mati dalam dendam mereka, tubuh mereka cari, tubuh siapapun manusia.”

Enrico tertegun dan mengurungkan niatnya untuk sedikit membenci mereka. Kaum mereka adalah kaum tertindas yang telah lama jasa-jasanya dilupakan oleh sesama kaumnya. Penduduk Mithrillia sekarang lebih memilih tunduk dan hidup dalam aturan baru pemerintah Mirage, dibandingkan harus menderita dalam perjuangan seperti yang penunggu-penunggu danau ini pernah lakukan.

“Alexa, tidur jangan lagi. Masih banyak jumlah mereka,” lanjut Snearty.

Wajahnya pucat pasi, dia begitu takut untuk merasakan kantuk kembali. Alexa bermaksud untuk mencuci wajahnya dengan dinginnya air danau. Perahu sedikit miring ketika Alexa mencoba mengulurkan tangannya. Itu memberi tanda bagi Snearty akan bahaya kedua.

“Hentikan! Airnya jangan sentuh! Ditarik kau akan, jangan sentuh!”

Sontak peringatan Snearty membuatnya menarik tangan cepat-cepat. Alexa memandang Snearty penuh terima kasih, tapi dia tetap tak mampu mengucapkannya dalam getar-getar ketakutannya. Gadis remaja biasa itu mencoba menahan seluruh hembusan angin dingin yang coba menjerumuskannya ke alam tidur dengan sekuat tenaga, walau keadaan begitu menggoda.

Bagi Snearty, ini adalah hal biasa. Sudah ratusan kali dia lalui sungai ini dalam puluhan tahun pekerjaannya sebagai penyambung jalan. Danau ini adalah satu-satunya tempat baginya untuk hidup. Pria itu begitu malang, bekerja semalaman hanya ditemani sebatang kail dan sebuah lampu lentera. Hatinya menjadi begitu kesepian dan merindukan kehangatan rumah. Itu yang membuatnya begitu menghargai Kusko sebagai orang yang paling sering menggunakan jasanya.
Snearty tidak membual soal banyaknya bola-bola roh yang masih berkeliaran. Warna mereka beragam—biru, hijau, kuning, merah, hitam, putih. Memang indah, namun di sanalah bahayanya. Mereka menggunakan warna-warna untuk menjebak manusia datang ke Danau Livero. Manusia yang tak tahu menahu pasti akan merasa begitu damai di sini, sehingga mata mereka mulai terpejam dan hilang dalam mimpi, setelah itu mereka tidak akan kembali lagi ke dalam kenyataan. Tak akan.

………

Pagi menjelang, hawa dingin perlahan surut. Di saat suara rombongan burung gagak ke arah Cordante berbunyi nyaring di langit, dilihatnya sebuah daratan, yakni tujuan mereka. Dalam beberapa kayuhan penuh, mereka sampai ke tepian danau. Saatnya bagi mereka untuk memisahkan diri dari Snearty dan berharap dia akan kembali dengan membawa Kusko bersamanya.

“Maaf, kuantar hanya kalian ke sini. Pergilah ke Gabion, dekat dari sana Hutan Whisdur, berbahaya hutan itu, hati-hati. Lalu Celah Grendith, rapuh dinding bukitnya, hingga ke Bukit Grendith, lalu Goat Hill.”

“Kami berhutang padamu, Snearty. Aku ingat jalur itu.”

“Baiklah, pada pedagang berhati-hati. Licik mereka sangat. Beli jangan apapun di sana, di Gabion. Aku pergi Kusko menjemput.”

Punggung bungkuk itu meninggalkan daratan, meninggalkan mereka pula, saat ucapan terima kasih penuh hormat disematkan pada Snearty. Si tua malang itu memang terkadang menjadi begitu mengesalkan, tapi kebaikannya juga patut diperhitungkan. Masa lalu Snearty begitu pedih. Dahulu dia adalah seorang petani bersama dengan seorang istri dan seorang anaknya. Mereka tinggal di sebuah pedesaaan di saat masa penjajahan memang tengah berlangsung. Malam hari, di saat tak cukup baginya kayu bakar untuk menghangatkan seisi rumah, dia meninggalkan istri dan anaknya yang masih sangat kecil. Apa daya, saat dia kembali, dia harus berlari dari kejaran Amon-amon yang mulutnya telah dipenuhi darah istri dan anaknya. Dia juga mengalami sedikit masa pahit dalam perbudakan di Benua Tengah, sebelum berhasil lari darinya dan bersembunyi di Benua Timur hingga kini. Dengan pengalaman itu, Snearty menjadi agak tak waras.

Dengan petunjuk Snearty, mereka melewati hutan dengan pohon jarang, sebelum menempuh jalur menanjak yang panjang. Langkah mereka telah begitu menguras tenaga. Saat sebuah batu terlihat, batu besar itu pula yang langsung menjadi peristirahatan mereka. Mereka dia sejenak memandang sekitarnya. Di hadapan mereka sudah terhampar padang pasir yang menyambut. Mereka bingung bagaimana cara untuk melaluinya, pasti mereka akan mati dehidrasi sebelum sampai ke ujung lainnya. Beberapa kali hembusan nafas frustasi terdengar dari Enrico. Alexa hanya bisa manatap kosong pada gurun yang mencuri semua energinya begitu saja.

“Jadi bagaimana ini, Tuan Enrico?” tanya Alexa tanpa harapan.

“Aku tak tahu, Alexa. Berharaplah sebuah keajaiban membawa kau dan aku melewati gurun ini.”
Lima belas menit kemudian, Enrico mulai gerah dengan kegiatan menunggu, apalagi menunggu Kusko yang belum tentu datang.

“Aku akan mencari jalan lain, mungkin ada jalur bagi pejalan kaki menuju ke Gabion. Kau tunggu di sini Alexa.”

Belum juga tampak ada ide yang menolong setelah beberapa jam mereka di sana. Alexa masih saja duduk diam dengan kepala ditundukkan, sementara Enrico sedang memutar mencari jalur lain. Telah jauh Enrico berjalan hingga tak lagi dapat terlihat olehnya.

Hingga hampir satu jam, Alexa hampir mati oleh rasa bosannya.

Cukup lama Enrico belum kembali, itu sudah cukup membuatnya gusar. Tapi paling tidak dia masih bisa melihat indahnya danau yang masih samar-samar tampak di kejauhan. Kanan dan kiri hanya pasir sejauh mata memandang. Kecuali, satu titik hitam yang mengusik Alexa, sebuah titik yang terdistorsi panasnya setiap butiran pasir. Titik hitam itu seperti menyeruak menjadi banyak ketika melalui batas penglihatan Alexa. Alexa berpikir panjang ketika melihat titik-titik itu mengebulkan debu pasir di setiap jalurnya, dan ketika itu dia sadar kalau yang dilihatnya adalah kawanan manusia berkuda. Sekelompok manusia dengan seorang yang lebih berjalan maju di depan, memutar-mutar rantai di atas kepalanya.

Astaga, Tuhan. Mereka banyak sekali, kemana aku harus berlari?

Dia turun dari batu tempatnya mengintai, dengan sekuat tenaga Alexa berlari kembali ke hutan. Terdengar suara pimpinan mereka berteriak-teriak dengan bahasa setempat, di sela-sela derap laju kuda semakin keras. Dalam keadaan genting, Alexa menemukan tempat rendah di bawah akar-akaran pohon besar yang sinar mataharinya tertutupi dedaunan rimbun. Tanpa pikir panjang, tempat itu dia jadikan persembunyian dari kawanan manusia berbahaya yang mengincarnya.

Pasukan itu akhirnya memasuki hutan yang sama dengan Alexa. Mereka menemui kekecewaan akan hilangnya jejak mangsa empuk mereka. Kepala-kepala bermata tajam itu menoleh kesana-kemari. Kaki-kaki kuda besar itu berdiam di sana dengan beberapa derap yang amat kecil. Wajah sang perompak ditutupi cadar, matanya tajam penuh kejahatan, persis seperti mata seekor elang yang mengintip mangsanya. Satu-satunya suara yang terdengar dalam beberapa saat itu adalah suara dari dengusan nafas kuda-kuda bengis mereka.

La gushiere seirch dad wanam sie!” (Terus cari wanita itu sampai dapat!) Perkataan bernada keras yang diucapkan sang pimpinan.

Dialek itu sebenarnya merupakan bahasa asli dari penduduk Benua Selatan dan pulau-pulau sekitarnya. Itu cukup menunjukkan darimana asalnya para bandit ini. Alexa begitu ketakutan mendengarnya, dia melipat badannya sedemikian rupa, berharap tak satupun arah pandangan datang padanya.

“Lihatlah! Kurasa aku dapatkan dia! Akan kusergap dia!”

Alexa terperanjat kaget setengah mati ketika bawahan pria itu meneriakkan kata demi kata yang membuatnya risau. Pikiran dangkal Alexa menyuruhnya untuk segera meninggalkan persembunyiannya dan segera lari menjauh, dan itupun dilakukannya, bahkan sampai kakinya agak tersandung-sandung.

Bieder wanam! Elcantraped sie!” (Wanita bodoh! Dia terjebak!)

Bodohnya aku!

Kuda-kuda berwarna gelap dan bertubuh kekar itu melintasi jalurnya dengan cepat, Alexa sudah dekat dengan tangan-tangan perampas mereka. Entah darimana gerangan asalnya mereka ini, yang jelas Alexa benar-benar berpacu dengan bahaya di saat Enrico dan Kusko yang membawanya ke sini, menghilang ditelan situasi.

Crates vou!!” (Dapat kau!) suara itu dekat sekali dengan telinga Alexa.

Mereka mengitari Alexa yang kebingungan. Lalu salah satu dari mereka turun dari atas kudanya. Semua pria ini jumlahnya ada enam orang, semuanya bercadar hitam dan mengenakan pakaian cokelat pasir seperti khafillah. Kuda-kuda mereka juga berwarna gelap seluruhnya.

“Lihat apa yang kita dapatkan di sini?” seru salah seorang anggota mereka.

“Seorang wanita cantik tanpa kawalan,” kata sang pimpinan yang turun langsung. “Sesuai dengan perintah Yang Mulia. Pikirkan apa yang akan kita dapatkan bila membawanya ke tenda.”

Dia juga berjalan mengelilingi Alexa pelan-pelan. Dia memandang gadis itu penuh kepuasan tersendiri. Pria yang jauh lebih besar dari Alexa itu memperhatikan seluruh tubuh Alexa dari atas sampai bawah. Gadis itu berdiri kaku. Dia tak tahu-menahu harus melakukan apa.

“Siapa kalian ini? Tolong jangan sakiti aku,” pinta Alexa bergetar, di tengah kecemasannya.

Raut wajah Alexa mengkerut ketakutan, nafasnya begitu tak teratur. Kaki-kakinya menapak pada daun-daun kering yang rapuh, terjadi suara daun rapuh yang susul-menyusul di sana.

“Ikat saja dia. Pimpinan harus tahu tawanannya dalam keadaan baik-baik saja hingga sampai padanya,” kata pimpinan mereka dengan pandangan mata menusuk wajah Alexa.

Dengan sekali pukulan mendadak di leher belakang, Alexa tak dapat lagi berdiri tegap. Dia terjatuh bagai boneka. Tali temali mengikatnya erat. Gadis itupun hilang dari sana, terbawa oleh rombongan perampok misterius.

………

Alexa? Dimana dia?

Pak Tua itu gusar sesudahnya, dia membetulkan kacamata bulatnya untuk melihat jelas pada jejak-jejak peninggalan kuda-kuda tadi. Hatinya pun menyalahkannya karena melupakan perintah Kusko. Dia tak tahu Alexa akan menjadi incaran di sini—apalagi menurutnya dia pergi tak begitu lama. Dia menunduk rendah dan menyapu sedikit tapak kuda itu. Dengan kedalaman jejak, kuda mereka pasti amatlah berat, tak mungkin jejak mereka bisa dihapus dengan mudah.
Enrico menyusuri jejak itu hingga membawanya ke tempat dimana Alexa dibawa. Tak ada tanda-tanda lain di sini, tapi seseorang yang berlari dari depan mengejutkannya.

“Enrico, dimana Alexa?” serunya gusar. Nafasnya masih belum teratur.

“Syukurlah kau bisa datang ke sini, Kusko.”

“Aku ke sini bukan untuk mendengarmu mengkhawatirkanku. Apakah kau menjaga Alexa dengan baik?”

Kusko harus menunggu-nunggu jawaban Enrico. Beberapa detik kemudian barulah Enrico menjawab, dia bingun harus berkata apa.

“Sayangnya, saat aku meninggalkannya mencari jalan putar untuk menyiasati gurun, Alexa pergi entah kemana. Aku curiga sekawanan orang menculiknya. Tapak kuda mereka membawaku ke sini. Aku minta maaf, Kusko,” jawab Enrico penuh sesal.

Wajah Kusko mendadak sedikit berubah bingung. Dia sama sekali tak menanggapi permohonan maaf dan rasa sesal pak tua di hadapannya. Bila keadaan sudah seperti ini, dia hanya tahu satu hal yang bisa menyelamatkannya. Insting. Benar, Kusko memiliki penciuman dan pendengaran yang tajam. Dia bisa menemukan kemana penculik Alexa pergi. Sebenarnya itu adalah kemampuan dasar para Bounty Hunter untuk bisa mendeteksi keberadaan incaran mereka. Sekarang, Kusko memakainya. Dia menoleh ke satu-satunya arah yang dia yakini sebagai jalan para bandit itu.

Mereka terus berlari ke arah barat hutan, melewati sebuah sungai dangkal, melalui padang rumput kering yang terbuka. Langit kelabu memayungi langkah mereka yang tergesa-gesa, penuh kegusaran. Matanya tak bisa lepas dari keseriusannya, hidungnya tak berhenti mengendus, telinganya tak berhenti melacak suara tapak kuda-kuda itu.

“Aku bisa mendengar mereka, Enrico. Mereka tidak jauh lagi dari sini. Aku rasa mereka pergi ke lembah itu,” kata Kusko sambil menunjuk sebuah lembah kaku.

Lurus dari lembah berbatu itu, ada sebuah kemah-kemah besar yang didirikan sekelompok orang. Penghuninya kira-kira berjumlah lebih dari 25 orang, dan kuda-kuda besar itu dikekang di dekat pagar luar. Mereka sudah lama tinggal di sini, itu terlihat dari lusuhnya tenda dan banyaknya sampah dapur yang berupa tulang. Mereka berdua tengah mengintai dari atas bukit landai, agak jauh dari sana. Tanpa disadari, langit yang agak kelabu membantu menyembunyikan keberadaan mereka berdua. Dan menurut kepercayaan setempat, saat ini Dewa sedang memberkati pekerjaan Kusko.

“Kau yakin Alexa dibawa ke sini, Enrico?” bisik Kusko.

“Lihat kuda-kuda itu! Mereka besar dan tampak berbobot besar pula. Hanya kuda seperti itu yang bisa membuat jejak seperti tadi. Sepertinya ini kemah para bandit, Kusko.”

“Mereka pengganggu. Sejauh yang kutahu, mereka tak memihak manapun di dunia ini. Mereka hanya bisa menjarah dari siapapun yang lengah. Tapi dengan peristiwa penculikan Alexa ini, aku tahu ada pihak yang menunggangi mereka,” sebut Kusko. “Enrico, kau serang langsung dari depan karena kau yang terkuat. Aku akan menjemput Alexa selagi mereka lengah. Kau bisa?”

“Jangan tanyakan itu padaku. Para bajingan ini biar aku yang hadapi,” jawab Enrico tegas.

Enrico berlalu dengan kedua sabit dihunuskan ke depan, kontan itu menarik perhatian banyak orang di sana. Anak panahpun segera menghujani Enrico. Pendeta bernama Enrico itu berhasil menggagalkan serangan panahnya. Kemudian kegagalan itu disambut dengan serangan baru. Beberapa orang terdepan maju mencoba menghentikan Enrico. Bagi dia yang tak kuasa melanggar Hukum Taurat ke-6 untuk tidak membunuh, darah bukanlah barang aneh. Segeralah sabitnya berputar-putar mengoyak tubuh musuhnya hingga darah tercurah ke atas tanah. Rombongan penyerang awal itu hampir lumpuh sepenuhnya saat tiba-tiba datang lagi pengacau lainnya.

Saat Enrico van Luigi sedang sibuk dengan urusannya sendiri, Kusko memutar arah ke belakang kerumunan orang. Strateginya cukup berhasil, mengingat posisi Enrico berada di atas angin walaupun mereka menyerang berkelompok. Mungkin ada beberapa ‘kecoa’ kecil yang cukup mengganggunya, tapi itu tak cukup untuk menghentikan Sang Bounty Hunter.

Bau tubuh Alexa membawanya pada tenda terbesar dari semuanya. Tenda itu berbentuk melingkar dengan ujung atap meruncing. Kain cokelat yang digunakan untuk tenda ini dikenalnya sebagai kain dari Benua Selatan. Dia yakin kalau gerombolan pengacau ini adalah para Serigala Pasir, bandit terkenal di sana. Instingnya tepat membawa Kusko kepada Alexa. Gadis itu tengah terikat kuat di sebuah dipan dari kayu. Dipan itu memiliki ukiran-ukiran indah yang menjadikannya tampak bernilai. Dialasi dengan sutera dan dikelilingi bantalan-bantalan kecil berwarna pastel. Di hadapannya, seorang pria sedang menikmati wajah Alexa, sembari menikmati setiap asap yang dia hisap dari pipa tembakau.

Tak banyak basa-basi, Kusko menghunus keluar pedangnya. Dia bermaksud menebaskan logam tajam pada pria berwajah licik itu, namun pedangnya tertahan. Kekuatan yang menahan pedangnya terasa begitu mengerikan. Kusko menggeliat tangkas, mencabut pedangnya dari tangan yang menahannya lalu mundur beberapa langkah untuk melihat keadaan.

“Mithrillia Kusko, seorang Bounty Hunter tanpa masa lalu. Senang sekali menyambut kedatangan orang setenar dirimu di sini. Silahkan duduk sejenak, sementara aku menegosiasikan harga gadis ini pada tamuku yang lain,” kata pria berkulit agak hitam, yang duduk di kursi.

“Aku baru ingat sekarang…kau pasti Tammil Ibrahim. Pedagang termashyur di ranah Gabion, aku baru tahu kalau kau pimpinan para perompak ini. Sepertinya tamu lainnya tak asing pula bagiku.”

“Jangan memulai hal yang tak penting, Kusko. Seorang pengawalku di luar untuk membereskan rekanmu itu, aku hanya ingin melakukan transaksi yang aman dan nyaman,” jawab orang ketiga itu.

Kusko merasa sudah cukup baginya untuk dipermainkan oleh kedua orang ini. Dia ingin secepatnya mengambil Alexa dan pergi dari tempat ini.

Lord Demetria Avalen, adalah pangeran dari Benua Tengah, keturunan langsung dari Raja Mirage. Wajahnya lebih dingin ratusan kali daripada Kusko. Demetria adalah makhluk tak berhati, tak berperasaan atau berprikemanusiaan. Rambut panjang putihnya yang nyentrik itu sudah menjadi pertanda buruk bagi orang-orang. Tubuhnya lebih kecil dari Témpust. Tapi dia adalah orang yang paling ditakuti dan disegani di seluruh Mithrillia. Menatap bola mata merahnya saja sudah membuat nyali luntur seketika.

“Maaf, Yang Mulia. Tikus ini pastinya mengganggu anda. Aku akan menyuruh anak buahku membereskannya,” kata Tammil bersiap berteriak memanggil.

“Percuma bila kau lakukan itu. Lihatlah keluar, anak buahmu tak lagi bersisa. Semua itu karena seorang pria tua yang datang bersama Kusko,” selanya menyindir. “Yang kusarankan adalah supaya kau pergi dari sini sebelum tubuhmu juga ikut terbakar oleh api Gyoudrim di luar sana.”

Lalu terdengarlah raungan yang begitu besar dan tebal dari seekor makhluk yang sepertinya tak kalah besar dengan suaranya. Berkali-kali suara itu datang dan menghilang, suara menggetarkan dari seekor naga bernama Gyoudrim. Naga itu sedang bertarung dengan Enrico, sudah jelas walau tak terlihat pun, Enrico sedang terpojok. Keberingasan raungan sebesar itu cukup menggambarkan keadaan di luar. Tammil Ibrahim mengambil langkah seribu, tepat setelah dilihatnya naga itu dari balik tendanya.

Kusko memandangi kepergian pedagang licik itu tanpa bisa berbuat banyak. Di hadapannya seorang Demetria Avalen sudah berdiri tegap. Pandangan matanya membuat Kusko gemetar.
Demetria bergerak mendadak seperti kilat. Dia menerjang tubuh Kusko hingga terhempas keluar dari tenda. Belum sempat Kusko berdiri, Demetria datang, meraih tubuhnya dan dilemparnya ke udara. Kusko mencoba menyiagakan tubuhnya, dia bersiap dengan pedangnya untuk dihujamkan ke tanah, tapi Demetria melompat untuk meraih lengan Kusko dan meremukkan tulang-tulangnya. Pedang kebanggaan Kusko pun terlempar dari genggamannya, sudah jelas tangannya pun patah. Cukup keras Demetria menghempaskan Kusko dengan kakinya ke bawah, Kusko membentur begitu keras ke tanah.

Penglihatan Kusko mendadak kabur, sulit baginya untuk melihat dengan jelas. Apalagi debu-debu tengah mengitarinya. Tubuhnya tak lagi mau menurut, dia terlalu lelah setelah pertarungan dengan delapan Amon semalam. Mendadak maut seperti akan datang padanya, sebuah kesialan dimana dia harus berhadapan dengan musuh bebuyutan Témpust yang tak bisa dikalahkan oleh Témpust sekalipun.

Suara tapak kaki Demetria yang mendekat, hanya itu yang didengarnya jelas.

“Sudah cukup kau hidup sebagai Bounty Hunter tak berguna, Kusko. Kelincahanmu, ketangkasanmu, dan kecerdikanmu tak akan berguna untukku yang memiliki semua itu sepuluh kali lipat darimu. Katakan padaku, apakah kau berada di pihak pejuang, atau di pihakku? Mungkin nyawamu akan kuampuni,” kata Demetria dengan suara anggunnya. Demetria tengah memandangi Kusko yang terbaring di atas tanah.

Saat hening antara mereka berdua, debu-debu perlahan mulai surut kembali ke tanah. Retakan-retakan di atas permukaan tanah mulai terlihat jelas.

Dua sisi begitu membara. Di sudut lain Enrico tengah bertarung habis-habisan dengan seekor naga bertubuh keras seperti baja. Saat ini, Enrico impas, tapi sekarang bukanlah keadaan yang menguntungkan di pihak manapun, baik Kusko maupun Enrico, apalagi Alexa. Di sisi lainnya, Kusko tengah mempertaruhkan hidupnya pada selembar kata-kata yang dipersiapkannya untuk meluncur keluar.

“Coba saja kau tebak berada di pihak mana aku ini? Bukankah sudah jelas, Pangeran?” jawab Kusko dengan nada yang menjengkelkan. “Tak sedikitpun namamu menggetarkanku, tidak sedikitpun…”

Senyum Demetria memudar, berganti dengan geraman tak bersuara.

Kusko bertanya-tanya mengapa Demetria mendadak terdiam. Tapi pertanyaannya terjawab saat melihat hal menjijikan yang dilakukan oleh Demetria. Dia mengadahkan kepalanya ke atas, kemudian memasukkan tangannya ke dalam mulut. Beberapa saat kemudian terlihat Demetria menarik keluar sebilah pedang dari sana. Kusko bisa melihat logam itu diselimuti oleh lendir-lendir. Namanya pedang Astaroth, senjata yang ditempa dalam panasnya Kuil Astaroth di wilayah api abadi Midianor. Pedang tipis namun tebal itu memiliki gerigi yang dapat menyiksa lawannya di setiap gesekan yang dibuat dengan tubuh korban.

“Kau mau membunuhku? Bunuh saja, maka adikmu itu akan mengalami kematian yang sama,” gertak Kusko saat Demetria mulai mengangkat pedangnya.

“Iscariot?” Demetria tampak berpikir sejenak, untuk sementara Kusko berpikir kalau strateginya berhasil, tapi ternyata dia salah besar. “Bila mati, matilah, pergilah menghadap Midianor.”

Kusko memejamkan matanya, seakan ini akhir dari hidupnya. Walaupun kata-kata dari mulutnya adalah kenyataan, namun Demetria sekali lagi membuktikan kalau dia bukanlah makhluk dengan perasaan. Meskipun membunuh Kusko berarti juga membunuh Iscariot, adiknya, tapi dia tak peduli.

Tahun-tahun dilalui Kusko berdampingan, berjalan di bawah perintah Si penyihit Iscariot. Kecerobohan telah membawanya menjual jiwa berharga kepada Iscariot, demi sebuah kejayaan yang lama diimpikannya. Satu demi satu orang terdekatnya menjadi korban—terenggut perlahan-lahan. Dia sendirian, hanya ditemani oleh hartanya yang menggunung tinggi, namun itu semua hanya kefanaan belaka. Hingga akhirnya kutukan itu patah, keterikatan musnah, melalui sebuah perjuangan panjang melalui maut dan penghadapan pada Sang dewa Maut, Midianor Si Api Abadi.

Berat hati manusia sebelum Kusko itu meninggalkan seluruh gelimang hedonisnya, berjalan di jalan tanpa tujuan, hingga akhirnya bertemu dengan Sang Tuan yang mau memberikannya petunjuk kehidupan. Bounty Hunter, Mithrillia Kusko, sebuah nama baru baginya, tahun demi tahun dia jalani dengan titah Tuannya. Hingga akhirnya tiba, saat ini, dimana Kusko mendapat amanat penting, tibakan Alexa di Goat Hill dengan selamat.

Namun di depan matanya sekarang, kilatan-kilatan pedang Astaroth begitu damai. Walaupun dia belum sempat menyelesaikan amanat Tuannya, tapi akhir memang sering datang tiba-tiba. Dia tak sanggup lagi lebih lama membayangkan akan seperti apa rasanya disayat dengan pedang sesadis itu.

Tiba-tiba niatan Demetria itu buyar. Sebuah anak panah datang membantu memperpanjang usia Kusko. Anak panah itu menembus bahu kanan Demetria dengan tepat. Demetria urung mengganas, dicabutnya anak panah itu, diperhatikannya bentuk mata panahnya. Demetria yang tadinya begitu tenang berubah drastis, dia mematahkan anak panah itu dan mencari-cari dimana pembidiknya.

“ Témpuuuuuuuuuuuust!!” teriaknya begitu marah.

Pria yang dicarinya berada di perbukitan. Janggutnya hitam tebal, rambutnya tipis. Banyak sisa sayatan berbekas di wajahnya, hingga kesan sangar begitu kuat. Tubuhnya besar, kekar dan kokoh. Kuda hitam menemani sang pejuang hingga sampai ke tenda-tenda para bandit. Di kanan dan kirinya, turut menemani sang pejuang adalah Ivander dan putranya, Bader.

Lampros Témpust.

“Mengapa bisa sampai terjadi kerusuhan semacam ini? Apakah gerangan yang dilakukan Gyoudrim dan Demetria di tempat ini?” gumamnya heran. “Bader, lihatlah Kusko di sana, pergi dan bawa dia dari sana. Kemudian, Ivander, pria tua bernama Enrico itu temanmu, bantulah dia. Demetria adalah bagianku.”

Lecon membawa Ivander menghunuskan pedang Obelisk ke arena pertarungan.. Nafas sang naga terasa begitu panas membara, sama seperti luapan semangat Ivander sekarang. Naga ini lebih besar dari naga yang dilawannya di Detroit, tampaknya juga jauh lebih kuat. Ivander jadi terpikir bagaimana Enrico bisa menahan naga ini selama itu.

Sementara di sisi lain, Témpust dan Demetria saling berpandangan dalam amarah yang begitu membludak tinggi. Suara desingan pedang Témpust yang baru saja tercabut membuat semuanya terasa akan semakin seru. Témpust meninggalkan kudanya di belakang, sambil mengibas-ngibaskan pedangnya, Broad Sword. Terbayang seberapa kuat tenaga Témpust yang dikeluarkan dalam sekali tebasan penuh.

Perselisihan itu seakan membuat Kusko bernafas lega.

Tapi Demetria, dia bukanlah seorang pengelana tanpa aturan, dia adalah pangeran, hanya meneruskan titah raja. Sampai saat ini, belum ada perintah dari raja untuk membawakan kepala Témpust padanya. Itu yang menghalangi dendam Demetria pada Témpust.

“Demetria, sudah beberapa tahun berlalu sejak pertemuan terakhir kita. Kau masih saja tampak seperti saat itu. Mungkin akan ada sedikit perbedaan yang terjadi di sini. Aku akan membuat kau kehilangan nafasmu.”

“Aku merasa terhormat, Témpust. Aku telah mengerahkan ribuan massa untuk menangkapmu, dan mereka gagal. Tapi justru kau yang datang seperti kado di hari ulang-tahunku.”

Dua musuh bebuyutan itu meresapi setiap dendam dalam hatinya. Di satu sisi, Témpust menaruh dendam karena belum juga berhasil mengkudeta satupun benua akibat halangan Demetria, di sisi lain Demetria dendam pada Témpust akibat kegagalannya menjalankan mandat untuk menyingkirkan Témpust sebelum Lacuna Syndrome dimulai. Perselisihan antara keduanya baru saja dimulai pada saat Témpust datang ke Benua Tengah untuk mencuri batu Oriel. Sejak itu, mereka saling berseteru walaupun amat jarang bertatapan langsung. Kini, pertemuan mereka terjadi lagi. Masing-masing telah siap dengan senjatanya, Demetria dengan pedang Astaroth miliknya di tangan kiri, dan Témpust dengan Broad Sword di tangan kanannya.

Teriakan Témpust yang memulai.

Demikian dentingan logam itu berbunyi seperti dentuman meriam kapal perang, bukan lagi seperti dua logam yang bertabrakan. Broad Sword milik Témpust memiliki berat yang merepotkan Demetria, dan panjangnya Astaroth milik Demetria membuat Témpust harus ekstra hari-hati, dan yang lebih membahayakan lagi adalah sisi-sisi Astaroth Demetria yang bergerigi, mampu merobek apapun yang ditebasnya dengan begitu ringan. Beberapa kali Astarorh bergesekan dengan Broad Sword, Témpust bisa merasakan gerigi itu merusak mata pedangnya.. Tapi dia juga tahu mata pedang Demetria akan rusak lebih cepat bila dia terus melakukan itu.

Di tengah keributan dua pihak dan kobaran api naga, Bader mengambil celah sempit untuk menarik Kusko dari medan pertarungan. Awalnya, pemburu bayaran itu tak sanggup lagi membuka matanya karena rasa sakitnya luar biasa. Namun guncangan dari atas kuda membangunkannya untuk segera menginterupsi tindakan Bader. Bagaimanapun, Kusko menganggap Alexa jauh lebih berharga daripada dirinya untuk dibawa ke Goat Hill.

“Bader…Bader saudaraku,” rintihnya mengaduh.

“Ada apa, Kusko? Apakah rasa sakit itu begitu mengganggumu?”

“Jangan bawa aku bersamamu. Bawa saja Alexa ke Goat Hill. Tinggalkan aku di sini, aku akan menyusul.”

“Alexa? Siapa Alexa itu?” Mendadak Bader menghentikan kudanya.

“Dia seorang gadis di dalam tenda milik Tammil. Tolong cepatlah, turunkan aku dari atas kudamu. Api Gyoudrim bisa kapan saja membakar tenda Tammil.”

“Tapi Kusko, lukamu amat parah. Kau tak akan mampu menyembuhkannya sendirian,” sanggah Bader ngotot menolak Kusko.

“Tolonglah, Bader. Tuanku telah memerintahkan aku untuk membawa Alexa ke kotamu. Aku tak mungkin mengabaikan tugasku.”

Bader terpaksa benar-benar menghentikan Silver Wind, kudanya putihnya yang elegan. Dia mulai memutar arah kembali ke tenda utama Tammil. Kemudian dia memacu kudanya ke persandaran terdekat bagi Kusko.

“Kalau bukan karena kau seorang Bounty Hunter yang wajib mematuhi Tuanmu, aku tak akan melakukan permintaanmu, Kusko.”

Bader menurunkan Kusko di bawah sebuah pohon kering. Kemudian dia memecut kudanya berlari kencang menuju tenda Tammil. Di kanan-kirinya api sudah mulai berkobar besar. Beberapa tenda bahkan telah hangus menjadi abu hitam. Secepatnya dia pergi ke tenda terbesar. Bader membantu Alexa melepaskan belenggu di tangan dan kakinya, tapi tanggapan Alexa muncul tidak seperti dugaannya.

“Kaukah Alexa? Namaku Lampros Bader, putera Témpust. Mari ikut denganku ke Goat Hill. Kita harus cepat sebelum api merambat ke sini,” ajak Bader tergesa-gesa.

Alexa dipenuhi keraguan. Dia menolak ajakan itu dan memilih mundur ke belakang seakan Bader adalah ancaman baru baginya. Matanya mencari-cari senjata untuk mempertahankan dirinya. Tapi dia tak menemukan satupun alat pertahanan diri.

“Apakah kau mencoba menipuku? Dimana Tuan Enrico?”

“Pria tua itu sedang menangani hal yang lebih penting. Aku janji akan kupertemukan kau dengan Kusko di luar. Ikutlah denganku menuju tempatnya. Keadaan di sini berbahaya bagimu!” kata Bader tak kalah tegas. “Percayalah sekali ini!”

Gadis itu tak terlihat beranjak dari pendiriannya. Itu cukup memberi alasan bagi Bader untuk menarik tangannya kencang-kencang dan memaksanya berlari. Walaupun sedikit meronta, Bader berhasil menaikkannya ke atas Silver Wind. Dibawanya Alexa ke pohon kering barusan. Tak disangkanya Kusko tak lagi berada di situ. Tetesan darah Kusko tercecer di sana.

“Aku yakin dia tadi kuturunkan di sini.” Bader menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan. Bader tak tahu bagaimana Kusko yang tengah terluka bisa menghilang begitu cepat.
“Dimana Kusko?”

“Turunkan aku, Penipu!”

“Hei, Gadis Manja! Jika kau tak percaya juga, lihatlah ke belakang!” bentak Bader menghentikan rengekan Alexa. Agaknya dia tak mengerti maksud Kusko untuk membawanya ke Goat Hill. Dia juga mulai jengkel dengan gadis itu.

Dengan rasa tak percaya yang menumpuk, Alexa memalingkan pandangannya ke belakang. Dia tak sanggup mengeluarkan kata-kata lagi ketika melihat Gyoudrim yang menyeramkan dari jauh. Sayap-sayap lebar itu mengibaskan ketakutan, sekaligus kekaguman bagi Alexa. Naga itu terbang begitu kokohnya di atas langit luas. Tak henti-hentinya dia menyemburkan api. Dia tak bisa berhenti menatap takjub pada Guardian yang seharusnya berbahaya itu.

“Cukupkah itu, Alexa? Bukankah itu bukti yang cukup?”

“Tapi…aku tak…”

“Sudahlah, tak ada yang bisa kau perbuat di sini. Adalah tugas Kusko untuk menghantarmu ke Goat Hill, namun dia tak mampu melakukannya sebab pria berambut putih di sana sudah membuatnya babak belur. Sebagai gantinya, aku yang akan menghantarmu.”

Silver Wind pun berlari meninggalkan tempat itu. Meninggalkan arena pertempuran terpanas di siang hari ini. Matahari seolah menjadi penonton konfilk antara tiga pihak ini, matahari pula yang memperparah situasi dengan radiasi pancaran sinarnya yang begitu membakar kulit.
Pertarungan Témpust dan Demetria terjadi bagaikan sambaran guntur di siang hari. Tiap benturan terisi dengan tenaga-tenaga penuh. Tapi sangat pasti, perpisahan beberapa tahun dengan Demetria membuat Témpust makin menua. Stamina dan ketahanan tubuhnya makin menurun kian hari. Dia merasakan momok bernama kelelahan itu sudah datang, di saat Demetria belum juga terdesak. Lalu sebuah benturan besar lainnya membawa Témpust melompat mundur jauh ke belakang.

“Ada apa, Témpust? Aku mulai takut perjuanganmu melawanku akan terhenti karena usia. Kau sendiri yang menyingkapkan kelemahan kaummu,” kata Demetria bermaksud meremehkan. “Dibandingkan dengan ras lainnya, manusialah yang paling lemah dan tak layak hidup, contohnya seperti kau!” Dengan posisi menyerang, Demetria terus berusaha meluapkan kebenciannya pada Témpust. “Sayang sekali belum ada perintah lanjutan dari Raja Mirage untuk menanganimu. Kau orang yang beruntung.”

Sedikit sekali kesempatan untuk mendengar kemarahan Demetria membludak. Sikap dinginnya terlalu keras untuk dihancurkan oleh emosi sesaat. Hanya Témpust, satu-satunya manusia, bahkan dari seluruh ras Mithrillia, yang mampu membuat Demetria berkata-kata penuh emosi.
Témpust hanya diam menanggapi mulut besar Demetria. Baginya, satu-satunya alasan mengapa dia belum bisa menggerakkan penduduk Mithrillia, adalah karena orang yang tengah berdiri di hadapannya sekarang. Mustahil Témpust bisa membunuh orang ini. Saat ini otaknya tengah berpikir mencari akal untuk menyelesaikan pertempuran dan kembali ke Goat Hill. Saat dilihatnya ke pertarungan lain, Témpust juga menyadari kalau Gyoudrim tak akan bisa dilukai hanya oleh dua orang bersenjata tajam.

Pertempuran Témpust dan Demetria dimulai kembali, seiring sang Guardian terus menggemakan raungannya ke udara, menghembuskan nafas apinya hingga tenda-tenda menjadi lalapan api. Perlahan kain-kain dan kayu yang digunakan untuk membangun tenda sudah hilang menjadi abu.

Keringat sudah mengaliri dahi dan seluruh tubuh Enrico bak sungai deras. Ivander juga mulai sulit untuk berkonsentrasi pada gerakan naga yang terus menghasilkan sepakan angin besar. Debu-debu beterbangan olehnya, pandangan ke arah naga jadi sulit. Ekor Gyoudrim yang penuh duri nyaris saja beberapa kali melukai Ivander.

“Naga ini tangguh sekali. Berbeda dengan naga yang kutemui di Detroit,” kata Ivander menyelangi keseriusan mereka.

“Kau hanya bisa lihat naga secantik ini langsung di Mithrillia. Mungkin kau baru saja membunuh satu di Detroit, tapi aku yakin tidak sealot ini,” Enrico tersenyum memaksa, mencoba memaknai arti naga ini dari sudut pandang lain.

Gyoudrim sudah kelelahan jua, dia lebih banyak mengibaskan ekornya daripada harus terbang dan menyembur api. Dalam beberapa menit kemudian, mendadak Gyoudrim meraung keras-keras hingga seluruh bukit menggemakan suaranya. Demetria tahu itu artinya pulang. Gyoudrim telah lama menjadi perpanjangan mulut Raja Tertinggi di Mirage kepada Demetria. Tapi kali ini, raungan itu lebih dalam dan bermakna dibandingkan apa yang sudah telinganya dengar berkali-kali.

“Ada apa dengan nagamu itu, Demetria? Sepertinya dia sudah terdesak?” sindir Témpust saat menyerang balik Demetria di tengah pertarungan sengit.

Demetria muram, wajahnya tak segembira tadi. Dia melompat mundur, jauh dari Témpust yang nafasnya mulai tersengal-sengal. Beberapa kali terdengar Demetria menggeram. Kali ini bibirnya terlihat membuka, sebuah bahasa asing dirapalkannya.

Im Gyoudrim, les Munua! Kadar!” seru Demetria sambil mengacungkan kelima jarinya pada Gyoudrim.

Ini mengingatkannya pada kebodohan Tempust di masa lampau. Walau sampai sekarang pikiran yang dianggapnya sebuah kebodohan itu belum juga menemukan solusi terbaik.

Dengan penguasaan Demetria pada bahasa naga, dia sempat berpikir lawannya itu adalah keturunan Lord Bordock. Sebab dari seluruh Avalen yang kisahnya terhembus, Demetria adalah yang terganjil. Ketamakan Avalen tak tampak padanya. Lagipula hanya keturunan Incargot yang bisa berkata-kata pada naga. Awalnya, dia sempat berpikir, Demetria lah Sang Terpilih itu.
Buru-buru Témpust menepis kembali pikiran itu.

“Ini menguatkan pernyataanku tadi, Témpust. Kau memang orang yang beruntung. Gadis itu akan kurebut darimu, sekali lagi kau beruntung puteramu membawanya pergi,” kata Demetria dengan senyum yang entah melambangkan perasaan apa, entah meremehkan Témpust, atau kesal karena ditarik mundur.

Gyoudrim mengepakkan sayapnya, menjemput Demetria ke atas punggungnya. Lalu dengan kepakan cepat mereka membumbung tinggu di angkasa.

Saat tempat itu sudah hancur lebur—Mayat bergelimpangan di mana-mana, asap tebal mengebul hingga ke langit, tenda-tenda hancur berantakan—yang tersisa hanya tiga orang yang hanya menyisakan semangat tanpa tenaga yang cukup untuk meladeni pertarungan lainnya lagi. Pertarungan sesaat itu telah selesai, bukan untuk selamanya, hanya tertunda beberapa saat sebelum pertarungan terbesar digelar.

0 comments:

Post a Comment