Tuesday, 23 February 2010

A tale by Chris Nugroho

“Suatu kehormatan bisa bertemu lagi denganmu, setelah beberapa tahun wajahmu menghilang dari sini, Enrico. Aku sudah mendengar dari orangmu kalau batu itu mulai bersinar lagi. Namun di sini, batu itu sama sekali belum menunjukkan itu,” kata Témpust saat menunggang kuda hitamnya. “Saat pertama aku bertemu dengan Ivander, seekor elang bernama Reape langsung membawa Oriel ke Goat Hill. Aku harap batu itu sudah merubah warnanya saat kita tak melihatnya.”

Matahari begitu terik memanggang miliyaran lebih butiran pasir dan apapun yang berada di atasnya. Mereka sering melewati tulang belulang dari makhluk yang pernah tersiksa di sini. Satu-satunya cara untuk mencapai Gabion memang hanya melintasi gurun ini. Tapi mereka sama sekali tak bermaksud pergi ke kota komersial itu. Bagi seorang Témpust, Gabion adalah boneka Kerajaan, mereka tak lebih dari seekor sapi perah. Tak terbayangkan berapa banyak pajak yang dibayarkan para pedagang hanya untuk berjualan di sana. Témpust tak habis-habisnya berpikir mengapa para pedagang masih saja menurut untuk setiap kekangan yang jelas-jelas merugikan mereka. Yang dia tahu, di kota ini bersebaran para Abodh penjaga.

Tujuh tahun sudah sejak Gabion berubah menjadi kota perdagangan termashyur di seluruh jagad Mithrillia. Dari kejauhan mereka bisa melihat belasan menara dari batuan cokelat muda yang menjulang. Tembok-tembok mereka semakin tinggi dari semula. Pembangunan tembok itu sudah dilakukan sejak empat tahun lalu dan selesai setahun sesudahnya. Enrico tahu apa itu Gabion di masa lalu. Sekarang dia hanya bisa terpana melihat kemajuannya. Tapi hanya itu saja. Peradaban di negeri ini belum bergeser, sama sekali.

“Aku juga hanya mendengar cerita itu dari orangku, Témpust. Sudah lama aku beristirahat dari kegiatan ini, namun aku diberitahu akan adanya gerakan dari batu itu. Pada intinya kau dan aku sama-sama belum melihat sinar batu Oriel.”

“Aku melihatnya,” potong Ivander. “Saat itu sinarnya begitu indah, kalian pasti tertegun ketika suatu saat melihatnya kembali. Sungguh, aku dan Flavio menjadi saksi sinar biru Oriel,” tambah Ivander.

“Sebaiknya batu itu cepat bersinar ketika kita kembali ke Goat Hill. Mithrillia makin terpuruk, walaupun tampaknya mereka masih menikmati kehidupannya. Sebaiknya kita percepat langkah kita.” Témpust menambah laju kudanya bertahap, yang lain turut mengikuti di belakang.

Kuda-kuda besar itu menderap mengikuti arah angin berhembus. Letak Gabion yang berada lebih rendah dari padang pasir membuat kota itu menjadi arah perginya angin. Kuda-kuda Mithrillia tampak jelas lebih baik daripada kuda-kuda Maya. Kuda mereka bisa bertahan dari situasi panas dan dingin. Postur tubuhnya juga rata-rata lebih kekar dan tapaknya lebih besar. Kuda-kuda itulah yang membawa mereka bertiga melintasi gurun hingga beberapa kilometer lagi akan tiba di Gabion, kota para pedagang.

………

Mereka merapati tembok perbatasan Gabion yang begitu angkuh berdiri. Bisa terdengar suara barang-barang yang diturunkan dari kapal pesiar di dermaganya. Di belakang Gabion terdapat sebuah celah berisi air laut yang dikeruk oleh pemerintah Kerajaan. Jalur itu cukup panjang, sebab Gabion sendiri bukanlah kota di tepian laut. Pengerjaan jalur air laut itu dimulai sejak enam belas tahun lalu, dan selesai delapan tahun lalu, tepat setahun sebelum Gabion mendadak menjadi kota ternama. Dari celah itulah para pelayar masuk ke dalam Gabion. Témpust sama sekali tak menyukai keberadaan Celah Laut Gabion, bahkan sejak rencana pembangunannya. Bagaimana tidak, Kerajaan mengerahkan ribuan budak untuk menggali terus-menerus sampai matahari terbenam. Wajar bila banyak korban yang termakan untuk proyek besar itu. Jasad mereka tak dikuburkan secara layak, melainkan dijadikan campuran untuk melapisi dinding-dinding celah bersama dengan batuan-batuan lain.

Perbincangan di antara mereka berlangsung ringan. Dari sanalah mereka mengetahui keadaan menyedihkan para pejuang kebebasan sekarang. Para pejuang mulai malas berjuang hingga mereka melupakan ilmu berpedang mereka. Sekarang mereka seakan begitu menikmati kehidupan terpinggirkan di Goat Hill, daripada harus mengorbankan nyawa melawan serdadu Kerajaan yang jumlahnya ribuan kali lebih besar dari jumlah mereka. Témpust sendiri mengakui kekalahan mereka sekarang. Bahkan sebelum mereka berperang.

Waktu memasuki senja saat mereka masuk ke jalur Celah Grendith yang rawan akan binatang buas. Kabut mulai menyelimuti daerah itu, memang tidak setebal malam hari, namun bisa cukup menyesatkan. Kuda-kuda telah cukup lelah, mereka menepi ke dalam gua untuk beristirahat sejenak sebelum melalui Bukit Grendith yang mendaki. Témpust menenggak air di dalam kantung air di pinggir sadel kudanya, kemudian menyodorkan benda itu pada Enrico. Lalu kantung air itu berputar pada Enrico dan Ivander.

Di sudut lain dari gua, Lampros Témpust, pria berwatak keras itu, duduk memeluk pedangnya dengan kepala terasa berat. Pikiran-pikiran tentang Demetria dan batu Oriel bercampur jadi satu.

Témpust masih mengingat dengan jelas usahanya untuk mengambil batu itu dari Benua Tengah, demi hari ini. Dia dan Mérdanté bergerombol dengan hanya sedikit bantuan menerobos penjagaan istana. Lalu Hellen Mistrella membantunya meloloskan diri hingga menggapai ruangan sakral tempat batu Oriel diletakkan. Sampai saat Demetria Avalen mengobarkan kemarahannya pada Hellen, Témpust datang untuk menghentikan tebasan pedangnya. Di sanalah perselisihan panjang itu dimulai. Untuk pertama kalinya mereka bertarung, walau hasilnya Témpust tersudut hampir mati. Sekali lagi, takdir sebagai pejuang memberinya kekuatan untuk bangkit. Dewa Theon setia padanya sampai akhir. Rombongannya berhasil lolos dari dalam benteng tersangar, Comdred Fortress. Awal itu yang membawa Hellen Mistrella ikut bersama Témpust dalam pelariannya.

Témpust memperistri permaisuri kerajaan itu. Dari wanita itu, dia dapatkan Lakissa Vernedt dan Lampros Bader. Tak ada yang tahu seberapa besar kekesalan Demetria yang tak terluapkan. Jelas Témpust menjadi orang nomor satu yang diburunya. Apalagi sejak sebuah insiden yang mencoreng nama Raja Gardner Visselves, sebagai raja di Benua Timur. Sebuah pasukan dikirim untuk memata-matai kegiatan Témpust di Goat Hill. Mereka datang tanpa tahu seberapa besar kekuatan para pejuang sebenarnya. Jadilah misi itu kacau balau. Saat matahari terbenam, seorang dari pasukan itu kembali dengan sebuah kereta kuda. Wajahnya pucat pasi. Dia menyampaikan hadiah dari Témpust untuk sang raja Raja Gardner kaget bukan kepalang saat mengetahui hadiah dalam kereta kuda itu adalah tumpukan kepala pasukannya. Kejadian ini menghina seluruh elemen kerajaan, termasuk sang raja sendiri. Mendadak harga kepala Témpust meningkat hingga 3 juta Krall, atau setara harga seribu kuda terbaik di Mithrillia. Maka mulailah nama Témpust dan pejuang-pejuang lain diincar para pemburu harta.

“Apakah kau tadi datang hanya berdua dengan Ivander, Témpust?” tanya Enrico yang lagi-lagi menyeka kacamatanya karena tertutup uap air. Lamunan Témpust terpecah oleh pertanyaan itu.

“Anakku Bader ikut denganku. Bader telah pulang lebih dulu, dia membawa Kusko bersamanya. Tadinya aku menerima kabar dari Reape kalau kau dan Kusko dalam bahaya. Saat itu kebetulan aku sedang berburu di dekat sini, Bader dan Ivander lewat, akhirnya aku mengajak mereka berdua.”

“Kusko? Bagaimana dengan Alexa? Aku pikir kalian telah membawanya,” tanya Enrico agak panik. Dalam pikirannya, Alexa masih tertinggal di dalam kemah, namun karena kemah telah terbakar habis oleh api Gyoudrim, dia bisa melihat tak ada Alexa di sana, tidak juga Kusko.

“Alexa? Siapa yang kau maksud dengan Alexa itu?”

“Jika kau tak mengenalnya, lalu mengapa Kusko berniat membawanya padamu?” gumam Enrico sambil berpikir. “Kusko juga bertindak seakan-akan membawa Alexa padamu adalah misi dari Tuannya. Aku sempat mengira Kusko sampai hati menodai statusnya sebagai Bounty Hunter untuk menculik Alexa. Aku mengakui memang wajahnya mungkin, oh tidak, sangat mungkin membuat seseorang tergila-gila padanya.”

“Kusko…dia sampai sejauh itu hanya untuk mempertahankan seorang gadis bernama Alexa?” Témpust jadi terbawa pada jalur pikiran Enrico. Dia teringat pada kata-kata terakhir Demetria tentang seorang gadis yang dibawa puteranya. Dia juga mengingat bagaimana seorang Demetria mengucapkannya dengan penuh dengki. “Apapun itu, jawabannya pasti sudah menunggu di Goat Hill. Tak ada satu orangpun dari pihak kita yang celaka dalam peristiwa itu. Yakini saja.”

Jalan berbatu dan terjal mereka lalui di Bukit Grendith. Dari atas Bukit Grendith, mereka bisa melihat Jurang Maut yang begitu lebar dan diselimuti kekelaman. Di sekitar jurang maut memang masih dilingkupi oleh Hutan Whisdur. Sesekali terdengar bunyi sesuatu yang berbenturan ke dinding jurang dari dalam Ragnarok. Bunyi itu merambat jauh ke udara dan terdengar bersahutan ke dalam telinga mereka. Setelahnya, pasti raungan perih begitu keras menyusul hingga ke langit. Perjalanan melalui Bukit Grendith ini membuat mereka berdua merinding, sebab sepertinya matahari juga ikut mengucilkan tempat ini, tebalnya kabut membuat cahaya sulit untuk masuk. Kesan yang didapat begitu angker, itulah mengapa penduduk sekitar menganggap Goat Hill sebagai kota terkutuk.

Témpust berhenti, membiarkan kedua tamunya larut dalam kekaguman pada pemandangan Ragnarok.

“Suara apa itu? Kedengarannya seperti gemuruh di langit.” Lalu Ivander mengadah ke langit untuk mencari sumber bunyi bergemuruh itu.

“Itulah yang dinamakan Ragnarok oleh penduduk setempat. Itu juga menjadi alasan bagi serdadu Mirage di masa lalu untuk menghukum terdakwa Mithrillia ke dalamnya. Yang menjadi bukti keberadaannya hanyalah suara, aku tak pernah tahu makhluk apa itu. Orang-orang tua selalu membohongi keturunan mereka dengan cerita muasal Ragnarok.”

“Tak keberatan jika kami tahu, Témpust?” usul Enrico.

Témpust tersenyum seakan apa yang hendak diberitahukan sebetulnya tak penting. Tapi demi kedua tamunya ini, dia akan menceritakannya.

“Jauh sebelum sekarang, Mirage pernah dipimpin oleh seorang raja bernama Abigor. Daerah jajahannya mencakup hampir seluruh Mithrillia, bahkan dia sudah menguasai sedikit wilayah Maya. Abigor dikenal sebagai raja yang menguasai medan perang, otaknya dipenuhi oleh strategi-strategi perang yang licik, dia tak pernah kehabisan akal. Suatu hari, seorang penasihatnya memberi saran agar Abigor mencuri benda paling berbahaya di tiga dimensi, Cresthalla…”

“…Cresthalla merupakan benda terkutuk, sebuah terompet yang meniadakan hari terang, menjadikan kegelapan teman manusia, dan darah sebagai minuman untuk berpesta-pora. Ketika itu bertiup, langit akan runtuh, digantikan oleh selimut kabut tebal. Surga akan berpaling dari manusia dan menelantarkan dunia di bawah asuhan Sang Kegelapan. Saat Cresthalla ditiup, pasukan mati, En-Luxurian, akan berjalan dari kuburan mereka, menuju dunia manusia dan mengakhiri peperangan dengan kemenangan mutlak bagi Mirage.” Témpust memperhatikan wajah Ivander yang semakin getir dari setiap kata yang dia ucapkan. Témpust sendiri sebenarnya tidak percaya akan apa yang dia ceritakan. “Tenang saja, Ivander. Itu hanya cerita, hanya mitos yang dibuat untuk membuat Mithrillia makin hidup dalam ketakutan.”

Témpust berhenti bercerita sejenak dan menarik kekang kudanya untuk melanjutkan perjalanan lambat-lambat. Setapak demi setapak, mereka menjamin keamanan diri sendiri di tengah terjalnya perjalanan. Jalan semakin sulit dilalui tanpa konsentrasi tinggi.
Saat ini, Enrico memutar memorinya tentang sebuah pelindung kepala kuno itu, itu dikarenakan dirinya kembali mendengar nama Abigor sekali lagi.

“Cresthalla disimpan di tempat yang tak mungkin terjangkau oleh Abigor, sebab para malaikat menjaganya di surga. Dengan nafsu akan kekuasaan lebih dan mimpi menuju penaklukan Maya secara penuh, Abigor meminta bantuan pada Midianor, sang penghulu neraka, agar meminjamkan bantuan untuk membawanya naik ke surga. Karena tahu Midianor amat membenci Lameth-lah, maka Abigor berani membujuknya. Akhirnya usahanya berhasil. Monster di dalam Ragnarok itulah yang dipinjamkan Midianor pada Abigor. Midianor juga meminjami Abigor kira-kira 70 legion pasukan neraka, untuk membantunya…” kata Témpust membetulkan langkah kudanya. “…Akhirnya pertempuran terakbar dalam masa itu, terjadi di surga. Para malaikat menghalau ribuan pasukan Abigor, sementara raja tamak itu menyelinap dan mengambil Cresthalla. Sayang sekali, niatan Abigor terhenti karena malaikat bernama Celestia memergokinya. Dengan seluruh upaya, Celestia mengorbankan dirinya dan hidupnya sebagai penghulu Omega, untuk menghentikan Abigor mengambil Cresthalla yang seharusnya menjadi hak Celestia. Abigor berhasil dijatuhkan ke bumi dan mati, bersama-sama dengan ribuan pasukannya yang kalah oleh para malaikat. Monster itupun terhempas oleh panah Theon, sang dewa perang, menuju Ragnarok yang dibuka untuk menyegel mereka semua. Sejak saat itulah, Ragnarok menjadi tempat berdiamnya suara-suara pilu itu.”

“Aku baru sekali mendengarnya, apakah itu cukup populer di sini?” tanya Ivander kagum. Orang itu memang senang dengan cerita-cerita mitos, tapi itu bertolak belakang dengan studi arkeologinya yang terbengkalai.

“Kau bisa mendengarnya dari orang-orang tua di hampir setiap kota dan desa. Mereka mendapatkannya dari leluhur mereka yang rajin menurunkannya pada anak-cucu mereka. Tapi tergantung darimana kau mendengarnya. Ada yang berkata Cresthalla akan membantu kemenangan Mirage atas ketiga dimensi, ada pula yang mengatakan kalau tak satupun dari tiga dimensi yang akan memperoleh kedamaian. Dengan kata lain, saat sangkakala itu bertiup, riwayat ketiga dunia akan tamat. Bagiku, suara-suara dalam Ragnarok itu hanya suara dari para Guardian yang terjerumus ke dalamnya,” tambah Témpust dengan nada bicara yang acuh.

“Tunggu, Témpust. Apakah ini ada hubungannya dengan mitos Putera Omega? Aku tak tahu mengapa ada banyak pihak di dalam dimensiku yang begitu percaya akan takhayul itu,” ucap Enrico berusaha mencari keyakinan. “Kau tahu, di duniaku ada sebuah organisasi yang menjadikan legenda itu sebagai motor penggerak mereka. Bukankah itu konyol?”

“Dari seluruh cerita, tentu ada. Putera Omega terlahir oleh kebencian Celestia atas dunia. Menurut para tetua-tetua bijak di masaku kecil dulu, kita harus bersiaga, sebab tak ada yang tahu kapan orang itu dilahirkan. Pada saatnya nanti, mereka berkata bahwa Putera Omega akan beradu kekuatan dengan seorang Pembawa Harapan. Cih, orang-orang tua itu berkata-kata seakan semua itu sudah dekat. Belum lagi dari syair-syair para peri, sungguh melankolis. Tapi lihatlah, sampai para tetua itu mati, bahkan hingga para peri mengasingkan diri, tak ada yang terjadi selain makin berkuasanya Mirage di duniaku, dan juga bertambahnya isu-isu baru tak pasti tentang penyatuan dimensi. Kebohongan lain lagi dari para cenayang dan ahli nujum.”

“Kau tahu, dimensi kami telah mengakui adanya hal itu, penyatuan dimensi. Kami menyebutnya Lacuna Syndrome. Para ahli dari organisasi kami tengah menyelidiki bagaimana cara untuk menghentikan kejadian itu,” sambung Ivander. “Mereka gagal membuka tabir misteri itu. Tapi hipotesa mereka sudah keluar. Yakni bahwa para Mirage adalah pembawa Lacuna Syndrome.”

“Aku tak menyangka di peradaban semaju itu, kalian masih memiliki kepercayaan pada ahli nujum.”

“Bukan itu, Témpust. Mereka adalah para pakar teknologi dan ilmu modern. Mereka sama sekali tak mengenal ramalan-ramalan,” sahut Ivander.

“Mungkin karena itulah mereka tak mengerti. Bagaimana bisa mempelajari mitos dengan ilmu dan teknologi modern? Setelah mendengar ceritamu itu, mungkin aku bisa sedikit yakin kalau penyatuan dimensi itu memang benar, tapi tidak dengan penyebabnya. Kalian bisa lihat, dunia kami tak menunjukan kekuatiran akan hal itu. Karena itu wajar bagiku untuk menutup rasa ingin tahuku pada isu semacam itu.”

“Bukankah itu karena kau membenci kaum peri?” sebut Enrico cepat. Mendengar itu, air muka Témpust mendadak berubah. “Tadi kau yang katakan para perilah yang pertama kali menyebarkan cerita tentang penyatuan dimensi, dan sepertinya kau tak kenal lelah untuk menyangkalnya. Apakah dendam ratusan tahun lalu masih tertanam dalam generasi baru sepertimu?”

“Kau adalah tamu di dalam dimensiku. Kau mungkin bisa menerka-nerka, tapi kau tak bisa mengetahui ada apa di balik kekalahan Raja Mordock ratusan tahun lalu. Biarpun para peri berkata dengan lantang bahwa manusialah yang melarikan diri dari peperangan lebih dulu, tapi para manusia menyebutkan dengan jelas kalau para peri tak benar-benar mengerahkan kemampuannya saat itu. Armada mereka tak sebanyak yang mereka janjikan. Lebih pahitnya lagi, merekalah yang lebih dulu meninggalkan medan pertempuran. Setelah itu, aku tak tahu apakah rasa malu mereka teramat besar, hingga mereka putuskan untuk angkat kaki dari dunia manusia.”

“Jadi, bukankah tidak masalah bila kami yang menyampaikan padamu tentang penyatuan dimensi itu, Témpust? Kau tahu bukan, kami sama sekali tak memiliki hubungan dengan para Elf,” lanjut Enrico.

Témpust tersenyum kecil, “Itu baik bagi kami,” sebutnya pelan.

Kemudian mereka kembali pada perjalanan yang semakin dekat menuju Goat Hill. Saat itu matahari lenyap, berganti dengan bulan dan rasi-rasi bintang di seluruh penjuru langit hitam.

………

Malam telah semakin menua ketika mereka melihat cahaya-cahaya kecil tampak dari ujung bukit. Cahaya-cahaya itu berasal dari obor-obor penerangan Goat Hill. Dekat dari mereka juga terlihat rangkaian jalur dari besi dan tumpukan kayu yang membentuk sebuah rel kereta tua. Tak salah lagi, itulah Goat Hill yang dimaksud. Perjalanan mereka terhambat oleh pembicaraan panjang dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap Ragnarok. Kini lamanya waktu perjalanan dibayar tuntas dengan sampainya mereka ke Goat Hill tanpa gangguan para Amon.

“Itu Goat Hill, kota kami. Kita sampai,” seru Témpust menyambut pandangan lega kedua tamunya.

Kuda-kuda itu menyusuri jalan menurun. Terlihat jelas dua buah menara penjaga dengan obor besar di tiangnya. Dan orang di dalam menara itu berteriak kencang saat Témpust kembali bersama kedua tamunya.

“Témpust kembali! Dia kembali!”

Setelah itu terdengar riuh suara penduduk yang harap-harap cemas menanti kembalinya seorang Témpust. Pintu gerbang dari kayu-kayu tebal yang disusun horisontal terpampang di hadapan mereka. Gerbang tinggi itu dibuka lebar-lebar. Setelah itu seorang tangan kanan Témpust, yang bernama Cazar Balamug, datang dan menggiring ketiga kuda mereka ke sebuah istal. Penduduk kota Goat Hill kembali terjaga. Mereka menantikan cerita tentang kedua tamu yang Témpust bawa hari ini. Kerumunan orang-orang berbaju lusuh dan wajah agak kotor itu mengerumuni Témpust. Sejauh mata memandang, wajah mereka menyambut dengan senyuman. Harapan baru datang.

“Saudaraku semuanya, aku ingin malam ini diadakan jamuan untuk menyambut kedua tamu kita! Sediakan daging yang empuk dan anggur yang nikmat bagi kedua tamu besar kita ini!” seru Témpust sambil merangkul Enrico yang agak lebih tinggi darinya, dan Ivander yang agak lebih pendek darinya.

Penduduk yang jumlahnya hanya puluhan itu bersorak bagaikan ratusan orang yang bergembira. Sontak para pria bersenjata menarik tali kekang kudanya, untuk kemudian berhamburan keluar dari kota, menuju alam liar, dimana mereka bisa mendapatkan daging rusa untuk menjamu tamunya. Ivander dan Enrico bisa melihat bagaimana mereka disambut dengan begitu baik. Mereka melihat banyaknya sayuran dan drum-drum kayu besar berisi anggur yang disiapkan.

Goat Hill, kota sepi dengan hanya kurang dari seratus lima puluh orang—termasuk anak-anak, wanita dan para sesepuh. Mereka hidup di sekitar tumpukkan sampah-sampah keras yang dibuang pemerintah kerajaan ke sini. Sepatu-sepatu kuda bekas, besi-besi rongsokan, kayu-kayu rusak, kain-kain dan banyak sampah lainnya sudah menemani hari-hari para penduduk. Mereka tinggal di bawah lindungan tenda-tenda permanen dan menggantungkan hidup mereka dari harta rampasan kerajaan. Setiap sebulan sekali, kereta pengangkut sampah akan datang dan menurunkan sampah baru. Lama-kelamaan, wilayah kosong Goat Hill akan berkurang jumlahnya. Itu juga yang mendesak Témpust untuk pindah dari sini menuju Eagle Harbour. Kota pelabuhan itu tengah dipersiapkan sebagai pangkalan baru para pejuang kebebasan.

Di sini, para perempuan adalah orang-orang terdekat bagi para pejuang. Betapa gembiranya para perempuan saat mengetahui kekasihnya tak lagi berada dalam kekangan kerajaan, melainkan selamat dari penghukuman jalur berkabut—jika mereka saja sampai tahu pria mereka selamat, pastilah begitu juga dengan kerajaan. Khawatir pihak kerajaan akan menyakiti keluarga dan orang-orang terdekatnya, maka dibawalah mereka masuk dalam Goat Hill.

“Lakissa, bisakah kau hentikan dahulu?” panggil Témpust pada puterinya yang sibuk menggosok punggung kuda-kuda di sebuah istal yang cukup besar dengan banyak kuda hebat.

“Siapa wanita cantik ini, Témpust?” tanya Enrico memandang wajah natural Lakissa.

Kecantikan Lakissa bagaikan pedang dengan sisi tajam yang berlawanan dengan sisi tumpul di belakangnya. Anggun, ambisius, tapi juga lembut. Rambut panjang berwarna kuning tuanya, mengingatkan kemiripan dirinya dengan Hellen. Namun dia berbeda dengan ibunya. Lakissa adalah petarung, bukan wanita pelayan. Tangan-tangannya kasar, mahir mengayunkan pedang dan menembakkan anak panah. Témpust adalah guru berpedangnya, sedangkan Cazar yang juga adalah guru memanah seluruh pejuang, adalah gurunya pula dalam panahan.

“Dia ini puteriku, Lakissa Vernedt. Usianya mungkin sebaya dengan Ivander, dia ini dua puluh tiga tahun. Lakissa, ini adalah kedua tamu penting dari Maya, mereka adalah Ivander dan Enrico,” kata Témpust mempersilahkan ketiganya memberikan penghormatan.

“Suatu kehormatan mendengar sanjungan anda, Tuan Enrico, dan senang bertemu denganmu Ivander,” katanya ramah namun penuh nada bicara yang tegas.

Di antara orang-orang itu, mata Enrico tampak tak asing dengan wajah dua orang pria dan seorang wanita. Pria-pria itu bersama dengan Témpust ketika berada dalam penyusupan Benua Tengah. Mereka adalah Cazar dan Mérdanté yang sekarang menjadi tangan kanan Témpust. Mereka saling bersapa dengan Enrico yang masih fasih menggunakan bahasa mereka. Mérdanté adalah sepupu dari Témpust. Telah lama dia menemani perjuangan Témpust, walaupun tak sedikitpun perjuangan Témpust bergerak ke arah yang lebih baik. Mérdanté berambut ikal kecokelatan. Usianya lebih mudah satu tahun daripada Témpust yang berumur empat puluh satu tahun. Mérdanté adalah seorang berilmu tinggi dan pandai membaca situasi. Dia banyak tahu tentang strategi dan ilmu perbintangan. Sayangnya, pria berjanggut tipis itu sedikit lemah dalam pertarungan. Itulah sebabnya dia selalu berada bersama Cazar, seorang rekan yang selalu melindunginya. Karena Cazar, adalah kebalikan dari Mérdanté. Pria itu tak secerdas Mérdanté, tapi kemampuannya dalam memanah konon adalah yang terbaik seluruh Mithrillia. Dia juga bisa menggunakan pedang, walau tak sehebat busurnya. Cazar berwajah keras, tapi pembawaannya tenang. Bukan wibawa, dia hanya sedikit acuh pada keadaan sekitar. Rambutnya panjang, lurus seleher. Warnanya hitam kecokelatan. Rambut itu selalu tampak berantakan.

Lalu, wanita itu, yang sekarang berbicara dengan Enrico, adalah istri Témpust. Hellen Mistrella, wanita yang tak menampakkan sedikitpun kenyataan usianya. Rambutnya berwarna kuning seperti rambut jagung. Begitu cantik, dan suaranya bagaikan desiran angin yang menghembus. Bagamana tidak, dahulu dia adalah permaisuri.

“Mari, Tuan Enrico, Ivander, aku tunjukkan kamar kalian,” kata Lakissa.

Tendanya berwarna cokelat muda, terbuat dari kain-kain bekas yang dijahit dengan benang-benang kuat. Dalam tenda itu sudah tersedia ketel dan gelas air, beserta selimut dan alas tidur dari kulit binatang. Tidak terlalu bagus memang, tapi cukup untuk menghadapi malam yang dingin nanti. Keadaan tenda ini relatif sama dengan hampir seluruh tenda di sini.

“Maafkan kami untuk tempat yang tak terlalu bagus ini. Semoga kalian bisa memaklumi kami.” Lalu Lakissa berlalu dari sana. Dia kembali ke istal, sebab dia tak bisa terlalu lama meninggalkan kuda-kudanya di sana.

………

Tampak semua orang bisa menikmati kemeriahan jamuan. Kecuali Témpust. Dia melihat ke tempat dimana pejuang-pejuang ternama duduk di atas kursi, segaris lurus dengan dua tamu mereka, menghadap meja panjang dan menunggu makanan dihidangkan. Di sana berderet dua belas pejuang terhebat, dengan pimpinan dan istrinya, serta kedua tamu mereka.

Bader tidak ada, begitupun gadis bernama Alexa itu.

“Hellen, kau tahu dimana putera kita? Aku belum melihatnya sejak tadi, kukira dia sedang berburu,” bisik Témpust pada Hellen di sebelahnya.

“Aku kira kau belum menariknya pulang dari pengawasan di Hutan Whisdur? Dia belum kembali sejak terakhir kau menyuruhnya keluar. apa kau sudah bertemu dengannya tadi, saat kau keluar?”

Agaknya Enrico juga merasakan kekalutan yang sama. Dia bisa melihat ekspresi di wajah gusar terpatri pada Témpust yang disinari sinar obor-obor besar. Sesuatu yang aneh terjadi pada Bader, berarti pada Alexa pula.

Di antara dunia, mana yang paling hebat?
Mithrillia! Mithrillia! Mithrillia!
Di antara kota-kota, mana yang paling kuat?
Goat Hill! Goat Hill! Goat Hill!
Siapa pemimpin kita yang luar biasa?
Témpust! Témpust! Témpust!
Si Mata Griffon, Kaki Centaur, dan Tangan Goriathes
Kami jauh dari kematian, dekat dengan nafas alam
Oh dewa Lameth, mari menari bersama kami!
Demi Theon dewa perang, kemenangan mengucuri kepala kami!
Mari usir dewa Midianor jauh dari gemerlap bintang

Keriuhan mereka menyeruak. Maka dimulailah jamuan besar. Tapi Témpust tak ikut makan, dia membawa Cazar dan seorang lagi bernama Mérdanté, pergi jauh dari keramaian. Témpust berbisik-bisik dengan wajah kekalutan. Saat itu, sang pendeta, Enrico, merasa perlu untuk mengikutinya, sementara Ivander tak peduli dan malah asyik menyantap daging rusa panggang di depannya.

“Sepertinya masalah kita sama, Témpust…” kerahasiaan pembicaraan mereka langsung terpecah, mereka tampak sedikit terkejut melihat Enrico.

“Haruskah kita juga bersama-sama meninggalkan keriangan ini? Kesenangan mereka bisa langsung berubah menjadi kecemasan,” kata Témpust pelan-pelan saat Enrico mendekati kerumunan itu.

“Aku telah berpikir tentang hal itu. Pria yang sedang makan di sana itu, apakah dia bawahanmu?” tanya Témpust menunjuk Ivander.

“Apakah ini bagian dari percobaanmu?” tanya Enrico menduga-duga kalau Témpust sedang menguji Ivander sebagai bagian dari kesepakatannya dengan Flavio.

“Maaf, demi Dewa Lameth, apa maksudmu?” Témpust tak mengerti maksud pertanyaan Enrico yang mendadak menjurus ke hal yang tak dia ketahui.

Enrico merasa perlu untuk meralat ucapannya. Wajah Témpust tak menunjukkan ekspresi yang dia inginkan. Lagipula kurang tepat untuk mengulik hal itu sekarang.

“Oh, bukan apa-apa. Aku hanya berpikir tentang sesuatu yang lain.” Enrico memendam keraguan, namun dia berusaha bersikap bijaksana. "Tentu, dia pasti mau."

………

Ivander, Cazar dan Mérdanté pergi berkuda ke arah utara untuk mencari si anak hilang. Tabir telah melingkupi kawasan Bukit Grendith lebih tebal. Mereka butuh penerang. Penduduk di Goat Hill mengetahui adanya sumbu tali di ujung Bukit Grendith, yang terhubung dengan puluhan penerang yang bisa membimbing mereka melaluinya dengan aman. Tali itu dibakar dan merambat cepat melalui dinding-dinding batu, menyalakan lampu-lampu minyak kecil, cahaya temaram membimbing jalan mereka.

“Apa ini…penerangan yang luar biasa.” Ivander takjub, saat melihat dari kejauhan, perlahan jalur Celah Grendith mulai dirambati cahaya jingga dari api-api.

“Ini hanya bertahan beberapa menit saja. Kita harus berjalan selagi masih menyala,” bisik Cazar di tengah kesunyian malam. “Orang-orang kami akan menggantinya minyaknya setiap kali melewati jalan ini. Kali ini aku tak membawa minyaknya, biarlah itu menjadi urusan yang lain.”

“Hei, Cazar! Belum ada jejak Bader di sini. Silver Wind belum memijak tanah ini sejak terakhir ditugaskan keluar,” seru Mérdanté.

“Mataku juga tak menemukannya, Mérdanté. Kita tak bisa lama-lama berdiam di sini, mungkin Amon-Amon akan datang.”

Mereka bertolak dari tempat itu dengan kecepatan lebih. Sesekali mereka berhenti untuk, memandangi tanah, mengendus udara, seakan alam memberitahu mereka kemana harus pergi.

“Cazar, bukankah semua tanah tampak sama saja? Bagaimana kalian bisa membedakannya?” tanya Ivander pada pria berjanggut tebal dan rambut panjang itu.

“Itu insting, Nak.” Cazar mempelihatkan senyumnya. “Meskipun malam ini kau melihat kami, esokpun masih mustahil bagimu untuk menirunya. Jejak-jejak itu yang akan berbicara, bukan kau yang mencarinya.” Kuda-kuda pun melambatkan lajunya ketika menerobos Hutan Whisdur, sebuah hutan yang berisi pohon-pohon berkayu tebal dan berlumut. “Bukankah alam itu baik, Ivander? Kau lihat bagaimana perlakuan hutan ini pada kita, mereka justru memudahkan jalan kita. Jika mereka mau, kau bisa saja bernasib sama seperti itu.” Cazar menunjuk pada mayat manusia yang membusuk, seperti hati kotor mereka.

“Alam tahu apa yang kau butuhkan dan apa yang mengancammu. Satu-satunya yang bisa melawan kehendak alam hanyalah Amon,” canda Mérdanté. “Sebab mereka tak pernah tersesat sekalipun berulang kali melewati hutan ini.”

“Sepertinya Bader memang tidak melewati tempat ini. Aku tahu betul jalan kegemarannya di hutan ini, namun tanahnya masih rata. Dimana kita harus mencarinya, Mérdanté?”

“Mungkin Gabion, Tuan-tuan. Bila benar Tammil Ibrahim mengincar Alexa, mungkin sekarang mereka sedang berada di Gabion, atau mungkin meninggalkan jejak di sana,” jawab Ivander menyela.

“Tammil Ibrahim? Pedagang penuh tipu muslihat itu? Kita lihat saja apakah mereka sebodoh itu mencelakai Bader sang penerus Témpust,” geram Cazar menjadi-jadi.

“Tenanglah Cazar. Sedikitnya ini akan menjadi pelajaran bagi Bader agar menjadi pemimpin yang lebih dari ayahnya. Cepatlah bergegas, Gabion sudah dekat!” Mérdanté memacu kudanya terlebih dahulu, disusul yang lainnya.

Kota Gabion belum sunyi sepenuhnya. Malam masih menjadi ajang menurunkan muatan dari kapal-kapal yang merapat ke dermaga besar. Angin darat sedang kencang-kencangnya berhembus saat ini. Celah Gabion pasti ramai sekali dengan kepulangan kapal-kapal dagang. Suara para pelaut yang samar-samar tertutup angin masih terdengar riuh sampai ke pintu gerbang terdepan. Pintu gerbang ditutup rapat, hanya ada lubang kecil untuk mengintip tamu. Dua penjaga mengawasi dari sepasang menara tinggi dari kayu. Sesaat lubang itu terbuka, wajah Cazar terlihat dari dalam. Dia berpandangan langsung dengan penjaga di sisi lainnya.

“Ada keperluan apa?”

“Kami ingin bicara dengan Tammil Ibrahim, apakah dia ada di sini?”

“Tammil Ibrahim telah lama tidak mengunjungi Gabion, namun beberapa orang datang mengaku sebagai ajudan Tammil Ibrahim, saat matahari akan terbenam. Mereka juga menganggap urusan mereka penting, sama seperti kalian.”

“Apakah mereka masih di dalam?”

“Mereka juga sama dengan kalian. Mereka sempat memesan kamar di sini, namun karena mereka tak menemukan Tammil Ibrahim, akhirnya mereka memilih pergi dari Gabion. Lakukan hal yang sama sekarang, karena kalian tak punya urusan lagi di sini.”

Penjaga ketus itu menggeser kayu penutup lubang dengan cepat. Cazar dibuatnya emosi dan merasa tidak mempercayai perkataan penjaga itu. Bagaimanapun, Cazar merasa perlu untuk masuk ke Gabion dan mencari tahu apakah benar ajudan-ajudan itu yang membawa pergi Bader dan Alexa.

“Kita mendobrak masuk? Kau tahu resikonya, Cazar Balamug, dan ini bukanlah cara yang baik untuk dilakukan. Lebih baik kita mempercayai kata-katanya dan mulai mencari di tempat lain,” timpal Mérdanté meredam Cazar. Sesaat Cazar memandang Mérdanté dengan menunjukkan kekesalannya pada penjaga itu, kemudian kembali lagi ke pintu gerbang yang dipersalahkannya, setelah itu ke alam lepas di hadapan kota Gabion.

“Mérdanté putera Lampros Gilford, kemana kita harus mencari lagi? Setelah ini jalur terpisah menuju tiga jalan, akankah kita menyebrangi Danau Livero, mendaki tajamnya belerang Bukit Vallenor, atau Lembah Gardner? Lagipula mendung sudah menggantung di langit, jejak-jejak itu akan hilang dan tidak berbicara lagi,” Cazar begitu pesimis dengan sinar mata menyerah yang menatap ke langit, diselingi gemuruh petir yang menderu, seakan coba membakar langit.

………

Goat Hill masih saja larut dalam keceriaan, sementara mereka bertiga tak menemukan jejak Bader. Témpust bercerita panjang lebar tentang apa yang terjadi dalam beberapa tahun sejak Enrico tak menemui Témpust lagi. Tak satupun yang terpikir akan apa yang mungkin terjadi dalam beberapa waktu ke depan.

“Ketua! Ketua!” teriak salah seorang di sana, dia berlari tergopoh-gopoh. Orang itu adalah penjaga ruangan untuk menyimpan batu Oriel. Pria besar itu bernama Waler Gurdon, seorang pandai besi yang begitu mahir. “Celaka besar! Petaka besar!”

Kemeriahan pesta mendadak berganti menjadi kesunyian, walau masih ada beberapa bisikan-bisikan kecil yang tak ikut diam. Lebih dari seratus kepala manusia memalingkan matanya pada Waler.

“Sebaiknya kau punya alasan untuk membuat orang-orang terdiam, Waler. Katakan ada apa.”
“Batu itu, batu itu, dia tak menyinarkan warna biru! Tapi merah, Ketua! Merah!” katanya begitu gemetar dan cemas.

Dia beranjak dari kursinya dan segera berjalan cepat-cepat menuju ruangan itu. Orang-orang menantikan dengan begitu penasaran, menunggu Témpust memberitahu kenyataan pada mereka. Waler membawa Témpust pada sebuah ruangan rahasia di bawah tanah, seperti sebuah barak atau gudang. Gelapnya ruangan itu dilenyapkan oleh cahaya merah kelam dari batu Oriel. Dari atas, sebelum menuruni tangga pun Témpust sudah percaya perkataan Waler Gurdon memang benar adanya.

“Lihat, merah, Ketua!” ulang Waler ketika wajah Témpust begitu terperanjat dengan warna Oriel. “Darah akan tertumpah lagi, perang besar akan dimulai lagi.”

“Kau benar…pertanda buruk bagi kita semua, Waler.” Témpust memandang kosong pada benda itu. Mata peraknya seperti memudar menjadi merah, semerah warna batu itu. Tangannya dingin sedingin es, sedangkan keringatnya tak berhenti mengalir.

“Kau mau biarkan mereka bersiap untuk perang, Ketua?”

“Jangan, tunggu.” Langkah Waler keluar terhenti. Tubuh besarnya menunggu kata-kata selanjutnya. “Aku tak tahu apa artinya warna merah di sini, mungkinkah Sang Terpilih justru datang dengan warna ini?” Témpust tak memberikan penjelasan yang cukup baginya untuk dimengerti.

Waler memperlihatkan wajah kecewa sekaligus heran. Ketuanya itu belum pernah menanggapi perang dengan kata-kata itu. Dia menggaruk-garuk kepalanya untuk menjawab pernyataan Témpust. Tapi diamnya bibir Témpust lama-lama membuatnya kesal. Dia benci orang plin-plan. Waler memang ceroboh, tak sabaran, apalagi melihat Témpust sekarang.

“Kau melanggar ramalan dari panji-panji biru Lord Bordock, Ketua. Dia akan datang dalam warna biru, merah pertanda bahaya, Ketua!” tegas Waler menanggapi Témpust yang terguncang. Suara seraknya menderu-deru di telinga Témpust.

Keadaan hening sejenak. Témpust menunduk sedikit ketika melihat wajah serius Waler, seorang abdinya yang berumur kurang dari empat puluh tahunan. Waler selalu siaga mempersiapkan segala kebutuhan perang. Dia tahu bagaimana cara menempa pedang yang baik. Otot bisepnya telah terlatih untuk memegang godam, dan mengayunkannya ke atas sebilah besi panas.

“Kau benar…kau benar…” ucap Témpust. Wajah Waler berubah, dia tahu Témpust yang dia kenal seharusnya mengucapkan ini dari awal. “Akan kubiarkan semua mengetahuinya.”

Témpust beranjak dari sana dengan wajah muram. Awan-awan mendung yang terbentang di langit juga menulari wajahnya. Dia berdiri di atas tanah yang lebih tinggi agar terlihat oleh banyak orang. Dia berdiri tegap memandang mereka sekali lagi, untuk meyakinkan diri. Tangan Témpust diangkat untuk menenangkan puluhan mulut yang bicara kasak-kusuk.

“Penduduk Goat Hill, Para pejuang pemberani!” serunya pertama kali. “Entah darimana aku harus memulainya. Hawa jahat beredar hingga sampai ke kota kita tercinta ini. Kita diperingatkan oleh darah Lord Bordock di dalam batu itu. Merah, tanda bagi kita untuk bersiap siaga…”

Puluhan mulut itu tak lagi terkunci. Dengan cepat komentar-komentar dan bisikan gusar keluar dari sana. Témpust tahu para pejuangnya sudah sekian lama tak lagi memegang pedang. Goat Hill telah lama berdiam diri tak memberi perlawanan. Mereka mulai kehilangan jiwa pejuang di dalam diri mereka, berganti dengan manusia baik yang menghargai nyawanya. Semua akan semakin sulit di sini.

“Ini bukanlah akhir dari segalanya, justru inilah awal bagi kita untuk mempertahankan keyakinan kita! Para Mirage itu akan kita usir, semua bangsa dan ras akan melihat perjuangan kita, mereka akan berbalik membantu kita. Bersemangatlah! Persiapkan busur, pedang, pisau, gada, tameng, jubah, atau apapun yang kalian miliki! Akan kita pertahankan Bukit Berkabut kita!” seru Témpust keras-keras, dengan suara serak dan kering yang mengalir dari mulutnya.

Kata-kata Témpust itu penuh dengan api yang mampu membakar semangat orang-orang ini. Orang-orang ini tahu betul apa yang harus dilakukan setelah ini. Jamuan besar itu bubar begitu saja. Sisa-sisa kesenangan semalam itu disingkirkan untuk mempersiapkan hidup mereka selanjutnya.

Pendeta Enrico menghampiri sang orator. Enrico membawa keheranan di pikirannya. “Témpust, apa maksud perkataanmu barusan? Kau mau mengorbankan mereka untuk mempertahankan kota ini?” tanya Enrico menyanggah, di tengah-tengah kesibukan puluhan orang yang tak mungkin mendengar.

“Aku tak punya pilihan lain, Enrico. Hanya ini tempat kami berdiam, Eagle Harbour terlalu terbuka untuk ditinggali.”

“Kau harus memikirkan anak-anak dan para wanita. Para pria di sini memang hampir semuanya adalah pelaku kriminal, tapi apakah mereka sanggup bertahan?” Enrico memperlihatkan perubahan alisnya, dia tidak percaya terhadap kemampuan pertahanan orang yang hanya berjumlah sedikit ini.

“Kami memang kalah jumlah, tapi tekad kami tidaklah selemah yang kau bayangkan.” Témpust memandang wajah Enrico sedikit kesal dan dengan sedikit menggeram dia berkata, “Bukan juga urusanmu untuk mencampuri hidup kami, Enrico. Jika kau ingin bergabung bersama kami, aku akan sangat menghargainya.”

Témpust meninggalkan Enrico yang telah dipenuhi rasa kecewa. Pikiran tentang Alexa terus menghantui kekalutannya. Bagi Enrico sekarang, Alexa dan Bader harus segera ditemukan, dan Kusko benar-benar harus menampakkan dirinya lagi, sebab hanya dia yang tahu alasan Tuannya memerintahkan penjagaan Alexa hingga ke Goat Hill. Apakah gadis lemah dan manja itu adalah Sang Terpilih?

Témpust mendekati Waler. Pria besar itu berdiri di depan sebuah ruangan besar berdinding batu kehitaman. Dia mulai membuka gerendel rantai suatu ruang khusus. Ruangan itu berisi tungku-tungku peleburan, tempat untuk mencetak semua keperluan perang. Saat pintu kayunya digeser, orang-orang terkuat berhamburan memasuki ruangan itu, bagai air yang dibiarkan memasuki celah. Mereka adalah para pembantu Waler.

“Waler, dalam hal ini, pastikan kau membagi senjata untuk dua keperluan. Kita akan melakukan penjagaan di Eagle Harbour juga, karena itu buatlah banyak anak panah. Lakukan secepatnya karena firasatku begitu buruk.”

“Aye, Kapten.”

Témpust tersenyum singkat, lalu berjalan keluar dari ruangan itu.

Suara benturan godam nyaring terdengar berulang-ulang, dari berbagai sudut berbeda. Mesin-mesin gerinda terus bergesekan dengan pedang-pedang. Anak-anak panah terus diraut dari gelondongan kayu. Cetakkan mata panah terus berdesis mendinginkan logam-logam tajam itu. Jubah-jubah kembali ditempa bersamaan dengan tameng-tameng dan rantai. Keringat terus mengucur dari dahi para penempa di sana. Panasnya hawa ruangan tak menyurutkan niat mereka.

Hingga malam semakin larut bahkan bagi para pejuang kebebasan, dan bagi kecemasan Témpust yang belum juga mereda. Sedikitnya, kata-kata Enrico ada benarnya. Kekuatiran lama, tentang para pejuang yang sudah terlalu lama dibiarkan jauh dari pertempuran penting.

0 comments:

Post a Comment