Sunday, 21 February 2010
Sathyrozett, 19th 2000 AB
Matahari begitu terik menyinari pasir yang terlihat seperti kilauan serbuk kaca. Panasnya lebih dari musim panas negara manapun di dunia. Angin berhembus ke sana kemari, menggoyangkan debu-debu pasir. Angin itu membawa hawa panas yang menusuk tenggorokanku. Aku mencoba bangkit berdiri dan berjalan tanpa arah. Aku sendiri tak tahu dimana ini, tapi sepertinya...
Mithrillia sudah kucapai.
Beberapa kali kucoba untuk menggunakan alat komunikasiku, tetap saja gagal. Rasanya alat komunikasiku tak bisa digunakan di sini, gawat, bagaimana caranya aku tahu orang yang bernama Témpust? Caranya keluar dari sini saja aku tak tahu.
Matahari panas membuatku terdorong untuk mulai berjalan cepat-cepat. Pelan-pelan aku jatuh juga dalam keadaan lelah. Tanganku tak kuasa kuangkat, hanya kubiarkan melambai-lambai ke bawah, saat diriku sudah cukup jauh melangkah dari tempat awal. Aku bisa melihat sebuah kota, dalam jarak yang cukup membuatku tergelepar jatuh. Walau sudah sedekat itu, aku tak mampu lagi berjalan.
Datanglah taksi di tengah gurun, kumohon…
Suuiiit!!
Suara siulan membuatku sedikit memiliki harapan. Jauh di belakangku ada seseorang yang menunggangi seekor makhluk yang belum pernah kulihat. Aku tak bisa melihat wujudnya dengan jelas, matahari membuyarkan pandanganku. Kutunggu dia dari sini sambil melambai-lambaikan tangan kananku.
“Kau sendirian di sini, butuh tumpangan? Kebetulan aku akan ke Gabion,” tawar manusia berjubah abu-abu ini.
Wajahnya tertutupi kerudung cokelat kusam dari jubahnya. Tubuhnya agak tambun. Dia banyak memakai perhiasan di tangan dan leher. Dia membawa banyak barang di tunggangannya. Hewan yang menjadi tunggangannya mirip seekor unta, namun lehernya lebih pendek, makhluk ini juga bertanduk seperti kambing gunung, kaki-kakinya lebih kekar dari unta. Dia juga menyeret sebuah gerobak kayu beroda besar di belakang.
“Gabion? Bagaimana dengan Goat Hill?”
“Kau bercanda, Saudaraku. Sampai mati pun, aku tak akan mengantarkanmu ke sana. Sekarang aku hanya ingin ke Gabion, jadi ikut atau tidak?”
Diam di sini berarti panasnya gurun akan semakin lama membakarku. Matahari bisa dengan mudah membuatku menjadi ‘Manusia Bakar Bersaus Keringat’. Konyol sekali. Aku menumpang di gerobak belakangnya. Kami berjalan lambat, hanya lurus saja menerjang gurun.
“Hei, Pengembara! Kau pasti haus, minumlah ini,” tawarnya dengan tangan dijulurkan ke belakang. Dia menyodorkan air di dalam tempat dari kulit binatang. Sontak kusambut dengan penuh rasa terima kasih.
“Kau tahu kita belum saling mengenal, Orang Asing. Aku Leevid, pedagang sutera dari Devtown. Dan kau, siapa namamu?” tanya Leevid sedikit berteriak.
“Ivander,” kataku berhenti menenggak minuman. Aku sedang mencari seseorang bernama Témpust, kau kenal dia?”
“Aku tak bisa mendengarmu, Saudaraku! Hampir saja kudengar kau sedang mencari orang jahat bernama Témpust tadi,” candanya sambil tertawa lepas. Dia pikir ada yang salah dengan pendengarannya.
“Aku memang berkata seperti itu, Tuan Leevid!” balasku agak kukeraskan agar dia mendengar.
“Astaga! Kupikir kau hanya bercanda, ternyata kau serius ingin pergi ke Goat Hill?” serunya kaget. Hewannya pun sedikit tak terkendali sesaat, namun secepatnya semua kembali baik-baik saja. “Aku sarankan kau untuk mengurungkan niatmu, bila kau tidak dalam urusan yang benar-benar mendesak. Jika mereka mengetahui niatmu, kau bisa dihukum,” katanya dengan nada berbisik.
“Mereka? Mereka siapa? Lalu, siapa sebenarnya Témpust itu?” balasku penasaran.
“Para Guardian. Témpust adalah buronan paling mahal di dunia. Konon, menurut cerita para mata-mata, dia dan kawanannya tinggal di Goat Hill. Témpust adalah penjahat paling kejam yang pernah kuketahui,” bisiknya melanjutkan. Aku agak kesulitan mendengarnya, tapi sedikitnya aku bisa menangkap maksud Leevid.
Aku terdiam berpikir sebentar. Kemudian aku menyandarkan punggungku ke dinding gerobaknya yang dipenuhi sutera beragam warna.
“Jadi, mengapa kau menanyakan hal itu, apakah kau bukan berasal dari sini?” lanjutnya kembali berteriak.
“Bukan. Aku dari dimensi Maya…”
“Dan kau dikirimkan ke sini untuk membunuh Témpust? Begitu kan?” katanya menyela ucapanku.
Aku diam. Aku tak bisa mengatakan apa-apa pada Leevid untuk menjawabnya. Bisakah aku katakan tentang batu ini?
“Aku mengerti, kau tak ingin memberitahu misimu padaku. Tak apa, Mithrillia memang penuh dengan misteri. Aku saja masih belum tahu seperti apa wajah Témpust sebenarnya,” lanjutnya memaklumi.
“Leevid, bisakah kau memberitahuku kemana arah menuju Goat Hill?” tanyaku mengalihkan.
“Uhmm…biar kupikirkan dahulu,” ujarnya bergumam. Butuh beberapa langkah hewan ini, sebelum dia melanjutkan ucapannya. “Rasanya Goat Hill cukup jauh dari sini, namun dari Gabion, kau bisa melanjutkan perjalanan langsung ke Goat Hill, ke arah selatan tepatnya. Namun berhati-hatilah, jalur menuju Goat Hill dipenuhi bahaya, jangan biarkan dirimu tertidur di malam hari. itu. Sejak insiden itu, Goat Hill menjadi makin ditakuti, termasuk untuk pemerintah Kerajaan Timur.”
“Kejadian apa? Bisakah kau ceritakan padaku?”
“Menurut keterangan yang bocor ke masyarakat, pemerintah Kerajaan sempat mengutus pasukan untuk melakukan pembersihan bagi daerah itu. Tentara-tentara terbaik dipilih untuk menjalankannya. Tapi yang sampai ke hadapan Raja bukanlah laporan akan kematian Témpust, melainkan kepala tentara itu sendiri. Insiden ini mencoreng kehormatan Raja Gardner. Sampai saat ini, belum ada tindakan lanjut untuk membalasnya.”
“Témpust…baiklah. Ada lagi yang kau ketahui tentang Témpust?” Tepat sebelum dia membuka mulutnya dan mulai menjawab, aku memberinya pertanyaan lebih jelas. “Hanya Témpust, bukan Goat Hill.”
“Témpust, Lampros Témpust. Beberapa masyarakat menanggapnya pahlawan, beberapa menanggapnya pengacau yang patut mati. Aku sendiri bingung harus berada di pihak mana. Dia memiliki banyak anak buah yang berbahaya. Dia pernah mencoba melakukan kudeta terhadap Kerajaan Timur, dia juga sempat berniat membunuh Raja Gardner Visselves, namun digagalkan oleh Pangeran dari Benua Tengah yang saat itu mengadakan kunjungan ke sini. Atas percobaan pembunuhan itulah, harga kepalanya naik berlipat-lipat ganda. Ada yang menyebutkan kalau dia melakukan itu demi kekuasaan di benua Timur, namun ada juga yang menyebut kalau dia tak senang dengan dominasi Mirage, atau dengan kata lain dia adalah pasukan pembebasan. Itulah mengapa, Mithrillia ini penuh dengan misteri yang bahkan aku pun tak tahu kepastiannya.”
………
Lama setelah itu, kami sampai di kota Gabion, setidaknya begitulah kata Leevid. Kota dengan perairan yang mengelilinginya, dermaga bertaburan di sana. Gaya khas Timur Tengah menjadi pembangun arsitektur kota ini. Banyak aktivitas terjadi di sini, perdagangan menjadi yang utama. Jenisnya juga beragam, mulai dari biji-bijian, rempah-rempah, keramik, perhiasan, senjata tajam, kain, hingga hewan. Semuanya masih tampak seperti zaman pertengahan, bagaimana mungkin masih ada peradaban sekuno ini di abad millennium?
“Semuanya tampak baik, Leevid. Semakmur inikah keadaan Benua Timur?” tanyaku sambil menghela nafas panjang setelah perjalanan itu. “Aku tak melihat alasan bagi orang itu untuk berjuang sebagai pasukan pembebasan.”
“Sayangnya tidak, Ivander. Gabion adalah kota perdagangan, tak heran bila masyarakatnya makmur. Namun di belahan dunia lain, banyak juga yang menderita kemiskinan. Mungkin karena alasan itulah, beberapa kali aku sempat berpikir untuk mengagumi perjuangannya.”
“Maksudmu Temp…”
“Syuutt…diam!” Leevid mendadak membekap mulutku. “Jangan sekali-kali kau menyebut namanya di kota ini, tidak juga di beberapa kota lain. Mereka amat sensitif dengan nama itu.”
“Maaf, aku tak tahu,” kataku menyesal.
“Sekarang kau tahu bukan?” katanya melepaskan tangannya dari mulutku. “Lagipula, Ivander, sudah terlalu lama kami diatur oleh bangsa lain. Pada awal kedatangan mereka, banyak sekali pergolakan, penentangan. Tapi makin jauh ke sini, keadaan semakin tenang. Bukannya mereka diam dan menyukai kondisi sekarang, tapi mereka takut. Serdadu mereka pasti mengumpulkan budak-budak baru tiap pergantian musim, artinya tiap tiga bulan sekali beberapa orang di sini ditarik paksa ke Benua Tengah.”
“Perbudakan besar-besaran. Lalu apa yang dilakukan para budak di sana?”
“Kalau aku tahu, bukan Leevid si pedagang namaku,” ujarnya. “Jadi, kalau kau ingin pergi ke sana, teruslah berjalan ke sana, ke selatan,” Leevid menjelaskan sambil menunjuk dengan telunjuknya. “Kau akan melalui Celah Grendith, akan ada kemungkinan buruk terjadi di sana, sebaiknya kau berhati-hati, banyak penyamun. Mungkin jika kau berhasil selamat dari Celah Grendith, kau akan sampai di Bukit Grendith, Goat Hill sudah dekat dari sana,” jelas Leevid panjang lebar. Dia meneguk sebotol air untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Aku tak lagi berjalan bersamanya. Aku sudah mendapat cukup informasi darinya mengenai letak Goat Hill. Untuk persiapan aku membeli sebotol air, dengan seekor kuda untuk kunaiki. Kuda itu kuberi nama Lecon, sebab kata itu yang kudengar menarik dari percakapan orang-orang di sini. Sepertinya nama kudaku berarti uang emas atau semacam pertanda keuntungan. Kupikir cukup bagus untuknya.
Mungkin aku begitu percaya diri, sampai aku sadar kalau mata uang di sini berbeda dengan dimensi Maya.
“Semuanya jadi 3000 Krall, Tuan,” kata si pedagang.
Krall? Apa itu? Bibirku hanya bisa tersenyum untuk menyembunyikan perasaan dan raut wajahku sesungguhnya. Aku langsung merogoh sakuku dan mengambil beberapa lembaran dollar.
“Apakah di sini menerima uang ini? Sebab hanya ini yang kupunya.”
“Ini…” dia tampak agak takjub. Sebenarnya bukan takjub juga, hanya saja aku hampir tak mengerti maksud ekspresinya itu. Dia hanya mengambil selembar dari tanganku. Kemudian dia menghilang dari balik toko kecil yang dia jaga.
Pedagang itu kembali dengan membawa dua monster di belakangnya. Monster itu mirip seperti manusia purba, seperti seekor kera—rahang bawahnya besar. Jari telunjuk si pedagang nampak menunjuk-nunjuk padaku, sambil menjelaskan selembar dollar yang dia pegang pada kedua monster yang mengenakan chainmail. Segera kucabut tali yang mengikat kuda ini dari sebuah pasak kayu, kemudian kubawa serta air yang belum terbayar. Cepat-cepat kutarik tali kekangnya, maka meluncurlah aku dalam usahaku melarikan diri dari dua monster itu.
Pedagang tadi memaki-makiku dalam nada berang. Aku bisa mendengarnya jauh di belakangku.
Kupacu kuda ini semakin kencang. Dengan cepat aku menerobos kerumunan pedagang buah-buahan dan sayur mayur. Mereka langsung menggerutu dan mencaci maki begitu aku memporak-porandakan keranjang-keranjang dan pajangan dagangan mereka. Dedaunan hijau dan beberapa keranjang buah jatuh terbalik dari tempatnya semula. Aku tak mungkin berhenti dahulu untuk meminta maaf.
Dua monster kera itu masih terus mengejarku. Mereka berlari dengan kaki dan tangan mereka, benar-benar persis seperti seekor kera. Dalam beberapa langkah cepat Lecon, aku berhasil dibawanya keluar dari kota Gabion melalui gerbang lain yang menganga lebar. Tapi sialnya, mereka masih saja membuntutiku, justru semakin lama semakin dekat. Aku melihat sebuah hutan gelap di balik aliran sungai kecil, tak jauh dari sini. Sungai itu begitu damai, tanpa sedikitpun arus. Hanya terlihat seperti sebuah genangan air bening. Tanpa berpikir ada apa di dalam hutan yang tampak kelam itu, aku dan Lecon berlari ke sana. Dua monster itu berhenti mengikutiku. Mereka diam tepat di tepi sungai saat aku membalikan pandanganku.
Ada apa gerangan mereka tak mengikutiku ke sini? Apakah mereka takut air? Atau aku yang tak tahu ada apa di dalam hutan ini? Tapi hanya ini jalan agar aku bisa selamat dari kejaran mereka. Untuk sementara kuda ini bisa berjalan lambat-lambat. Aku masuk semakin dalam, kegelapan makin memakan pandanganku.
………
Hutan ini sunyi senyap, seperti hutan kematian. Terus saja kuberjalan dalam kengerian yang menyergap leherku. Ini merupakan dunia yang sama sekali tak kukenal dengan baik. Alasan yang tepat untuk untuk cemas. Di tengah kecepatan pelan dari kuda ini, mataku menerawang hati-hati.
Langit mulai gelap, kehati-hatian membuat perjalananku menjadi lambat. Serigala-serigala mulai melolong dari ujung perbukitan di belakang gurun. Suaranya begitu jauh dari hutan. Langkah Lecon sudah membawaku cukup dalam memasuki hutan. Aku ingat pesan Leevid tentang malam di sekitar jalur menuju Goat Hill. Kuputuskan untuk mencari tempat yang agak rendah, kemudian berdiam di sana. Tali kekang Lecon kulilitkan ke cabang pohon terdekat. Tak sulit bagiku untuk mencari kayu bakar di sini. Aku menyusunnya berdiri, mengisi bagian tengah dengan dedaunan kering, kemudian membakarnya dengan korek api yang selalu kubawa-bawa dari dulu.
Mengapa aku bisa membawa korek api?
Jawabannya singkat, itu karena aku juga membawa sekotak rokok yang tak jua kuhabiskan dari lima hari yang lalu.
Aku berlindung di samping api unggun, duduk bersandar pada sebuah pohon besar yang rimbun. Hawa panas di siang hari tadi berganti dengan dingin yang mulai membekukan tubuhku.
Aku mulai bosan dan mengantuk dengan keadaan yang begitu tenang. Sekelebat kuingat pesan dari Leevid agar tidak tertidur dalam perjalanan ke Goat Hill, aku kembali terjaga, kupaksakan untuk tetap terjaga.
Baru sedikit mataku terpejam, seseorang datang, lalu tiba-tiba mematikan api unggunku dengan sepakan tanah.
Aku mendadak terbangun dan bereaksi, tapi gerakanku tertahan oleh sebuah stiletto yang telah dihunuskan di depan leherku. Dia memakai jubah hitam dengan sebuah topi fedora hitam di atas kepalanya. Sepatu boots hitamnya menahan tubuhku agar tetap bersandar pada pohon.
“Kau punya barang berharga untuk kau serahkan padaku?” tanya lelaki yang suaranya terhalang masker hitam itu.
“Bagaimana kalau aku tidak mau menyerahkannya padamu?”
“Mudah bagimu untuk mempersilahkan kematian!”
Aku menahan laju stiletto itu dengan tangan kananku. Tajamnya pisau itu membuat tanganku berlumuran darah. Segera kukeluarkan sebesar mungkin tenagaku dan memelintir tangannya, kemudian kakinya yang menahan dadaku menjadi penyebab utama dia terjatuh saat aku berdiri mendadak.
Topi fedora hitamnya tergeletak di atas daun-daun kering. Tampak rambut seleher yang menutupi leher miliknya. Dia memaksa berdiri, kemudian menyerangku dengan kecepatan tinggi. Dalam beberapa gerakan, dia merasa lebih unggul dari diriku yang tak menggunakan senjata, sampai stilettonya kusangkutkan pada batang pohon, kemudian tubuhnya kulontarkan jauh dengan tendangan tumit, tepat pada bagian perutnya.
Yang terjadi kemudian mengejutkan pria itu. Dia memperhatikan luka di telapak tanganku yang berangsur membaik, hingga hilang seperti tak terjadi apa-apa. Kekuatan regenerasi, sama seperti Enrico, walaupun berbeda sumbernya. Jikalau keajaiban ini dimiliki Enrico karena sebuah mutasi akibat badai Supernative, aku sendiri hanya sekali ini bersentuhan dengan Supernative. Seingatku begitu.
“Kau…kuat juga. Tak kusangka ada manusia sepertimu yang berada di dalam hutan ini. Apa kau sedang dalam perjalanan ke Goat Hill? Sebab jalur ini hanya akan membawamu ke Goat Hill, atau ke jurang kematian, Ragnarok,” katanya dengan menahan perih.
“Aku memang akan pergi ke Goat Hill, aku mencari-cari pria yang bernama Témpust. Apakah kau bawahannya?” tanyaku sambil mencabut stilettonya yang tertancap di pohon dan melemparkannya kembali pada pria itu.
“Jika kau ingin membunuhnya dan menjadikan kepalanya sebagai hiasan rumah Raja, kau yang akan kubunuh dahulu,” ancamnya serius.
“Tunggu sebentar, aku datang dengan pesan dari dimensi Maya. Aku ingin menyampaikan sesuatu dari pimpinanku pada Témpust, hanya itu.”
“Dewasa ini, makin banyak pembohong dan penipu. Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Jika pimpinanmu orang yang pintar, dia pasti menyertakan sesuatu sebagai bukti, bukti kalau kau bukanlah seorang pembual.”
Aku merogoh-rogoh isi tas yang kubawa dari dunia Maya, mengambil sesuatu yang bisa membungkam mulutnya.
“Kau pasti tahu apa ini…”
Matanya terbelalak ketika melihat benda yang kutunjukan dengan tangan kananku. Dia menyarungkan stilettonya dan mulai melangkah maju. Dia memandang benda ini dengan begitu khusyuknya, seakan tengah berhadapan dengan keajaiban yang luar biasa.
“Batu Oriel…jadi kau? Bagaimana mungkin itu bisa ada di tanganmu?”
“Tunggu! Jangan mendekat lebih jauh. Aku sudah membuktikan ucapanku, sekarang tunjukkan kau bukan seorang penipu juga.”
Dia agak kaget mendengar hardikanku. Lalu dia terdengar tersenyum dari balik maskernya itu. Dia membuka syal hitam yang membalut lehernya. Ditunjukkannya tato pertanda dengan huruf dari bahasa setempat, dirangkai menjadi sebuah simbol. Tato itu berwarna hitam, garis-garisnya tajam. Bentuknya seperti huruf ‘L’ dengan garis tipis dan tegas menggaris vertikal di ujung kaki huruf itu.
“Ini bukti…bukti kalau aku adalah anak dari Témpust. Tak akan ada orang bodoh yang mau membuat-buat simbol ini karena pihak Kerajaan amat membencinya. Maaf membuatmu bermasalah malam ini.”
“Itu tak menjadi masalah bagiku. Aku senang bisa merasakan hasil latihan dari seorang putera Témpust. Aku Ivander, tak keberatan jika kau beritahu namamu, Putera Témpust yang tersohor?”
“Namaku Bader. Dia memang sudah lama menunggu kedatangan tamu dari dimensi kalian. Terutama jika tamu itu membawa batu Oriel bersamanya, pasti sebuah kabar baik besertanya.”
Bader mengambil kembali topi fedora hitamnya, kemudian memasangnya kembali ke atas kepalanya. Dia bersiul beberapa kali. Siulannya terdengar nyaring menggema di dalam hutan ini. Beberapa saat kemudian, suara derap langkah segera terdengar, seekor kuda putih yang gagah segera datang. Bader menggiringnya dan mengikatkannya dekat dengan kuda milikku. Kuda itu diberi nama Silver Wind, sebuah pilihan kata yang mengartikan betapa indah bulunya bila berlari di bawah terpaan matahari.
Kunyalakan kembali api-api yang telah menjadi bara. Cahaya api unggun membuka wajah Bader saat dia lepaskan masker dan topinya ke tanah. Dapat kulihat bola matanya yang berwarna hijau keperakan, sebuah warna langka untuk bola mata. Rambut-rambut kasar di wajahnya dibiarkan tumbuh berantakan.
“Jadi, Ivander, apakah sesuatu yang membawamu kemari merupakan suatu rahasia untukku?”
“Mungkin iya untuk sebagian, tapi mungkin tidak untuk sebagian pula. Batu ini memang membawa sebuah kabar baik untuk Mithrillia. Dia telah bercahaya di dimensi Maya. Pimpinan kami memintaku membawanya ke Mithrillia, untuk mengetahui siapa Sang Terpilih itu. Kami tak mungkin mencari satu dari miliyaran orang di seluruh dimensi kami. Tapi cepat atau lambat, Sang Terpilih pasti akan menginjakkan kakinya ke Mithrillia. Di saat itu, batu ini akan menyala kembali. Saat itulah kita bisa mengetahui siapa dia sebenarnya.”
“Kau benar. Aku tak pernah berhenti berkhayal, seperti apa sebenarnya Sang Terpilih itu. Mungkinkah dia seorang pria yang jauh lebih kuat darimu, atau bahkan melebihi ayahku,” sinar matanya mendukung semua kata-katanya barusan.
Aku hanya tertawa kecil menanggapi khayalannya. “Mau?” kataku sambil menawarkan sekotak rokok yang terbuka. Kotaknya sudah lusuh tertindih di kantung celanaku, beruntung tak satu batangpun yang patah.
Bader tampak terkejut, seperti baru sekali dia melihat benda ini.
“Apa ini? Bisa dimakan?” tanya Bader dengan begitu serius. Dia mengambil sebatang dan mengendus-ngendusnya di dekat hidung mancungnya.
“Kau tak tahu? Bukankah ayahmu sempat mencicipi benda ini? Lagipula seseorang di dimensiku pernah berkata bahwa kemajuan dimensi kalian dan dimensi kami hampir sama.”
“Bukan. Aku juga tahu itu. Kami tak pernah sama, tapi pernah hampir sama. Pimpinan berkata bahwa keadaan semakin mundur dari tahun ke tahun. Pemerintah Mirage telah mengambil semua pengetahuan kami dan menggantinya dengan peradaban ini. itu katanya, tapi aku tak tahu…”
“Bukankah kau yang kau katakan pimpinan itu adalah ayahmu? Mengapa kau begitu enggan menyebutnya ayah?” Aku tak tahu apakah ini penting untuk kutanyakan, tapi sekali lagi, aku ingin meyakinkan tebakanku pada sifatnya, apakah itu benar atau salah. Tentang usahanya untuk tegas.
“Pimpinan orang yang tegas, dia mendidikku dengan keras. Mungkin ketika umurku di bawah sepuluh tahun, aku masih diperkenankan untuk memanggilnya ayah. Namun ketika aku sudah memasuki dunia ini, kata ‘ayah’ bukanlah panggilan untuknya lagi. Dia sudah melatihku seperti seorang anak buah, dia tak pernah membedakan kami.”
Kenyataan itu membuatku tahu betapa kuat tekadnya, meski dalam kemudaan itu dia masih perlu banyak belajar.
“Jadi bagaimana cara kita menikmati benda ini? Baunya harum,” celetuknya masih memutar-mutar sebatang rokok di depan matanya.
“Coba bakar ujungnya. Lihat caraku.”
Bader mengikutiku saat aku menyulut ujung lintingan tembakau itu ke kobaran api unggun. Sedikit waktu benda itu kutahan, lalu kutarik hingga menjauh dari api unggun. Bader mengikutinya begitu serius.
“Sekarang hisap ujungnya hingga asapnya memenuhi mulutmu,” lanjutku.
“Aneh, aku heran mengapa orang di Maya senang sekali dengan benda ini.”
“Hei, bodoh! Bukan di ujung yang kau bakar! Ujung yang satunya lagi!” kataku menghentikan aksi konyolnya.
Boleh saja aku mengalami kejadian-kejadian baik hari ini. Boleh saja aku berpikir takdir telah membantuku sampai di sini. Tapi malam terus bergerak, sama seperti gerakan Lacuna Syndrome yang mungkin semakin pesat. Aku mulai mengkhawatirkan semua usaha kami. Kepalaku semakin penuh dengan pertanyaan yang seharusnya tak boleh ada. Bolehkah kami melawan kehendak alam? Karena aku ragu, aku takut setelah Lacuna Syndrome berakhir, tak ada yang berubah. Penjajahan akan terulang, peperangan akan terjadi, dan kerusakan manusia terus berputar.
Matahari begitu terik menyinari pasir yang terlihat seperti kilauan serbuk kaca. Panasnya lebih dari musim panas negara manapun di dunia. Angin berhembus ke sana kemari, menggoyangkan debu-debu pasir. Angin itu membawa hawa panas yang menusuk tenggorokanku. Aku mencoba bangkit berdiri dan berjalan tanpa arah. Aku sendiri tak tahu dimana ini, tapi sepertinya...
Mithrillia sudah kucapai.
Beberapa kali kucoba untuk menggunakan alat komunikasiku, tetap saja gagal. Rasanya alat komunikasiku tak bisa digunakan di sini, gawat, bagaimana caranya aku tahu orang yang bernama Témpust? Caranya keluar dari sini saja aku tak tahu.
Matahari panas membuatku terdorong untuk mulai berjalan cepat-cepat. Pelan-pelan aku jatuh juga dalam keadaan lelah. Tanganku tak kuasa kuangkat, hanya kubiarkan melambai-lambai ke bawah, saat diriku sudah cukup jauh melangkah dari tempat awal. Aku bisa melihat sebuah kota, dalam jarak yang cukup membuatku tergelepar jatuh. Walau sudah sedekat itu, aku tak mampu lagi berjalan.
Datanglah taksi di tengah gurun, kumohon…
Suuiiit!!
Suara siulan membuatku sedikit memiliki harapan. Jauh di belakangku ada seseorang yang menunggangi seekor makhluk yang belum pernah kulihat. Aku tak bisa melihat wujudnya dengan jelas, matahari membuyarkan pandanganku. Kutunggu dia dari sini sambil melambai-lambaikan tangan kananku.
“Kau sendirian di sini, butuh tumpangan? Kebetulan aku akan ke Gabion,” tawar manusia berjubah abu-abu ini.
Wajahnya tertutupi kerudung cokelat kusam dari jubahnya. Tubuhnya agak tambun. Dia banyak memakai perhiasan di tangan dan leher. Dia membawa banyak barang di tunggangannya. Hewan yang menjadi tunggangannya mirip seekor unta, namun lehernya lebih pendek, makhluk ini juga bertanduk seperti kambing gunung, kaki-kakinya lebih kekar dari unta. Dia juga menyeret sebuah gerobak kayu beroda besar di belakang.
“Gabion? Bagaimana dengan Goat Hill?”
“Kau bercanda, Saudaraku. Sampai mati pun, aku tak akan mengantarkanmu ke sana. Sekarang aku hanya ingin ke Gabion, jadi ikut atau tidak?”
Diam di sini berarti panasnya gurun akan semakin lama membakarku. Matahari bisa dengan mudah membuatku menjadi ‘Manusia Bakar Bersaus Keringat’. Konyol sekali. Aku menumpang di gerobak belakangnya. Kami berjalan lambat, hanya lurus saja menerjang gurun.
“Hei, Pengembara! Kau pasti haus, minumlah ini,” tawarnya dengan tangan dijulurkan ke belakang. Dia menyodorkan air di dalam tempat dari kulit binatang. Sontak kusambut dengan penuh rasa terima kasih.
“Kau tahu kita belum saling mengenal, Orang Asing. Aku Leevid, pedagang sutera dari Devtown. Dan kau, siapa namamu?” tanya Leevid sedikit berteriak.
“Ivander,” kataku berhenti menenggak minuman. Aku sedang mencari seseorang bernama Témpust, kau kenal dia?”
“Aku tak bisa mendengarmu, Saudaraku! Hampir saja kudengar kau sedang mencari orang jahat bernama Témpust tadi,” candanya sambil tertawa lepas. Dia pikir ada yang salah dengan pendengarannya.
“Aku memang berkata seperti itu, Tuan Leevid!” balasku agak kukeraskan agar dia mendengar.
“Astaga! Kupikir kau hanya bercanda, ternyata kau serius ingin pergi ke Goat Hill?” serunya kaget. Hewannya pun sedikit tak terkendali sesaat, namun secepatnya semua kembali baik-baik saja. “Aku sarankan kau untuk mengurungkan niatmu, bila kau tidak dalam urusan yang benar-benar mendesak. Jika mereka mengetahui niatmu, kau bisa dihukum,” katanya dengan nada berbisik.
“Mereka? Mereka siapa? Lalu, siapa sebenarnya Témpust itu?” balasku penasaran.
“Para Guardian. Témpust adalah buronan paling mahal di dunia. Konon, menurut cerita para mata-mata, dia dan kawanannya tinggal di Goat Hill. Témpust adalah penjahat paling kejam yang pernah kuketahui,” bisiknya melanjutkan. Aku agak kesulitan mendengarnya, tapi sedikitnya aku bisa menangkap maksud Leevid.
Aku terdiam berpikir sebentar. Kemudian aku menyandarkan punggungku ke dinding gerobaknya yang dipenuhi sutera beragam warna.
“Jadi, mengapa kau menanyakan hal itu, apakah kau bukan berasal dari sini?” lanjutnya kembali berteriak.
“Bukan. Aku dari dimensi Maya…”
“Dan kau dikirimkan ke sini untuk membunuh Témpust? Begitu kan?” katanya menyela ucapanku.
Aku diam. Aku tak bisa mengatakan apa-apa pada Leevid untuk menjawabnya. Bisakah aku katakan tentang batu ini?
“Aku mengerti, kau tak ingin memberitahu misimu padaku. Tak apa, Mithrillia memang penuh dengan misteri. Aku saja masih belum tahu seperti apa wajah Témpust sebenarnya,” lanjutnya memaklumi.
“Leevid, bisakah kau memberitahuku kemana arah menuju Goat Hill?” tanyaku mengalihkan.
“Uhmm…biar kupikirkan dahulu,” ujarnya bergumam. Butuh beberapa langkah hewan ini, sebelum dia melanjutkan ucapannya. “Rasanya Goat Hill cukup jauh dari sini, namun dari Gabion, kau bisa melanjutkan perjalanan langsung ke Goat Hill, ke arah selatan tepatnya. Namun berhati-hatilah, jalur menuju Goat Hill dipenuhi bahaya, jangan biarkan dirimu tertidur di malam hari. itu. Sejak insiden itu, Goat Hill menjadi makin ditakuti, termasuk untuk pemerintah Kerajaan Timur.”
“Kejadian apa? Bisakah kau ceritakan padaku?”
“Menurut keterangan yang bocor ke masyarakat, pemerintah Kerajaan sempat mengutus pasukan untuk melakukan pembersihan bagi daerah itu. Tentara-tentara terbaik dipilih untuk menjalankannya. Tapi yang sampai ke hadapan Raja bukanlah laporan akan kematian Témpust, melainkan kepala tentara itu sendiri. Insiden ini mencoreng kehormatan Raja Gardner. Sampai saat ini, belum ada tindakan lanjut untuk membalasnya.”
“Témpust…baiklah. Ada lagi yang kau ketahui tentang Témpust?” Tepat sebelum dia membuka mulutnya dan mulai menjawab, aku memberinya pertanyaan lebih jelas. “Hanya Témpust, bukan Goat Hill.”
“Témpust, Lampros Témpust. Beberapa masyarakat menanggapnya pahlawan, beberapa menanggapnya pengacau yang patut mati. Aku sendiri bingung harus berada di pihak mana. Dia memiliki banyak anak buah yang berbahaya. Dia pernah mencoba melakukan kudeta terhadap Kerajaan Timur, dia juga sempat berniat membunuh Raja Gardner Visselves, namun digagalkan oleh Pangeran dari Benua Tengah yang saat itu mengadakan kunjungan ke sini. Atas percobaan pembunuhan itulah, harga kepalanya naik berlipat-lipat ganda. Ada yang menyebutkan kalau dia melakukan itu demi kekuasaan di benua Timur, namun ada juga yang menyebut kalau dia tak senang dengan dominasi Mirage, atau dengan kata lain dia adalah pasukan pembebasan. Itulah mengapa, Mithrillia ini penuh dengan misteri yang bahkan aku pun tak tahu kepastiannya.”
………
Lama setelah itu, kami sampai di kota Gabion, setidaknya begitulah kata Leevid. Kota dengan perairan yang mengelilinginya, dermaga bertaburan di sana. Gaya khas Timur Tengah menjadi pembangun arsitektur kota ini. Banyak aktivitas terjadi di sini, perdagangan menjadi yang utama. Jenisnya juga beragam, mulai dari biji-bijian, rempah-rempah, keramik, perhiasan, senjata tajam, kain, hingga hewan. Semuanya masih tampak seperti zaman pertengahan, bagaimana mungkin masih ada peradaban sekuno ini di abad millennium?
“Semuanya tampak baik, Leevid. Semakmur inikah keadaan Benua Timur?” tanyaku sambil menghela nafas panjang setelah perjalanan itu. “Aku tak melihat alasan bagi orang itu untuk berjuang sebagai pasukan pembebasan.”
“Sayangnya tidak, Ivander. Gabion adalah kota perdagangan, tak heran bila masyarakatnya makmur. Namun di belahan dunia lain, banyak juga yang menderita kemiskinan. Mungkin karena alasan itulah, beberapa kali aku sempat berpikir untuk mengagumi perjuangannya.”
“Maksudmu Temp…”
“Syuutt…diam!” Leevid mendadak membekap mulutku. “Jangan sekali-kali kau menyebut namanya di kota ini, tidak juga di beberapa kota lain. Mereka amat sensitif dengan nama itu.”
“Maaf, aku tak tahu,” kataku menyesal.
“Sekarang kau tahu bukan?” katanya melepaskan tangannya dari mulutku. “Lagipula, Ivander, sudah terlalu lama kami diatur oleh bangsa lain. Pada awal kedatangan mereka, banyak sekali pergolakan, penentangan. Tapi makin jauh ke sini, keadaan semakin tenang. Bukannya mereka diam dan menyukai kondisi sekarang, tapi mereka takut. Serdadu mereka pasti mengumpulkan budak-budak baru tiap pergantian musim, artinya tiap tiga bulan sekali beberapa orang di sini ditarik paksa ke Benua Tengah.”
“Perbudakan besar-besaran. Lalu apa yang dilakukan para budak di sana?”
“Kalau aku tahu, bukan Leevid si pedagang namaku,” ujarnya. “Jadi, kalau kau ingin pergi ke sana, teruslah berjalan ke sana, ke selatan,” Leevid menjelaskan sambil menunjuk dengan telunjuknya. “Kau akan melalui Celah Grendith, akan ada kemungkinan buruk terjadi di sana, sebaiknya kau berhati-hati, banyak penyamun. Mungkin jika kau berhasil selamat dari Celah Grendith, kau akan sampai di Bukit Grendith, Goat Hill sudah dekat dari sana,” jelas Leevid panjang lebar. Dia meneguk sebotol air untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Aku tak lagi berjalan bersamanya. Aku sudah mendapat cukup informasi darinya mengenai letak Goat Hill. Untuk persiapan aku membeli sebotol air, dengan seekor kuda untuk kunaiki. Kuda itu kuberi nama Lecon, sebab kata itu yang kudengar menarik dari percakapan orang-orang di sini. Sepertinya nama kudaku berarti uang emas atau semacam pertanda keuntungan. Kupikir cukup bagus untuknya.
Mungkin aku begitu percaya diri, sampai aku sadar kalau mata uang di sini berbeda dengan dimensi Maya.
“Semuanya jadi 3000 Krall, Tuan,” kata si pedagang.
Krall? Apa itu? Bibirku hanya bisa tersenyum untuk menyembunyikan perasaan dan raut wajahku sesungguhnya. Aku langsung merogoh sakuku dan mengambil beberapa lembaran dollar.
“Apakah di sini menerima uang ini? Sebab hanya ini yang kupunya.”
“Ini…” dia tampak agak takjub. Sebenarnya bukan takjub juga, hanya saja aku hampir tak mengerti maksud ekspresinya itu. Dia hanya mengambil selembar dari tanganku. Kemudian dia menghilang dari balik toko kecil yang dia jaga.
Pedagang itu kembali dengan membawa dua monster di belakangnya. Monster itu mirip seperti manusia purba, seperti seekor kera—rahang bawahnya besar. Jari telunjuk si pedagang nampak menunjuk-nunjuk padaku, sambil menjelaskan selembar dollar yang dia pegang pada kedua monster yang mengenakan chainmail. Segera kucabut tali yang mengikat kuda ini dari sebuah pasak kayu, kemudian kubawa serta air yang belum terbayar. Cepat-cepat kutarik tali kekangnya, maka meluncurlah aku dalam usahaku melarikan diri dari dua monster itu.
Pedagang tadi memaki-makiku dalam nada berang. Aku bisa mendengarnya jauh di belakangku.
Kupacu kuda ini semakin kencang. Dengan cepat aku menerobos kerumunan pedagang buah-buahan dan sayur mayur. Mereka langsung menggerutu dan mencaci maki begitu aku memporak-porandakan keranjang-keranjang dan pajangan dagangan mereka. Dedaunan hijau dan beberapa keranjang buah jatuh terbalik dari tempatnya semula. Aku tak mungkin berhenti dahulu untuk meminta maaf.
Dua monster kera itu masih terus mengejarku. Mereka berlari dengan kaki dan tangan mereka, benar-benar persis seperti seekor kera. Dalam beberapa langkah cepat Lecon, aku berhasil dibawanya keluar dari kota Gabion melalui gerbang lain yang menganga lebar. Tapi sialnya, mereka masih saja membuntutiku, justru semakin lama semakin dekat. Aku melihat sebuah hutan gelap di balik aliran sungai kecil, tak jauh dari sini. Sungai itu begitu damai, tanpa sedikitpun arus. Hanya terlihat seperti sebuah genangan air bening. Tanpa berpikir ada apa di dalam hutan yang tampak kelam itu, aku dan Lecon berlari ke sana. Dua monster itu berhenti mengikutiku. Mereka diam tepat di tepi sungai saat aku membalikan pandanganku.
Ada apa gerangan mereka tak mengikutiku ke sini? Apakah mereka takut air? Atau aku yang tak tahu ada apa di dalam hutan ini? Tapi hanya ini jalan agar aku bisa selamat dari kejaran mereka. Untuk sementara kuda ini bisa berjalan lambat-lambat. Aku masuk semakin dalam, kegelapan makin memakan pandanganku.
………
Hutan ini sunyi senyap, seperti hutan kematian. Terus saja kuberjalan dalam kengerian yang menyergap leherku. Ini merupakan dunia yang sama sekali tak kukenal dengan baik. Alasan yang tepat untuk untuk cemas. Di tengah kecepatan pelan dari kuda ini, mataku menerawang hati-hati.
Langit mulai gelap, kehati-hatian membuat perjalananku menjadi lambat. Serigala-serigala mulai melolong dari ujung perbukitan di belakang gurun. Suaranya begitu jauh dari hutan. Langkah Lecon sudah membawaku cukup dalam memasuki hutan. Aku ingat pesan Leevid tentang malam di sekitar jalur menuju Goat Hill. Kuputuskan untuk mencari tempat yang agak rendah, kemudian berdiam di sana. Tali kekang Lecon kulilitkan ke cabang pohon terdekat. Tak sulit bagiku untuk mencari kayu bakar di sini. Aku menyusunnya berdiri, mengisi bagian tengah dengan dedaunan kering, kemudian membakarnya dengan korek api yang selalu kubawa-bawa dari dulu.
Mengapa aku bisa membawa korek api?
Jawabannya singkat, itu karena aku juga membawa sekotak rokok yang tak jua kuhabiskan dari lima hari yang lalu.
Aku berlindung di samping api unggun, duduk bersandar pada sebuah pohon besar yang rimbun. Hawa panas di siang hari tadi berganti dengan dingin yang mulai membekukan tubuhku.
Aku mulai bosan dan mengantuk dengan keadaan yang begitu tenang. Sekelebat kuingat pesan dari Leevid agar tidak tertidur dalam perjalanan ke Goat Hill, aku kembali terjaga, kupaksakan untuk tetap terjaga.
Baru sedikit mataku terpejam, seseorang datang, lalu tiba-tiba mematikan api unggunku dengan sepakan tanah.
Aku mendadak terbangun dan bereaksi, tapi gerakanku tertahan oleh sebuah stiletto yang telah dihunuskan di depan leherku. Dia memakai jubah hitam dengan sebuah topi fedora hitam di atas kepalanya. Sepatu boots hitamnya menahan tubuhku agar tetap bersandar pada pohon.
“Kau punya barang berharga untuk kau serahkan padaku?” tanya lelaki yang suaranya terhalang masker hitam itu.
“Bagaimana kalau aku tidak mau menyerahkannya padamu?”
“Mudah bagimu untuk mempersilahkan kematian!”
Aku menahan laju stiletto itu dengan tangan kananku. Tajamnya pisau itu membuat tanganku berlumuran darah. Segera kukeluarkan sebesar mungkin tenagaku dan memelintir tangannya, kemudian kakinya yang menahan dadaku menjadi penyebab utama dia terjatuh saat aku berdiri mendadak.
Topi fedora hitamnya tergeletak di atas daun-daun kering. Tampak rambut seleher yang menutupi leher miliknya. Dia memaksa berdiri, kemudian menyerangku dengan kecepatan tinggi. Dalam beberapa gerakan, dia merasa lebih unggul dari diriku yang tak menggunakan senjata, sampai stilettonya kusangkutkan pada batang pohon, kemudian tubuhnya kulontarkan jauh dengan tendangan tumit, tepat pada bagian perutnya.
Yang terjadi kemudian mengejutkan pria itu. Dia memperhatikan luka di telapak tanganku yang berangsur membaik, hingga hilang seperti tak terjadi apa-apa. Kekuatan regenerasi, sama seperti Enrico, walaupun berbeda sumbernya. Jikalau keajaiban ini dimiliki Enrico karena sebuah mutasi akibat badai Supernative, aku sendiri hanya sekali ini bersentuhan dengan Supernative. Seingatku begitu.
“Kau…kuat juga. Tak kusangka ada manusia sepertimu yang berada di dalam hutan ini. Apa kau sedang dalam perjalanan ke Goat Hill? Sebab jalur ini hanya akan membawamu ke Goat Hill, atau ke jurang kematian, Ragnarok,” katanya dengan menahan perih.
“Aku memang akan pergi ke Goat Hill, aku mencari-cari pria yang bernama Témpust. Apakah kau bawahannya?” tanyaku sambil mencabut stilettonya yang tertancap di pohon dan melemparkannya kembali pada pria itu.
“Jika kau ingin membunuhnya dan menjadikan kepalanya sebagai hiasan rumah Raja, kau yang akan kubunuh dahulu,” ancamnya serius.
“Tunggu sebentar, aku datang dengan pesan dari dimensi Maya. Aku ingin menyampaikan sesuatu dari pimpinanku pada Témpust, hanya itu.”
“Dewasa ini, makin banyak pembohong dan penipu. Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Jika pimpinanmu orang yang pintar, dia pasti menyertakan sesuatu sebagai bukti, bukti kalau kau bukanlah seorang pembual.”
Aku merogoh-rogoh isi tas yang kubawa dari dunia Maya, mengambil sesuatu yang bisa membungkam mulutnya.
“Kau pasti tahu apa ini…”
Matanya terbelalak ketika melihat benda yang kutunjukan dengan tangan kananku. Dia menyarungkan stilettonya dan mulai melangkah maju. Dia memandang benda ini dengan begitu khusyuknya, seakan tengah berhadapan dengan keajaiban yang luar biasa.
“Batu Oriel…jadi kau? Bagaimana mungkin itu bisa ada di tanganmu?”
“Tunggu! Jangan mendekat lebih jauh. Aku sudah membuktikan ucapanku, sekarang tunjukkan kau bukan seorang penipu juga.”
Dia agak kaget mendengar hardikanku. Lalu dia terdengar tersenyum dari balik maskernya itu. Dia membuka syal hitam yang membalut lehernya. Ditunjukkannya tato pertanda dengan huruf dari bahasa setempat, dirangkai menjadi sebuah simbol. Tato itu berwarna hitam, garis-garisnya tajam. Bentuknya seperti huruf ‘L’ dengan garis tipis dan tegas menggaris vertikal di ujung kaki huruf itu.
“Ini bukti…bukti kalau aku adalah anak dari Témpust. Tak akan ada orang bodoh yang mau membuat-buat simbol ini karena pihak Kerajaan amat membencinya. Maaf membuatmu bermasalah malam ini.”
“Itu tak menjadi masalah bagiku. Aku senang bisa merasakan hasil latihan dari seorang putera Témpust. Aku Ivander, tak keberatan jika kau beritahu namamu, Putera Témpust yang tersohor?”
“Namaku Bader. Dia memang sudah lama menunggu kedatangan tamu dari dimensi kalian. Terutama jika tamu itu membawa batu Oriel bersamanya, pasti sebuah kabar baik besertanya.”
Bader mengambil kembali topi fedora hitamnya, kemudian memasangnya kembali ke atas kepalanya. Dia bersiul beberapa kali. Siulannya terdengar nyaring menggema di dalam hutan ini. Beberapa saat kemudian, suara derap langkah segera terdengar, seekor kuda putih yang gagah segera datang. Bader menggiringnya dan mengikatkannya dekat dengan kuda milikku. Kuda itu diberi nama Silver Wind, sebuah pilihan kata yang mengartikan betapa indah bulunya bila berlari di bawah terpaan matahari.
Kunyalakan kembali api-api yang telah menjadi bara. Cahaya api unggun membuka wajah Bader saat dia lepaskan masker dan topinya ke tanah. Dapat kulihat bola matanya yang berwarna hijau keperakan, sebuah warna langka untuk bola mata. Rambut-rambut kasar di wajahnya dibiarkan tumbuh berantakan.
“Jadi, Ivander, apakah sesuatu yang membawamu kemari merupakan suatu rahasia untukku?”
“Mungkin iya untuk sebagian, tapi mungkin tidak untuk sebagian pula. Batu ini memang membawa sebuah kabar baik untuk Mithrillia. Dia telah bercahaya di dimensi Maya. Pimpinan kami memintaku membawanya ke Mithrillia, untuk mengetahui siapa Sang Terpilih itu. Kami tak mungkin mencari satu dari miliyaran orang di seluruh dimensi kami. Tapi cepat atau lambat, Sang Terpilih pasti akan menginjakkan kakinya ke Mithrillia. Di saat itu, batu ini akan menyala kembali. Saat itulah kita bisa mengetahui siapa dia sebenarnya.”
“Kau benar. Aku tak pernah berhenti berkhayal, seperti apa sebenarnya Sang Terpilih itu. Mungkinkah dia seorang pria yang jauh lebih kuat darimu, atau bahkan melebihi ayahku,” sinar matanya mendukung semua kata-katanya barusan.
Aku hanya tertawa kecil menanggapi khayalannya. “Mau?” kataku sambil menawarkan sekotak rokok yang terbuka. Kotaknya sudah lusuh tertindih di kantung celanaku, beruntung tak satu batangpun yang patah.
Bader tampak terkejut, seperti baru sekali dia melihat benda ini.
“Apa ini? Bisa dimakan?” tanya Bader dengan begitu serius. Dia mengambil sebatang dan mengendus-ngendusnya di dekat hidung mancungnya.
“Kau tak tahu? Bukankah ayahmu sempat mencicipi benda ini? Lagipula seseorang di dimensiku pernah berkata bahwa kemajuan dimensi kalian dan dimensi kami hampir sama.”
“Bukan. Aku juga tahu itu. Kami tak pernah sama, tapi pernah hampir sama. Pimpinan berkata bahwa keadaan semakin mundur dari tahun ke tahun. Pemerintah Mirage telah mengambil semua pengetahuan kami dan menggantinya dengan peradaban ini. itu katanya, tapi aku tak tahu…”
“Bukankah kau yang kau katakan pimpinan itu adalah ayahmu? Mengapa kau begitu enggan menyebutnya ayah?” Aku tak tahu apakah ini penting untuk kutanyakan, tapi sekali lagi, aku ingin meyakinkan tebakanku pada sifatnya, apakah itu benar atau salah. Tentang usahanya untuk tegas.
“Pimpinan orang yang tegas, dia mendidikku dengan keras. Mungkin ketika umurku di bawah sepuluh tahun, aku masih diperkenankan untuk memanggilnya ayah. Namun ketika aku sudah memasuki dunia ini, kata ‘ayah’ bukanlah panggilan untuknya lagi. Dia sudah melatihku seperti seorang anak buah, dia tak pernah membedakan kami.”
Kenyataan itu membuatku tahu betapa kuat tekadnya, meski dalam kemudaan itu dia masih perlu banyak belajar.
“Jadi bagaimana cara kita menikmati benda ini? Baunya harum,” celetuknya masih memutar-mutar sebatang rokok di depan matanya.
“Coba bakar ujungnya. Lihat caraku.”
Bader mengikutiku saat aku menyulut ujung lintingan tembakau itu ke kobaran api unggun. Sedikit waktu benda itu kutahan, lalu kutarik hingga menjauh dari api unggun. Bader mengikutinya begitu serius.
“Sekarang hisap ujungnya hingga asapnya memenuhi mulutmu,” lanjutku.
“Aneh, aku heran mengapa orang di Maya senang sekali dengan benda ini.”
“Hei, bodoh! Bukan di ujung yang kau bakar! Ujung yang satunya lagi!” kataku menghentikan aksi konyolnya.
Boleh saja aku mengalami kejadian-kejadian baik hari ini. Boleh saja aku berpikir takdir telah membantuku sampai di sini. Tapi malam terus bergerak, sama seperti gerakan Lacuna Syndrome yang mungkin semakin pesat. Aku mulai mengkhawatirkan semua usaha kami. Kepalaku semakin penuh dengan pertanyaan yang seharusnya tak boleh ada. Bolehkah kami melawan kehendak alam? Karena aku ragu, aku takut setelah Lacuna Syndrome berakhir, tak ada yang berubah. Penjajahan akan terulang, peperangan akan terjadi, dan kerusakan manusia terus berputar.
0 comments:
Post a Comment