CHAPTER 10 - Eagle Harbour, Sasaran Pertama
Sunday, 28 February 2010
Eagle Harbour, sebuah kota dermaga. Beberapa orang tetap tinggal di sini dan memilih meninggalkan pesta di Goat Hill. Pagi masih amat muda, beberapa penduduk terbangun untuk membentangkan jala-jala mereka, merajut kembali lubang-lubang yang terkoyak rontaan ikan-ikan besar yang mereka tangkap di lautan. Sementara lainnya masih terlarut dalam tidurnya.
Seorang pria di dalam menara pengawas, mengamati titik-titik kecil di laut, jauh sekali dari keberadaannya sekarang. Rambut merah kecokelatannya dihembuskan angin laut. Tangannya tak berhenti menutupi sinar matahari. Dia merasa perlu untuk memastikannya dengan teropong, walaupun hasil yang didapat membuat jantungnya serasa akan lepas.
“Apa yang kau lihat, Titus?” tanya seorang pria lainnya di dalam ruangan yang sama, menghadap jendela yang sama.
Titus menyuarakan sedikit gemertak giginya. Saat itu Elane mengigil ketakutan. Jelas raut ketakutan di wajahnya yang penuh bintik-bintik pudar matahari. “Beritahu pimpinan di Goat Hill,” ujar Titus gemetar.
“Tentang?” tanya Elane.
“Ini penyerangan, Bodoh! Katakan empat kapal besar berpanji Comdred akan merapat ke Eagle Harbour!” teriaknya buru-buru.
“Laksanakan!” Dan Elane pun berlari bak kesetanan ke hadapan para penyambung lidah Titus, pada Témpust.
Informasi itu merambat melalui kuda yang melaju begitu kencangnya. Seorang penunggang kuda yang tangkas ini, harus bisa menyampaikan pesan itu dalam waktu kurang dari satu jam—padahal waktu normal dari Goat Hill menuju Eagle Harbour bisa mencapai satu jam lima belas menit.
Di sisi lain, kota Eagle Harbour mendadak disibukkan oleh persiapan dadakan dengan titah dari Éleonais Markourith, salah satu orang kepercayaan Témpust. Namanya biasa disebut sebagai Éleon. Dia pula yang berjasa dalam perebutan kota ini dari tangan kerajaan Timur. Dia berhasil membuktikan kebodohan Raja Gardner Visselves di mata dunia.
Mereka tahu bantuan dari Goat Hill tak akan datang dalam waktu singkat.
Éleon adalah manusia setengah peri—walaupun manusia lebih mendominasi perawakannya. Tangan-tangannya begitu mahir mengayunkan tajamnya pedang. Terlihatlah jelas cuping telinganya yang agak lancip, ciri khas keturunannya. Wajahnya masih terlihat muda, walaupun tak ada yang tahu berapa usianya sekarang.
Di tempat ini, keberadaan pejuang kebebasan sangat diperlukan. Jumlah mereka di tempat ini sama dengan mereka yang bermukim di Goat Hill, namun seluruhnya di sini berusia kisaran enam belas hingga tiga puluh tahun. Itu semua diperlukan untuk mengkoordinasi pemerintahan kota yang tengah vakum dari kaum politik Mithrillia. Dengan kata lain, kota ini mencoba untuk berjalan murni dengan asuhan para pejuang kebebasan.
Eagle Harbour, adalah sebuah kota yang sarat dengan kubu-kubu berlawanan arus. Eagle Harbour sudah berdiri sepuluh tahun, sampai saat diambil alih para pejuang kebebasan. Itu yang menyebabkan sebagian penduduk—dari total sekitar dua ratus lima puluh orang—tidak setuju dengan pendudukan Témpust. Mereka merasa terjajah, padahal semua kebutuhan penduduk itu tak pernah dihalangi pihak pejuang kebebasan. Itu semata-mata terjadi karena sugesti dari pihak seberang. Mereka yang menyatakan keburukan-keburukan pejuang kebebasan, dan hasil perbuatan mereka yang membuat penduduk dunia makin sengsara.
Témpust sendiri sudah berpesan pada penduduk Eagle Harbour untuk meninggalkan kota itu jika mereka kontra terhadap Témpust. Pejuang kebebasan tak akan mengusik mereka, namun kehidupan selanjutnya tergantung pada masing-masing kemampuan mereka bertahan hidup. Setelah itu barulah terbukti bahwa mereka ragu. Kapal yang disiapkan oleh Témpust tak diisi oleh seorangpun penduduk. Walaupun dengan pembuktian itu, sifat keras kepala mereka tetap tak mau hilang.
Itu hanya sebagian kecil, sedangkan sisanya bersedia membantu pejuang kebebasan. Mereka sendiri sudah merasakan betapa damainya hidup di Eagle Harbour, sebab sebagian besar penduduk di sini adalah hasil migrasi dari kota lain yang kelebihan penduduk.
Eagle Harbour memiliki bentuk tanah yang datar, namun semakin ke pinggir laut, semakin menurun, bahkan menjadi sebuah tebing terjal. Tebing itu kini menjadi sebuah dinding kokoh dengan beberapa lubang yang mencuatkan puluhan mata meriam. Di antara dua dinding tebing, terdapat celah besar sebagai jalan menurun yang landai untuk mencapai pelabuhan besar. Pelabuhan itu tersusun atas lantai batu-batu—sama seperti bagian kota lainnya—dan memiliki dua menara pengawas yang mencuat setinggi sepuluh meter.
Eagle Harbour didirikan oleh Raja Gardner Visselves sebagai kota persiapan untuk penaklukan pejuang kebebasan. Rencana semulanya, pasukan-pasukan yang dikirim dari Benua Tengah akan berkumpul di kota ini sebelum menyerbu Goat Hill. Pembangunan kota ini dilakukan tanpa pemberitahuan pada dunia luas. Raja Gardner ingin kota ini menjadi kejutan bagi para pejuang kebebasan. Sayangnya, rencana itu bocor ke telinga Témpust. Pimpinan pejuang kebebasan itu langsung memberikan perintah penyerangan Eagle Harbour, beberapa bulan setelah kota itu selesai dikerjakan. Eagle Harbour dilanda kepanikan besar, tak ada yang tahu darimana para pejuang bisa datang. Saat itu Éleon mengamuk. Dia membunuh banyak sekali pekerja dan serdadu Benua Timur. Hingga kini, serangan itu terbukti berhasil. Eagle Harbour berhasil diduduki para pejuang kebebasan.
Hanya sehari berselang sejak kejadian memalukan itu. Raja Gardner Visselves didamprat langsung akibat kebodohannya, oleh Lord Demetria Avalen. Dia diharuskan membayar upeti pada Benua Tengah sebesar dua juta Krall untuk mengganti segala kerugian material sejak membangun Eagle Harbour. Raja Gardner marah besar. Sebagai balasannya, dia mengirim lagi utusan terbaiknya ke Goat Hill, seolah mengulang kecerobohan yang sama. Sekali lagi, yang kembali adalah kepala-kepala utusannya saja. Bersamaan dengan itu, harga bagi Témpust dinaikkan menjadi lima juta Krall, dan Éleonnais Markourith masuk ke dalam daftar hitam kerajaan dengan harga satu juta Krall untuk kepala separuh perinya.
Atap-atap kayu rumah mereka ditumpuk dengan batu agar tak terbang ditiup topan. Dari ujung kota lainnya, ada jalan kecil yang sudah sering dilalui kuda-kuda—sehingga membentuk sebuah jalur dengan sendirinya—yang menghubungkan Eagle Harbour dengan Goat Hill di timur. Jalur itulah yang baru saja ditapaki oleh si pembawa pesan.
Dan kini, beberapa kilometer dari pelabuhan itu, terpampang jelas layar terkembang dari empat kapal Comdred Fortress datang mengunjungi mereka. Deru-deri genderang mereka sudah terdengar di kejauhan. Seperti gelombang pasang yang kian mendekat. Mereka yang sebenarnya memiliki hak penuh atas kota pelabuhan itu, kini menuntut balik atas kepemilikan tanah itu.
Tepat satu jam setelah kepergian sang pembawa pesan.
Daun-daun beterbangan terpecah, menyambut terpaan angin derap cepat kuda dari sang pembawa pesan. Goat Hill dapat mendengar teriakan hatinya.
Dan Goat Hill pun bergeming.
Kesibukan itu tetap berlangsung saat pembawa pesan itu, Allain, memburu pimpinan mereka. Dia memacu kudanya terburu-buru, menyelinap di antara langkah-langkah kaki cepat dan tergasa-gesa. Derapnya perlahan menyurut saat melihat orang yang dia cari telah ditemukan. Témpust memandang khawatir padanya.
“Kabar apa, Allain? Wajahmu membuatku gusar,” sapa Témpust.
Pembawa pesan bertubuh tinggi dan berambut pendek cokelat itu tergesa-gesa turun dan membisiki Témpust pelan sekali. Sedetik kemudian, Témpust terkejut. Tak satupun komentar mampu dia keluarkan.
“Kami menunggumu di barisan depan, Pimpinan,” pintanya penuh kekalutan.
Pemimpin para pejuang itu menyaksikan betapa belum siapnya mereka menerima kabar itu. Orang-orangnya hanya sedikit, sedangkan musuh bisa datang dalam jumlah tak terduga. Dia selalu khawatir hal ini akan terjadi. Tapi entah setan apa yang membisikinya sekarang, dia memikirkan satu penyelesaian beresiko.
“Tak kusangka akan secepat ini, Allain.” Tatapan kosong Témpust membuat Allain yakin, adalah sebuah permasalahan besar yang mengganggu hatinya. “Rasanya sekaranglah waktunya. Tali kekerabatan antar-ras harus disambung kembali.”
Memikirkan raut wajah pesimistis pimpinannya, Allain menganggap itu bukanlah sebuah pertanda bagus. Allain tak mau mengerti, dia benci jika harus menuruti perintah itu. Dia benci maksud perkataan Témpust.
“Jangan katakan hal itu, Pimpinan. Mereka bukanlah partner yang baik. Mereka iblis! Mereka terkutuk!” bantah Allain.
Témpust memegang pundak Allain dengan tangan kirinya. Muka Allain bagi Témpust adalah juga sebuah pertimbangan, tapi melihat kondisi, pertimbangan itu tak lagi berarti banyak. Sorot matanya yang kini berbicara pada Allain mengenai kecemasannya, serta bagaimana sebenarnya situasi para pejuang sekarang.
“Aztandor harus dipanggil, Allain. Kita tak punya pilihan lagi.”
“Pim…pinan?” Allain tertegun memandang Témpust saat terakhir dia menyebutkan kata-kata itu.
Dia bingung harus berbuat apa. Témpust pasti telah menyebutkan apa yang harus dia lakukan, tapi apakah dia melewatkannya untuk didengar? Dia merasa dialah orang yang diperintahkan pergi ke Kuil Azatur—Sang Penipu—nama dari seorang pendeta kuno tingkat tinggi yang mengkhianati tradisi ritual di Nemoralexia. Dasar dari lahirnya nama Aztandor, atau yang disebut dalam bahasa kuno Mithrillia sebagai para penipu. Memang awalnya Azatur berarti tekad kuat untuk maju, tapi para tetua lebih suka menyebutnya tekad kuat untuk menipu, sejak kejadian itu, hingga kini.
“Bukan kau, Allain. Pergilah, kembali ke tempatmu. Katakan aku akan datang saat waktu mengijinkan,” ujar Témpust membelakangi Allain. “Tak akan lama setelah kau pergi.”
“Kau yang akan…”
“Tak akan sempat waktu membawaku ke kuil terkutuk itu, Allain. Biarlah elangku ini yang mengirim pesan pada Mérdanté dan Cazar di Sladur. Mereka tahu apa yang harus diperbuat.”
Reape, elang falcon yang gagah itu merupakan kepercayaan Témpust. Mereka telah berteman lebih dari sepuluh tahun. Elang itu tidaklah diburunya saat pertama, tapi elang itu sendirilah yang menghampiri dirinya saat siang hari. Hingga kini Témpust masih tak tahu mengapa Reape menghampirinya. Kini di kakinya diselipkan selembar kertas kecil dengan tulisan singkat yang amat menentukan. Elang berbulu cokelat gelap itupun melayang tinggi ke udara. Cahaya matahari menyinari leher putihnya. Dan kabut pun segera melahap pandangan menuju elang itu.
“Pergilah, Allain. Kami akan datang membantu. Bagaimanapun, Eagle Harbour adalah milik kita bersama.”
Seperti menyeret sebuah bongkahan batu besar, Allain melesat meninggalkan tempat itu dengan hati terganjal. Mungkinkah salah satu dua orang pejuang di bagian lain Benua Timur, Cazar dan Mérdanté, dapat bernegosiasi dengan generasi terakhir dari ras terkutuk itu? Para Aztandor kikir, tak pernah ada ketulusan di dalam mereka. Mereka senang mengambil untuk membayar bantuan mereka. Itu menurut Allain.
Harga apa yang harus dibayar pejuang kebebasan untuk sekedar mempertahankan Eagle Harbour?
………
Allain tiba di Eagle Harbour kembali, saat kesibukan mewarnai pandangannya dari gerbang belakang hingga ke ujung pelabuhan. Éleon tak terlihat dimanapun matanya menjelajah. Mulai dari detik saat dia meninggalkan Eagle Harbour, telah dimulai sebuah evakuasi besar-besaran. Para penduduk diungsikan ke dalam hutan dan sepanjang jalur berkabut—tentunya dengan keberadaan pihak Témpust, wilayah itu tak lagi mematikan bagi mereka. Manusia-manusia di Eagle Harbour kini hanyalah sebatas pejuang kebebasan dan sukarelawan dari penduduk. Mereka sibuk mempersiapkan peluru-peluru bulat dari baja legam dengan berdrum-drum bubuk mesiu untuk puluhan meriam raksasa yang terbentang di sepanjang dinding tebing Eagle Harbour. Pintu-pintu kayu menuju bawah tanah terbuka, membiarkan orang-orang mulai memasukinya.
Allain pun tak tahu harus berbuat apa.
Sesekali dia pandangi hutan di belakangnya, berharap saat itu suara derap kuda akan terdengar. Nyatanya tidak.
Saat itu pula dia melihat bayangan Éleon bergerak gesit dengan mulut mengomandoi para pejuang. Kudanya dipacu secara refleks untuk mengejar Éleonais. Tapak kaki kuda itu menderu-deru di antara manusia yang lalu lalang. Lantai batu itu dia jajaki, hingga sampai di hadapan Éleonais yang menyambutnya heran. Allain turun untuk memberinya laporan penting. Wajah Allain menyiratkan semuanya.
Pria berambut pirang panjang itu tak menemukan Témpust mengikuti Allain. Dia memandang Allain penuh keheranan.
“Dimana mereka? Bukankah mereka bersamamu?”
“Nanti. Dia bilang nanti. Kita akan berjuang sendiri sampai dia dan bala bantuan datang,” ujar Allain tersengal-sengal.
“Bala bantuan?” seru Éleonais terkejut. “Bantuan apa, Allain. Hanya kita dan dua tamu Maya di sini.”
“Aztandor, Éleon. Dia mulai gila, dia ingin menjalin tali perdamaian lagi dengan kaum terkutuk itu!” ujar Allain gemetar.
“Sudahkan itu terlaksana?” Éleon buru-buru menyergap. “Maksudku, sempatkah aku mengubah pikirannya sekarang?” lanjutnya.
“Reape sudah terbang. Kita tak mampu berbuat apa-apa selain mempersiapkan hati kita untuk menerima mereka,” ujarnya. “Kecuali kau mau terbang untuk menghentikan elang itu.”
Éleon tak mampu berkata, seakan semua pikirannya ditebas habis oleh kata-kata itu. Kemudian dia mundur beberapa langkah dan memandang lautan lepas, dengan titik-titik kapal yang semakin membesar.
“Kegilaan apa lagi ini…” gumamnya pelan.
Suara deru ombak membawa dirinya kembali dari pikiran-pikirannya.
“Tak ada pilihan lain. Allain. Kau tak boleh mati. Kau adalah penunggang kuda terhandal di antara kita. Pergilah ke jalur berkabut dan kabarkan pada pengungsi tentang berita itu. Dan…” titah Éleon.
“Dan?” celetuk Allain, dia kembali ke atas kudanya.
“Berikan perintah pada para pengungsi untuk menyingkir dari sana. Pindahkan mereka secepatnya ke tepi barat Hutan Whisdur.”
“Apakah kau serius? Sebagian dari mereka masih membenci kita. Karena itu tak semuanya bisa memasuki Hutan Whisdur,” bantah Allain dengan nada rendah.
“Aku yakin Aztandor akan melalui jalur itu, dan aku tak akan membiarkan penduduk kota ini melihat Aztandor dengan mata kepala mereka sendiri. Bila satu atau dua dari mereka harus mati di dalam hutan, maka matilah mereka,” tegas Éleon. “Itu jauh lebih baik daripada mereka terpengaruh daya pikat Aztandor dan membiarkan kaum itu merebut jasadnya.”
Allain merasa sorot mata hijau Éleon bukanlah mata seorang yang ingin memikirkan hal itu berlarut-larut. Bagi pria tinggi, berwatak keras namun berwajah lembut itu, pengorbanan diperlukan saat ini—saat dimana kapal-kapal Comdred Fortress mulai terlihat meskipun tanpa teropong. Dan mata telanjang akan memandang mereka sebagai titik dengan garis dan persegi di atasnya.
Allain pergi dari sana untuk bertolak menuju jalur berkabut. Tak akan jauh para penduduk berjalan, sebagian dari mereka lamban dan penggerutu. Allain akan dengan mudah menyusul rombongan itu.
………
Enrico mendengar berita itu dari mulut Témpust sendiri.
Rasanya sulit baginya untuk tetap diam di Goat Hill, menunggu untuk berangkat berbarengan dengan kaum Aztandor yang belum dapat dipastikan kapan akan tiba.
Beberapa detik yang lalu Témpust telah menyingkir dari hadapannya. Entah apa yang ada di benak pimpinan itu, dia tampak melayangkan lamunan dan raut ekspresinya kepada hal lain di luar itu. Apakah itu soal Aztandor, Enrico pun tak tahu. Pria Belanda itu juga tak mengetahui apapun tentang kaum itu, selain mendengar cerita tentang asal-usul mereka dari Témpust.
Enrico beranjak dari bawah lingkupan tendanya. Dia letakkan ponselnya di dalam tenda, karena itu adalah hari terakhir ponselnya masih bisa memaparkan ayat-ayat kitab suci bagi pendeta itu—baterainya habis dan tak mungkin lagi terisi. Dia memandang kesibukan orang-orang yang belum berhenti. Pandangannya menjenguk tempat demi tempat untuk mencari keberadaan Ivander, dia kecewa pada keadaan, karena anak asuhnya belum kembali.
Témpust terlihat di ujung sudut matanya. Enrico menghampirinya.
“Bisakah kita bahas sesuatu?” ujar Enrico. Dia bermaksud menarik Témpust dari keramaian.
Témpust memperlihatkan raut muka penuh tanda tanya. Sementara dia hentikan dahulu menyeka baju besinya, dia letakkan benda itu di atas meja kayu dan mengikut Enrico.
Tempat mereka di belakang tenda Enrico. Hanya empat mata yang sebenarnya sama-sama tahu.
“Mengapa tak kau bawa pasukanmu seadanya dahulu untuk membantu Eagle Harbour. Kau ini bermain-main dengan maut, Témpust,” lanjut Enrico.
“Kau tidak lihat jumlah kami sedikit. Jika kami berangkat satu per satu, itu sama saja seperti sebatang lidi yang rapuh. Persatuan lidi-lidi diperlukan untuk membersihkan kotoran setan itu,” dalih Témpust.
“Bohong…” bantah Enrico spontan. “Tunjukkan padaku kebenaran pikiranmu sekarang, Témpust. Sebatang lidi itu tidaklah sendiri, teman mereka sudah menanti di kota seberang. Itu sama saja menambah kekuatan persekutuan lidi-lidi di Eagle Harbour.”
Témpust mengalihkan wajahnya ke langit. Saat itu pula semua kekhawatirannya terbongkar. Satu persatu tembok yang membangun ketegasannya pun diruntuhkan.
“Katakan padaku kau memikirkan puteramu,” pinta Enrico.
Témpust menghela nafas. Di tengah dentuman kecil suara meriam di kejauhan yang menggema ke telinganya, di antara benturan penempa pedang di sekitarnya, dan di bawah langit yang menjadi saksi dua peristiwa berbeda, Témpust menyerah. Dentuman meriam itu menandakan pertempuran laut sudah dimulai di Eagle Harbour. Tekanan bunyi ledakan mesiu di sana telah mewakili betapa kencang dagup jantungnya. Hanya saat ini, Témpust yang perkasa merasakan ketakutan menghadapi sebuah peperangan kecil.
“Firasatku buruk, Enrico. Mimpi dalam dua jam peristirahatanku cukup mengganggu. Sesuatu mungkin telah terjadi pada puteraku, di luar sana…” Dia memandang Enrico yang terlihat seperti akan membantah. “Aku tahu. Kau bisa pikirkan? Ini terlalu lama bagi orang-orang sehebat Cazar dan Mérdanté untuk menemukan kembali puteraku.”
“Jaraknya cukup jauh, Témpust. Kau tak bisa begitu saja mempercayai mimpi. Aku pun cemas, bukan hanya kau. Ini saatnya membantu mereka, Témpust.” Jari telunjuk Enrico mengarah pada asal suara meriam-meriam itu. “Ketahuilah, jikapun Bader mati, dia tak akan meminta kau mengirimkan teman untuknya di alam sana. Tak boleh ada pejuang yang menyusul Bader.”
Témpust tak tersenyum dan berterima kasih untuk saran Enrico. Dia tinggalkan tempat itu dan berjalan cepat memunggungi pendeta tua itu.
Enrico sedikit kecewa. Namun itu lekas terobati.
Lampros Témpust, dia menaiki batu besar di atas tanah yang meninggi. Posisi yang sudah menjadi sebuah tempat khusus untuk menyampaikan pesan pada penduduk Goat Hill. Bukanlah sebagai sebuah nasihat dia menganggap pesan dari Enrico, tapi itu adalah sebuah pecutan.
Témpust menghirup udara Goat Hill sebebas-bebasnya. Dia sungguh menikmati saat itu, sebelum akhirnya dia kembali ke dunia nyata dengan segala masalahnya. Matanya yang terpejam pun terbuka.
“Saudara-saudaraku dari Goat Hill sekalian, mungkin kesalahanku membiarkan semangat kalian tertahan di kota ini. Pucuk Elang tengah dilukai oleh para makhluk berahang kotak. Aku putuskan, pergilah! Tinggalkan pekerjaan kalian di sini dan persiapkan perlengkapan seadanya. Satu menit dari sekarang, kalian semua harus sudah berbaris mengikutiku menerobos hutan itu. Lakukan!”
Perintah lanjutan pun dibeberkan.
Dan dalam satu menit, Goat Hill hampir dikosongkan. Bunyi logam-logam bergetar ada dimana-mana. Seperti harmoni saat di saat mereka hampir bersamaan menyarungkan pedang. Menganggapi perintah lanjutan, beberapa orang berjaga di kota itu. Sepuluh dari sembilan puluh orang tak bersorak atas nama Theon saat pergi menyerbu. Sebab merekalah yang diberi tanggung jawab besar untuk menunjukkan arah pada para Aztandor yang akan melintasi kota ini.