CHAPTER 10 - Eagle Harbour, Sasaran Pertama

A tale by Chris Nugroho

Sunday, 28 February 2010

Sehari setelah pesta di Goat Hill.

Eagle Harbour, sebuah kota dermaga. Beberapa orang tetap tinggal di sini dan memilih meninggalkan pesta di Goat Hill. Pagi masih amat muda, beberapa penduduk terbangun untuk membentangkan jala-jala mereka, merajut kembali lubang-lubang yang terkoyak rontaan ikan-ikan besar yang mereka tangkap di lautan. Sementara lainnya masih terlarut dalam tidurnya.

Seorang pria di dalam menara pengawas, mengamati titik-titik kecil di laut, jauh sekali dari keberadaannya sekarang. Rambut merah kecokelatannya dihembuskan angin laut. Tangannya tak berhenti menutupi sinar matahari. Dia merasa perlu untuk memastikannya dengan teropong, walaupun hasil yang didapat membuat jantungnya serasa akan lepas.

“Apa yang kau lihat, Titus?” tanya seorang pria lainnya di dalam ruangan yang sama, menghadap jendela yang sama.

Titus menyuarakan sedikit gemertak giginya. Saat itu Elane mengigil ketakutan. Jelas raut ketakutan di wajahnya yang penuh bintik-bintik pudar matahari. “Beritahu pimpinan di Goat Hill,” ujar Titus gemetar.

“Tentang?” tanya Elane.

“Ini penyerangan, Bodoh! Katakan empat kapal besar berpanji Comdred akan merapat ke Eagle Harbour!” teriaknya buru-buru.

“Laksanakan!” Dan Elane pun berlari bak kesetanan ke hadapan para penyambung lidah Titus, pada Témpust.

Informasi itu merambat melalui kuda yang melaju begitu kencangnya. Seorang penunggang kuda yang tangkas ini, harus bisa menyampaikan pesan itu dalam waktu kurang dari satu jam—padahal waktu normal dari Goat Hill menuju Eagle Harbour bisa mencapai satu jam lima belas menit.

Di sisi lain, kota Eagle Harbour mendadak disibukkan oleh persiapan dadakan dengan titah dari Éleonais Markourith, salah satu orang kepercayaan Témpust. Namanya biasa disebut sebagai Éleon. Dia pula yang berjasa dalam perebutan kota ini dari tangan kerajaan Timur. Dia berhasil membuktikan kebodohan Raja Gardner Visselves di mata dunia.

Mereka tahu bantuan dari Goat Hill tak akan datang dalam waktu singkat.

Éleon adalah manusia setengah peri—walaupun manusia lebih mendominasi perawakannya. Tangan-tangannya begitu mahir mengayunkan tajamnya pedang. Terlihatlah jelas cuping telinganya yang agak lancip, ciri khas keturunannya. Wajahnya masih terlihat muda, walaupun tak ada yang tahu berapa usianya sekarang.

Di tempat ini, keberadaan pejuang kebebasan sangat diperlukan. Jumlah mereka di tempat ini sama dengan mereka yang bermukim di Goat Hill, namun seluruhnya di sini berusia kisaran enam belas hingga tiga puluh tahun. Itu semua diperlukan untuk mengkoordinasi pemerintahan kota yang tengah vakum dari kaum politik Mithrillia. Dengan kata lain, kota ini mencoba untuk berjalan murni dengan asuhan para pejuang kebebasan.

Eagle Harbour, adalah sebuah kota yang sarat dengan kubu-kubu berlawanan arus. Eagle Harbour sudah berdiri sepuluh tahun, sampai saat diambil alih para pejuang kebebasan. Itu yang menyebabkan sebagian penduduk—dari total sekitar dua ratus lima puluh orang—tidak setuju dengan pendudukan Témpust. Mereka merasa terjajah, padahal semua kebutuhan penduduk itu tak pernah dihalangi pihak pejuang kebebasan. Itu semata-mata terjadi karena sugesti dari pihak seberang. Mereka yang menyatakan keburukan-keburukan pejuang kebebasan, dan hasil perbuatan mereka yang membuat penduduk dunia makin sengsara.

Témpust sendiri sudah berpesan pada penduduk Eagle Harbour untuk meninggalkan kota itu jika mereka kontra terhadap Témpust. Pejuang kebebasan tak akan mengusik mereka, namun kehidupan selanjutnya tergantung pada masing-masing kemampuan mereka bertahan hidup. Setelah itu barulah terbukti bahwa mereka ragu. Kapal yang disiapkan oleh Témpust tak diisi oleh seorangpun penduduk. Walaupun dengan pembuktian itu, sifat keras kepala mereka tetap tak mau hilang.

Itu hanya sebagian kecil, sedangkan sisanya bersedia membantu pejuang kebebasan. Mereka sendiri sudah merasakan betapa damainya hidup di Eagle Harbour, sebab sebagian besar penduduk di sini adalah hasil migrasi dari kota lain yang kelebihan penduduk.

Eagle Harbour memiliki bentuk tanah yang datar, namun semakin ke pinggir laut, semakin menurun, bahkan menjadi sebuah tebing terjal. Tebing itu kini menjadi sebuah dinding kokoh dengan beberapa lubang yang mencuatkan puluhan mata meriam. Di antara dua dinding tebing, terdapat celah besar sebagai jalan menurun yang landai untuk mencapai pelabuhan besar. Pelabuhan itu tersusun atas lantai batu-batu—sama seperti bagian kota lainnya—dan memiliki dua menara pengawas yang mencuat setinggi sepuluh meter.

Eagle Harbour didirikan oleh Raja Gardner Visselves sebagai kota persiapan untuk penaklukan pejuang kebebasan. Rencana semulanya, pasukan-pasukan yang dikirim dari Benua Tengah akan berkumpul di kota ini sebelum menyerbu Goat Hill. Pembangunan kota ini dilakukan tanpa pemberitahuan pada dunia luas. Raja Gardner ingin kota ini menjadi kejutan bagi para pejuang kebebasan. Sayangnya, rencana itu bocor ke telinga Témpust. Pimpinan pejuang kebebasan itu langsung memberikan perintah penyerangan Eagle Harbour, beberapa bulan setelah kota itu selesai dikerjakan. Eagle Harbour dilanda kepanikan besar, tak ada yang tahu darimana para pejuang bisa datang. Saat itu Éleon mengamuk. Dia membunuh banyak sekali pekerja dan serdadu Benua Timur. Hingga kini, serangan itu terbukti berhasil. Eagle Harbour berhasil diduduki para pejuang kebebasan.

Hanya sehari berselang sejak kejadian memalukan itu. Raja Gardner Visselves didamprat langsung akibat kebodohannya, oleh Lord Demetria Avalen. Dia diharuskan membayar upeti pada Benua Tengah sebesar dua juta Krall untuk mengganti segala kerugian material sejak membangun Eagle Harbour. Raja Gardner marah besar. Sebagai balasannya, dia mengirim lagi utusan terbaiknya ke Goat Hill, seolah mengulang kecerobohan yang sama. Sekali lagi, yang kembali adalah kepala-kepala utusannya saja. Bersamaan dengan itu, harga bagi Témpust dinaikkan menjadi lima juta Krall, dan Éleonnais Markourith masuk ke dalam daftar hitam kerajaan dengan harga satu juta Krall untuk kepala separuh perinya.

Atap-atap kayu rumah mereka ditumpuk dengan batu agar tak terbang ditiup topan. Dari ujung kota lainnya, ada jalan kecil yang sudah sering dilalui kuda-kuda—sehingga membentuk sebuah jalur dengan sendirinya—yang menghubungkan Eagle Harbour dengan Goat Hill di timur. Jalur itulah yang baru saja ditapaki oleh si pembawa pesan.

Dan kini, beberapa kilometer dari pelabuhan itu, terpampang jelas layar terkembang dari empat kapal Comdred Fortress datang mengunjungi mereka. Deru-deri genderang mereka sudah terdengar di kejauhan. Seperti gelombang pasang yang kian mendekat. Mereka yang sebenarnya memiliki hak penuh atas kota pelabuhan itu, kini menuntut balik atas kepemilikan tanah itu.

Tepat satu jam setelah kepergian sang pembawa pesan.

Daun-daun beterbangan terpecah, menyambut terpaan angin derap cepat kuda dari sang pembawa pesan. Goat Hill dapat mendengar teriakan hatinya.

Dan Goat Hill pun bergeming.

Kesibukan itu tetap berlangsung saat pembawa pesan itu, Allain, memburu pimpinan mereka. Dia memacu kudanya terburu-buru, menyelinap di antara langkah-langkah kaki cepat dan tergasa-gesa. Derapnya perlahan menyurut saat melihat orang yang dia cari telah ditemukan. Témpust memandang khawatir padanya.

“Kabar apa, Allain? Wajahmu membuatku gusar,” sapa Témpust.

Pembawa pesan bertubuh tinggi dan berambut pendek cokelat itu tergesa-gesa turun dan membisiki Témpust pelan sekali. Sedetik kemudian, Témpust terkejut. Tak satupun komentar mampu dia keluarkan.

“Kami menunggumu di barisan depan, Pimpinan,” pintanya penuh kekalutan.
Pemimpin para pejuang itu menyaksikan betapa belum siapnya mereka menerima kabar itu. Orang-orangnya hanya sedikit, sedangkan musuh bisa datang dalam jumlah tak terduga. Dia selalu khawatir hal ini akan terjadi. Tapi entah setan apa yang membisikinya sekarang, dia memikirkan satu penyelesaian beresiko.

“Tak kusangka akan secepat ini, Allain.” Tatapan kosong Témpust membuat Allain yakin, adalah sebuah permasalahan besar yang mengganggu hatinya. “Rasanya sekaranglah waktunya. Tali kekerabatan antar-ras harus disambung kembali.”

Memikirkan raut wajah pesimistis pimpinannya, Allain menganggap itu bukanlah sebuah pertanda bagus. Allain tak mau mengerti, dia benci jika harus menuruti perintah itu. Dia benci maksud perkataan Témpust.

“Jangan katakan hal itu, Pimpinan. Mereka bukanlah partner yang baik. Mereka iblis! Mereka terkutuk!” bantah Allain.

Témpust memegang pundak Allain dengan tangan kirinya. Muka Allain bagi Témpust adalah juga sebuah pertimbangan, tapi melihat kondisi, pertimbangan itu tak lagi berarti banyak. Sorot matanya yang kini berbicara pada Allain mengenai kecemasannya, serta bagaimana sebenarnya situasi para pejuang sekarang.

“Aztandor harus dipanggil, Allain. Kita tak punya pilihan lagi.”

“Pim…pinan?” Allain tertegun memandang Témpust saat terakhir dia menyebutkan kata-kata itu.

Dia bingung harus berbuat apa. Témpust pasti telah menyebutkan apa yang harus dia lakukan, tapi apakah dia melewatkannya untuk didengar? Dia merasa dialah orang yang diperintahkan pergi ke Kuil Azatur—Sang Penipu—nama dari seorang pendeta kuno tingkat tinggi yang mengkhianati tradisi ritual di Nemoralexia. Dasar dari lahirnya nama Aztandor, atau yang disebut dalam bahasa kuno Mithrillia sebagai para penipu. Memang awalnya Azatur berarti tekad kuat untuk maju, tapi para tetua lebih suka menyebutnya tekad kuat untuk menipu, sejak kejadian itu, hingga kini.

“Bukan kau, Allain. Pergilah, kembali ke tempatmu. Katakan aku akan datang saat waktu mengijinkan,” ujar Témpust membelakangi Allain. “Tak akan lama setelah kau pergi.”

“Kau yang akan…”

“Tak akan sempat waktu membawaku ke kuil terkutuk itu, Allain. Biarlah elangku ini yang mengirim pesan pada Mérdanté dan Cazar di Sladur. Mereka tahu apa yang harus diperbuat.”

Reape, elang falcon yang gagah itu merupakan kepercayaan Témpust. Mereka telah berteman lebih dari sepuluh tahun. Elang itu tidaklah diburunya saat pertama, tapi elang itu sendirilah yang menghampiri dirinya saat siang hari. Hingga kini Témpust masih tak tahu mengapa Reape menghampirinya. Kini di kakinya diselipkan selembar kertas kecil dengan tulisan singkat yang amat menentukan. Elang berbulu cokelat gelap itupun melayang tinggi ke udara. Cahaya matahari menyinari leher putihnya. Dan kabut pun segera melahap pandangan menuju elang itu.

“Pergilah, Allain. Kami akan datang membantu. Bagaimanapun, Eagle Harbour adalah milik kita bersama.”

Seperti menyeret sebuah bongkahan batu besar, Allain melesat meninggalkan tempat itu dengan hati terganjal. Mungkinkah salah satu dua orang pejuang di bagian lain Benua Timur, Cazar dan Mérdanté, dapat bernegosiasi dengan generasi terakhir dari ras terkutuk itu? Para Aztandor kikir, tak pernah ada ketulusan di dalam mereka. Mereka senang mengambil untuk membayar bantuan mereka. Itu menurut Allain.

Harga apa yang harus dibayar pejuang kebebasan untuk sekedar mempertahankan Eagle Harbour?

………

Allain tiba di Eagle Harbour kembali, saat kesibukan mewarnai pandangannya dari gerbang belakang hingga ke ujung pelabuhan. Éleon tak terlihat dimanapun matanya menjelajah. Mulai dari detik saat dia meninggalkan Eagle Harbour, telah dimulai sebuah evakuasi besar-besaran. Para penduduk diungsikan ke dalam hutan dan sepanjang jalur berkabut—tentunya dengan keberadaan pihak Témpust, wilayah itu tak lagi mematikan bagi mereka. Manusia-manusia di Eagle Harbour kini hanyalah sebatas pejuang kebebasan dan sukarelawan dari penduduk. Mereka sibuk mempersiapkan peluru-peluru bulat dari baja legam dengan berdrum-drum bubuk mesiu untuk puluhan meriam raksasa yang terbentang di sepanjang dinding tebing Eagle Harbour. Pintu-pintu kayu menuju bawah tanah terbuka, membiarkan orang-orang mulai memasukinya.

Allain pun tak tahu harus berbuat apa.

Sesekali dia pandangi hutan di belakangnya, berharap saat itu suara derap kuda akan terdengar. Nyatanya tidak.

Saat itu pula dia melihat bayangan Éleon bergerak gesit dengan mulut mengomandoi para pejuang. Kudanya dipacu secara refleks untuk mengejar Éleonais. Tapak kaki kuda itu menderu-deru di antara manusia yang lalu lalang. Lantai batu itu dia jajaki, hingga sampai di hadapan Éleonais yang menyambutnya heran. Allain turun untuk memberinya laporan penting. Wajah Allain menyiratkan semuanya.

Pria berambut pirang panjang itu tak menemukan Témpust mengikuti Allain. Dia memandang Allain penuh keheranan.

“Dimana mereka? Bukankah mereka bersamamu?”

“Nanti. Dia bilang nanti. Kita akan berjuang sendiri sampai dia dan bala bantuan datang,” ujar Allain tersengal-sengal.

“Bala bantuan?” seru Éleonais terkejut. “Bantuan apa, Allain. Hanya kita dan dua tamu Maya di sini.”

“Aztandor, Éleon. Dia mulai gila, dia ingin menjalin tali perdamaian lagi dengan kaum terkutuk itu!” ujar Allain gemetar.

“Sudahkan itu terlaksana?” Éleon buru-buru menyergap. “Maksudku, sempatkah aku mengubah pikirannya sekarang?” lanjutnya.

“Reape sudah terbang. Kita tak mampu berbuat apa-apa selain mempersiapkan hati kita untuk menerima mereka,” ujarnya. “Kecuali kau mau terbang untuk menghentikan elang itu.”

Éleon tak mampu berkata, seakan semua pikirannya ditebas habis oleh kata-kata itu. Kemudian dia mundur beberapa langkah dan memandang lautan lepas, dengan titik-titik kapal yang semakin membesar.

“Kegilaan apa lagi ini…” gumamnya pelan.

Suara deru ombak membawa dirinya kembali dari pikiran-pikirannya.

“Tak ada pilihan lain. Allain. Kau tak boleh mati. Kau adalah penunggang kuda terhandal di antara kita. Pergilah ke jalur berkabut dan kabarkan pada pengungsi tentang berita itu. Dan…” titah Éleon.

“Dan?” celetuk Allain, dia kembali ke atas kudanya.

“Berikan perintah pada para pengungsi untuk menyingkir dari sana. Pindahkan mereka secepatnya ke tepi barat Hutan Whisdur.”

“Apakah kau serius? Sebagian dari mereka masih membenci kita. Karena itu tak semuanya bisa memasuki Hutan Whisdur,” bantah Allain dengan nada rendah.

“Aku yakin Aztandor akan melalui jalur itu, dan aku tak akan membiarkan penduduk kota ini melihat Aztandor dengan mata kepala mereka sendiri. Bila satu atau dua dari mereka harus mati di dalam hutan, maka matilah mereka,” tegas Éleon. “Itu jauh lebih baik daripada mereka terpengaruh daya pikat Aztandor dan membiarkan kaum itu merebut jasadnya.”

Allain merasa sorot mata hijau Éleon bukanlah mata seorang yang ingin memikirkan hal itu berlarut-larut. Bagi pria tinggi, berwatak keras namun berwajah lembut itu, pengorbanan diperlukan saat ini—saat dimana kapal-kapal Comdred Fortress mulai terlihat meskipun tanpa teropong. Dan mata telanjang akan memandang mereka sebagai titik dengan garis dan persegi di atasnya.

Allain pergi dari sana untuk bertolak menuju jalur berkabut. Tak akan jauh para penduduk berjalan, sebagian dari mereka lamban dan penggerutu. Allain akan dengan mudah menyusul rombongan itu.

………

Enrico mendengar berita itu dari mulut Témpust sendiri.

Rasanya sulit baginya untuk tetap diam di Goat Hill, menunggu untuk berangkat berbarengan dengan kaum Aztandor yang belum dapat dipastikan kapan akan tiba.

Beberapa detik yang lalu Témpust telah menyingkir dari hadapannya. Entah apa yang ada di benak pimpinan itu, dia tampak melayangkan lamunan dan raut ekspresinya kepada hal lain di luar itu. Apakah itu soal Aztandor, Enrico pun tak tahu. Pria Belanda itu juga tak mengetahui apapun tentang kaum itu, selain mendengar cerita tentang asal-usul mereka dari Témpust.

Enrico beranjak dari bawah lingkupan tendanya. Dia letakkan ponselnya di dalam tenda, karena itu adalah hari terakhir ponselnya masih bisa memaparkan ayat-ayat kitab suci bagi pendeta itu—baterainya habis dan tak mungkin lagi terisi. Dia memandang kesibukan orang-orang yang belum berhenti. Pandangannya menjenguk tempat demi tempat untuk mencari keberadaan Ivander, dia kecewa pada keadaan, karena anak asuhnya belum kembali.

Témpust terlihat di ujung sudut matanya. Enrico menghampirinya.

“Bisakah kita bahas sesuatu?” ujar Enrico. Dia bermaksud menarik Témpust dari keramaian.

Témpust memperlihatkan raut muka penuh tanda tanya. Sementara dia hentikan dahulu menyeka baju besinya, dia letakkan benda itu di atas meja kayu dan mengikut Enrico.

Tempat mereka di belakang tenda Enrico. Hanya empat mata yang sebenarnya sama-sama tahu.

“Mengapa tak kau bawa pasukanmu seadanya dahulu untuk membantu Eagle Harbour. Kau ini bermain-main dengan maut, Témpust,” lanjut Enrico.

“Kau tidak lihat jumlah kami sedikit. Jika kami berangkat satu per satu, itu sama saja seperti sebatang lidi yang rapuh. Persatuan lidi-lidi diperlukan untuk membersihkan kotoran setan itu,” dalih Témpust.

“Bohong…” bantah Enrico spontan. “Tunjukkan padaku kebenaran pikiranmu sekarang, Témpust. Sebatang lidi itu tidaklah sendiri, teman mereka sudah menanti di kota seberang. Itu sama saja menambah kekuatan persekutuan lidi-lidi di Eagle Harbour.”

Témpust mengalihkan wajahnya ke langit. Saat itu pula semua kekhawatirannya terbongkar. Satu persatu tembok yang membangun ketegasannya pun diruntuhkan.

“Katakan padaku kau memikirkan puteramu,” pinta Enrico.

Témpust menghela nafas. Di tengah dentuman kecil suara meriam di kejauhan yang menggema ke telinganya, di antara benturan penempa pedang di sekitarnya, dan di bawah langit yang menjadi saksi dua peristiwa berbeda, Témpust menyerah. Dentuman meriam itu menandakan pertempuran laut sudah dimulai di Eagle Harbour. Tekanan bunyi ledakan mesiu di sana telah mewakili betapa kencang dagup jantungnya. Hanya saat ini, Témpust yang perkasa merasakan ketakutan menghadapi sebuah peperangan kecil.

“Firasatku buruk, Enrico. Mimpi dalam dua jam peristirahatanku cukup mengganggu. Sesuatu mungkin telah terjadi pada puteraku, di luar sana…” Dia memandang Enrico yang terlihat seperti akan membantah. “Aku tahu. Kau bisa pikirkan? Ini terlalu lama bagi orang-orang sehebat Cazar dan Mérdanté untuk menemukan kembali puteraku.”

“Jaraknya cukup jauh, Témpust. Kau tak bisa begitu saja mempercayai mimpi. Aku pun cemas, bukan hanya kau. Ini saatnya membantu mereka, Témpust.” Jari telunjuk Enrico mengarah pada asal suara meriam-meriam itu. “Ketahuilah, jikapun Bader mati, dia tak akan meminta kau mengirimkan teman untuknya di alam sana. Tak boleh ada pejuang yang menyusul Bader.”

Témpust tak tersenyum dan berterima kasih untuk saran Enrico. Dia tinggalkan tempat itu dan berjalan cepat memunggungi pendeta tua itu.

Enrico sedikit kecewa. Namun itu lekas terobati.

Lampros Témpust, dia menaiki batu besar di atas tanah yang meninggi. Posisi yang sudah menjadi sebuah tempat khusus untuk menyampaikan pesan pada penduduk Goat Hill. Bukanlah sebagai sebuah nasihat dia menganggap pesan dari Enrico, tapi itu adalah sebuah pecutan.

Témpust menghirup udara Goat Hill sebebas-bebasnya. Dia sungguh menikmati saat itu, sebelum akhirnya dia kembali ke dunia nyata dengan segala masalahnya. Matanya yang terpejam pun terbuka.

“Saudara-saudaraku dari Goat Hill sekalian, mungkin kesalahanku membiarkan semangat kalian tertahan di kota ini. Pucuk Elang tengah dilukai oleh para makhluk berahang kotak. Aku putuskan, pergilah! Tinggalkan pekerjaan kalian di sini dan persiapkan perlengkapan seadanya. Satu menit dari sekarang, kalian semua harus sudah berbaris mengikutiku menerobos hutan itu. Lakukan!”

Perintah lanjutan pun dibeberkan.

Dan dalam satu menit, Goat Hill hampir dikosongkan. Bunyi logam-logam bergetar ada dimana-mana. Seperti harmoni saat di saat mereka hampir bersamaan menyarungkan pedang. Menganggapi perintah lanjutan, beberapa orang berjaga di kota itu. Sepuluh dari sembilan puluh orang tak bersorak atas nama Theon saat pergi menyerbu. Sebab merekalah yang diberi tanggung jawab besar untuk menunjukkan arah pada para Aztandor yang akan melintasi kota ini.
Continue Reading

0 comments:

FREE TALK

A tale by Chris Nugroho

Okay, mari beristirahat sejenak untuk berbincang dengan saya (itu juga kalo anda sudi) haha...

Mengenai novel ini, sebenernya gw buat untuk ngisi waktu luang di saat SMA dulu. Kalo mau jujur sih, sebetulnya bukan waktu luang, tapi waktu belajar buat UN yang enggak gw pake, jadinya nganggur. (yang mau berpendapat saya bodoh, silahkan)

Inspirasinya sendiri datang karena gw suka sekali nonton film perang waktu itu. Gw ngelalap LOTR, Romance of Three Kingdom, semua kisah Mongol, entah kenapa terobsesi banget sama bunyi gesekan pedang dan pertumpahan darah. (but I hate riffle's sounds). Kalo ada yang bilang ini mirip Eragon, you should know that I haven't read those trilogy yet. Kalo ada yang bilang ini mirip Narnia, you should know too, that I really hate those films. Kenapa? Karena tokohnya bocah semua, sama seperti gw ga terlalu suka nonton Peterpan.

Plus, gw suka sekali baca buku-buku konspirasinya Dan Brown dan Raymond Khoury, yang berbau-bau serba abu-abu, tak jelas mana yang salah dan benar. Ini gw pake untuk konsep Putera Omega dan Sang Terpilih, dimana ga ada yang salah, dan ga ada yang benar. Masing-masing hanya menjalankan takdirnya.

Sampai di chapter 9, mungkin udah padet sekali ya kejadiannya, karena waktu itu gw dikejar limit halaman dari saran pengarang-pengarang senior lain (Luna Torayashiki, Andry Chang etc), makanya jadi dipadatkan sedemikian rupa. Tapi sampai akhir buku satu ini, gw jamin masih banyak kejutan-kejutan, karena itu, yang lagi baca, mohon baca terus ya.

Sampe ketemu di Free Talk berikutnya...
Continue Reading

0 comments:

CHAPTER 9 - Hati yang Terkoyak

A tale by Chris Nugroho

Friday, 26 February 2010

Tiga orang penunggang kuda telah sampai di dalam Benteng Sladur. Mereka menapaki tangga-tangga batu yang terputus-putus oleh lantai demi lantai. Mereka sampai di sebuah alun-alun dengan patung Dewi Aquamernia di pusatnya. Dewi Aquamernia adalah dewi para orang Sladur dan beberapa orang Timur kebanyakan. Orang Timur percaya Aquamernia bisa memberikan ketenangan di laut, hingga hasil tangkapan ikan mereka melimpah. Aquamernia juga merupakan dewi segala penyakit. Ada yang menjadi pertentangan di dunia Mithrillia, tentang nasib para dewi di surga. Beberapa berkata surga tak memiliki dewi, hanya ada dua dewa tersisa di sana. Karena itu mereka yakin, dewi hanyalah bumbu dalam cerita mitos. Ada juga yang percaya para dewi tinggal di surga sebagai pembantu-pembantu Dewa Lameth. Termasuk di antaranya Dewi Aquamernia dan Dewi Minith, dewi para Abodh.

Di tepian alun-alun berjejer bangunan-bangunan, mulai dari penginapan hingga penjual sayuran dan peralatan logam. Bukan kebetulan kalau tampaknya ketajaman indera Cazar menggiring mereka ke Benteng Sladur, dan kini Mérdanté yang membawa mereka ke sebuah penginapan, White Horse Inn. Di sanalah mereka mendapat keyakinan akan keberadaan Bader.

Sebuah bar kecil menyambut mereka di lantai bawah. Di sana tampak sangat berantakan dan kacau. Masih banyak meja dan kursi yang terbalik, walau beberapa buah telah dikembalikan oleh pemiliknya. Di kiri bibir pintu membekas noda darah yang sulit hilang. Di depan meja pelayan juga terdapat cipratan darah yang tengah dibersihkan dengan lap basah. Tak ada pengunjung di sini, mereka pergi entah kemana, sepagi ini.

“Hei, kalian. Lihatlah tanda itu. Kami sedang tutup,” gerutu pria tua yang menyeka setiap jengkal cairan merah di lantainya.

“Maaf, Pak Tua. Sebenarnya kekacauan apa ini?” tanya Cazar.

“Jangan heran bila Serigala Pasir mengacau, pasti akan menjadi seperti yang kau lihat.” Pak tua itu tampak acuh, dia mengabaikan keberadaan mereka bertiga.

Mérdanté, pria berambut ikal pendek itu, memperhatikan luka tebasan pada kayu pintu. Mata abu-abunya memperhatikan setiap detail goresan yang ditimbulkan. Kemudian jari telunjuk dan tengahnya dirapatkan, saat dia menunduk dan meraba sisa tebasan itu dengan seksama.

“Stiletto, tak salah lagi ini Bader...”

“Berarti mereka tak jauh dari sini, atau berarti kita tak menyia-nyiakan waktu kita untuk datang ke sini,” celetuk Ivander. “Pak Tua, maaf, apakah kejadian semalam berhubungan dengan seorang pria bermata abu-abu?”

Pria tua itu tak merespon banyak, dia hanya menggeleng sambil menyeret kata, “Tidak tahu. Tidak lihat.”

Pria muda bernama Ivander tampak sedikit kecewa dengan responsnya. Dia menghela nafasnya sejenak sebelum bergerak maju. Ivander kemudian menghampiri sang pemilik penginapan, lalu dia mulai berkata-kata untuk memberikan gambaran mengenai sosok Bader. Walaupun segan, sedikit-demi sedikit pak tua itu mulai mengangguk membenarkan beberapa ciri.

“Kau mencari dia? Yang bersama seorang gadis cantik di sebelahnya?”

“Ya, dimana mereka sekarang? Kau tahu, Pak Tua?”

“Seingatku...semalam seorang pria berpedang membuat pria yang kau sebutkan itu meladeninya. Kemudian dia dan kekasihnya itu...”

“Bukan kekasihnya, Pak Tua. Namanya Alexa,” potong Ivander.

“Ya, maksudmu gadis berambut coklat kehitaman itu kan? Aku pikir Serigala Pasir tertarik pada pesonanya, dan pria itu berusaha melindunginya.” Dia berpikir sejenak, menyandarkan gagang pelnya ke meja. “Akupun tertarik padanya, hanya saja aku sudah tua...” Pak tua itu malah berceloteh tentang masa lalunya dan istrinya. Itu membuat darah Ivander sedikit meluap hingga ke ubun-ubun.

Ivander menghentikan celotehan tak berguna itu dengan tangannya. “Pak Tua, jadi dimana mereka?” ulang Ivander sekali lagi.

Di saat itu, Cazar berjalan pelan-pelan menjelajahi penjuru bar dengan pandangannya, sementara Mérdanté masih menunggu pembicaraan Ivander dan pak tua yang tak kunjung berakhir. Dia duduk di atas sebuah kursi kayu, sambil memandangi liontin kalung Bader. Tampak Mérdanté sudah lelah, tapi dirinya masih berharap ada keterangan lebih dari pak tua di hadapannya sekarang.

“Mereka lari keluar, termasuk para pengacau yang menyerang mereka. Yang perlu kalian ketahui, teman kalian sekarang pasti sudah berada dalam tahanan. Mereka bodoh, berpikiran pendek, ceroboh, menantang hukum Sladur...”

Tapi pak tua itu malah asyik bermain kata untuk menyatakan maksud yang sama dari kalimat awal. Dia terdengar begitu puas menyela, sebab sudah lama dia dan penginapannya berdiri di Sladur. Dia tahu persis apa itu Sladur, dan bagaimana keadaan sebenarnya dari Sladur.

“Sudah, Pak Tua. Terima kasih atas informasinya,” potong Ivander cepat. “Kami akan mencari teman kami itu, mungkin sampai ke tahanan,” canda Ivander mengalihkan pembicaraan tak menentu si tua penjaga bar itu.

Ivander berjalan pelan ke pintu.

“Terima kasih, Pak Tua!” timpal Mérdanté.

Pak tua itu hanya tersenyum kecil, hampir terlihat seperti sebuah kedutan. Dia kembali membersihkan lantai sambil menggerutu tanpa henti, sementara mereka bertiga telah meninggalkan penginapan itu.

Tiga orang itu berjalan keluar dari sana, dengan Cazar di urutan terbelakang. Mereka kembali dihadapkan pada sebuah lapangan besar. Pelataran utara Sladur tampak lengang. Sedikit orang yang masih berlalu-lalang di sini. Sebagian besar dari mereka justru berbondong-bondong datang ke pelataran timur. Mérdanté seperti menemukan hal bagus untuk ditanyakan pada seorang bocah ingusan yang berlari dengan batu.

Bocah itupun berhenti dan menghadap Mérdanté, tapi langkahnya tak ingin lama-lama diam.

“Ada apa di sana?”

“Wah, katanya putera orang jahat sudah diputuskan kepalanya. Aku mau ke sana untuk melihatnya,” ujar anak itu buru-buru. Dia pun meninggalkan wajah Mérdanté yang terhenyak.

Pikiran itu datang lagi, kali ini lebih kuat dan tapi Mérdanté buru-buru menepisnya.

Témpust bukan orang jahat itu.

“Apa yang dia bilang tadi, Mérdanté?” sela Cazar.

“Sesuatu yang perlu kita cari tahu di pelataran timur,” jawab Mérdanté lemah. Dia tak bisa menyembunyikan gusarnya dari pandangan Cazar.

“Ini pasti sesuatu yang besar, Cazar,” ujar Ivander.

“Besar dan penting,” imbuh Mérdanté.

Orang-orang terus mengalir ke arah timur. Saat itu, pikiran mereka menjurus pada hal yang sama, tanpa mereka sadari sepenuhnya.

“Semoga pikiranmu tak sama denganku,” tanggap Cazar.

Pelataran timur, di tengah sebuah alun-alun besar dengan kastil utama di dekatnya—penuh sesak dengan kata-kata makian. Nafas-nafas peluapan kebencian itu berhembus hingga ke telinga Mérdanté. Mereka menghalangi pandangan Mérdanté ke objek utama—yang diharap bukanlah kemenakannya. Mérdanté begitu ngotot ingin mengambil tempat terdepan. Dengan cekatan dia menerobos keriuhan manusia-manusia Sladur itu.

“Permisi, Tuan. Kami ingin melihatnya.” Mérdanté berusaha keras menerobos keramaian. Kedua lainnya mengikuti di belakang.

Penerobosan itu melelahkan. Orang-orang itu ngotot ingin bertahan pada posisinya. Bunyi batu-batu yang terlempar bersahutan terdengar.

Akhirnya sampai juga mereka pada sebuah pemandangan mengenaskan. Tepat di depan mata, berhadap-hadapan dengan sebuah kenyataan pahit. Jawaban yang salah tentang semua penepisan pikiran mereka.

Dan kemenakan Mérdanté telah tereksekusi.

Tusukan-tusukan pasak itu serasa menusuk kepalanya juga. Hati Mérdanté bergetar syok. Dia menyalahkan dirinya sendiri untuk keterlambatan ini. Tulisan berdarah di sebuah papan makin meyakinkannya. Mérdanté lekas berbalik dan pergi dari keramaian itu. Dia menutup wajahnya dengan sepotong tangan yang digunakan untuk menghalangi air matanya.

Cazar mengiba dalam-dalam pada sahabatnya itu. Dia mengikut Mérdanté keluar dari sana. Setidaknya sedikit air mata juga membuat matanya berkaca-kaca. Wajah terhenyak Ivander menunjukkan agaknya dia turut mengerti kebencian penduduk terhadap Témpust dari jumlah batu yang dilemparkan pada potongan tubuh tak berdaya itu. Bahkan anak kecil pun menghakimi Bader tanpa tahu apa-apa tentang kebenaran.

Ivander menyelinap keluar dari sana. Dia meninggalkan Bader yang sepi sendiri. Dan puluhan cacian itupun perlahan menghilang dari telinganya seraya Ivander menjauhi kerumunan itu. Dia bisa melihat Mérdanté terisak di pinggir alun-alun. Mendung kelabu itu masih menggantung di wajah Mérdanté. Dia sendiri tanpa Cazar, dia memang tak ingin ditemani. Hatinya ingin sepuasnya mencaci pemerintah tanpa gangguan berupa penghiburan semu.

Cazar paham sifat temannya itu.

Dia berjalan lambat-lambat ke segala arah. Dia mencari berbagai sudut pandang yang memungkinkannya melihat ke dalam tiap bangunan. Dia sedang mencari jalan masuk teraman ke dalam tempat terkhusus itu. Kastil batu yang berdekatan dengan sebuah penjara ketat.

Ivander tahu Mérdanté sedang tak ingin didekati oleh siapapun. Dia memilih untuk menghampiri Cazar tak jauh dari Mérdanté. “Lalu, setelah ini apa...” tanya Ivander.

“Alexa belum selamat, bukan?” Cazar melirik Ivander, kemudian Mérdanté. “Kita tahu para penduduk berkumpul di sini, hanya di sini. Itu berarti sesuatu belum terjadi pada Alexa. Sekarang aku kebingungan, bagaimana cara menembus kastil itu.”

Pernyataan Cazar itu menggantung karena Ivander pun tak tahu apa jawabannya. Mereka sibuk memperhatikan sekeliling sambil mencari celah kegelapan di saat malam tiba—kira-kira mereka bisa membayangkan keadaan di tempat ini saat malam tiba. Sepinya bangunan-bangunan ini belum menjamin mudahnya penerobosan di malam hari.

“Tahanan, Cazar. Jangan kastil. Kau hanya membuang-buang waktumu untuk menyusup ke dalam kastil,” ujar Mérdanté yang perlahan sudah bisa menguasai dirinya kembali.

“Kau tak ingin membalaskannya? Kemenakan laki-lakimu itu? Anak dari pimpinan kita?” tanya Cazar, sepotong demi sepotong.

“Untuk apa? Aku yakin ada sesuatu yang ada dalam diri Alexa. Dan jika ternyata dia adalah Sang Terpilih yang dijanjikan itu, maka bersyukurlah kita.” Mérdanté bangkit berdiri. “Kita akan jatuhkan Mayor Arbal, saat peperangan besar nanti.”

Perkataan Mérdanté mengejutkan Cazar. Dalam hatinya dia bertepuk tangan pada kearifan Mérdanté. Beberapa sisi manusiawi Cazar sesungguhnya sudah tak kuat lagi berjalan lebih jauh tanpa tujuan jelas. Mereka juga belum yakin pasti apakah Alexa aman, atau dia tengah bersama Mayor Arbal dan siksaannya. Cazar menepuk pundak teman besarnya itu. Mereka akan pergi, nyali mereka akan diuji, malam ini juga Alexa harus kembali.
Continue Reading

0 comments:

CHAPTER 8 - Benteng Sladur

A tale by Chris Nugroho

Thursday, 25 February 2010

Saat ini, Sladur menjadi kota yang damai dan tenang. Di sebuah penginapan, Alexa melahap sepiring sup daging rusa dengan lahap, meski baru kali ini dia merasakan makanan itu. Dia tahu, mengisi perut akan terus menjadi peristiwa langka dalam perjalanan demi perjalanan ini.

White Horse Inn—cocok dengan warna dari Silver Wind— itu adalah nama dari penginapan yang menampung rasa kantuk mereka sekarang ini. Penginapan itu terbangun dari batu bata yang sama dengan penyusun benteng ini. Batu abu-abu dengan bagian bawah di sisi luarnya yang mulai ditumbuhi lumut. Papan kayu yang tergantung di dekat pintu luar, sesekali berdecit terhempas angin kecil. Lantai bagian bawah penginapan itu adalah sebuah bar kecil.

Bader memikirkan seluruh pesan Karkouri padanya. Membunuh seorang Tammil Ibrahim pastilah pekerjaan yang amat mudah. Tapi mencarinya membutuhkan waktu yang tak sedikit. Belum lagi menghadapi pengawal-pengawalnya yang penuh kegilaan akan loyalitas pada pedagang itu. Suara-suara mendesing dari pedang mereka bisa membuat Bader gila. Setelah semuanya selesai, dia berjanji akan kembali ke Goat Hill dan membawa Alexa selamat. Demi penghormatannya pada pekerjaan Kusko sebagai Bounty Hunter.

Dia mulai curiga Tammil Ibrahim dan Kusko memperebutkan Alexa demi tujuan tertentu. Dia juga curiga ada sebuah maksud lain yang membuat Tammil Ibrahim mulai bergerak aktif lagi, bersama dengan Serigala Pasirnya. Jumlah anggota kelompok itu sangat besar, lebih dari jumlah seluruh pejuang. Tapi mereka dibagi atas tingkatan-tingkatan militer. Hanya kebetulan saja para Serigala Pasir yang terbantai Karkouri hanyalah anggota tingkatan bawah. Sebagian besar anggotanya masih berdiam di Benua Selatan, atau berada di Benua Tengah.

“Setelah ini, kita jelajahi seluruh benteng ini?” kata Alexa seperti merasa malas, penuh keterpaksaan.

“Kau ingin terus di sini? Lalu penculikan akan terus terulang,” ujar Bader sedikit kesal. “Kita cari dia, atau dia yang akan temukan kita.”

Alexa menatap Bader cemberut. Bader tak lagi menanggapi manjanya Alexa, dia memilih melanjutkan makan dari mangkuknya. Alexa merasa tidak nyaman telah menanyakan pertanyaan itu pada Bader. Dia menyesal telah membuat lelaki itu menggerutu kesal, meskipun Bader melakukannya di dalam hati.

“Emm…Bader…” kata Alexa ragu-ragu.

Bader menegakkan wajahnya dari mangkuk. Dia menurunkan tangan kanannya yang memegang sendok berisi sesuap kuah sup. Dia memaku matanya pada wajah ragu gadis itu.

“Bicaralah, Alexa.”

“Sungguh kita akan bermalam di sini?”

Kesal itu meluap lagi, tapi Bader berusaha sedikit sabar. Dia mengatupkan kedua rahangnya untuk menahan amarah. Bader sedikit membuang wajahnya. “Iya, kau tak suka? Tak mungkin kita mencari sekarang. Lagipula, kita tak akan mungkin mengusik Tammil di sini. Ini tempat penghukuman paling keji dan ketat.”

“Bukan itu…”

“Lalu apa? Bicaralah!” Bader akhirnya sedikit mengeluarkan nada kerasnya. Dia tak sabar, kemudian dia menatap Alexa dengan ketidaksabaran itu.

“Tunggu aku bicara, Bader, aku hanya ragu.” Alexa melirik ke sudut kanan, daerah yang dipunggungi Bader. “Sepertinya pria itu mengawasiku dari tadi. Aku takut dia berbuat macam-macam.”

Bader mengernyitkan alisnya. Dengan cepat dia membalikkan pandangannya ke belakang, tepat searah dengan pandangan Alexa. Dan pria berpakaian abu-abu itupun membalik wajahnya, seakan sedari tadi dia memperhatikan secangkir bir di gelasnya. Bader pun menyadari apa maksud Alexa, seorang penguntit sedang mengawasi mereka. Kenyataan itu segera terbantahkan, sebab sesaat setelah itu, Alexa menyadari sesuatu yang lebih besar—beberapa manusia di dalam bar ini tengah mengawasi mereka diam-diam.

“Kau benar, Alexa. Sepertinya akan berbahaya jika kita berdiam semalam di sini,” bisik Bader. “Aku tak tahu siapa yang mereka perhatikan, apakah aku atau kau, namun itu sama beresikonya.”

Alexa mengangguk setuju, dia pun sependapat dengan Bader. Dalam hatinya, dia menghakimi kalau Bader tidaklah cukup kuat untuk melindunginya dari seluruh penguntit ini.

“Penguntit butut. Sampah benua selatan, anggota Serigala Pasir. Pasti mereka adalah rombongan sampah penyembah Tammil Ibrahim,” desis Bader setelah menenggak segelas besar bir.

“Bader, tapi…cadar mereka tak ada,” sanggah Alexa.

“Apapun benda itu, mereka bukanlah orang bodoh yang mau nyata-nyata menunjukkan identitas mereka di Sladur. Serigala Pasir juga kriminal di mata Mithrillia. Pastilah mereka berusaha menjadi sewajar mungkin.” Pelan-pelan berganti Bader yang menguntit salah satu dari mereka. “Lihat, Alexa. Sarung pedang pria itu melengkung, pasti itu Scumberg, senjata khas mereka.”

Lagi-lagi Alexa membenarkan kata-kata Bader. Sebuah sarung pedang hitam menggantung di pinggang salah satu dari mereka. Sarung pedang itu melengkung, sejalan dengan bentuk senjata mereka. Senjata itu sempat dilihat Alexa saat pertama dia dicegat dalam hutan. Orang-orang itu adalah golongan orang yang sama.

Bader meninggalkan beberapa peser Krall di atas meja untuk membayar dua mangkuk sup, satu gelas bir, dan satu teko air. Cepat-cepat dia menarik tangan Alexa, dan melangkahkan sepatu bootsnya ke bibir pintu. Sesekali mereka merasa pandangan itu terus menusuk-nusuk punggung mereka, sangat mengganggu. Bayang-bayang kekacauan di Sladur membuat mereka takut. Pada mulanya, Bader meyakini mereka-mereka ini tak mungkin melakukan hal berbahaya di sini. Mereka juga pasti tahu kota apa Sladur itu. Namun tiba-tiba seseorang lain di depan pintu mencabut sebilah logam tajam dari sarungnya untuk menghentikan langkah Bader. Putera Témpust itu terhenyak, dia tak menyangka pria ini berani mencabut pedangnya di sini, di Benteng Sladur yang penuh kekuatan militer dan hukum. Malam itu, hukum telah dilanggar di Sladur. Bahwa tak satupun dari rakyat sipil berhak menggunakan senjatanya di wilayah Sladur, atas nama keamanan.

Bader pun menyambutnya, seiring dengan orang-orang dalam penginapan yang mulai beranjak panik dari tempatnya, sambil tak melepaskan pandangan mereka dari tiga orang yang sedang bertikai itu. Malam itu, enam orang lain di dalam bar, mencabut pedang yang sama, pedang melengkung penebas kepala sejati. Saat dentingan sepasang stiletto dari serangan pertama Bader terdengar, kegaduhan di sana pun dimulai. Enam yang lain bereaksi melompati meja dan kursi, mendorong pengunjung lain, bahkan menebas yang menghalanginya.

Bader sibuk menghadapi satu orang di pintu. Dia dan tarian dua buah stilettonya belum cukup untuk meredam kekuatan besar dari desingan mengesalkan Scumberg. Saat dua lainnya masuk ke dalam arena pertarungan. Mereka membuat Bader terpojok. Bader mengambil tindakan cepat. Dia menghempaskan orang pertama begitu keras ke dinding. Kemudian Bader menarik pergelangan tangan Alexa untuk keluar dari sana. Mereka berdua berlari kalang-kabut, menyusuri jalan di antara dinding-dinding tinggi dari batu. Serigala Pasir memburu mereka, seperti anjing mengejar tulang yang terhempas.

Sebuah lorong gelap ke arah kiri menjadi pilihan Bader. Batu-batu dinding memantulkan bayangan mereka yang melesat cepat. Kemudian mereka mencoba bersembunyi di balik tembok sebuah rumah, tapi endusan ‘serigala-serigala’ itu amat tajam. Baru saja beberapa saat semua terlihat aman, persembunyian mereka diketahui oleh Serigala Pasir yang berlari mendekat. Akhirnya mereka berdua melanjutkan pelariannya, sampai saat serdadu Sladur menghadang dengan pedangnya. Tiga belas orang berjubah besi datang, bermaksud menghabisi keenam penguntit itu.

Bader tahu dia tak diselamatkan, dia hanya beruntung. Kalaupun semua perlawanan selesai, dia akan tetap ditangkap. Kegaduhan itu menjadi kesempatan Bader untuk berlari membawa Alexa pergi, sejauh mungkin dari kerusuhan itu. Sempat mereka melihat penebasan pedang para serdadu terhadap para bandit, lalu mereka kembali berlari menjauh.

Sladur tak akan membiarkan Bader dan Alexa kabur setelah apa yang mereka lakukan. Penjagaan mereka memang sama ketatnya seperti yang disebutkan oleh kabar angin.

Bader merasakan hujaman tipis dan menyakitkan menerobos betisnya. Dia menyadari dari atas, seorang pemanah berhasil melumpuhkan gerakannya. Pria muda itu sontak jatuh tersungkur ke tanah. Darah mengucur membasahi celana hitamnya. Hal itu membuat Alexa berhenti berlari, dia mencoba membantu Bader, namun Bader menolaknya.

“Pergi! Lari dari sini!” teriak Bader.

“Tapi, kau terluka, Bader.”

“Kembali ke Goat Hill! Tinggalkan aku, Alexa!” ulang Bader berteriak. Dia terus mengerang dan memandangi darah di betisnya.

Alexa bermaksud menyanggupi permintaan Bader, sebelum langkah cepatnya terhenti oleh serdadu berpedang yang mengepungnya dari depan dan belakang. Lorong sempit itu menjadi saksi bisu kekalutan mereka malam itu.

“Orang asing pembawa masalah. Bawa mereka!”

Selekas mungkin mereka membawa Bader dengan begitu kasar. Pria itu tertatih-tatih kesakitan.

“Tunggu! Kami tidak bersalah, mereka yang memulainya!” seru Alexa saat mereka memisahkan dia dengan Bader.

“Mencabut pedang saja sudah merupakan pelanggaran hukum di sini, Wanita Berandal!” tegas komandan mereka. “Kalian lakukan lebih dari itu. Kalian berusaha lari dari penjaga, itu pelanggaran kedua.”

Mereka menggiring Bader tanpa perasaan. Bader pun menghilang terlalap tikungan lorong, bersama dengan tiga orang yang membawanya. Sesekali terdengar jeritan kesakitan Bader setelah bunyi hantaman menyeruak dari balik tikungan. Itu terdengar berulang-ulang. Alexa memandang getir melihat jejak darah yang ditinggalkan Bader. Matanya berkaca-kaca, dia menutupi bibirnya yang bergetar sedih.

“Bawa gadis ini pada Mayor Arbal! Katakan juga pada mereka di sana, bawa pria itu ke dalam sel sementara,” perintah komandan berwatak keras itu.

………

Pusat pemerintahan Sladur begitu megah. Tiang-tiang pilar besar mematung, menyangga atap berukiran rumit pada bagian teras yang memiliki puluhan anak tangga untuk menyambut tamunya. Jendela-jendela besar terpampang pada sebuah ruangan mewah, di sebelah kanan dan kiri jalan menuju tahta Mayor Arbal. Tirai suteranya, dan karpet hitam yang membawa Alexa menghadap sang mayor, semuanya tampak sempurna.
“Kami membawa pengacau ini, Yang Mulia.”

Alexa dihempaskan ke atas permukaan lantai, dia tersungkur dengan tangan terpasung papan kayu persegi dengan lubang kunci baja di kanan dan kiri papan.

Mayor Arbal perlahan berdiri dari tahtanya. Pria berumur lebih dari paruh baya itu mengisyaratkan kepalanya agar penjaga menjauh sejenak dari Alexa. Dengan sekali isyarat, ruangan sudah ditinggalkan penjaganya. Kemudian dia menundukkan badannya untuk melihat Alexa dari dekat. Tangan kasarnya menyentuh dagu Alexa dan mengangkatnya sejajar untuk bertatapan. Sebuah senyum busuk terlontar dari bibirnya, saat itu Mayor Arbal cukup dibuat Alexa terpesona.

“Kau cantik juga, Pengacau. Sayang sekali jika tiang gantungan menjadi titik akhir kehidupanmu.”

Butir demi butir air mata Alexa telah menjadi sebuah jawaban bagi pertanyaan akan apa yang dirasakannya sekarang. Dia terjepit tanpa bantuan, dia takut, dia sedih, dan baginya, dia merasa tak bisa berbuat apa-apa. Terlintas memang sebuah sesal telah meninggalkan rumah.

Mayor Arbal melepaskan tangannya dari Alexa dan kembali berdiri.

“Biarkan dia menjadi permaisuriku saja. Siapkan segala kebutuhannya, Pelayan!” titahnya pada seorang wanita di samping kiri tahtanya.

“Brengsek! Aku tak mau!” bentak Alexa keras-keras.

Mayor Arbal terhentak kaget. Matanya membelalak, alisnya mengkerut tajam. Dia kembali mendekati wajah Alexa dan justru tertawa-tawa di depannya.

“Kau beruntung wajahmu begitu cantik, Nona. Menikahlah denganku dan esok kau akan lolos dari hukuman pancung yang mungkin menimpa dirimu, juga temanmu,” ujarnya cepat dan keras.

“Kalau begitu lakukanlah!” tolak Alexa kasar. Wajahnya dilipat kesal.

Entah emosi apa yang membuatnya begitu mudah untuk meludah di wajah Mayor Arbal. Pria itu mendiamkan wajahnya, padahal hatinya sudah terbakar amarah. Penghinaan itu direspon cepat oleh sang terhina. Tangannya melayang ke pipi Alexa begitu cepat, hingga menyungkurkan gadis itu semakin dalam.

“Satukan dia dengan pria itu!”

“Siap, Yang Mulia!” penjaga mengangkat Alexa dari lantai dan membawanya ke dalam ruang tahanan yang kelam. Penjaga menyeretnya keluar dari pintu.

“Oh jangan, tunggu!” sela Mayor Arbal. “Setelah ini, aku mau bertemu pria itu. Pastikan kalian melucuti seluruh senjatanya.”

Dan penjaga pun segera berlalu, seiring dengan Mayor Arbal yang lenyap untuk mencuci wajahnya yang dianggap tak ternilai harganya—oleh dirinya sendiri. Selanjutnya tiba giliran Bader untuk dihakimi secara sepihak. Sisa-sisa amarahnya terhadap Alexa mungkin saja akan ditumpahkan pada Bader.

Ruangan luas itu dipenuhi ambisi pribadi Mayor Arbal.

Bader datang dengan luka lebam dan goresan di sekujur wajah dan tubuhnya. Tak parah tapi menyakitkan. Pipinya telah terlebih dahulu lebam oleh pukulan-pukulan tangan penjaga yang terbungkus sarung tangan besi. Perutnya perih dihantam kaki penjaga yang tersalut sepatu besi pula. Bahunya retak dibenturkan dengan tongkat kayu keras. Kakinya berdarah akibat anak panah bermata pipih yang menembus betisnya begitu dalam. Anak panah itu telah dicabut paksa dan kasar oleh penjaga, karena itu Bader tak bisa menggunakan kaki kanannya—sakit yang dideritanya terlalu parah.

Bader dilemparkan ke hadapan sang mayor. Wajahnya tak kuasa lagi menggeram, otot-ototnya sudah tak berdaya lagi. Bader hanya bisa menjerit saat merasakan benturan pundaknya dengan lantai batu. Tubrukan antara Bader dan karpet yang terbentang di ruangan ini. Tubrukan yang sebenarnya sudah tak adil lagi. Disadari atau tidak, hukum di sini hanya berakhir dengan satu keputusan akhir—eksekusi mati.

“Yang Mulia, dia tak mau mengakui namanya dan alasannya datang ke sini. Karena itu kami memberinya sedikit perlakuan khusus agar mau bicara…”

“Cukup, komandan Fontus. Biar aku yang mengambil alih dari sini,” ujarnya datar. “Kalian semua, kosongkan ruanganku sekarang!” getar suaranya terdengar hingga keluar pintu.

Dan keheningan pun tercipta seperti yang dikehendaki Mayor Arbal. Suara desis angin lah satu-satunya bunyi yang masih terdengar di ruangan itu. Hembusannya menggoyangkan tirai ruangan untuk jendela yang cukup besar.

“Dan kau…siapa namamu, Pria malang?”

Bader diam. Dia menegakkan kepalanya ke atas dan memperlihatkan tatapan penuh kebenciannya pada sang mayor otoriter itu. Tatapan Bader bersambut. Senyum melebar di bibir Mayor Arbal. Nyatanya Mayor Arbal tak peduli pada mata kebencian itu. Pandangannya sekelebat menemukan adanya kesenangan di balik kerah baju Bader. Tak disangkanya kesempatan ini akan datang begitu mudah.

Mayor Arbal berdehem. “Menurutmu, Tuan-tak-bernama, apakah induk beruang akan marah pada naga yang membunuh anaknya?”

Bader tersentak bingung.

Namun hanya sedetik waktu yang dibutuhkannya untuk menyadari apa maksud pria bejad itu. Lekas dia menutupi simbol di lehernya dengan tangan kanan. Ketakutan menimpanya telak, seperti pilar rapuh yang mendadak runtuh dari berbagai sudut ruangan. Bader merasakan puluhan mata pedang sedang diarahkan padanya. Langit-langit ruangan itu juga serasa akan runtuh menimpa dia dan simbol keluarganya itu.

“Beruang madu itu telah mengambil madu sang naga, dan sang naga mengambil anaknya. Bukankah itu impas?”

Mayor Arbal melangkah pelan-pelan, beberapa tapak ke kiri. Tangannya mengangkat sebilah pedang dari etalase kaca, hal itu membuat Bader semakin gentar. “Dan bila beruang madu akan membalas…dengan apakah dia lakukan itu? Tak pernah ada seekor beruang yang mampu merubuhkan naga…” Suara gesekan sarung terdengar. Mayor Arbal berjalan menghampiri Bader.

Bader memejamkan matanya erat-erat. Dia diam mematung, getaran ketakutan dapat terlihat dari tubuhnya.

“Dan kau, si anak beruang!” Pedang itu dihunuskan di atas tengkuk Bader. “Hanya naga bodoh yang mau membunuhmu.” Mayor Arbal tertawa lepas. Dia puas telah menakut-nakuti Bader.

Bader membuka matanya dan menemukan pria itu tertawa seperti orang gila. Pria gila di depannya itu pasti bermaksud memancing ayahnya agar menyambangi istana, dan seterusnya sudah bisa ditebak—tak akan ada yang dilepaskan, keduanya akan mati bersama.

“Persetan denganmu!” maki Bader dengan suara seadanya. Yang keluar hanyalah kata-kata serak yang ditempeli bau darah.

Mayor Arbal mendadak diam.

Seluruh kata-kata Bader tersebut merambat cepat menuju gendang telinganya. Rasanya perkataan itu menusuk harga dirinya dengan telak dan menggelitik emosinya untuk terbangun. Mayor Arbal menghujamkan pedang itu tegak lurus pada telapak tangan Bader yang tertelungkup, hingga ketajamannya menancapi lantai.

Jeritan perih Bader terdengar menggetarkan, amat deras mengalir hingga keluar ruangan. Kesakitan itu seakan dirasakan juga oleh orang-orang yang mendengarnya. Para penjaga di luar sudah tahu tabiat sang Mayor mereka. Dia gila, bahkan untuk memimpin sebuah desa saja sebenarnya sudah mustahil bagi kegilaannya. Mereka hanya bisa mengelus-elus dadanya tanpa sanggup membayangkan penderitaan Bader di dalam.

Mayor Arbal sering sekali tidak tidur semalaman. Dia sering tertawa sendiri, menangis, lalu mendadak marah. Di saat-saat penting, Mayor Arbal seringkali tertidur tanpa memikirkan pihak lainnya—bahkan di depan Raja Gardner Visselves. Tapi tak ada yang meragukan kemampuan kepemimpinannya. Itulah kenapa posisinya sebagai mayor belum juga tergantikan bahkan di saat kelalimannya mengudara bersama kabar angin. Sayang sekali pikirannya dinodai kekerasan yang berlarut-larut.

Pedang itu lama dibiarkannya menembus telapak tangan Bader. Mayor Arbal memandang keji pada jerit Bader yang berulang-ulang terdengar. Lama kelamaan jeritan itu berubah menjadi sebuah tangisan pilu. Saat itulah kepuasan hinggap di dalam diri Mayor Arbal. Dia tersenyum menyeringai saat kedua tangannya diletakkan di atas gagang pedang itu, kemudian kepalanya disandarkan di atas kedua tangan dan gagangnya.

Bader kembali menjerit, suaranya kering, hampir habis. Darahnya semakin deras mengucur dari telapak tangan kirinya.

“Aku, Mayor Arbal Dominequa, adalah orang yang patut kau hormati di sini, Tuan-tak-bernama!” bentaknya keras dan tinggi.

Dengan begitu tak berperasaan, pedang itu dicabut paksa. Tangan Bader sempat terbawa sesaat bersama sebilah logam tajam itu, sampai tarikannya yang semakin cepat, melepaskan tajamnya logam itu darinya.

Bader mengeluarkan erangan terkerasnya. Dia meringkuk memegangi tangan yang berlubang itu. Nafasnya serasa akan berhenti saat itu. Dia tak sanggup menahan sakitnya perlakuan itu.

Pedang itu dilemparkan Mayor Arbal begitu saja ke kanan. Beberapa kali pedang itu berguling dan terseret jauh bersama darah merah Bader. Dentingannya mengganti jeritan Bader. Sorot mata Mayor Arbal tak jua lepas dari Bader.

Puas.

Tidak, belum. Pikiran Mayor Arbal mudah berubah. Sedetik sebelumnya dia ingin memperistri Alexa, sedetik kemudian dia ingin menggantungnya sampai mati. Sedetik sebelumnya dia ingin menjadikan Bader umpan bagi Témpust, selanjutnya dia menyiksa Bader dan bermaksud memenggal kepalanya.

“Penjaga!” teriaknya kencang, di saat matahari pagi belum bersinar.

“Bawa dia pergi dariku. Pastikan esok pagi seluruh penduduk benteng menyaksikan kepalanya di pelataran timur.” Para penjaga agak terkejut mendengar titahnya. “Tuliskan di sepotong kayu, Putera Témpust, Si Pengumpat Kerajaan.”

Bader tersentak kaget. Dia marah, kesal, takut, dan seluruh perasaan lain yang memutar dalam lingkaran kepedihan. Namun dia menyadari dirinya tak kan mampu berbuat apa-apa. Dia sudah terlalu lemah untuk melawan, apalagi melarikan diri.
“Eksekusi malam ini, Yang Mulia?” tanya seorang penjaga ragu.

Mayor Arbal terlihat begitu kesal untuk menjawabnya. Sang penjaga berpikir apakah kata-katanya itu salah, hingga seluruh ketegasannya luntur. Saat penjaga itu bertanya-tanya dalam hatinya, Mayor Arbal malah memungut kembali pedang yang terlempar tadi. Kemudian, dengan begitu kesalnya dia sabetkan logam tajam itu menyilang di dada penjaga itu. Segera—saat pedang itu dilemparkan kembali ke sembarang arah—tubuh penjaga itu sudah tak bernyawa lagi.

“Singkirkan dia dariku,” titah Mayor Arbal tiba-tiba datar kembali. Dia tak menunjukkan emosi apapun, seakan tak ada sesuatu yang mengerikan. Perintahnya dilaksanakan dengan gentar oleh para penjaga.

Teror di hari itu merupakan buah dari kecerobohan Bader untuk menerobos peringatan alam. Hutan Whisdur telah memperingatkannya, seharusnya bukanlah seperti ini akhir dari seorang putera pimpinan pejuang kebebasan di saat seluruh elemen alam telah menyatakan dukungannya. Inilah buntut dari perlawanan keyakinan Bader oleh dirinya sendiri.

Saat mataharipun belum menunjukkan kepalanya dan membagi sinarnya dengan dunia terkutuk itu, sesuatu telah selesai dilaksanakan. Pisau guillotine telah mencapai titik terbawah dari tiang kayu penyangganya. Darah telah membasahi mata pisaunya, papan kayunya, serta pelataran timur Benteng Sladur.

Lampros Bader, hanya kepalanya yang penuh darah, ditancapkan pada sebatang pasak kayu besar. Saat ini hanyalah waktu yang bermain, dia berputar sampai waktunya para penduduk bangun untuk melihatnya, menertawakannya, mencemoohnya, bahkan meludahinya. Seakan dukungan alam padanya belum juga surut, matahari seperti enggan bersinar untuk datangnya waktu pagi.
Continue Reading

0 comments:

CHAPTER 7 - Sedikit Lagi, Hayden...

A tale by Chris Nugroho

Sebuah topi baseball tertelungkup di atas meja kayu. Topi itu ditemani vas berisi bunga segar, dan seteko air beserta gelas. Hingga saat dia diopname, sudah tiga hari ini, belum sekalipun dia sempat berbicara dengan Flavio Rosetti, pimpinannya.

Hayden Guerrero terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Belum ada yang sempat menjenguknya dalam sehari ini. Matanya begitu sayu. Tak henti-hentinya dia menanti akhir pertandingan dalam televisi di depan matanya. Pertandingan masih menyisakan sedikit waktu bagi Yankees untuk menyamakan kedudukan, sekali home-run lagi maka keadaan mungkin berbalik. Sedikit demi sedikit dia habiskan waktu melihat ke channel televisi lainnya. Sesekali pandangannya dilayangkan ke pintu kamar, berharap ada yang masuk dan memberikannya makanan.

Dia tahu itu tak mungkin. Seluruh staff sedang sibuk dengan perbaikan, apalagi Flavio Rosetti—meski kerjanya hanya berkutat di balik meja dengan kepala botaknya. Hayden juga sadar bahwa dia tak lagi memiliki keluarga yang akan mengingatnya di saat dia berada dalam kondisi semacam ini.

Dia mengingat-ingat bentuk pelindung kepala kuno yang dilemparkan padanya. Sesungguhnya dia ingin sekali mencari tahu benda apa itu. Sebuah pelindung kepala untuk berperang, ukiran dan hiasannya rumit, pasti milik seseorang yang berperan penting. Hampir seluruh wajah penggunanya akan terlindung dengan baik, kecuali matanya. Keadaannya sudah kusam, rusak termakan usia, terlihat amat bersejarah dari karatnya. Bahkan seseorang tanpa pengetahuan historis, juga akan menganggap benda itu bernilai tinggi—seperti yang Hayden pikirkan sekarang.

Lelaki tua itu mengeluh.

Dia ingat bagaimana Deven menahan gempuran monster bersenjata otomatis itu, sementara Hayden berusaha berlari, mematikan LAZARUS agar portal tak bisa digunakan. Terakhir, kabar kematian Deven disampaikan oleh seorang staff yang datang berkunjung kemarin. Terhenyak, syok, pasti, sebab Deven adalah pria andalan Hayden, lebih dari dia mengandalkan Ivander. Pria pemurung itu memang tak begitu ramah pada orang lain, tapi untuk Hayden, itu adalah pengecualian. Itu karena dia dan Deven memiliki kesamaan, baseball.

“Errggh!” erang Hayden. “Manusia tak berguna!” Dirinya kesal mendapati seorang pemukul gagal, sudah dua kali strike, semoga kali ini kena.

Sementara sang pemukul menata kembali mentalnya, Hayden melirik keluar jendela, saat kegelapan membiarkan cahaya lampu menyala. Pikirannya yang terakhir bercerita tentang Enrico van Luigi, rekannya yang kini menghilang bagai angin. Desas-desus pembelotan Enrico ke Hellfire Institution membuat Hayden gerah. Dia tahu sahabatnya tak akan mungkin melakukan hal sejauh itu. Tapi belakangan ini, Hayden mengakui ada yang aneh dengan Flavio Rosetti. Itu membuatnya berpikir kalau…

“Yeah!!!” sorakan pendukung Yankess bergemuruh. Hayden hanya bisa berkata, “Yeah!” dengan mengepalkan tangannya dan mengangkatnya ke udara berkali-kali.

Rasanya selebrasi sesaat itu cukup untuk membuatnya tersenyum sesaat pula. Dia kembali, pada lamunan penuh pikiran ke arah jendela bertirai biru langit. Organisasi, pelindung kepala kuno, pria misterius dengan monster, Deven, Enrico, tidak mungkin bisa lebih pelik dari ini.

Hayden berusaha meraih telepon biru yang terpajang di samping segelas air putih. Dia menekan-nekan beberapa tombol, nomor ponsel Flavio Rosetti. Dalam hatinya dia berharap ponsel itu diaktifkan.

Tiba-tiba terdengar suara nada dering ponsel dari balik pintu kamarnya. Dan panggilan itupun ditolak, sebab orang yang dituju sekarang berada di balik lembaran daun pintu itu. Suara kesibukan rumah sakit terdengar sesaat, kemudian mendadak lenyap saat daun pintu ditutup kembali.

“Tak perlu meneleponku, Hayden. Badut yang mendatangimu,” canda Flavio.

Phobia Hayden yang patut diperolok. Flavio hanya menirukan hidung sang badut dengan sebuah jeruk yang ditempelkan ke hidungnya, kemudian berjalan dengan kaki terbuka dengan satu tangan memegang keranjang buah. Agak konyol memang, tapi itulah sisi lain dari seorang Flavio Rosetti.

“Hahaha…lucu juga, Kepala Lampu,” tawa Hayden garing, dibuat-buat. Dia mencoba untuk duduk di atas ranjangnya.

Flavio berhenti bercanda, namun masih menyisakan senyum di bibirnya. Sebuah pemandangan langka dimana seorang pimpinan mau mengunjungi bawahannya. Flavio mengenakan kaus berkerah berwarna hijau gelap dan celana golf pendek. Sama sekali tidak terlihat kalau dia adalah orang di balik meja Alpha Operation.

“Aku bawakan buah untukmu. Bagaimana sekarang, apakah lebih baik?” Flavio meletakkan satu keranjang buah ke atas meja lainnya yang agak jauh dari ranjang.

“Ambilkan apel untukku, Flavio.”

Flavio menatap Hayden dengan satu alis diangkat, dia agak terkejut mendengar kata-kata Hayden barusan.

“Tak apa-apa bukan? Sekali-kali aku yang memberimu komando,” canda Hayden geli. Dan Flavio pun tertawa heran, tangannya menyergap sebuah apel dan menyodorkannya pada Hayden.

Flavio duduk di atas sebuah kursi yang berlawanan arah dengan jendela. Dia mamandang pria tambun itu sedang menggigit buah kemerahan itu. Dengan mulut mengunyah, Hayden memulai pembicaraan.

“Aku baik-baik saja, Flavio. Sebaik yang kau lihat terjadi padaku sekarang.” Hayden mengawang-awang sejenak. Lalu seraut wajah lesu pun ditampakkan dari wajah tuanya. “Bagaimana dengan Deven? Dimana kalian menguburkannya?”

“Aku kembalikan jenazahnya ke Portugal. Kami sudah ke sana dan menguburkannya dengan layak di suatu tempat. Hanya saja, aku tidak mengerti kejadian sebenarnya, saat itu, kau tahu?”

“Sebentar,” Hayden menelan apel di mulutnya. “Aku ingin tanyakan sesuatu dahulu. Dimana kau simpan pelindung kepala kuno itu?”

“Di ruang kerjaku, belum kuputuskan akan diapakan barang itu…”

“Entahlah Flavio,” potong Hayden. Dia seperti berpikir keras. “Sepertinya itu petunjuk penting dari musuh kita sendiri,” potong Hayden. “Mereka tiba-tiba masuk, seperti tikus-tikus masuk ke dalam gudang keju.”

“Tikus-tikus?” Flavio menanggapi serius. “Maksudmu ada yang lain?”

“Bukankah itu sudah pasti? Mereka tak akan mungkin menerobos sendirian, lagipula pertahanan LAZARUS itu ketat. Mereka bawa banyak mayat hidup, hanya sebagai pengacau saja, tak ada maksud untuk mewabahi orang-orang kita. Aku ingat Deven sudah terlalu lelah untuk bertarung lagi, saat itu monster besar malah datang. Jelas-jelas Deven tak bisa menahannya lagi. Dia menyuruhku lari, lari ke ruang kendali LAZARUS, dan matikan seluruh sistemnya.”

“Kau menurut saja?” Flavio tak tahan lagi, dia berdiri dari sana. “Aku heran, mengapa dalam keadaan itu justru Deven…” Flavio berpikir panjang, dia duduk kembali setelah mondar-mandir sejenak. “Pasti Deven mengetahui sesuatu, mungkin kau tahu?”

“Katanya berteriak, jangan biarkan mereka mengambil yang terakhir!” tiru Hayden. “Yang terpikir olehku mungkin maksudnya portal itu, karena itu dia meminta LAZARUS untuk dimatikan.”

“Yang terakhir ya?” tanya Flavio retoris. “Padahal, setelah itu mereka tetap bisa menerobos kode keamanan dan menghidupkan kembali sistem LAZARUS. Sebuah tindakan beresiko yang sia-sia,” sambung Flavio melanjutkan kata-kata Hayden. “Lalu, pelindung kepala itu, ada apa dengan benda itu?”

“Oh, soal itu…” Hayden kembali menelan beberapa kunyahan apel. Dia berusaha keras untuk secepatnya berbicara. “Pria dari Omega Operation melemparkannya padaku, dia katakan sesuatu tentang Cresthalla. Dan…oh, iya, Ivander juga. Dia menyebut nama Ivander sekali, hanya sekali. Dia juga bilang, saatnya sang Chaos menemukan rumahnya kembali.”

“Sang Chaos…” Flavio menahan nafasnya sejenak. Dia berusaha membangun pembicaraan yang lebih serius. Namun agaknya itu lebih sulit dari yang dia duga. Flavio mengeluarkan nafasnya yang tertahan, kemudian memejamkan matanya sejenak, saat dia berpikir cepat. “Ya, memang…Aku dan Enrico tahu, kami tahu…”

“Kau tak pernah beritahu aku?” sela Hayden.

“Kurang tepat rasanya. Darah Ivander tercemar oleh polutan berbahaya. Dia memang berbeda dengan kita, Hayden.”

Hayden tak melanjutkan gigitan apelnya. Matanya memandang tak percaya akan apa yang baru didengarnya. Pikirannya terus mengulang-ulang kata-kata Flavio barusan, hingga dia menjadi sungguh penat dan ingin melepaskannya dari pikiran.

Flavio berdehem sesaat sebelum melanjutkan, “Kupikir sudah saatnya seluruh orang dalam organisasi mengetahui hal itu. Ivander dimasukkan ke dalam organisasi bukan untuk menggantikan siapapun, melainkan agar dia terlindung dari banyaknya ambisi pihak-pihak untuk mendapatkannya.”

“Tapi untuk apa, Flavio? Rasanya Ivander baik-baik saja selama ini.”

“Kami pernah melakukan uji coba. Sel darah hitam milik Ivander, disuntikkan pada seekor tikus putih...” Hayden mematikan televisinya, mencoba lebih fokus pada masalah yang makin pelik. “Tikus itu berubah menjadi sangat mengenaskan. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit, bulunya berubah hitam, matanya berubah merah, badannya membesar, kemudian tanduk-tanduk keluar dari tulang punggungnya. Setelah itu, tikus malang tadi tertelungkup mati, tubuhnya kembali seperti semula. Organ-organnya, seluruh pembuluhnya, hingga tulangnya, semua hitam pekat dan rusak total.” Flavio mengangkat sebuah apel, kemudian melemparkannya dari tangan kanan, ke tangan kirinya terus-menerus, secara bergantian. “Bayangkan, sebenarnya apa yang disebut Chaos itu. Bayangkan juga bila mereka dapatkan Chaos.”

“Tapi mengapa Ivander bisa bertahan?”

“Kami menemukan bahwa bukan hanya darah Ivander berbeda, tapi tubuhnya juga. Dia bisa bertahan dari sifat parasit cairan hitam ganas itu, itulah yang disebut Chaos oleh mereka.”

Flavio membiarkan Hayden terperanjat sejenak. Sudah ada pertanyaan di pikirannya, “Hayden, apakah kau tadi katakan Cresthalla?”

Itu sudah berlangsung dua bulan, sejak kepercayaan Hayden pada LAZARUS menurun. Sebuah pagi sederhana di Bucharest, tapi komputer itu memberikan kesan yang mengesalkan. Hayden baru saja memulai pekerjaannya mengawasi gejala Lacuna Syndrome, cangkir berisi teh sudah terhidang di samping kanan tangannya. Lalu pandangannya ke monitor digantikan oleh LAZARUS yang memunculkan pesan untuk Hayden—dalam bentuk tulisan—pesan mengenai eksperimen Chaos, atau penciptaan sebuah wadah bagi kekuatan penghancur Chaos. Tertuduhnya adalah Flavio Rosetti, seseorang yang sudah sangat akrab dengannya. Itulah yang membuat Hayden enggan berkompromi dengan LAZARUS.

Sejak saat itu, Hayden terus menaruh rasa curiga berlebihan pada LAZARUS. Dia tak pernah merespon pesan-pesan dari LAZARUS, termasuk perkataan-perkataan langsung dari mesin itu. Walaupun dia tak tahu ada apa di balik semua pesan LAZARUS, dan ada apa juga dengan aksi diam Flavio saat itu, Hayden berpikir mungkin inilah jawabannya

Lamunan Hayden terpecah belah, bergegas dia mencoba kembali ke alam sadarnya untuk menjawab Flavio. “Ya, tidak salah lagi. Pria itu mengatakan Cresthalla, aku tak tahu itu apa.”

Flavio berpikir lebih panjang dari sebelumnya, seperti mencari-cari akal, bukan mencari tahu. “Begitupun aku, Hayden. Akan kucari kata itu di salah satu buku-bukuku, siapa tahu benda itu terkenal. Dan maaf, Hayden, aku tak bisa terlalu lama di sini,” sesal Flavio.

“Tak apa, Flavio. Terima kasih sudah mau datang berkunjung.”

“Cepat sembuh, Clown Head,” sindir Flavio ketika keluar dari kamar itu. Hayden tertawa sesaat, tapi kembali dengan cepat pada ekspresi seriusnya.

Dalam otaknya, kini dia hampir menemukan sebuah titik terang. Sebuah kenyataan yang dia tolak mentah-mentah, sebuah kenyataan yang membuatnya membual pada Flavio. Hayden tahu, tentang kegiatan rahasia Flavio Rosetti, apa yang dia lakukan di balik kebijakan-kebijakannya. Dan barusan, Flavio memang bercerita tentang Chaos, tapi secara tak langsung itu membuatnya menyambungkan semua teka-teki. Kini Hayden amat sangat merasa berhutang pada LAZARUS.

“Eksperimen klon…” gumamnya datar dan perlahan.

Hayden menengok ke masa lalu, saat Deven berteriak padanya. Patricio Deven sudah tahu kenyataan ini lebih dahulu daripadanya. Siapa mereka yang disebutkan oleh Deven. Omega Operation-kah, atau justru seorang Flavio Rosetti?

Continue Reading

0 comments:

CHAPTER 6 - Pembicaraan Rahasia

A tale by Chris Nugroho

Rehabilitasi markas sedang berlangsung.

Kamera keamanan menangkap seluruhnya, walau tak sampai memperlihatkan apa yang terjadi di Jantung LAZARUZ. Hari ini sudah tiga hari berlangsung untuk perbaikan markas dan peningkatan keamanan, sejak hari penyerangan itu. Flavio sama sekali tak menduganya. Kini dia sibuk memperhatikan lembaran-lembaran kertas di atas mejanya. Jari-jemari itu begitu lesu membaliknya. Satu tangannya dipergunakan sebagai pilar untuk menopang betapa berat kepalanya yang berisi pikiran-pikiran. Sesekali pena di sebelah kanannya diraih untuk menuliskan beberapa kata pada selembar kertas.

Dua hari yang lalu, Flavio mendapati laporan darurat dari LAZARUS. Dia begitu tergesa-gesa untuk kembali. Terperanjatlah pria itu saat melihat rekaman penyerangan, hingga saat Hayden mematikan LAZARUS—berarti mematikan seluruh kamera. Klaha menjadi hantu dalam pikirannya. Otaknya berputar-putar mencari dalang di balik penyerangan berdarah itu. Dia pikir Hellfire Institution tak mungkin sendiri.

Tapi sebuah kesalahan besar telah dia perbuat. Pada mulanya Flavio berpikir bahwa Enrico sudah mati, namun tim otopsi dari intelejen menyatakan tak menemukan jasad pria tua itu. Proyek rahasianya terancam ditunda hingga Enrico ditemukan. Belum lagi adanya kemungkinan Enrico membelot ke Omega Operation.

Dia mengetuk-ngetukkan jari-jarinya ke atas meja, sedangkan ibu jari lainnya digigit. Dua hari yang lalu, dia sukar merelakan jenazah Deven yang ditinggalkan dalam liang pemakamannya. Pria muda itu masih sangat berharga baginya—bagi segala rencana rahasianya yang kini hancur berantakkan.

Flavio menggaruk-garuk kepala tanpa rambutnya, kemudian meneguk secangkir kopi hitam dan meletakkan kertas laporan ke atas meja. Tapi di balik semua pikirannya, ada hal yang mengganggunya. Jika Hellfire Institution sudah mengetahui posisi markas, mengapa mereka tak sekalian saja menyerang berturut-turut? Apalagi saat ini seluruh kekuatan utama Alpha Operation sudah menghilang. Apa itu berarti sesuatu di balik portal itu lebih berarti dibandingkan dengan menghancurkan Alpha Operation.

Sesaat dia menerawang ke luar jendela, memperhatikan segala pemandangan dengan sinar yang menusuk matanya. Sekawanan burung gagak beterbangan menjauh. Ingatan Flavio terusik.

Mengapa baru sekarang aku menyadarinya?

Segera Flavio membuka notebooknya, dia bermaksud melakukan komunikasi dengan intelejen rahasia dari yang paling rahasia di dunia. Terpampang sebuah simbol, siluet burung gagak yang bertengger di atas sebuah hand gun. Di simbol itu tertulis, The Black Crow Organization. GINE, adalah panggilan Flavio untuk orang di balik pembicaraan misterius itu. Dia tak pernah sekalipun mengijinkan orang melihat wajahnya. Sama seperti Flavio tak ingin dirinya dikenal sebagai pimpinan Alpha Operation, sama seperti tak ada orang yang tahu siapa penggerak roda-roda gigi Omega Operation.

“Selamat siang, Alpha. Kuharap sebuah hal besar menarikmu kepadaku,” kata suara yang terdistorsi gain dan manipulasi treble.

Flavio tersenyum kecut. Memorinya berusaha menguraikan daftar-daftar sesuai dengan etika-etika intelejen. Dia juga tahu orang yang dihadapinya sekarang, bisa menjatuhkan posisinya kapan saja. “GINE, kau pasti mendengar kabar penyerangan mendadak Omega Operation ke markasku beberapa hari lalu.”

“Aku tahu itu, sepertinya kekuatanmu lumpuh berat, Alpha. Dan apa yang bisa kubantu bagi organisasimu?”

“Aku kehilangan kekuatanku, lebih dari separuh, dan masalah JES semakin rumit. Aku tak bisa membiarkan seluruh dunia mengetahui keberadaan Mithrillia, tapi aku juga tak bisa menjadi air penyembuh bagi seluruh penderita JES. Hal-hal sepele semacam itu, terus-menerus mengganggu rencanaku.”

“Bunuh saja mereka.”

Flavio terbatuk kaget. Hampir saja dia menumpahkan secangkir kopi di tangannya. Beruntung kekagetannya tak membuat pria itu tersedak parah. Dia bergegas meletakkan cangkir itu dan menyeka mulutnya dengan sehelai sapu tangan sutera berwarna hitam.

“Kau gila? Bila satu orang penderita JES sudah dibunuh, bisa dipastikan beritanya akan tersebar, hingga para penderita lain memilih membeberkan ceritanya pada dunia. Satu mulut mungkin tak cukup meyakinkan, tapi bila dua? Tiga? Empat? Dan seterusnya? Itu akan cukup menjadi bulan-bulanan media. Jika itu terjadi, tamatlah organisasiku, organisasimu, walaupun Hellfire ikut masuk ke dalam lingkaran pahit itu.”

Hening sesaat.

“Ya, meskipun aku akan sangat senang jika Hellfire sampai runtuh,” lanjut Flavio Rosetti mengakui.

“Kau belum mendengarkanku sepenuhnya, Flavio. Aku tahu ada sesuatu yang ingin kau kuasai dari Mithrillia, tapi lihatlah dirimu ini. Tak akan lama lagi, kambing hitam itu akan menjebloskanmu ke neraka…” Mendengar itu, Flavio terdiam menanti. “Baik, Alpha. Bagaimana jika aku hanya menggunakan waktu...satu bulan?”

“Kali ini jelas sekali terdengar. Sudah terlalu jauh kau mengarang ceritamu. Mungkin saja kau sama sekali tak tahu situasinya,” remeh Flavio. “Sejumlah penderita JES, mereka tersebar di mana-mana, lagipula sebagian dari mereka bersembunyi. Berapa banyak orangmu yang akan kau turunkan?”

Tawa itu terdengar lagi. Kali ini lebih panjang, lebih padat, namun terdengar tak bermakna lagi.

“Cukup…orangku akan melakukannya.”

"Berapa banuak untuk misi segila itu?" kelakar Flavio.

"Satu."

Flavio berusaha menekan emosinya. Dia menganggap itu sebuah lelucon, hampir saja emosinya membludak, tapi dia berusaha sabar.

“GINE, aku sedang membicarakan hal serius, bagaimana bisa kau melontarkan lelucon di saat ini?” kata Flavio pelan-pelan dan mendesis.

“Solusi bagimu, mungkin aku harus melepaskan salah satu tahananku.” Suara itu diam, kemudian simbol gagak hitam berganti menjadi profil dari seorang tahanan pihak The Black Crow.

Name : Rajeev Khasim
Alias : None
Age : Unknown
Sex : Male
Blood : Unknown
No. : 000-000-001
Level : AA

Layar datar itu seakan memberinya kebohongan besar. Flavio sama sekali tak menemukan kejahatan di wajah pria kurus itu. Dia hanya tampak seperti gelandangan India biasa. Masuk ke dalam penjara The Black Crow bukanlah untuk kejahatan kecil. Orang ini, Rajeev Khasim, pasti sudah melakukan hal yang tak bisa dimaafkan. Pandangan Flavio terusik oleh level pengamanan dan kerahasiaan Khasim yang mencapai tingkatan AA—tingkatan tertinggi setelah C, B, dan A.

“Mungkin nama itu asing bagimu. Aku bisa jamin dia mampu membasmi semua ‘hama’ hanya dalam sebulan pencarian,” ujar suara itu. “Hanya satu tahanan yang menghuni pos level AA, dan dialah orangnya.”

“Itu terdengar bagus, GINE,” angguk Flavio ragu. “Tapi bisakah narapidana semacam dia dipercaya? Jujur saja aku agak meragukanmu.”

“Aku tahu kau inginkan Mithrillia,” ujarnya. “Aku tahu kau inginkan eksploitasi sumber daya alam di sana. Aku tahu, di sana terdapat sebuah barang tambang berharga tinggi yang bahkan tidak disadari keberadaannya oleh penduduknya sendiri.”

Flavio takut mengucapkan kata-kata yang salah. Dia hanya diam dan terkejut dengan pengetahuan luas pimpinan The Black Crow.

“Dantium, aku juga tahu namanya, bukan?” lanjutnya dengan nada menerka-nerka. “Beberapa tetes lapisan Dantium murni saja bisa menahan rentetan peluru mesin, apalagi bila kendaraan berat menggunakannya. Tak akan ada kata kalah bagi organisasimu. Lalu setelah ini, aku ragu kau hanya menggunakannya untuk menjatuhkan Omega Operation. Setidaknya pikiranmu tak akan sesederhana itu.”

Setelah pernyataan itu, keraguan Flavio berganti dengan keinginan yang meluap-luap. “Tak salah bagimu memimpin organisasi sebesar The Black Crow. Kau sangat cerdik menerkaku.”

“Empat puluh persen, aku hanya minta empat puluh persen dari pendapatanmu di sana…”

Sontak Flavio Rosetti terkejut mendengarnya. Flavio menggeram agak kesal. “Tidak mungkin. Aku sudah menghabiskan jutaan dollar untuk pengembangan serdadu pembunuhku, dan kau seenaknya meminta bagian tanpa membantuku sedikitpun soal penaklukkan?”

“Jadi penelitianmu itu sangat rahasia?” orang itu terdengar berpikir. “Bagaimana jika kugelontorkan beberapa juta euro untuk menutup biaya itu, selanjutnya kesepakatan wajib kau patuhi.”

“Kesepakatan? Selain empat puluh persen, ada lagi?”

“Ya, mungkin satu lagi.” Suara itu hening sejenak, terdengar suara halaman kertas yang dibolak-balik dari dalam layar. “Tentang laki-laki itu. Aku tahu kesetiaannya pada organisasimu. Bila terjadi, aku ingin memilikinya..”

Sesaat Flavio berpikir akan maksud pria ini, tapi akhirnya dia paham dan sadari. Memang ada rahasia yang disimpannya tentang betapa dahsyatnya kekuatan seorang lelaki di pihaknya. Namun beribu-ribu alasan menjadikannya tenggalam tak muncul ke permukaan. Dia yang disebut-sebut sebagai si bocah api liar, pembantai Little Marry di masa lalunya.

“Dia bukan barang transaksi, GINE. Dia mungkin adalan agen terakhirku yang tak akan kuserahkan pada siapapun juga, bahkan pada rekanku sendiri.”

“Apakah berarti penolakan? Sayang sekali, tadinya aku berniat membantu.”

“Empat puluh persen saja sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk kalian. Jangan bebani lagi hutangku dengan kewajiban menyerahkan dia sebagai balasannya. Aku perlu dia untuk keseluruhan ambisi terpendamku.”

Sunyi, terdengar suara flicker dari layar, hanya itu, tidak lebih.
“Baik. Akan kuputuskan besok. Di atas pukul enam saat matahari sudah terbenam, nyalakan televisimu untuk mengetahui apakah aku mengirimnya atau tidak. Tunggulah, sebab aku juga tak mau dirugikan. Salam, Alpha.”

Flavio terdiam sejenak. Dia mengepalkan tangannya keras-keras.
“Tidak, tidak mungkin…” gumam Flavio terakhir, saat dia menyandarkan tubuhnya ke atas kursi kerja hitamnya.

Layar besar itu menghilangkan simbol gagak hitam yang sedari tadi terpampang. Tinggallah Flavio dengan pikiran yang bertambah rumit. Pria tua itu menghela nafas panjang, dia mengangkat kopinya dan menghabiskan sisa minuman itu. Rasanya, dia sudah terlalu jauh melenceng, pikir Flavio pun begitu. Tak dia sangka misi mulianya semula, akan bergeser menjadi sebuah keadaan yang tak bisa diprediksikan.

Flavio si pengkhianat.

Seorang Italia yang penuh cita rasa perfeksionis, namun dengan pemanfaatan yang salah pada rasa itu. Flavio Rosetti yang perlahan berganti pada keburukan.

Continue Reading

0 comments:

CHAPTER 5 - Karkouri

A tale by Chris Nugroho

Kisah yang terlewatkan…

Bader dan Alexa berangkat ke Goat Hill, menunggangi seekor kuda putih bernama Silver Wind. Tapak sepatu kuda itu melaju melewati gurun pasir yang terhampar sepanjang pelataran kota Gabion, letaknya cukup jauh dari kemah para bandit. Pandangan Alexa bergelimang decak kagum, pemandangan sealami ini sejak di desa Cordanté sangat memukaunya. Jauh dari deru asap mobil, klakson bis kota, dan langkah-langkah angkuh para pencari uang di Birmingham. Segalanya seperti yang dia impikan selama ini.

Alexa tak pernah membayangkan kalau dia akan menaiki seekor kuda segagah ini, bersama laki-laki yang gaya pakaiannya mirip seperti pengelana abad pertengahan. Kemudian melihat naga pertama baginya, begitu menakjubkan. Sudah sepatutnya langit biru ini memberinya kesenangan. Padang rumput kering yang luas dan diselingi oleh gurun yang tak kalah luas, memberinya nafas panjang, dan pemandangan indah menyegarkan matanya. Walaupun sesaat demi sesaat, Alexa mulai memikirkan orang tuanya, tapi pikiran itu buru-buru ditepis

Orang tuaku sibuk, toh mereka tak akan tahu.

Alexa memandangi punggung Bader yang perkasa, dengan harapan pria ini membawanya ke tempat yang tepat. Sesekali dia menoleh ke belakang, dilihatnya naga hitam itu sebagai titik kecil di udara, apinya sebagai tali jingga. Kecemasannya di kemah itu telah pudar, dia hanya ingin menikmati keunikan tempat ini.

Dia ingat dirinya pernah membaca surat-surat yang isinya mengkhawatirkan seorang pendeta muda di Belanda. Namun Brian Lucas enggan membongkar privasi penyelidikannya. Dia pikir, Enrico van Luigi-lah orangnya. Seorang pendeta yang sempat melakukan perjalanan lintas dimensi, tak mungkin ada lagi pendeta semacam itu. Ini seperti sebuah kebetulan yang unik. Sayangnya, belum sempat Alexa menanyakan kebenarannya, dia sudah terpisahkan dengan Enrico, meski dia percaya hanya sementara waktu.

Selang beberapa waktu, Bader berhenti di depan hutan belantara yang kelam, Hutan Whisdur. Di pikirannya, berputar-putar pertanyaan tanpa jawaban. Tak tahu kenapa, dia merasa tidak diizinkan untuk memasuki hutan ini. Jari-jari yang terbungkus sarung tangan itu meremas kencang-kencang kekang kudanya, berharap hatinya tenang. Namun suara-suara pohon justru membuatnya gusar.

Namun niatnya tertahan oleh langkah Silver Wind yang tak kunjung beranjak. Kuda itu memberontak, tak biasanya seperti itu. Makhluk perasa itu seakan menerima gelombang ombak besar dari depan, hingga dia tak bisa mendorong maju ke depan.

“Hei, ada apa denganmu, Jagoan?” Bader agak jengkel.

Kuda putih itu memilih diam, walaupun akhirnya beberapa kali Bader memaksa, Silver Wind berjalan juga, meskipun tanpa restu dari tanah yang dia pijak. Hingga akhirnya Bader dibisiki oleh angin kebusukan dari dalam hutan ini, jauh di balik puluhan batang pepohonan dan ranting-ranting kering. Berhembus dari daun ke daun, ranting ke ranting. Dan seakan mereka berkata, Bader, sudah kami peringatkan kau, pergilah!

“Ada yang salah, bukan, tidak ada yang salah, itu hanya perasaanku saja,” gumamnya berkeringat. Alexa mendengar sedikit dari kata-kata itu, Bader berusaha menutupinya dengan senyum paksa.

“Kau sedang tidak merencanakan sesuatu yang buruk, bukan?”

“Bukan apa-apa, hanya saja hidungku sedikit gatal. Aku hanya berpikir kalau-kalau…”

Mendadak mata Bader membelalak tepat di depan Alexa. Dia merasakan suatu kejutan dari luar, sebuah hadiah untuk kecerobohannya. Sebuah hadiah kecil berupa jarum panjang yang menancap telak pada lehernya. Beberapa saat kemudian, matanya yang mendadak terbelalak menutup lemah, disusul dengan kejatuhannya dari atas Silver Wind, meninggalkan Alexa yang terperanjat kaget. Tak lama setelah itu, Alexa-lah yang menjadi sasaran selanjutnya.

Para pencuri kesempatan itu memberondong keluar, segera setelah Alexa terperosok dari atas kuda putih. Silver Wind meronta-ronta, menendang setiap bandit bercadar itu—ciri khas dari kelompok Tammil. Kuda putih itu terjerat tali temali mereka, dan dibiarkan mengikuti arus keluar para bandit dari hutan. Kata-kata hutan tadi tak diindahkan oleh Bader, padahal itu adalah sebuah peringatan penting.

………

Dua tahanan itu terikat terpisah. Bader diikatkan pada Silver Wind yang tak punya pilihan lain selain berjalan terus. Alexa diikat di dalam sebuah kereta yang ditarik dua orang berkuda. Mata mereka tak pernah berhenti menempel dengan alisnya yang tebal, keturunan khas benua Selatan—rupa mereka bisa disamakan dengan para khafillah Timur Tengah di Maya. Ketahanan tubuh mereka terhadap panas amat tinggi. Mereka sering disebut Serigala Pasir, sedikit orang yang berani menentang mereka. Ciri khas kelompok ini adalah cadar hitam, pisau pipih, dan pedang melengkung yang disebut Scumberg. Pedang mereka punya lubang-lubang kecil di dekat sisi tumpulnya. Lubang itu akan mengeluarkan bunyi saat ditebaskan. Cukup untuk membingungkan lawan-lawannya.

Para penculik ini mencari keberadaan tuan mereka, Tammil Ibrahim. Mereka baru saja meninggalkan kota Gabion. Mereka melalui Bukit Vallenor, tepat saat malam akan menjelang pagi. Kereta kuda itu justru menghambat pergerakan mereka.

Pimpinan Serigala Pasir mengangkat satu tangannya ke udara, isyarat untuk berhenti begi kelompoknya. Dia membalik tubuhnya, meskipun tak sepenuhnya. Mereka telah sampai di sebuah tempat yang salah.

Lam Karkouri, Erta law sion, zan dazarab zim,” (Gurun Karkouri. Kalian semua, melangkahlah perlahan, jangan usik dia) ujar suara serak itu.

Bader agaknya sudah mendapati matanya kembali terbuka. Pandangannya kabur, dia hanya bisa melihat para bandit berjalan pelan-pelan di atas gurun. Tubuhnya digerayangi nyeri-nyeri sendi dan aliran darah yang tak lancar, membuatnya merasa begitu tak berdaya.

Tangan Bader yang tadinya terikat erat hingga memeluk leher Silver Wind kini sudah terlepas, walaupun pergelangan tangannya masih dicengkram oleh gulungan tambang. Hingga saat tahap pembebasan pertama dilakukan, para bandit masih belum berjalan terlalu jauh dari tempat mereka berdiri semula. Itu menambah keheranan Bader, dimana sekarang ini? Sebuah kondisi terjepit itu membuat Bader memilih melanjutkan aksi pura-pura tak sadarnya, matanya menelisik permukaan pasir yang tidak rata, hingga dia menemui beberapa kesalahan di atas gurun ini. Tulang belulang menjadi pemandangan jamak, sering sekali melalui pandangannya.

“Ini, bau kematian begitu tajam. Mengapa gurun ini tak stabil? Mengapa sering ada sedikit guncangan di sini?” pikir Bader. Sekaligus saat itu dia berpikir dimana posisi Alexa.

Bader digiring pada posisi terbelakang, kepalanya dia gerakkan amat perlahan untuk mengamati bahwa di kiri dan kanannya tidak ada orang lain. Diingatnya bahwa tangannya masih terikat keras dengan sebuah tambang putih, rasa perih itu terasa. Dia merasakan aliran darah ke telapak tangannya berkurang.

Bader menegakkan kepalanya ke depan. Dia melihat Silver Wind juga diikat dengan sebuah tali tambang putih pada lehernya, langsung menuju seekor kuda lainnya. Selain itu, Bader melihat tak ada Alexa di atas setiap kuda lain. Itu membuatnya berpikir Alexa pasti berada di dalam kereta kuda. Akhirnya dia sadari, gerakannya tak begitu terkekang—bandit-bandit ini bodoh. Mereka begitu ceroboh hingga mengabaikan ahli meloloskan diri sepertiku, begitulah pikir Bader.

Nyatanya dia tak tahu, Serigala Pasir tengah terikat pada rasa takut mereka.

Cukup lama Bader coba mengamat-amati keadaan sekitar, memastikan tak ada pihak lain yang tengah membidikkan anak panah pada rombongan ini. Dia juga pastikan tak ada jebakan terlihat di atas pasir. Walaupun agak ngeri juga melihat taburan tulang di sepanjang gurun. Tanpa ragu lagi, Bader mengambil sebuah pisau dari kantung sadel Silver Wind dengan kedua tangan masih terikat. Dia berusaha keras memotong tali di tangannya dengan menyelipkan pisau itu di antara kedua bibirnya. Kemudian Bader duduk tegak pada sadelnya, dipotongnya tali di leher Silver Wind.

Tanpa disadari para bandit Selatan, suara gesekan logam tajam dan sarung hitam menderit pelan. Sampai detik pedang itu berhasil dikeluarkan, Bader masih coba meyakinkan dirinya bahwa tak ada hal buruk yang akan terjadi bila dia menyerang sekarang—walaupun belasan bandit akan melawannya. Mereka tetaplah pengembara-pengembara yang telah letih.

Seorang bandit terbelakang tersayat tajamnya pedang Bader. Menyuarakan kepedihan dan kejatuhannya dari atas tunggangannya. Kudanya pun meringkik.

“Ini akan menjadi malam yang terlalu singkat bagi kalian semua!” teriakan Bader menggema di langit gelap penuh bintang.

Hening, tak ada tanggapan kemarahan.

Wajah-wajah bingung dan takut dari para bandit justru menjadi senjata paling ampuh untuk membunuh semangat Bader. Mereka begitu gentar menunggu, beberapa malah berbisik dengan suara bergetar pada temannya.

“Apakah seorang pejuang terlalu berbahaya bagi kalian? Itu menjelaskan padaku mengapa kalian menyergapku di hutan. Sekarang, hadapi aku dengan jantan!” Bader mempertegas ucapannya, tapi ekspresi yang dia inginkan dari para bandit belum keluar juga.

Bader bermaksud menunjukkan kemarahannya dengan gertakan tapak Silver Wind ke atas pasir. Yang terjadi justru sebaliknya, para bandit tak lagi memperhatikan Bader. Mereka sibuk menengok ke kanan, ke kiri, ke belakang, ke segala arah, ke atas permukaan pasir. Bader menghentikan suara gaduh yang dibuatnya. Telinganya bergerak-gerak saat mendengar gemuruh perlahan dari dalam pasir. Kali ini bukan hanya para bandit, Bader pun ikut menunggu ada apa setelah ini. Kebingungan bodoh terjadi di sana.

Mereka bisa mendengar dengan jelas suara dentuman-dentuman jauh di dalam setiap tumpukan pasir. Suara gemuruh yang awalnya kecil dan jauh terdengar sekarang pun makin nyata. Seperti gempa bumi. Tapi tak sedikitpun permukaan pasir bergetar. Keringat pucat mulai menetes di dahi mereka satu-persatu. Hingga pada puncaknya, tercipta sebuah ledakan di sebelah kiri Bader, agak jauh darinya. Ledakan itu menghempaskan pasir-pasir ke udara, diiringi teriakan-teriakan mengumpat dari para bandit. Sesuatu telah keluar dari peristirahatannya. Kedatangannya bagaikan selimut kain hitam usang yang terbang di bawah bayang-bayang bulan. Sekelebat pandangan matanya menurunkan keberanian hingga ke titik terendah, seakan dia berkata, kau pasti mati saat ini. Asap hitam itulah yang ditakuti sebagai iblis Karkouri, iblis tanpa wujud, tanpa rupa, tanpa bisa disentuh, karena itulah genderang jantung pengantar kematian selalu terdengar tiap kehadirannya. Suaranya menggemakan penderitaan, serak kering, tipis terjepit, dan begitu bernafsu akan jutaan tetes darah. Dia datang dari dalam tanah, dimana kegelapan membutakan mata dan lembapnya udara menusuk rongga dada.

Akhirnya Bader tahu, ini adalah Gurun Karkouri. Alasan yang cukup bagi orang-orang untuk membuat jalur Lembah Gardner. Jalur itu adalah jalan lain untuk menghindari rute melewati Gurun Karkouri.

Malam ini setan itu terdengar begitu bengis. Mungkin karena sudah sangat jarang mendapat tamu, Karkouri menjadi amat lapar.

Secepat mata berkedip, Sang Iblis bergerak cepat menghampiri mayat segar korban dari pedang Bader. Dia menubruk kudanya yang masih berdiri tegak hingga jatuh tergelapar. Tubuhnya membesar seukuran kuda dan manusia tanpa nyawa itu. Asap itu menebal, menekan korbannya ke atas permukaan pasir. Darah-darah mereka bermuncratan dari tepi-tepi asap. Asap itu meresap ke dalam pasir, dengan menyisakan daging yang hancur berantakan dengan kepala manusia dan kuda yang masih utuh. Keadaan sunyi seketika.

Bader terperanjat sesaat, matanya tak bisa mempercayai apa yang baru saja dia lihat. Kengerian itu terjadi tepat di hadapannya. Dia merasakan degup jantungnya melaju kencang.

“Bajingan! Pemberontak Bodoh! Kau...” geram salah satu dari mereka. “Lihat perbuatanmu! Sekarang kita semua akan mati di sini!”

Terlambat bagi Bader untuk berpikir mundur.

Segera para bandit itu melupakan pesan dari pimpinan mereka. Mereka terlalu takut hingga tak peduli lagi pada Alexa di dalam kereta kudanya. Satu-satu berhamburan dari lokasi pembantaian, seperti kerumunan semut yang baru diusir dari makanan yang dikerumuni. Tapi hal itu sama saja mengulangi kesalahan Bader. Karkouri kembali keluar dari dalam. Satu persatu dari mereka terjatuh oleh hadangan asap maut, mereka terguling-guling di pasir bebas sambil berteriak-teriak histeris, memohon ampun setiap kali Karkouri mendekat, bahkan mengiba pada Bader. Begitu seterusnya, dia mampu menghabisi tujuh pria bandit hanya dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit. Segera rona merah darah melekat pada setiap butiran pasir.

Jeritan demi jeritan, darah demi darah tercurah cepat, Bader tahu gilirannya semakin dekat, mungkin giliran Alexa pula.

Kewajiban Bader pada Kusko segera terlintas, memecah dinding ketakutannya yang begitu rapat membelenggu. Dia tersadar akan sebuah kesempatan kecil yang berarti besar. Kereta kuda berisi gadis bernama Alexa itu teronggok tanpa penjagaan. Dia menjalankan kudanya menuju kereta kuda kayu itu. Jantungnya berdegup begitu kencang. Dia sendiri begitu kewalahan untuk menenangkan diri.

Dia sampai di hadapan kereta kuda itu. Suara-suara mengiba di sekelilingnya tak dihiraukannya lagi. Nafasnya hampir saja berhembus lega, sebelum dia sadari, gilirannya telah tiba lebih cepat dari perkiraannya. Sang Iblis menyergapnya begitu cepat. Petaka itu menggulingkannya dari Silver Wind, hingga pria jatuh ke tanah. Bader terhempas jauh. Sebuah kalung hadiah dari Hellen, ibunya, terlempar dari leher pria itu. Dia berusaha untuk segera bangkit, segera dia sadari bahwa dialah satu-satunya pria yang masih hidup di situ.

Dia kembali terduduk kaku. Dalam dirinya mencoba untuk berlari, tapi dia tak bisa melakukannya. Gelapnya malam telah membutakan keberaniannya. Dia sadari semua kekacauan ini adalah ulahnya. Dia merasa memang pantas mati untuk ini, tapi tidak bagi Alexa. Bader membulatkan tekadnya untuk melindungi Alexa. Dia kembali berdiri dengan susah payah. Kemudian Bader menghunuskan pisaunya ke segala arah, sebab asap itu tak lagi tampak di matanya. Apalah daya dari sebuah pisau kecil pada makhluk tanpa selah untuk diserang itu.

Segera setelahnya, suara bisikan kuat mendesis, dibawa angin yang berputar-putar di sekelilingnya. Bader makin serius menjaga, dia memperhatikan seluruh wilayah yang bisa dilihat matanya. Dia tak sadari, iblis itu tengah memperhatikannya, dari depan, tepat di hadapannya. Bader terkejut setengah mati. Tak ayal dia tersungkur mundur karenanya. Detak jantungnya nyaris saja berhenti saat itu juga. Tapi asap itu tak melakukan apapun padanya. Iblis bernama Karkouri itu, berubah. Perlahan-lahan dia bergumpal membentuk bayangan sesosok tubuh manusia, wanita. Kemolekan wajahnya terpancar. Rambutnya berwarna kuning keperakan, seperti warna rambut jagung. Bola matanya berwarna merah kejinggaan. Setiap hembusan angin membawa rambut halusnya bergerak melambai. Bibirnya kecil, penuh senyum anggun. Dia miliki sebuah tanda di bagian kiri wajah, seperti corak dedaunan dengan tinta hitam, hingga ke dagu tegasnya. Tak sedikitpun kain menempel di tubuhnya, hanya cahaya terang melingkupinya, menjadi sebuah jubah cahaya indah.

“Kaukah itu, Keturunan Panglima Besar Benteng Comdred, Lampros Kertest?” tanya asap hitam berbentuk manusia itu dengan suara lembut. Nada bicaranya berubah drastis, menjadi seseorang yang amat hangat dan tenang. Tersirat matanya yang menyimpan puluhan kisah kelam dalam sejarah keberadaannya di dunia.

Bader mengenali Kertest dari cerita ayahnya mengenai masa lalu. Seorang panglima di Benteng Comdred, yang memimpin kehidupan baru di benua Timur, kemudian membangun desa Cordanté yang di suatu masa akan menjadi tempat kelahiran ayahnya. Kertest yang bernama sama dengannya, Lampros, telah lama dilupakan namanya oleh penduduk Mithrillia. Nama Kertest tenggelam, seiring dengan tergantinya hormat penduduk pada keturunan Avalen, meskipun hormat mereka diiringi ketakutan dalam setiap sujudnya.

Dia berusaha keras hanya untuk mengangguk.

“Pisaumu itu mengingatkanku pada garis keturunan Lampros. Takdir menggariskan pertemuanmu denganku. Sebutkanlah namamu, wahai manusia berbudi baik. Aku tak akan menyakiti dirimu walau setitik.”

“Aku…aku Lampros Bader, siapakah engkau, Karkouri?” suara Bader bergetar hebat, sesekali dia melihat ke arah kereta kuda, kemudian kembali lagi.

“Kau sendiri sudah tahu namaku, Kertest muda.”

“Kau mau membiarkan aku dan gadis di dalam kereta kuda itu pergi? Aku berani bersumpah bahwa akulah yang menganggu ketenanganmu malam ini. Untuk itu, kumohon terimalah maafku yang penuh rasa hormat. Bila aku harus mati untuk membebaskan gadis itu dari murkamu, akan kulakukan.”

Wajah itu tersenyum hangat padanya. Karkouri menunduk anggun, menjawab segala kekuatiran Bader yang menumpuk. Dia bahkan mengulurkan tangannya untuk membantu Bader berdiri. Bader menyambutnya walau sungkan, dia bisa merasakan dingin dan kelamnya genggaman tangan itu.

“Pergilah, Kertest Muda. Temui Tammil di kota Sladur. Jangan biarkan dia temukan Cresthalla. Hentikan Tammil sebelum semuanya terlambat, sebelum sangkakala itu mengendalikanku berbalik melawan darah Kertest di dalam tubuhmu. Aku tahu saat ini kekalahan dan kemenangan dibatasi setipis kertas.”

“Kau ini…di pihak siapa?”

“Tak satupun dari mereka, bahkan kalian. Setiap manusia membenciku, aku pun membenci setiap orang, aku membenci semua manusia. Tapi ironisnya, aku berharap pada manusia pula untuk menghentikan orang yang berusaha mengendalikanku. Sebab gerakanku terbatas pada gurun ini, aku tak mampu berbuat banyak. Jagalah kehidupan keduamu, malam ini. Terpenting di atas segalanya, jaga gadis di dalam kereta kuda itu baik-baik.”

Karkouri perlahan mendekat. Dia menyentuh pipi Bader dengan lembut dengan sebelah tangan. Kemudian Karkouri menyentuh tangan kokoh Bader yang teguh pada pisaunya. Karkouri membuat Bader memasukannya kembali ke dalam sarung kecil di pinggangnya.

Setelah itu, Karkouri melayang-layang di udara, membuyarkan bentuk tubuhnya, menguraikan sosoknya menjadi asap kembali, baru kemudian kembali menembus ke dalam pasir-pasir. Keadaan hening seketika, lalu semilir angin membuat bau darah tercium di mana-mana.

Kehidupan kedua…benar…

Dia memotong tambang tebal yang mengunci dua pintu kereta di belakang. Dia membuka kedua pintu itu segera. Dia bisa melihat Alexa terkapar pingsan di dalamnya. Sekeliling Alexa dipenuhi harta rampasan para bandit. Harganya tak terbayangkan, berapa banyak Krall yang bisa didapatkan dengan menjual ini semua. Digapainya Alexa dan dia baringkan gadis itu di atas tumpukan pasir. Kemudian Bader menepuk-nepuk kedua pipinya, semakin keras tiap tepukannya. Hingga kedua mata pucat itu membuka.

Alexa terlihat begitu sayu. Dia telah lama tak sadarkan diri oleh segaris jarum penuh daya. Wajahnya begitu lega melihat wajah Bader yang menghalangi cahaya kelam dari bulan di langit. Dalam dua hari, tak ada yang menduga Alexa akan begitu diidam-idamkan oleh kelompok Tammil. Dua kali dia mengalami perlakuan tak menyenangkan dari para pria benua Selatan itu, meski akhirnya Alexa mengetahui kematian mereka. Alexa bergetar membayangkan kejadian apa yang baru saja dia lewatkan. Sebuah peristiwa sadis yang membuat darah tertumpah sebanyak ini.

Hawa dingin menusuk-nusuk mereka, bahkan selimut dan mantel tak cukup menahannya. Jauh dari sana terlihat sebuah gerbang megah. Gerbang itu begitu tinggi, besar dan terlihat amat kokoh. Terbuat dari kayu tebal berwarna gelap, dengan palang-palang besi menahannya tetap rapat. Di sisi kanan dan kiri gerbang terdapat ukiran kepala singa dari batu, tak kalah besarnya. Di atas kepala singa itu adalah menara pemantau dengan belasan pemanah bersiaga. Benteng megah itu adalah Sladur. Batuan abu-abu begitu rapih menyusunnya. Sebuah jembatan batu panjang menghubungkan daratan terluar dengan gerbang yang diputuskan sebuah jurang berair. Di atas jembatan, belasan serdadu berbaju besi, bersenjatakan tombak dan perisai bulat telah bersiaga. Dari kejauhan, terlihat kerlip lampu-lampu dari balik dinding benteng, juga obor besar di sepanjang jembatan. Sepanjang jalan tersisa ke benteng Sladur adalah rerumputan kering dan dataran tanpa banyak pohon.

“Apakah itu yang dinamakan Goat Hill?”

“Jika itu adalah Goat Hill, pasti gerbang sudah dibukakan untukku, Alexa,” jawab Bader singkat. “Di depan matamu sekarang adalah Benteng Sladur, salah satu dari lima kekuatan terbesar Mithrillia, terbesar kelima di seluruh dataran ini.”

“Jadi, kita masih akan pergi ke Goat Hill atau…”

“Sepertinya untuk sementara kita cari pedagang yang berulang kali menculikmu dulu, setelah itu kita akan kembali ke Goat Hill. Firasatku tidak enak.”
Continue Reading

0 comments: